Judul
Subjudul
Silakan pilih gambar sampul untuk buku ini. Lihat "Templat:Buku tersimpan" untuk instruksi lengkap."
Ini adalah buku pengguna yang merupakan koleksi artikel yang dapat dengan mudah dirender secara elektronik, dan dipesan sebagai buku cetak. Jika Anda pembuat buku ini, dan memerlukan bantuan, silakan lihat Bantuan:Buku.

Sunting buku ini: Pembuat buku · Teks wiki
Pilih format untuk diunduh:
Pesan buku tercetak dari penerbit berikut: PediaPress
Tentang ] [ Lanjutan ] [ FAQ ] [ Umpan balik ] [ Bantuan ] [ ProyekWiki ] [ Perubahan terbaru ]


MANGKUNEGARAN DALAM BERBAGAI GEJOLAK

Peranan Aktif Dalam Mencapai Solusi

BAB I LAHIRNYA KERAJAAN

A. Pendahuluan

Mangkunegaran adalah suatu dinasti yang berasal dari dinasti Mataram. Cikal bakal dari dinasti ini adalah Pangeran Sambernyawa yang bertahta sebagai Mangkunegara I.Istana Mangkunegaran sebagai tempat raja dan pusat pengendalian kekuasaan politik didirikan setelah ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga.

Posisi Mangkunegaran dalam sistem dan struktur politik Jawa menempati kedudukan yang istimewa karena berdirinya Mangkunegaran merupakan hasil perjuangan (Ricklefs,1991).Pangeran Sambernyawa sebagai cikal bakalnya telah memulai perjuangan sejak berumur 16 tahun ketika panggilan perjuangan memanggilnya.Keulungan Mangkunegara I dalam kemiliteran sangat teruji sekalipun dikhianati oleh mertuanya Pangeran Mangkubumi yang demi mendapatkan separuh Mataram rela menggabungkan diri dengan Belanda sehingga Mangkunegara I harus menghadapi 3 kekuatan gabungan.

B. Istana Mangkunegaran

Dalam kancah politik Jawa Istana Mangkunegaran dengan penguasanya Mangkunegara tampil dengan penguatan yang bersifat rasional. Dua penguasa Jawa lainnya di istana Surakarta dan Yogyakarta membangun kekuasaan untuk keagungan sebagai penguasa menempuh jalan penguatan simbolik simbolik sedangkan Mangkunegaran membangun kemegahan kekuasaan dengan jalan rasional dan aksi.Rasionalisasi kekuasaan ini tampak dalam masa pemerintahan Mangkunegara II yang melanjutkan pendahulunya Mangkunegara I.

Pembangunan rasional ditempuh untuk kepentingan dan kekuatan kerajaan sehingga kemakmuran yang dicapai bisa mengalir kebawah kepada kawulanya.Pembangunan militer yang kuat dan ekonomi beriring dengan karya karya sastera yang sampai sekarang tetap aktual dan menjadi rujukan bagi masyarakat Jawa.

C. Raja Mangkunegaran

Penguasa Mangkunegaran secara resmi bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang yang ke I, II, III...dan seterusnya dan secara fleksibel disebut dengan Mangkunegara dengan tambahan angka Romawi di belakangnya yang menunjukan pada yang sedang bertahta.Gelar dari raja Mangkunegaran ini benar benar murni Jawa tanpa tambahan kata kata asing semisal Panatagama.Keaslian Jawa dalam figur Mangkunegaran ini yang oleh beberapa penulis asing dinyatakan sebagai takdir. Mangkunegaran ditakdirkan berdiri untuk mengembalikan segala sesuatu dari Jawa yang hilang.

Selewat peperangan yang berlarut larut sampai dilalui nya Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, Mangkunegaran menjadi kekuatan penyeimbang yang masih selalu menampakan kegarangannya dalam memainkan kartu kartu konfliknya. Kedudukan penguasa Mangkunegaran adalah Raja Muda dan ini yang oleh pendahulunya diperjuangkan untuk menuju kemandiriannya tanpa mau didikte. Mangkunegaran tidak segan segan memainkan kekerasan dalam menghadapi kekuasaan lain yang merongrong wibawa dan eksistensinya.

Para Raja yang bertahta di Mangkunegaran dari setiap generasi tampil dengan cakap dan lihay untuk kerajaannya karena pada hakikatnya regenerasi di kerajaan ini betul betul disiapkan. Seorang putra mahkota yang bakal menjadi Mangkunegara berikutnya sejak remaja selalu disiapkan dengan memberikan beban tanggung jawab secara langsung dan berjenjang.Gelar Pangeran Prangwadana selalu menyertai bagi putra mahkota kerajaan.

Sejak tahun 1757 berturut turut yang bertahta di Istana Mangkunegaran adalah;

1. Mangkunegara I (1757-1795)

2. Mangkunegara II (1796-1835)

3. Mangkunegara III (1835-1853)

4. Mangkunegara IV (1853-1881)

5. Mangkunegara V (1881-1896)

6. Mangkunegara VI (1896-1916)

7. Mangkunegara VII (1916-1944) 8. Mangkunegara VIII (1944-1987)

9. Mangkunegara IX (1987-sekarang)


D. Lokasi Mangkunegaran

Istana Mangkunegaran berlokasi di Kota Surakarta di jalan Ronggowarsito dan bangunan menghadap ke Selatan.Sebagai kerajaan yang terbuka dengan ide ide baru perjumpaan Kebudayaan jawa dengan Eropa dicermati dengan seksama dan di akulturasikan menjadi milik Jawa.Akulturasi ini di inkulturasi sampai unsur dan elemen Eropa menjadi semakin Jawa.

E. Bangunan Istana

Istana Mangkunegaran berdiri sejak tahun 1757 dan pada waktu awal mula berdiri komplek istana belum dilengkapi dengan Pendapa. Bangunan Pendapa dengan atap Joglo baru dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara IV yakni tahun 1866.Surakarta yang kental dengan kebiasaan kebiasaan Jawa mengadopsi style Eropa yang dijadikannya menjadi Jawa tampil dalam hal pembangunan fisik.

Bangunan Jawa secara prinsipial tidak mengenal adanya teras atau elemen serambi karena elemen ini merupakan ke khas an dari villa villa di Eropa.Bangunan Jawa yang tanpa mengenal serambi ini dipadukan dengan elemen Eropa secara visual dan fungsional menghadirkan keindahan dan kegunaan terwariskan secara tradisi kegenerasi berikutnya.Aliran klasik dan neoklasik Eropa berpadu dengan semangat neoklasik Jawa menghadirkan pengolahan tata ruang yang secara simbolik menampilkan citra dan kegunaan aktivitas beserta ornamen dan pahatan sebagai simbolik.

Dari visualisasi bangunan, Istana Mangkunegaran mengambil corak Eropa dalam Empire Style dalam perpaduan Jawa yang menghadirkan kemaharajaan dengan keagungan dan kewibawaannya.Perpaduan antara Arsitektur Jawa dan Arsitektur Eropa terserap di Mangkunegaran yang memang terbuka untuk inovasi dan ide ide yang baru. Sistem denah menghadirkan suatu pola tatanan ruang yang tertutup dan bersifat linear.Pada kondisi struktur bangunan tampak bahwa antara atap dan dinding merupakan satu kesatuan utuh struktur dengan kata lain sistem struktur bangunan Istana menggunakan sistem strutur dinding pemikul.Penggunaan kolom kolom bulat yang terbuat dari besi tuang (cor) dengan konsol konsol besi semakin menampakan perpaduan Jawa dengan neoklasik Eropa dalam penampilannya.

Ciri utama peningalan Eropa di jawa dalam soal bangunan juga terdapat pada keluasan bidang bukaan jendela dan pintu serta skala ruang yang luas dan tinggi.Aspek keluasan ini pada intinya adalah pengolahan aspek kenyamanan penghuni dalam aktivitasnya sehari hari yang hadir di bumi beriklim tropis.

F. Mangkunegaran Masa Sekarang

Di Mangkunegaran saat ini yang bertahta adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX. Pada masa pemerintahannya sekarang beberapa bangunan di Istana mengalami Revitalisasi dengan dana bantuan dan ahli yag berasal dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Pemerintah daerah.Revitalisasi sendiri adalah upaya untuk memulihkan bangunan seperti sedia kala dengan fungsi yang berbeda. Jaman dulu gedung Kavalarry adalah Markas Legiun Mangunegaran maka sekarang bisa di fungsikan untuk aktivitas yang lain.

Referensi

  1. Lieberman,Victor B. Beyond binary histories: re-imagining Eurasia to c.1830, University of Michigan Press,USA, 1999.
  2. Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi
  3. Carey, Peter, 'Civilization on Loan: The Making of an Upstart Polity: Mataram Its Successors 1600-1830
  4. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/06/28/58203/Revitalisasi-Mangkunegaran-

Libatkan-BP3


BAB II SITUASI GLOBAL MATARAM

Solo adalah tempat atau ibukota Kraton Mataram sedangkan Giyanti, Salatiga dan Magelang adalah tempat yang menyisakan catatan catatan sejarah Mataram. Perhelatan kekuasaan Mataram meninggalkan jejak jejak nya di tempat tempat termasud; Solo, Giyanti (Sragen), Salatiga dan Magelang.

A. Belanda Merebut Kekuasaan Mataram

Melalui usulan dan perjanjian yang ditanda tangani oleh Sunan Paku Buwono II akhirnya Belanda mendapatkan kewenangan dan kendali kekuasaan atas Kerajaan Mataram.Belanda mendapatkan itu semua dari Sunan yang sedang terbaring dalam ranjangnya pada saat saat yang terakhir. Dengan Kewenangan itu Belanda memberi ijin dan mengangkat putra Paku Buwono II sebagai Paku Buwono III.

B. Mataram Terbelah

Kemenangan Belanda merebut Mataram bukan berarti tanpa perlawanan. Penentangan terhadap otoritas dan kehadirannya di Mataram mengundang persekutuan baru yang melancarkan agresi penyerangan kepada Belanda.Persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said menentang pengangkatan itu tak bisa dihindari dan defacto Mataram terpecah kedalam dua kekuatan yang saling berhadapan.Sebagai Sunan tandingan Mas Said menjadikan mertuanya Mangkubumi sebagai penguasa tandingan di Mataram sedangkan dirinya menempatkan diri sebagai patih dan panglima perang.

Persekutuan yang merupakan kekuatan besar yang hampir saja mencapai kemenangan akhir secara tiba tiba pecah menjadi dua kelompok mengikuti pemimpinnya; Mas Said dan Mangkubumi.Perpecahan persekutuan ini juga membawa akibat terbelahnya Mataram kedalam beberapa Dinasti atau Wangsa.

C. Perundingan I Pembagian Mataram

Perundingan di Giyanti sering disebut sebagai Perjanjian Giyanti yang merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan dan juga membentuk suatu persahabatan baru.Perjanjian yang ditanda tangani 13 Februari 1755 ini merupakan ekor dari perpecahan Mangkubumi dengan Mas Said.Perjanjian Giyanti ini merupakan persekutuan baru dari yang bermusuhan menjadi persahabatan untuk melenyapkan musuh bersama Mas Said.Seain itu perjanjian ini juga merupakan Proklamasi' dari Mangkubumi terhadap perpecahan yang dihadapi dengan menantunya Mas Said.Siratan dari Perjanjian Giyanti ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mangkubumi tanpa persekutuan dengan Mas Said berhasil menjadi Raja meskipun hanya menjadi Raja di separuh wilayah Mataram.

2. Mangkubumi membutuhkan Belanda untuk bisa menjadi Raja sekaligus dukungan dan bantuan untuk melenyapkan pesaing utamanya Mas Said.

3. Mangkubumi bersedia mengalah kepada Belanda tetapi kepada Mas Said adalah sebaliknya.

4. Mangkubumi memberikan keyakinan kepada Mas Said bahwa tanpa persekutuan dengannya Mas Said tidak bisa mencapai kemenangan akhir mengusir Belanda dari Mataram.

5. Mangkubumi kepada Mas Said menantu secara implisit dengan Perjanjian Giyanti menyampaikan maksud bahwa dirinya mampu mencapai level legitimasi kerajaan sebagai Sultan meskipun terikat perjanjian dengan Belanda.

6. Dengan Perjanjian Giyanti Mangkubumi melegitimasi diri sebagai penguasa kerajaan yang secara sah memiliki kewajiban menumpas pemberontak atau kekuatan kekuatan yang menentang Kerajaan.

D. Perundingan II Pembagian Mataram

Seperti hal nya di Giyanti, Perundingan di Salatiga sering disebut sebagai perjanjan Salatiga yang juga merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan sekaligus jembatan untuk naik dalam struktur politik Jawa.Perjanjian yang ditanda tangani 17 Maret 1757 ini memberikan siratan yang hampir serupa dengan 'Perjanjian Giyanti. Perjanjian Salatiga memberikan suatu yang tersirat dari Mas Said yang menyampaikan pesan sebagai berikut;

1. Mas Said menghidupkan kembali kartu mati Paku Buwono III dalam neraca permainan politik di Jawa.Paku Buwono III menjadi berfungsi kembali dalam percaturan politik.

2. Mas Said tanpa Belanda dan Mangkubumi berhasil menjadi Raja Muda dengan mendapatkan wilayah kekuasaan yang diambil dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

3. Mas Said memberikan keyakinan kepada mertuanya Mangkubumi bahwa tanpa persekutuan dengan Mangkubumi masih membuktikan keunggulannya dengan menggulung kekuatan gabungan sampai menewaskan Van Der Poll dan ancaman pembakaran Kraton Mangkubumi.Van der Poll adalah pahlawan perang Madura dan komandan utama pasukan gabungan.

4. Mas Said dengan merangkul Paku Buwono III kepada mertuanya Mangkubumi menyampaikan suatu kritik secara tersirat bahwa pecahnya Mataram menjadi dua bagian bukan keinginannya melainkan keinginan Mangkubumi.Belanda sampai kapan pun tidak akan mengijinkan Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang tunggal.Pembagian Mataram selain ijin Belanda juga kesepakatan Mangkubumi.

5. Mas Said kepada mertuanya Mangkubumi secara implisit memberikan khabar bahwa terancamnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun merupakan pesan bahwa Mas Said menantunya tidak layak dimusuhi karena taruhannya adalah robohnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun.

6. Dengan Perjanjian Salatiga Mas Said melenyapkan stigma pemberontak bagi dirinya dan masuk dalam kancah struktur percaturan politik Jawa secara sah sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan.

E. Stabilitas Mataram Yang Dipaksakan

Riwayat Mataram akhirnya sampai pada perundingan di Magelang yang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. Perjanjian Giyanti dan Salatiga ternyata masih menyimpan Bara dalam sekam karena tahun 1825-1830 Jawa kembali diacak acak oleh peperangan. Dalam perjalanan waktu sampai pada perundingan di Magelang disini dapat ditelusur lintasan dari pasang surutnya wangsa atau dinasti Mataram dalam mempertahankan keberadaannya.Berakhirnya Perang Jawa ini menandai terselenggaranya suatu kawasan yang stabil di Mataram dengan penyederhanaan wilayah masing masing dinasti.

1. Dinasti Baru

Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu Dinasti Pakubuwanan dan Dinasti Hamengkubuwanan sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu Dinasti Mangkunegaran. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.

Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.

2. Persaingan Dan Rivalitas Dinasti

Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai jaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.

Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur.Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.

3. Tiga Serangkai Dinasti Pendahulu

Tiga serangkai sebagai generasi pendahulu dalam dinasti itu adalah; Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. Dari ketiganya Mangkunegara I adalah yang paling menyulitkan posisi Belanda dalam membuat neraca keseimbangan kekuasaan politik di Jawa.Paku Buwono III dan Hamengku Buwono I terhadap Belanda relatif lebih lunak dan bersahabat ketimbang Mangkunegara I.

Dalam masa pemerintahan Tiga SerangkaiMataram ini berbagai kejadian yang menggoyang keseimbangan selalu muncul silih berganti seiring dengan lemahnya posisi Belanda dalam kekuatan militer dan finansial. Mangkunegara I yang dalam Perjanjian Salatiga dilantik dengan upacara istimewa (Soekanto, Dr., 1952) kerap mbolos untuk tidak hadie dalam audience Kraton Kasunanan dan kalau pun hadir selalu dikawal dengan pasukan bersenjata yang berlebihan.Mangkunegara I terkena aturan harus sowan dalam audience dengan Sunan di Kraton tetapi sering bikin ulah dan akal akalan untuk menunjukan kekuatan dan independensinya.

Perilaku Mangkunegara I ini tak kurang merembet juga ke Yogyakarta yang secara diam diam para perwiranya masih menyimpan simpatik kepada Mangkunegara I. Di Yogyakarta serombongan perwira Belanda terluka di tusuk senjata tikam oleh Raden Rongga Prawiradirja.Insiden ini menyebabkan Sultan turun tangan untuk mendamaikannya.

Kasunanan yang tidak banyak ulah dan menyulitkan Belanda selewat Paku Buwono III terbukti menciptakan kepanikan luar biasa karena persekutuannya dengan kaum ulama yang mengancam terjadinya perang terbuka kembali. Kasunanan menjelang akhir abad 17 menjadi sumber desas desus dan intrik yang menggoyang Jawa.

4. Tiga Serangkai Dinasti Penerus

Perjalanan Mataram yang terpecah dalam tiga dinasti sudah melangkah jauh meninggalkan Giyanti/Sragen dan Salatiga dan para peintisnya telah digantikan oleh para keturunannya yang melanjutkan cita cita dan gagasan gagasannya untuk kerajaan yang menjadi bagiannya. Paku Buwono III wafat tahun 1788, Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta dan Mangkunegara I dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.

Dengan demikian maka pada akhir abad 17 dan awal abad 18 tiga dinasti di jawa ini selanjutnya dipegang oleh; Paku Buwono IV, Hamengku Buwono II dan Mangkunegara II.

Pada awal abad 18 (tahun 1800) VOC-Belanda dibubarkan dan diwarisi oleh pemerintah kerajaan Belanda. KetikaBelanda diserbu Napoleon dan dianeksasi kedalam wilayah Perancis maka wilayah diseberang lautan yaitu Hindia Belanda menjadi kewenangan Perancis yang mengirimkan Daendels datang ke Jawa.

Dalam waktu relatif singkat selama lebih kurang 10 tahun, di jawa telah berganti para Gubernur Jenderal di Batavia dari Perancis ke Inggris kemudian Belanda. Masa pemerintahan Daendels dan Raffles ini dapat diketahui prestasi prestasi tiga dinasti dalam pergaulan dan diplomasinya dengan pemerintaha pendudukan dalam eksistensi dan penampilannya;

a. KaSunanan Surakarta

1). Paku Buwono IV menyesuaikan dan mengadaptasi dengan situasi dan peraturan baru serta menjalin mitra dengan kekuatan politik-ekonomi pengganti VOC-Belanda.

2). Paku Buwono IV menulis dan menghasilkan karya sastra Wulangreh

3). Paku Buwono IV dnga kepiawaian dan lihay menjalankan permainan politik dan issue issue yang menyelamatkan dan untuk kepentingan kerajaannya.

b. KaSultanan Yogyakarta

1). Hamengku Buwono II terjebak kedalam konflik internal kerajaan yang melibatkan kerabat dalam sendiri.Intrik dan konflik yang tidak bisa ditanganinya menyebabkan kemerosotan eksistensi KaSultanan Yogyakarta.

2). Hamengku Buwono II terhimpit oleh jaringan kelompok kelompok kepentingan dalam keraton yang sulit didamaikan dan potensi mengundang campur tangan pihak luar istana untuk memenangkan tujuan dan kepentingan masing masing kelompok yang saling bertikai/konflik.

3). Hamengku Buwono II mengalami pemakzulan sebagai Sultan dengan pemaksaan kekuatan militer yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles.Akibat yang lebih jauh kekuasaan Kasultanan dibelah dengan munculnya Paku Alaman yang mengambil wilayah 4000 karya dari Kasultanan.

c. Mangkunegaran

1). Mangkunegara II membentuk Korps militer bersenjata pilihan dengan nama Legiun mangkunegaran

2). mangkunegara II memperluas wilayah mangkunegaran dari 4000 karya menjadi 5000 karya serta memperbesar jumlah personil Legiun Mangkunegaran' dari 800 menjadi 1150 personil dan akhirnya 1500 personil.

3). Mangkunegara II mengadakan penyerbuan ke Yogyakarta untuk mencegah meluasnya konflik internal keluarga dan mencegah pembubaran KaSultanan Yogyakarta.


5. Dinasti Yang Penuh Konflik

Mataram adalah sebuah dinasti yang penuh dengan konflik dan pertentangan sehingga tidak mengherankan kalau sekitar keberadaan Mataram dari sejak semula berdiri sampai hari ini menjadi bahan kajian dan penulisan dari berbagai kalangan terpelajar baik dalam negeri maupun luar. Riwayat Mataram adalah riwayat mati dan hidupnya Negara Jawa dalam ketradisionalannya.Pada masa Mataram ini konsep nasionalisme belum muncul tetapi rakyat sudah diajari untuk memetakan bahwa tidak adanya persatuan dalam menghadapi lawan bersama adalah kelemahan.

Negara Kerajaan Mataram pada hakikatnya adalah monarki absolut yang kurang dapat mengimplementasikan keabsolutannya kedalam pemerintahan yang kuat.Ilmu pemerintahan dan ideologi pada masa Mataramitu belum ada dan untuk menerangkan kepada masyarakat tentang kehidupan bernegara maka sarana yang dipergunakan adalah elemen elemen kebudayaan, agama, seni pertunjukan wayang dan mitos mitos sebagai penguat legitimasi.

Ketika Belanda menjadi unsur stabilisator yang menjadikan Mataram stabil, tak kurang disini ditemui beberapa hal yang menjadikan cermatan bahwa para personil Belanda di Jawa adalah para bandit yang berkedok dermawan kepada penguasa Mataram.Peristiwa klasik yang dapat dilihat adalah peristiwa pemahkotaan Amangkurat II yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Mataram.Kapten Tack seorang perwira Belanda medapat kehormatan untuk menyematkan Mahkota Mataram ke Amangkurat II. Mahkota yang dipakai raja baru ini sudah hilang beliannya si Mahkota karena di ambil oleh Kapten Tack.

Referensi

   * Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
   * Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
   * Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
   * Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
   * Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
   * Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
   * Ricklefs, MC., Johjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.


BAB III SILANG TRADISI

A. Pendahuluan

Tradisi Mataram adalah ke khasan Style Mataram yang dipergunakan oleh para elite kerajaan yang kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya. Ke khasan itu mencakup di dalam nya budaya yang khas dalam mengelola kepemilikan dan dalam mengelola kekuasaan.Warisan tradisi Mataram adalah warisan dari para pendahulu yang diwariskan ke generasi berikutnya secara turun temurun.

Surakarta atau yang terkenal dengan sebutan Soloadalah kota Kraton Mataram yang pindah akibat kraton lama di Kartasura sudah diduduki oleh kelompok yang dalam istilah jawanya adalah Njongkeng Kawibawan lan Keprabon. Solo dipilih sebagai kota Kerajaan yang baru bagi Mataram.

B. Perjumpaan Kultur Belanda Dengan Jawa

Belanda mendapatkan apa yang diinginkan sehingga hak dan kewenangan untuk mengelola Mataram berada ditangannya setelah Sunan Mataram berhasil diperdaya menandatangani perjanjian. Inilah gaya Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di tanah Jawa. [sunting] Responsivitas Kultur Jawa

C. Responsivitas Kultur Jawa

Kemenangan Belanda merebut Mataram mengundang respon kalangan elite dan ningrat jawa yang memobilisasi massa rakyatnya untuk menanggapi style Belanda yang dengan gemilang mencapai maksud dan tujuannya. Mataram melalui para pewaris tahta yang sudah kehilangan keabsahannya serentak bersatu padu angkat senjata melawan Belanda. Ini lah gaya Jawa dalam menanggapi pencurian kekuasaan dari Belanda.Sang Pencuri diburu dan diserbu bersama.

Persatuan itu penting dan memiliki kekuatan maka masyarakat Jawa secara tidak langsung yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekuatan bersenjata, menghadapi Belanda yang mencuri kekuasaan tumbuh kesadaran untuk bersatu.

D. Musyawarah Permulaan

Kekuatan yang bersatu di tanah Jawa secara drastis berbalik menjadi perpecahan.Lagi lagi disini style Jawa menampakan karakter yang dalam meraih kekuasaan mengabaikan peran dan pesan sponsor dari yang namanya moral.Dua tokoh pucuk pimpinan barisan yang berkekuatan mampu membekuk Belanda tiba tiba berkonflik sendiri dan pecah kelompok.Dari kelompok Mangkubumi melihat peluang bahwa musyawarah dengan Belanda untuk mencapai kata mufakat memberikan keuntungan untuk mendapat kesempatan memegang kekuasaan di Jawa.Kesempatan emas yang bakal menghilang kalau tidak digunakan dengan sebaik baiknya ini tentu akan melayang hilang.mangkubumi yang sebelumnya bermusuhan dengan Belanda sekarang mengadakan musyawarah di Giyanti untuk mencapai kata mufakat.

E. Musyawarah Lanjutan

Musyawarah yang sudah di laksanakan di giyanti ternyata hanya permulaan bagi bagi kekuasaan dan disini Mas Said yang dikibuli oleh Mangkubumi melampiaskan kemarahan kepada mereka berdua.Garnisun Belanda dihadang dan dihancurkan kemudian pasukan pasukan yang dikonsentrasikan di Surakarta dan Yogyakarta serta tempat tempat strategis lainnya.Terhadap Mangkubumi disini Mas Said memberi tekanan militer dan ancaman terhadap robohnya Keraton yang sedang dibangun.

Mangkubumi dan Paku Buwono III berunding dengan Belanda untuk nyaman dan tenang dalam mendirikan Kratonnya yang baru. Akhirnya Paku Buwono III mendekati Mas Said untuk berunding dan bermusyawarah.Kesepakatan tercapai dengan hasil mufakat yang berat karena Mas Said memperoleh wilayah dari dua kerajaan terbagi.Dari Yogyakarta dapat Ngawen di Gunung Kidul kemudian dari Surakarta mendapat karanganyar, Wonogiri dan Malangjiwan.

Surakarta dan Yogyakarta dengan berat hati terpaksa melepas wilayah wilayah itu berhubung ingin segera cepat terselesaikannya pembangunan Kraton sehingga dengan segera dapat dihuni dan dipergunakan untuk bekerja sebagaimana layaknya Kerajaan.

F. Perjumpaan Kultur

Style budaya Belanda yang berkaca Barat dalam perjumpaannya dengan style kultur Jawa yang berkaca Timur melahirkan suatu sintesa Style baru yang kemudian diadopsi dan dilahirkan kembali menjadi Jawa. Bentukan dan wacana diri dari dua kultur menjadikan satu dengan yang lainnya saling mengisi dan menyerap.Orang orang Belanda yang berkecimpung di lapangan pergaulan dengan Jawa menampakan style yang ke Jawa an bahkan dari mereka memiliki potensi dicintai orang Jawa lantaran style dan kebiasaan mereka melebihi orang jawa sendiri.Tidak mengherankan bahwa style kepura puraan yang menjadi tampilan untuk menjaga keselarasan umum untuk orang Belanda sudah bukan barang baru lagi.Belanda sangat mahir sekali dalam kepura puraan dalam menjalankan rencana globalnya menguasai setiap wilayah Jawa.Sikap kepura puraan sebagai taklukan yang membikin penguasa Jawa melambung melayang layang penuh keagungan adalah sebuah contoh tersendiri bagi perjumpaan kultur ini.

Jawa tidak berbeda jauh, sikap sikap Belanda yang saklek dan main kuasa tanpa tersadari merembet jauh dalam peri kehidupan masyarakat Jawa dan para pemimpinnya sehingga dalam menunjukan kekuasaan dan keagungannya model model Belanda banyak yang diangkut dan diJawakan.Bentukan diri dan wacana lingkungan telah melahirkan kultur baru dalam masyarakat Jawa dan terwariskan pada generasi berikutnya.Hubungan emosional antara Jawa dengan Belanda telah melahirkan elite elite baru kebudayaan yang kelak kemudian hari menjadi model bagi penguasa di bumi Nusantara/indonesia.

Sebagai suatu komparasi terhadap pertemuan pertemuan Kultur diatas dapat dikemukakan disini suatu perbedaan perbedaan yang menandakan bahwa kultur Belanda mengalir dan diJawakan,maksudnya sebagian yang merupakan kecocokan dan ketepatan bagi manusia Jawa kultur baru bukanlah sesuatu yang buruk.

1. Jawa Surakarta

Usai bermufakat di Giyanti, Surakarta tampil dengan gaya Jawa yang banyak mengadopsi dan menjinakkan style barat menjadi Jawa dan dipakai sebagai kepemilikannya.Segalam macam inovasi dan terobosan dalam perjumpaannya dengan kultur barat diolah dan diJawakan seturut dengan pangkat dan jabatannya.

Lingkungan Kasunanan meski mengambil terhadap yang baru tetapi cengkeraman terhadap yang lama tetap tidak tergoyahkan sehingga dalam beberapa hal pengambilan yang baru tidak melulu totalitas atau mengganti. Disamping Kasunanan di Surakarta terdapat juga Mangkunegaran yang terbuka terhadap ide ide baru sampai kemudian seluruh hal yang dikatakan baru yaitu Kultur barat dirombak dan dijadikan Jawa.

2. Jawa Yogyakarta

Kasultanan Yogyakarta dalam menghadapi jaman baru pasca permufakatan di Giyanti seolah olah membendung kultur kultur baru yang masuk tetapi beberapa yang menjadikan kebanggaan dan spirit diadopsinya juga kedalam keJawaannya semisal model berpakaian dan pengguntingan rambut menjadi pendek (walaupun masih ada pula yang tetap membiarkan rambutnya panjang). Paku Alaman di Yogyakarta condong meniru gaya Surakarta untuk melakukan adopsi adopsi baru yang kemudian sebagai pembentukan pribadi Jawa melahirkan keberbedaan dengan Kasultanan dalam wujud luar.

3. Konggres Kebudayaan Jawa

Kebudayaan tidak bakalan tunduk kepada kekuasaan atau juga bujuk rayu imbalan material, demikian juga yang namanya kebudayaan Jawa.Pangeran Mangkunegara VII untuk kebangkitan kebudayaan Jawa bersedia memprakarsai diselenggarakannya konggres kebudayaan jawa yang berlangsung di Surakarta.

4. Kebudayaan Yang Integral

Kebudayaan Jawa secara integral merupakan komponen yang membentuk kebudayaan bangsa Indonesia melalui beberapa bidang seperti kesenian, pola kepemimpinan sipil dan militer serta jiwa dan semangat kehidupan.

5. Inkulturasi Kebudayaan

Tradisi dan style dari luar yang sudah berkembang di dalam perjumpaan dengan Jawa kedalam kebudayaan Jawa dan Indonesia sendiri semakin diperkuat dan diidentitaskan menjadi semakin integral dengan bangsa Indonesia.

6. Menuju Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Indonesia telah disusun berdasarkan dengan landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan idiil Pancasila.


Referensi

   * Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
   * Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
   * Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
   * Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
   * Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
   * Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
   * Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.


.mn