Pangeran Surya Mataram
Pasca Perjanjian Giyanti (1755) dan Salatiga (1757)
Dengan Perjanjian Giyanti dan Salatiga berakhir sudah Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati dan dibesarkan oleh Sultan Agung cucunya sebagai kerajaan yang bersatu dan berdaulat Tunggal di Jawa.Mataram telah terbagi menjadi tiga kekuatan politik dan kekuasaan; Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran.
Tiga kekuatan Jawa ini berdampingan dengan kekuatan asing VOC atau Belanda yang hadir sebagai penengah dan sekutu.Pertikaian bersenjata telah menguji dan mampu mengukur kapasitas kekuatan masing masing dan menghasilkan suatu keadaan tidak ada yang unggul dan dominan secara tunggal. Kedalam suasana berdamai itu persaingan kekuatan dan kekuasaan memasuki dimensi baru dan satu sama lain saling mengabaikan keberadaan Keraton yang lain.
Surya Mataram
Nama Surya Mataram pertama kali diajukan oleh Mangkunegara I untuk nama cucunya.Nama Surya Mataram yang dalam sejarah Mataram belum pernah ada dan untuk pertama kalinya dipergunakan sebagai nama Pangeran Surya Mataram untuk cucu Mangkunegara I menimbulkan spekulasi dan kehawatiran dan kepanikan Belanda.Nama itu memancarkan keagungan dan Belanda tidak menghendaki Mangkunegara I memperoleh keagungan itu karena lambat atau pasti pengaruh Mangkunegara I menjadi bersinar terang kembali yang mengundang daya tarik menghimpun pengikut dengan jumlah yang semakin besar.
Kepanikan Belanda juga berdasar dari dua penguasa lain yang merasa sikap agresifitas Mangkunegara I kembali kambuh dengan akibat munculnya kembali dukungan pengikut Sultan dan Sunan kepada Mangkunegara I. Belanda menyarankan untuk menarik kembali nama Pangeran Surya Mataram kepada Mangkunegara I.
Suntingan: Rangga Suryo