Atheis (novel)

buku karangan Achdiat Karta Mihardja

Atheis adalah novel roman tahun 1949 karya Achdiat K. Mihardja yang menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang yang dididik untuk menjadi anak yang saleh sedari kecil, tetapi di tengah perjalanan hidupnya mengalami banyak gelombang yang membuatnya bimbang dan mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan, diakhiri dengan jatuhnya dia dalam ketidakmampuan mengatasi kebimbangan hidupnya tersebut.

Atheis
PengarangAchdiat K. Mihardja
NegaraIndonesia Indonesia
Bahasabahasa Indonesia
GenreNovel
PenerbitBalai Pustaka
Tanggal terbit
1949 (cetakan pertama)
Tgl. terbit (bhs. Inggris)
1972
Jenis mediasampul lunak
Halaman232
ISBNISBN 9794071854

Novel roman Atheis mengisahkan perkembangan masyarakat Indonesia sejak permulaan abad kedua puluh yang terus mengalami pergeseran gaya hidup yang tradisional ke gaya hidup modern. Pergeseran itu membawa serta perselisihan dan bentrokan antara paham-paham yang lama dengan yang baru, yang khususnya terjadi di lapangan sosial, budaya, dan politik. Perkembangan di dalam masyarakat ini kemudian tidak luput meninggalkan pengaruhnya kepada pengalaman batin manusia. Keresahan batin di tengah-tengah bergeloranya pertentangan paham di zaman penjajahan Belanda dan masa pendudukan Jepang menjadi pokok perhatian dalam roman ini.

Novel Atheis merupakan salah satu karya terpenting Achdiat K. Mihardja yang begitu kaya akan detail situasi pada masa pendudukan Jepang. Novel ini mengambil latar waktu dan tempat di antara tahun 1940-1942 di kota Bandung dan sekitarnya di Jawa Barat.

Novel ini memperoleh Penghargaan Tahunan Pemerintah RI tahun 1969. Atheis diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R.J. Maguire pada tahun 1972 sehingga novel ini juga banyak dibaca di dunia internasional. Sutradara terkenal Sjumandjaja juga mengadaptasi novel ini menjadi sebuah film drama layar lebar berjudul sama pada tahun 1974.

Sinopsis

Templat:Spoiler Rd. Hasan, pegawai gemeente Bandung, adalah seorang pemuda alim yang dididik orang tuanya untuk berpegang kuat pada ajaran agama Islam. Pertemuannya kembali dengan Rusli, teman masa kecilnya yang telah menjadi seorang pejuang dan aktivis politik bawah tanah membawa Hasan kepada pemikiran Atheisme yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan orang tuanya selama ini.

Pergaulan yang rapat dengan Rusli tersebut secara perlahan mulai merubah pandangan-pandangan hidup Hasan selama ini. Terlebih karena hatinya tertawan oleh Kartini, adik angkat Rusli yang tergolong wanita yang berpemikiran progresif di zamannya sehinga sangat menarik perhatian Hasan. Perubahan pandangan Hasan semakin dalam dan jauh seiring diskusi-diskusinya yang panjang bersama Rusli dan Kartini, ditambah perkenalannya dengan kawan-kawan senior Rusli. Salah satu senior tersebut adalah Anwar, putra bupati namun adalah seorang manusia egois yang hidup hanya untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain.

Kemunculan Anwar kemudian mulai merubah hidup Hasan, yang diawali dengan hubungan Hasan dengan orang tuanya. Anwar memprotes keras Hasan yang akan pergi mengaji bersama orang tuanya sebagai seorang munafik dan tidak berpendirian. Hasan yang penuh keragu-raguan kemudian terpancing untuk secara terbuka menceritakan pandangan barunya kepada ayah-ibunya. Kedua orang tua Hasan yang begitu religius mendidik Hasan sejak kecil pun menjadi sangat kecewa dan mengusir Hasan. Kebimbangan hati Hasan tentang hidupnya pun bertambah berat.

Cerita bertambah rumit dengan tindakan Anwar yang membuat rumah tangga Hasan dan Kartini goyah. Anwar adalah seorang mata keranjang yang karena ketertarikannya pada Kartini membuat Hasan cemburu dan menimbulkan pertengkaran hebat antara dia dan Kartini. Pertengkaran ini membuat Kartini memutuskan lari menghindar untuk sesaat demi menunggu redanya amarah Hasan. Namun dalam pelariannya tersebut, Kartini malah hampir menjadi korban nafsu binatang Anwar di sebuah hotel.

Peristiwa tersebut akhirnya diketahui Hasan secara tidak sengaja. Api cemburu dan kemarahan yang meledak membuat Hasan menjadi mata gelap dan hendak membunuh Anwar. Di tengah bunyi gelapnya malam dan sirene tanda bahaya tentara Jepang yang berkumandang, Hasan tetap berlari tanpa perduli. Kempetai pun menembak dan menangkapnya dengan tuduhan mata-mata. Tubuh Hasan yang menderita TBC tidak sanggup menahan siksa polisi pendudukan Jepang tersebut. Di akhir cerita, Hasan akhirnya meninggal dengan membawa keragu-raguannya terhadap Tuhan yang sebelumnya dia percayai.

Rujukan

Pranala luar