Pasang Surut Dinasti Mataram
Solo adalah tempat atau ibukota Kraton Mataram sedangkan Giyanti, Salatiga dan Magelang adalah tempat yang menyisakan catatan catatan sejarah Mataram. Perhelatan kekuasaan Mataram meninggalkan jejak jejak nya di tempat tempat termasud; Solo, Giyanti (Sragen), Salatiga dan Magelang.
Belanda Merebut Kekuasaan Mataram
Melalui usulan dan perjanjian yang ditanda tangani oleh Sunan Paku Buwono II akhirnya Belanda mendapatkan kewenangan dan kendali kekuasaan atas Kerajaan Mataram.Belanda mendapatkan itu semua dari Sunan yang sedang terbaring dalam ranjangnya pada saat saat yang terakhir. Dengan Kewenangan itu Belanda memberi ijin dan mengangkat putra Paku Buwono II sebagai Paku Buwono III.
Mataram Terbelah
Kemenangan Belanda merebut Mataram bukan berarti tanpa perlawanan. Penentangan terhadap otoritas dan kehadirannya di Mataram mengundang persekutuan baru yang melancarkan agresi penyerangan kepada Belanda.Persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said menentang pengangkatan itu tak bisa dihindari dan defacto Mataram terpecah kedalam dua kekuatan yang saling berhadapan.Sebagai Sunan tandingan Mas Said menjadikan mertuanya Mangkubumi sebagai penguasa tandingan di Mataram sedangkan dirinya menempatkan diri sebagai patih dan panglima perang.
Persekutuan yang merupakan kekuatan besar yang hampir saja mencapai kemenangan akhir secara tiba tiba pecah menjadi dua kelompok mengikuti pemimpinnya; Mas Said dan Mangkubumi.Perpecahan persekutuan ini juga membawa akibat terbelahnya Mataram kedalam beberapa Dinasti atau Wangsa.
Perundingan I Pembagian Mataram
Perundingan di Giyanti sering disebut sebagai Perjanjian Giyanti yang merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan dan juga membentuk suatu persahabatan baru.Perjanjian yang ditanda tangani 13 Februari 1755 ini merupakan ekor dari perpecahan Mangkubumi dengan Mas Said.Perjanjian Giyanti ini merupakan persekutuan baru dari yang bermusuhan menjadi persahabatan untuk melenyapkan musuh bersama Mas Said.Seain itu perjanjian ini juga merupakan Proklamasi' dari Mangkubumi terhadap perpecahan yang dihadapi dengan menantunya Mas Said.Siratan dari Perjanjian Giyanti ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mangkubumi tanpa persekutuan dengan Mas Said berhasil menjadi Raja meskipun hanya menjadi Raja di separuh wilayah Mataram.
2. Mangkubumi membutuhkan Belanda untuk bisa menjadi Raja sekaligus dukungan dan bantuan untuk melenyapkan pesaing utamanya Mas Said.
3. Mangkubumi bersedia mengalah kepada Belanda tetapi kepada Mas Said adalah sebaliknya.
4. Mangkubumi memberikan keyakinan kepada Mas Said bahwa tanpa persekutuan dengannya Mas Said tidak bisa mencapai kemenangan akhir mengusir Belanda dari Mataram.
5. Mangkubumi kepada Mas Said menantu secara implisit dengan Perjanjian Giyanti menyampaikan maksud bahwa dirinya mampu mencapai level legitimasi kerajaan sebagai Sultan meskipun terikat perjanjian dengan Belanda.
6. Dengan Perjanjian Giyanti Mangkubumi melegitimasi diri sebagai penguasa kerajaan yang secara sah memiliki kewajiban menumpas pemberontak atau kekuatan kekuatan yang menentang Kerajaan.
Perundingan II Pembagian Mataram
Seperti hal nya di Giyanti, Perundingan di Salatiga sering disebut sebagai perjanjan Salatiga yang juga merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan sekaligus jembatan untuk naik dalam struktur politik Jawa.Perjanjian yang ditanda tangani 17 Maret 1757 ini memberikan siratan yang hampir serupa dengan 'Perjanjian Giyanti. Perjanjian Salatiga memberikan suatu yang tersirat dari Mas Said yang menyampaikan pesan sebagai berikut;
1. Mas Said menghidupkan kembali kartu mati Paku Buwono III dalam neraca permainan politik di Jawa.Paku Buwono III menjadi berfungsi kembali dalam percaturan politik.
2. Mas Said tanpa Belanda dan Mangkubumi berhasil menjadi Raja Muda dengan mendapatkan wilayah kekuasaan yang diambil dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
3. Mas Said memberikan keyakinan kepada mertuanya Mangkubumi bahwa tanpa persekutuan dengan Mangkubumi masih membuktikan keunggulannya dengan menggulung kekuatan gabungan sampai menewaskan Van Der Poll dan ancaman pembakaran Kraton Mangkubumi.Van der Poll adalah pahlawan perang Madura dan komandan utama pasukan gabungan.
4. Mas Said dengan merangkul Paku Buwono III kepada mertuanya Mangkubumi menyampaikan suatu kritik secara tersirat bahwa pecahnya Mataram menjadi dua bagian bukan keinginannya melainkan keinginan Mangkubumi.Belanda sampai kapan pun tidak akan mengijinkan Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang tunggal.Pembagian Mataram selain ijin Belanda juga kesepakatan Mangkubumi.
5. Mas Said kepada mertuanya Mangkubumi secara implisit memberikan khabar bahwa terancamnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun merupakan pesan bahwa Mas Said menantunya tidak layak dimusuhi karena taruhannya adalah robohnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun.
6. Dengan Perjanjian Salatiga Mas Said melenyapkan stigma pemberontak bagi dirinya dan masuk dalam kancah struktur percaturan politik Jawa secara sah sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan.
Stabilitas Mataram Yang Dipaksakan
Riwayat Mataram akhirnya sampai pada perundingan di Magelang yang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. Perjanjian Giyanti dan Salatiga ternyata masih menyimpan Bara dalam sekam karena tahun 1825-1830 Jawa kembali diacak acak oleh peperangan. Dalam perjalanan waktu sampai pada perundingan di Magelang disini dapat ditelusur lintasan dari pasang surutnya wangsa atau dinasti Mataram dalam mempertahankan keberadaannya.Berakhirnya Perang Jawa ini menandai terselenggaranya suatu kawasan yang stabil di Mataram dengan penyederhanaan wilayah masing masing dinasti.
1. Dinasti Baru
Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu Dinasti Pakubuwanan dan Dinasti Hamengkubuwanan sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu Dinasti Mangkunegaran. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.
Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.
2. Persaingan Dan Rivalitas Dinasti
Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai jaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.
Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur.Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.
3. Tiga Serangkai Dinasti Pendahulu
Tiga serangkai sebagai generasi pendahulu dalam dinasti itu adalah; Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. Dari ketiganya Mangkunegara I adalah yang paling menyulitkan posisi Belanda dalam membuat neraca keseimbangan kekuasaan politik di Jawa.Paku Buwono III dan Hamengku Buwono I terhadap Belanda relatif lebih lunak dan bersahabat ketimbang Mangkunegara I.
Dalam masa pemerintahan Tiga SerangkaiMataram ini berbagai kejadian yang menggoyang keseimbangan selalu muncul silih berganti seiring dengan lemahnya posisi Belanda dalam kekuatan militer dan finansial. Mangkunegara I yang dalam Perjanjian Salatiga dilantik dengan upacara istimewa (Soekanto, Dr., 1952) kerap mbolos untuk tidak hadie dalam audience Kraton Kasunanan dan kalau pun hadir selalu dikawal dengan pasukan bersenjata yang berlebihan.Mangkunegara I terkena aturan harus sowan dalam audience dengan Sunan di Kraton tetapi sering bikin ulah dan akal akalan untuk menunjukan kekuatan dan independensinya.
Perilaku Mangkunegara I ini tak kurang merembet juga ke Yogyakarta yang secara diam diam para perwiranya masih menyimpan simpatik kepada Mangkunegara I. Di Yogyakarta serombongan perwira Belanda terluka di tusuk senjata tikam oleh Raden Rongga Prawiradirja.Insiden ini menyebabkan Sultan turun tangan untuk mendamaikannya.
Kasunanan yang tidak banyak ulah dan menyulitkan Belanda selewat Paku Buwono III terbukti menciptakan kepanikan luar biasa karena persekutuannya dengan kaum ulama yang mengancam terjadinya perang terbuka kembali. Kasunanan menjelang akhir abad 17 menjadi sumber desas desus dan intrik yang menggoyang Jawa.
4. Tiga Serangkai Dinasti Penerus
Perjalanan Mataram yang terpecah dalam tiga dinasti sudah melangkah jauh meninggalkan Giyanti/Sragen dan Salatiga dan para peintisnya telah digantikan oleh para keturunannya yang melanjutkan cita cita dan gagasan gagasannya untuk kerajaan yang menjadi bagiannya. Paku Buwono III wafat tahun 1788, Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta dan Mangkunegara I dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.
Dengan demikian maka pada akhir abad 17 dan awal abad 18 tiga dinasti di jawa ini selanjutnya dipegang oleh; Paku Buwono IV, Hamengku Buwono II dan Mangkunegara II.
Pada awal abad 18 (tahun 1800) VOC-Belanda dibubarkan dan diwarisi oleh pemerintah kerajaan Belanda. KetikaBelanda diserbu Napoleon dan dianeksasi kedalam wilayah Perancis maka wilayah diseberang lautan yaitu Hindia Belanda menjadi kewenangan Perancis yang mengirimkan Daendels datang ke Jawa.
Dalam waktu relatif singkat selama lebih kurang 10 tahun, di jawa telah berganti para Gubernur Jenderal di Batavia dari Perancis ke Inggris kemudian Belanda. Masa pemerintahan Daendels dan Raffles ini dapat diketahui prestasi prestasi tiga dinasti dalam pergaulan dan diplomasinya dengan pemerintaha pendudukan dalam eksistensi dan penampilannya;
a. KaSunanan Surakarta
1). Paku Buwono IV menyesuaikan dan mengadaptasi dengan situasi dan peraturan baru serta menjalin mitra dengan kekuatan politik-ekonomi pengganti VOC-Belanda.
2). Paku Buwono IV menulis dan menghasilkan karya sastra Wulangreh
3). Paku Buwono IV dnga kepiawaian dan lihay menjalankan permainan politik dan issue issue yang menyelamatkan dan untuk kepentingan kerajaannya.
b. KaSultanan Yogyakarta
1). Hamengku Buwono II terjebak kedalam konflik internal kerajaan yang melibatkan kerabat dalam sendiri.Intrik dan konflik yang tidak bisa ditanganinya menyebabkan kemerosotan eksistensi KaSultanan Yogyakarta.
2). Hamengku Buwono II terhimpit oleh jaringan kelompok kelompok kepentingan dalam keraton yang sulit didamaikan dan potensi mengundang campur tangan pihak luar istana untuk memenangkan tujuan dan kepentingan masing masing kelompok yang saling bertikai/konflik.
3). Hamengku Buwono II mengalami pemakzulan sebagai Sultan dengan pemaksaan kekuatan militer yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles.Akibat yang lebih jauh kekuasaan Kasultanan dibelah dengan munculnya Paku Alaman yang mengambil wilayah 4000 karya dari Kasultanan.
c. Mangkunegaran
1). Mangkunegara II membentuk Korps militer bersenjata pilihan dengan nama Legiun mangkunegaran
2). mangkunegara II memperluas wilayah mangkunegaran dari 4000 karya menjadi 5000 karya serta memperbesar jumlah personil Legiun Mangkunegaran' dari 800 menjadi 1150 personil dan akhirnya 1500 personil.
3). Mangkunegara II mengadakan penyerbuan ke Yogyakarta untuk mencegah meluasnya konflik internal keluarga dan mencegah pembubaran KaSultanan Yogyakarta.
5. Dinasti Yang Penuh Konflik
Mataram adalah sebuah dinasti yang penuh dengan konflik dan pertentangan sehingga tidak mengherankan kalau sekitar keberadaan Mataram dari sejak semula berdiri sampai hari ini menjadi bahan kajian dan penulisan dari berbagai kalangan terpelajar maik dalam negeri maupun luar.
Referensi
- Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
- Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
- Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
- Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
- Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
- Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
- Ricklefs, MC., Johjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.