Pengguna:Rangga Suryo/Buku/Rangga Suryo/Buku/MN

Judul
Subjudul
Silakan pilih gambar sampul untuk buku ini. Lihat "Templat:Buku tersimpan" untuk instruksi lengkap."
Ini adalah buku pengguna yang merupakan koleksi artikel yang dapat dengan mudah dirender secara elektronik, dan dipesan sebagai buku cetak. Jika Anda pembuat buku ini, dan memerlukan bantuan, silakan lihat Bantuan:Buku.

Sunting buku ini: Pembuat buku · Teks wiki
Pilih format untuk diunduh:
Pesan buku tercetak dari penerbit berikut: PediaPress
Tentang ] [ Lanjutan ] [ FAQ ] [ Umpan balik ] [ Bantuan ] [ ProyekWiki ] [ Perubahan terbaru ]


MANGKUNEGARAN DALAM BERBAGAI GEJOLAK

(Peranan Bebas Dan Aktif Dalam Menggapai Solusi)


BAB I : LAHIRNYA KERAJAAN

A. Pendahuluan

Mangkunegaran adalah suatu dinasti yang berasal dari dinasti Mataram. Cikal bakal dari dinasti ini adalah Pangeran Sambernyawa yang bertahta sebagai Mangkunegara I.Istana Mangkunegaran sebagai tempat raja dan pusat pengendalian kekuasaan politik didirikan setelah ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga.

Posisi Mangkunegaran dalam sistem dan struktur politik Jawa menempati kedudukan yang istimewa karena berdirinya Mangkunegaran merupakan hasil perjuangan (Ricklefs,1991).Pangeran Sambernyawa sebagai cikal bakalnya telah memulai perjuangan sejak berumur 16 tahun ketika panggilan perjuangan memanggilnya.Keulungan Mangkunegara I dalam kemiliteran sangat teruji sekalipun dikhianati oleh mertuanya Pangeran Mangkubumi yang demi mendapatkan separuh Mataram rela menggabungkan diri dengan Belanda sehingga Mangkunegara I harus menghadapi 3 kekuatan gabungan.

B. Istana Mangkunegaran

Dalam kancah politik Jawa Istana Mangkunegaran dengan penguasanya Mangkunegara tampil dengan penguatan yang bersifat rasional. Dua penguasa Jawa lainnya di istana Surakarta dan Yogyakarta membangun kekuasaan untuk keagungan sebagai penguasa menempuh jalan penguatan simbolik simbolik sedangkan Mangkunegaran membangun kemegahan kekuasaan dengan jalan rasional dan aksi.Rasionalisasi kekuasaan ini tampak dalam masa pemerintahan Mangkunegara II yang melanjutkan pendahulunya Mangkunegara I.

Pembangunan rasional ditempuh untuk kepentingan dan kekuatan kerajaan sehingga kemakmuran yang dicapai bisa mengalir kebawah kepada kawulanya.Pembangunan militer yang kuat dan ekonomi beriring dengan karya karya sastera yang sampai sekarang tetap aktual dan menjadi rujukan bagi masyarakat Jawa.

C. Raja Mangkunegaran

Penguasa Mangkunegaran secara resmi bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang yang ke I, II, III...dan seterusnya dan secara fleksibel disebut dengan Mangkunegara dengan tambahan angka Romawi di belakangnya yang menunjukan pada yang sedang bertahta.Gelar dari raja Mangkunegaran ini benar benar murni Jawa tanpa tambahan kata kata asing semisal Panatagama.Keaslian Jawa dalam figur Mangkunegaran ini yang oleh beberapa penulis asing dinyatakan sebagai takdir. Mangkunegaran ditakdirkan berdiri untuk mengembalikan segala sesuatu dari Jawa yang hilang.

Selewat peperangan yang berlarut larut sampai dilalui nya Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, Mangkunegaran menjadi kekuatan penyeimbang yang masih selalu menampakan kegarangannya dalam memainkan kartu kartu konfliknya. Kedudukan penguasa Mangkunegaran adalah Raja Muda dan ini yang oleh pendahulunya diperjuangkan untuk menuju kemandiriannya tanpa mau didikte. Mangkunegaran tidak segan segan memainkan kekerasan dalam menghadapi kekuasaan lain yang merongrong wibawa dan eksistensinya.

Para Raja yang bertahta di Mangkunegaran dari setiap generasi tampil dengan cakap dan lihay untuk kerajaannya karena pada hakikatnya regenerasi di kerajaan ini betul betul disiapkan. Seorang putra mahkota yang bakal menjadi Mangkunegara berikutnya sejak remaja selalu disiapkan dengan memberikan beban tanggung jawab secara langsung dan berjenjang.Gelar Pangeran Prangwadana selalu menyertai bagi putra mahkota kerajaan.

Sejak tahun 1757 berturut turut yang bertahta di Istana Mangkunegaran adalah;


1. Mangkunegara I (1757-1795)

2. Mangkunegara II (1796-1835)

3. Mangkunegara III (1835-1853)

4. Mangkunegara IV (1853-1881)

5. Mangkunegara V (1881-1896)

6. Mangkunegara VI (1896-1916)

7. Mangkunegara VII (1916-1944) 8. Mangkunegara VIII (1944-1987)

9. Mangkunegara IX (1987-sekarang)


D. Lokasi Mangkunegaran

Istana Mangkunegaran berlokasi di Kota Surakarta di jalan Ronggowarsito dan bangunan menghadap ke Selatan.Sebagai kerajaan yang terbuka dengan ide ide baru perjumpaan Kebudayaan jawa dengan Eropa dicermati dengan seksama dan di akulturasikan menjadi milik Jawa.Akulturasi ini di inkulturasi sampai unsur dan elemen Eropa menjadi semakin Jawa.

E. Bangunan Istana

Istana Mangkunegaran berdiri sejak tahun 1757 dan pada waktu awal mula berdiri komplek istana belum dilengkapi dengan Pendapa. Bangunan Pendapa dengan atap Joglo baru dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara IV yakni tahun 1866.Surakarta yang kental dengan kebiasaan kebiasaan Jawa mengadopsi style Eropa yang dijadikannya menjadi Jawa tampil dalam hal pembangunan fisik.

Bangunan Jawa secara prinsipial tidak mengenal adanya teras atau elemen serambi karena elemen ini merupakan ke khas an dari villa villa di Eropa.Bangunan Jawa yang tanpa mengenal serambi ini dipadukan dengan elemen Eropa secara visual dan fungsional menghadirkan keindahan dan kegunaan terwariskan secara tradisi kegenerasi berikutnya.Aliran klasik dan neoklasik Eropa berpadu dengan semangat neoklasik Jawa menghadirkan pengolahan tata ruang yang secara simbolik menampilkan citra dan kegunaan aktivitas beserta ornamen dan pahatan sebagai simbolik.

Dari visualisasi bangunan, Istana Mangkunegaran mengambil corak Eropa dalam Empire Style dalam perpaduan Jawa yang menghadirkan kemaharajaan dengan keagungan dan kewibawaannya.Perpaduan antara Arsitektur Jawa dan Arsitektur Eropa terserap di Mangkunegaran yang memang terbuka untuk inovasi dan ide ide yang baru. Sistem denah menghadirkan suatu pola tatanan ruang yang tertutup dan bersifat linear.Pada kondisi struktur bangunan tampak bahwa antara atap dan dinding merupakan satu kesatuan utuh struktur dengan kata lain sistem struktur bangunan Istana menggunakan sistem strutur dinding pemikul.Penggunaan kolom kolom bulat yang terbuat dari besi tuang (cor) dengan konsol konsol besi semakin menampakan perpaduan Jawa dengan neoklasik Eropa dalam penampilannya.

Ciri utama peningalan Eropa di jawa dalam soal bangunan juga terdapat pada keluasan bidang bukaan jendela dan pintu serta skala ruang yang luas dan tinggi.Aspek keluasan ini pada intinya adalah pengolahan aspek kenyamanan penghuni dalam aktivitasnya sehari hari yang hadir di bumi beriklim tropis.

F. Mangkunegaran Masa Sekarang

Di Mangkunegaran saat ini yang bertahta adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX. Pada masa pemerintahannya sekarang beberapa bangunan di Istana mengalami Revitalisasi dengan dana bantuan dan ahli yag berasal dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Pemerintah daerah.Revitalisasi sendiri adalah upaya untuk memulihkan bangunan seperti sedia kala dengan fungsi yang berbeda. Jaman dulu gedung Kavalarry adalah Markas Legiun Mangunegaran maka sekarang bisa di fungsikan untuk aktivitas yang lain.

Referensi

  1. Lieberman,Victor B. Beyond binary histories: re-imagining Eurasia to c.1830, University of Michigan Press,USA, 1999.
  2. Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi
  3. Carey, Peter, 'Civilization on Loan: The Making of an Upstart Polity: Mataram Its Successors 1600-1830
  4. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/06/28/58203/Revitalisasi-Mangkunegaran-

Libatkan-BP3


BAB II : SITUASI GLOBAL MATARAM

Solo adalah tempat atau ibukota Kraton Mataram sedangkan Giyanti, Salatiga dan Magelang adalah tempat yang menyisakan catatan catatan sejarah Mataram. Perhelatan kekuasaan Mataram meninggalkan jejak jejak nya di tempat tempat termasud; Solo, Giyanti (Sragen), Salatiga dan Magelang. Sebelum berpusat di Surakarta di desa Solo, ibukota Mataram di Kartasura.Perpindahan pusat pemerintahan ini mengikuti pola tradisi kraton-kraton Jawa bahwa kraton lama yang sudah diduduki oleh lawan dipercaya tidak membawa keberuntungan dan harus didirikan yang baru.Demikian juga dengan Mataram yang diKartasura telah membawa penggulingan Paku Buwono II dari tampuk kekuasaan menjadi alasan kuat untuk melakukan perpindahan.

A. Belanda Merebut Kekuasaan Mataram

Melalui usulan dan perjanjian yang ditanda tangani oleh Sunan Paku Buwono II akhirnya Belanda mendapatkan kewenangan dan kendali kekuasaan atas Kerajaan Mataram.Belanda mendapatkan itu semua dari Sunan yang sedang terbaring dalam ranjangnya pada saat saat yang terakhir. Dengan Kewenangan itu Belanda memberi ijin dan mengangkat putra Paku Buwono II sebagai Paku Buwono III.

B. Mataram Terbelah

Kemenangan Belanda merebut Mataram bukan berarti tanpa perlawanan. Penentangan terhadap otoritas dan kehadirannya di Mataram mengundang persekutuan baru yang melancarkan agresi penyerangan kepada Belanda.Persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said menentang pengangkatan itu tak bisa dihindari dan defacto Mataram terpecah kedalam dua kekuatan yang saling berhadapan.Sebagai Sunan tandingan Mas Said menjadikan mertuanya Mangkubumi sebagai penguasa tandingan di Mataram sedangkan dirinya menempatkan diri sebagai patih dan panglima perang.

Persekutuan yang merupakan kekuatan besar yang hampir saja mencapai kemenangan akhir secara tiba tiba pecah menjadi dua kelompok mengikuti pemimpinnya; Mas Said dan Mangkubumi.Perpecahan persekutuan ini juga membawa akibat terbelahnya Mataram kedalam beberapa Dinasti atau Wangsa.

C. Perundingan I Pembagian Mataram

Perundingan di Giyanti sering disebut sebagai Perjanjian Giyanti yang merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan dan juga membentuk suatu persahabatan baru.Perjanjian yang ditanda tangani 13 Februari 1755 ini merupakan ekor dari perpecahan Mangkubumi dengan Mas Said.Perjanjian Giyanti ini merupakan persekutuan baru dari yang bermusuhan menjadi persahabatan untuk melenyapkan musuh bersama Mas Said.Seain itu perjanjian ini juga merupakan Proklamasi' dari Mangkubumi terhadap perpecahan yang dihadapi dengan menantunya Mas Said.Siratan dari Perjanjian Giyanti ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mangkubumi tanpa persekutuan dengan Mas Said berhasil menjadi Raja meskipun hanya menjadi Raja di separuh wilayah Mataram.

2. Mangkubumi membutuhkan Belanda untuk bisa menjadi Raja sekaligus dukungan dan bantuan untuk melenyapkan pesaing utamanya Mas Said.

3. Mangkubumi bersedia mengalah kepada Belanda tetapi kepada Mas Said adalah sebaliknya.

4. Mangkubumi memberikan keyakinan kepada Mas Said bahwa tanpa persekutuan dengannya Mas Said tidak bisa mencapai kemenangan akhir mengusir Belanda dari Mataram.

5. Mangkubumi kepada Mas Said menantu secara implisit dengan Perjanjian Giyanti menyampaikan maksud bahwa dirinya mampu mencapai level legitimasi kerajaan sebagai Sultan meskipun terikat perjanjian dengan Belanda.

6. Dengan Perjanjian Giyanti Mangkubumi melegitimasi diri sebagai penguasa kerajaan yang secara sah memiliki kewajiban menumpas pemberontak atau kekuatan kekuatan yang menentang Kerajaan.

D. Perundingan II Pembagian Mataram

Seperti hal nya di Giyanti, Perundingan di Salatiga sering disebut sebagai perjanjan Salatiga yang juga merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan sekaligus jembatan untuk naik dalam struktur politik Jawa.Perjanjian yang ditanda tangani 17 Maret 1757 ini memberikan siratan yang hampir serupa dengan 'Perjanjian Giyanti. Perjanjian Salatiga memberikan suatu yang tersirat dari Mas Said yang menyampaikan pesan sebagai berikut;

1. Mas Said menghidupkan kembali kartu mati Paku Buwono III dalam neraca permainan politik di Jawa.Paku Buwono III menjadi berfungsi kembali dalam percaturan politik.

2. Mas Said tanpa Belanda dan Mangkubumi berhasil menjadi Raja Muda dengan mendapatkan wilayah kekuasaan yang diambil dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

3. Mas Said memberikan keyakinan kepada mertuanya Mangkubumi bahwa tanpa persekutuan dengan Mangkubumi masih membuktikan keunggulannya dengan menggulung kekuatan gabungan sampai menewaskan Van Der Poll dan ancaman pembakaran Kraton Mangkubumi.Van der Poll adalah pahlawan perang Madura dan komandan utama pasukan gabungan.

4. Mas Said dengan merangkul Paku Buwono III kepada mertuanya Mangkubumi menyampaikan suatu kritik secara tersirat bahwa pecahnya Mataram menjadi dua bagian bukan keinginannya melainkan keinginan Mangkubumi.Belanda sampai kapan pun tidak akan mengijinkan Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang tunggal.Pembagian Mataram selain ijin Belanda juga kesepakatan Mangkubumi.

5. Mas Said kepada mertuanya Mangkubumi secara implisit memberikan khabar bahwa terancamnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun merupakan pesan bahwa Mas Said menantunya tidak layak dimusuhi karena taruhannya adalah robohnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun.

6. Dengan Perjanjian Salatiga Mas Said melenyapkan stigma pemberontak bagi dirinya dan masuk dalam kancah struktur percaturan politik Jawa secara sah sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan.

E. Stabilitas Mataram Yang Dipaksakan

Riwayat Mataram akhirnya sampai pada perundingan di Magelang yang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. Perjanjian Giyanti dan Salatiga ternyata masih menyimpan Bara dalam sekam karena tahun 1825-1830 Jawa kembali diacak acak oleh peperangan. Dalam perjalanan waktu sampai pada perundingan di Magelang disini dapat ditelusur lintasan dari pasang surutnya wangsa atau dinasti Mataram dalam mempertahankan keberadaannya.Berakhirnya Perang Jawa ini menandai terselenggaranya suatu kawasan yang stabil di Mataram dengan penyederhanaan wilayah masing masing dinasti.

1. Dinasti Baru

Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu Dinasti Pakubuwanan dan Dinasti Hamengkubuwanan sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu Dinasti Mangkunegaran. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.

Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.

2. Persaingan Dan Rivalitas Dinasti

Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai jaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.

Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur.Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.

3. Tiga Serangkai Dinasti Pendahulu

Tiga serangkai sebagai generasi pendahulu dalam dinasti itu adalah; Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. Dari ketiganya Mangkunegara I adalah yang paling menyulitkan posisi Belanda dalam membuat neraca keseimbangan kekuasaan politik di Jawa.Paku Buwono III dan Hamengku Buwono I terhadap Belanda relatif lebih lunak dan bersahabat ketimbang Mangkunegara I.

Dalam masa pemerintahan Tiga SerangkaiMataram ini berbagai kejadian yang menggoyang keseimbangan selalu muncul silih berganti seiring dengan lemahnya posisi Belanda dalam kekuatan militer dan finansial. Mangkunegara I yang dalam Perjanjian Salatiga dilantik dengan upacara istimewa (Soekanto, Dr., 1952) kerap mbolos untuk tidak hadie dalam audience Kraton Kasunanan dan kalau pun hadir selalu dikawal dengan pasukan bersenjata yang berlebihan.Mangkunegara I terkena aturan harus sowan dalam audience dengan Sunan di Kraton tetapi sering bikin ulah dan akal akalan untuk menunjukan kekuatan dan independensinya.

Perilaku Mangkunegara I ini tak kurang merembet juga ke Yogyakarta yang secara diam diam para perwiranya masih menyimpan simpatik kepada Mangkunegara I. Di Yogyakarta serombongan perwira Belanda terluka di tusuk senjata tikam oleh Raden Rongga Prawiradirja.Insiden ini menyebabkan Sultan turun tangan untuk mendamaikannya.

Kasunanan yang tidak banyak ulah dan menyulitkan Belanda selewat Paku Buwono III terbukti menciptakan kepanikan luar biasa karena persekutuannya dengan kaum ulama yang mengancam terjadinya perang terbuka kembali. Kasunanan menjelang akhir abad 17 menjadi sumber desas desus dan intrik yang menggoyang Jawa.

4. Tiga Serangkai Dinasti Penerus

Perjalanan Mataram yang terpecah dalam tiga dinasti sudah melangkah jauh meninggalkan Giyanti/Sragen dan Salatiga dan para peintisnya telah digantikan oleh para keturunannya yang melanjutkan cita cita dan gagasan gagasannya untuk kerajaan yang menjadi bagiannya. Paku Buwono III wafat tahun 1788, Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta dan Mangkunegara I dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.

Dengan demikian maka pada akhir abad 17 dan awal abad 18 tiga dinasti di jawa ini selanjutnya dipegang oleh; Paku Buwono IV, Hamengku Buwono II dan Mangkunegara II.

Pada awal abad 18 (tahun 1800) VOC-Belanda dibubarkan dan diwarisi oleh pemerintah kerajaan Belanda. KetikaBelanda diserbu Napoleon dan dianeksasi kedalam wilayah Perancis maka wilayah diseberang lautan yaitu Hindia Belanda menjadi kewenangan Perancis yang mengirimkan Daendels datang ke Jawa.

Dalam waktu relatif singkat selama lebih kurang 10 tahun, di jawa telah berganti para Gubernur Jenderal di Batavia dari Perancis ke Inggris kemudian Belanda. Masa pemerintahan Daendels dan Raffles ini dapat diketahui prestasi prestasi tiga dinasti dalam pergaulan dan diplomasinya dengan pemerintaha pendudukan dalam eksistensi dan penampilannya;

a. KaSunanan Surakarta

1). Paku Buwono IV menyesuaikan dan mengadaptasi dengan situasi dan peraturan baru serta menjalin mitra dengan kekuatan politik-ekonomi pengganti VOC-Belanda.

2). Paku Buwono IV menulis dan menghasilkan karya sastra Wulangreh

3). Paku Buwono IV dnga kepiawaian dan lihay menjalankan permainan politik dan issue issue yang menyelamatkan dan untuk kepentingan kerajaannya.

b. KaSultanan Yogyakarta

1). Hamengku Buwono II terjebak kedalam konflik internal kerajaan yang melibatkan kerabat dalam sendiri.Intrik dan konflik yang tidak bisa ditanganinya menyebabkan kemerosotan eksistensi KaSultanan Yogyakarta.

2). Hamengku Buwono II terhimpit oleh jaringan kelompok kelompok kepentingan dalam keraton yang sulit didamaikan dan potensi mengundang campur tangan pihak luar istana untuk memenangkan tujuan dan kepentingan masing masing kelompok yang saling bertikai/konflik.

3). Hamengku Buwono II mengalami pemakzulan sebagai Sultan dengan pemaksaan kekuatan militer yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles.Akibat yang lebih jauh kekuasaan Kasultanan dibelah dengan munculnya Paku Alaman yang mengambil wilayah 4000 karya dari Kasultanan.

c. Mangkunegaran

1). Mangkunegara II membentuk Korps militer bersenjata pilihan dengan nama Legiun mangkunegaran

2). mangkunegara II memperluas wilayah mangkunegaran dari 4000 karya menjadi 5000 karya serta memperbesar jumlah personil Legiun Mangkunegaran' dari 800 menjadi 1150 personil dan akhirnya 1500 personil.

3). Mangkunegara II mengadakan penyerbuan ke Yogyakarta untuk mencegah meluasnya konflik internal keluarga dan mencegah pembubaran KaSultanan Yogyakarta.


5. Dinasti Yang Penuh Konflik

Mataram adalah sebuah dinasti yang penuh dengan konflik dan pertentangan sehingga tidak mengherankan kalau sekitar keberadaan Mataram dari sejak semula berdiri sampai hari ini menjadi bahan kajian dan penulisan dari berbagai kalangan terpelajar baik dalam negeri maupun luar. Riwayat Mataram adalah riwayat mati dan hidupnya Negara Jawa dalam ketradisionalannya.Pada masa Mataram ini konsep nasionalisme belum muncul tetapi rakyat sudah diajari untuk memetakan bahwa tidak adanya persatuan dalam menghadapi lawan bersama adalah kelemahan.

Negara Kerajaan Mataram pada hakikatnya adalah monarki absolut yang kurang dapat mengimplementasikan keabsolutannya kedalam pemerintahan yang kuat.Ilmu pemerintahan dan ideologi pada masa Mataramitu belum ada dan untuk menerangkan kepada masyarakat tentang kehidupan bernegara maka sarana yang dipergunakan adalah elemen elemen kebudayaan, agama, seni pertunjukan wayang dan mitos mitos sebagai penguat legitimasi.

Ketika Belanda menjadi unsur stabilisator yang menjadikan Mataram stabil, tak kurang disini ditemui beberapa hal yang menjadikan cermatan bahwa para personil Belanda di Jawa adalah para bandit yang berkedok dermawan kepada penguasa Mataram.Peristiwa klasik yang dapat dilihat adalah peristiwa pemahkotaan Amangkurat II yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Mataram.Kapten Tack seorang perwira Belanda medapat kehormatan untuk menyematkan Mahkota Mataram ke Amangkurat II. Mahkota yang dipakai raja baru ini sudah hilang berliannya di Mahkota karena di ambil oleh Kapten Tack.

Para petualang yang tergabung dalam korps militer Belanda memang sudah ditengarai membawa penyakit ketidak beresannya dalam kapasitas sebagai pegawai di dinas kemiliteran VOC-Belanda. Stabilitas dan ketenteraman di Jawa bagi sebagian orang Belanda yang dinas di militer sangat tidak menguntungkan posisinya karena peran dan penghasilan mereka sebagai pegawai menjadi berkurang (Soekanto, Dr.,1952).Tambahan penghasilan dan karir dalam dinas menjadi berarti ketika tenaga dan keberadaan mereka dibutuhkan dan ini hanya terjadi jika konflik yang berujung perang terbuka terjadi.

Dinasti Mataram sepanjang sejarahnya adalah dinasti penuh dengan konflik antar keluarga yang sedang memegang tampuk kekuasaan.Yogyakarta sebagai pecahan dari Mataram tidak terkecuali pula dalam hal ini.Kekerabatan di Kasultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti meningkat dengan pesat.Peningkatan ini disebabkan tingkat kelahiran di kalangan bangsawan Yogyakarta lebih tinggi dibanding dua kerabat Kraton yang lain (Lihat: Ricklefs, MC.,2002).

Meningkatnya jumlah keturunan di Yogyakarta tidak diimbangi dengan kekompakan diantara para pewaris yang mengakibatkan terjadinya banyak kesedihan pada diri Sultan (Soekanto, Dr.,1952).Koflik yang bermula diantara para pewaris Yogyakarta ini lantas sedikit banyak mengundang pihak luar untuk terseret dan campur tangan.

Konflik yang semakin panas dan tegang sudah dapat ditengarai tradisi Mataram yang lama bakal muncul kembali.Tradisi yang menyelesaikan permasalahan dengan kekuatan bersenjata adalah cara klasik yang kembali dipergunakan untuk mengakhiri suatu konflik sampai seorang yang menang mengungguli dan mengatasi yang lain.

Referensi

   * Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
   * Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
   * Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
   * Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
   * Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
   * Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
   * Ricklefs, MC., Johjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.


BAB III SILANG TRADISI

A. Pendahuluan

Tradisi Mataram adalah ke khasan Style Mataram yang dipergunakan oleh para elite kerajaan yang kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya. Ke khasan itu mencakup di dalam nya budaya yang khas dalam mengelola kepemilikan dan dalam mengelola kekuasaan.Warisan tradisi Mataram adalah warisan dari para pendahulu yang diwariskan ke generasi berikutnya secara turun temurun.

Surakarta atau yang terkenal dengan sebutan Soloadalah kota Kraton Mataram yang pindah akibat kraton lama di Kartasura sudah diduduki oleh kelompok yang dalam istilah jawanya adalah Njongkeng Kawibawan lan Keprabon. Solo dipilih sebagai kota Kerajaan yang baru bagi Mataram.

B. Perjumpaan Kultur Belanda Dengan Jawa

Belanda mendapatkan apa yang diinginkan sehingga hak dan kewenangan untuk mengelola Mataram berada ditangannya setelah Sunan Mataram berhasil diperdaya menandatangani perjanjian. Inilah gaya Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di tanah Jawa. [sunting] Responsivitas Kultur Jawa

C. Responsivitas Kultur Jawa

Kemenangan Belanda merebut Mataram mengundang respon kalangan elite dan ningrat jawa yang memobilisasi massa rakyatnya untuk menanggapi style Belanda yang dengan gemilang mencapai maksud dan tujuannya. Mataram melalui para pewaris tahta yang sudah kehilangan keabsahannya serentak bersatu padu angkat senjata melawan Belanda. Ini lah gaya Jawa dalam menanggapi pencurian kekuasaan dari Belanda.Sang Pencuri diburu dan diserbu bersama.

Persatuan itu penting dan memiliki kekuatan maka masyarakat Jawa secara tidak langsung yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekuatan bersenjata, menghadapi Belanda yang mencuri kekuasaan tumbuh kesadaran untuk bersatu.

D. Musyawarah Permulaan

Kekuatan yang bersatu di tanah Jawa secara drastis berbalik menjadi perpecahan.Lagi lagi disini style Jawa menampakan karakter yang dalam meraih kekuasaan mengabaikan peran dan pesan sponsor dari yang namanya moral.Dua tokoh pucuk pimpinan barisan yang berkekuatan mampu membekuk Belanda tiba tiba berkonflik sendiri dan pecah kelompok.Dari kelompok Mangkubumi melihat peluang bahwa musyawarah dengan Belanda untuk mencapai kata mufakat memberikan keuntungan untuk mendapat kesempatan memegang kekuasaan di Jawa.Kesempatan emas yang bakal menghilang kalau tidak digunakan dengan sebaik baiknya ini tentu akan melayang hilang.mangkubumi yang sebelumnya bermusuhan dengan Belanda sekarang mengadakan musyawarah di Giyanti untuk mencapai kata mufakat.

E. Musyawarah Lanjutan

Musyawarah yang sudah di laksanakan di giyanti ternyata hanya permulaan bagi bagi kekuasaan dan disini Mas Said yang dikibuli oleh Mangkubumi melampiaskan kemarahan kepada mereka berdua.Garnisun Belanda dihadang dan dihancurkan kemudian pasukan pasukan yang dikonsentrasikan di Surakarta dan Yogyakarta serta tempat tempat strategis lainnya.Terhadap Mangkubumi disini Mas Said memberi tekanan militer dan ancaman terhadap robohnya Keraton yang sedang dibangun.

Mangkubumi dan Paku Buwono III berunding dengan Belanda untuk nyaman dan tenang dalam mendirikan Kratonnya yang baru. Akhirnya Paku Buwono III mendekati Mas Said untuk berunding dan bermusyawarah.Kesepakatan tercapai dengan hasil mufakat yang berat karena Mas Said memperoleh wilayah dari dua kerajaan terbagi.Dari Yogyakarta dapat Ngawen di Gunung Kidul kemudian dari Surakarta mendapat karanganyar, Wonogiri dan Malangjiwan.

Surakarta dan Yogyakarta dengan berat hati terpaksa melepas wilayah wilayah itu berhubung ingin segera cepat terselesaikannya pembangunan Kraton sehingga dengan segera dapat dihuni dan dipergunakan untuk bekerja sebagaimana layaknya Kerajaan.

F. Perjumpaan Kultur

Style budaya Belanda yang berkaca Barat dalam perjumpaannya dengan style kultur Jawa yang berkaca Timur melahirkan suatu sintesa Style baru yang kemudian diadopsi dan dilahirkan kembali menjadi Jawa. Bentukan dan wacana diri dari dua kultur menjadikan satu dengan yang lainnya saling mengisi dan menyerap.Orang orang Belanda yang berkecimpung di lapangan pergaulan dengan Jawa menampakan style yang ke Jawa an bahkan dari mereka memiliki potensi dicintai orang Jawa lantaran style dan kebiasaan mereka melebihi orang jawa sendiri.Tidak mengherankan bahwa style kepura puraan yang menjadi tampilan untuk menjaga keselarasan umum untuk orang Belanda sudah bukan barang baru lagi.Belanda sangat mahir sekali dalam kepura puraan dalam menjalankan rencana globalnya menguasai setiap wilayah Jawa.Sikap kepura puraan sebagai taklukan yang membikin penguasa Jawa melambung melayang layang penuh keagungan adalah sebuah contoh tersendiri bagi perjumpaan kultur ini.

Jawa tidak berbeda jauh, sikap sikap Belanda yang saklek dan main kuasa tanpa tersadari merembet jauh dalam peri kehidupan masyarakat Jawa dan para pemimpinnya sehingga dalam menunjukan kekuasaan dan keagungannya model model Belanda banyak yang diangkut dan diJawakan.Bentukan diri dan wacana lingkungan telah melahirkan kultur baru dalam masyarakat Jawa dan terwariskan pada generasi berikutnya.Hubungan emosional antara Jawa dengan Belanda telah melahirkan elite elite baru kebudayaan yang kelak kemudian hari menjadi model bagi penguasa di bumi Nusantara/indonesia.

Sebagai suatu komparasi terhadap pertemuan pertemuan Kultur diatas dapat dikemukakan disini suatu perbedaan perbedaan yang menandakan bahwa kultur Belanda mengalir dan diJawakan,maksudnya sebagian yang merupakan kecocokan dan ketepatan bagi manusia Jawa kultur baru bukanlah sesuatu yang buruk.

1. Jawa Surakarta

Usai bermufakat di Giyanti, Surakarta tampil dengan gaya Jawa yang banyak mengadopsi dan menjinakkan style barat menjadi Jawa dan dipakai sebagai kepemilikannya.Segalam macam inovasi dan terobosan dalam perjumpaannya dengan kultur barat diolah dan diJawakan seturut dengan pangkat dan jabatannya.

Lingkungan Kasunanan meski mengambil terhadap yang baru tetapi cengkeraman terhadap yang lama tetap tidak tergoyahkan sehingga dalam beberapa hal pengambilan yang baru tidak melulu totalitas atau mengganti. Disamping Kasunanan di Surakarta terdapat juga Mangkunegaran yang terbuka terhadap ide ide baru sampai kemudian seluruh hal yang dikatakan baru yaitu Kultur barat dirombak dan dijadikan Jawa.

2. Jawa Yogyakarta

Kasultanan Yogyakarta dalam menghadapi jaman baru pasca permufakatan di Giyanti seolah olah membendung kultur kultur baru yang masuk tetapi beberapa yang menjadikan kebanggaan dan spirit diadopsinya juga kedalam keJawaannya semisal model berpakaian dan pengguntingan rambut menjadi pendek (walaupun masih ada pula yang tetap membiarkan rambutnya panjang). Paku Alaman di Yogyakarta condong meniru gaya Surakarta untuk melakukan adopsi adopsi baru yang kemudian sebagai pembentukan pribadi Jawa melahirkan keberbedaan dengan Kasultanan dalam wujud luar.

3. Konggres Kebudayaan Jawa

Kebudayaan tidak bakalan tunduk kepada kekuasaan atau juga bujuk rayu imbalan material, demikian juga yang namanya kebudayaan Jawa.Pangeran Mangkunegara VII untuk kebangkitan kebudayaan Jawa bersedia memprakarsai diselenggarakannya konggres kebudayaan jawa yang berlangsung di Surakarta.

4. Kebudayaan Yang Integral

Kebudayaan Jawa secara integral merupakan komponen yang membentuk kebudayaan bangsa Indonesia melalui beberapa bidang seperti kesenian, pola kepemimpinan sipil dan militer serta jiwa dan semangat kehidupan.

5. Inkulturasi Kebudayaan

Tradisi dan style dari luar yang sudah berkembang di dalam perjumpaan dengan Jawa kedalam kebudayaan Jawa dan Indonesia sendiri semakin diperkuat dan diidentitaskan menjadi semakin integral dengan bangsa Indonesia.

6. Menuju Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Indonesia telah disusun berdasarkan dengan landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan idiil Pancasila.


Referensi

   * Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
   * Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
   * Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
   * Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
   * Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
   * Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
   * Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.

BAB IV Raja Muda: Aktor Dan Penonton

Sebelum disampaikan Peranan dan kapasitasnya sebagai pelaku dan aktor panggung politik kekuasaan Jawa, ada baiknya para aktor dikemukakan di bab ini sebagai para petarung kerajaan.

'A. Mangkunegara I

B. Mangkunegara II

Mangkunegara II adalah raja di Mangkunegaran yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835).Mangkunegara II merupakan keturunan langsung dari Mangkunegara I sebab ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I.

1.Asal Usul Mangkunegara II

Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.

Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

2.Pemerintahan Mangkunegara II

Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.

Nama Pangeran Surya Mataram sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan; Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.Pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sultan Hamengku buwono I. Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.Rasa curiga bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang akan menyeret kembali Belanda kedalam peperangan.Belanda tidak ingin mengulang kembali keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.Sultan Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.

Pada masa Mangkunegara I penggunaan nama selalu mengundang faktor kecurigaan dan sensitif yang tinggi karena nama memuat sejumlah harapan dan cita cita yang dapat menjadi claim bagi hegemoni dan pelebaran kekuasaan.Pemerintahan Mangkunegara II sarat dengan percaturan kekuasaan dan Mangkunegaran cenderung aktif dan ekspansif keluar Istana.Pemerintahannya yang berakhir sampai 1835 mengindikasikan bahwa Mangkunegara II terampil dan lihay dalam memainkan peran Kerajaan berhadapan dengan kekuasaan Kolonial dan Kekuasaan dua Kerajaan yang lain di Jawa ini. Mangkunegaran telah berhasil membaca tanda tanda jaman.Tiga Serangkai Penguasa kelajutan Dinasti Mataram teruji oleh jaman dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi Kerajaannya.

3.Perluasan wilayah kerajaan

Dalam pemerintahan Mangkunegara II daerah Mangkunegaran mengalami perluasan wilayah dari 4.000 cacah menjadi 5.500 cacah.Penambahan perluasan ini diperoleh semasa Raffless menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.Pada jaman Daendels sebelum Raffless kedudukan Mangkunegara sebagai Pangeran Miji ditingkatkan menjadi Pangeran pinisepuh/yang dituakan .Pada tahun 1808 Legiun Mangkunegaran dibentuk dan dibangun.Legiun ini berkekuatan 1.150 personil dan dipersenjatai untuk memperkuat kedudukan dan posisi Mangkunegaran.Pertambahan luas wilayah Mangkunegaran diikuti juga dengan penambahan jumlah personil Legiun menjadi 1.500 orang.Pembentukan dan pembangunan Legiun menggunakan dana upeti Belanda ke Mangkunegaran dan sebagai Komandan pertama adalah Mangkunegara II.Praja Mangkunegaran dalam tata praja terdiri dari daerah daerah yang meliputi; Daerah Malangjiwan, Daerah Wonogiri dan Daerah Karanganyar. Masing masing daerah dipimpin oleh seorang Wedana Gunung.

Legiun Mangkunegaran mengangkat prestise Mangkunegaran ditingkat percaturan politik yang lebih mandiri.Kekuatan untuk memaksakan kehendak dalam politik bukan sekadar tanpa tindakan melainkan alat untuk memaksakan kehendak terhadap pihak lain sudah dipersiapkan.Pembangunan Korp Legiun Mangkunegaran dilengkapi dengan pendidikan kemiliteran yang disebut sebagai Sekolah Kadet Legiun Mangkunegaran.Komandan Legiun Mangkunegaran adalah Mangkunegara yang sedang bertahta dengan pangkat kemiliteran Kolonel. Dalam Korp Legiun ini terdapat Pasukan Infantri, Kavaleri dan Artileri. Dengan Legiun Mangkunegaran maka Praja Mangkunegaran menjadi satu satunya Istana dimana tradisi tradisi militer bangsawan Jawa tetap hidup meski berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan korp Militernya Mangkunegaran tampil aktif dan lebih terbuka terhadap ide ide baru.

Penggunaan kata "Legiun" dalam Korp kemiliteran Mangkunegaran merupakan serapan ide baru dalam hubungannya dengan Perancis melalui Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Seperti Korp Elite Militer Perancis sekarang Legiun Asing yang menyatukan anggotanya dengan bahasa Perancis, demikian juga Legiun Mangkunegaran anggotanya dipersyaratkan menguasai bahasa Belanda dan bahasa Melayu.Penggunaan bahasa Melayu di Korp militer Mangkunegaran menjadi catatan tersendiri untuk Mangkunegaran dalam sumbangsihnya untuk kepentingan Nasional Indonesia, karena bahasa Melayu kemudian ditetapkan menjadi bahasa Nasional Indonesia.Mangkunegaran telah memberikan kontribusi awal jauh sebelum Bangsa Indonesia Merdeka lewat tradisi berbahasa Indonesia yang kala itu disebut sebagai bahasa Melayu.Sebagai syarat bahasa Melayu adalah wajib yang harus dikuasai oleh anggota Legiun disamping bahasa Belanda.

4.Menengahi Konflik Di Yogyakarta

a. Situasi Kekuasaan Jawa Permulaan Tahun 1800 M

Pemerintahan Mangkunegara II mengalami kesuksesan dalam meredam konflik di Yogyakarta serta membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta yakni Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah yang diambil dari Kasultanan.Sebagai Adipati yang pertama di Kadipaten yang baru ini Pangeran Natakusuma diangkat sebagai Paku Alam I dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya.Tanggal 13 Maret 1813 merupakan awal dan hari jadi Kadipaten.

Pada masa Mangkunegara II, di Yogyakarta yang bertahta adalah Hamengku Buwono II.Sultan Yogyakarta ke dua ini dalam pemerintahannya mengalami intrik dan rongrongan kekuasaan dari kerabat dan saudaranya sehingga jalannya pemerintahan Kasultanan mengalami pasang surut dan penuh dengan ketegangan dan muatan konflik yang berakibat melemahnya pemerintahan.Yogyakarta kurang siap dalam membaca perubahan abad yang menyangkut kekuatan asing/Eropa di Pulau Jawa yang berbeda dengan VOC-Belanda.Terhadap penguasa penguasa Jawa penampilan Belanda mampu memainkan peran sebagai kekuatan taklukan yang berkuasa.Belanda melayani penguasa penguasa Jawa sebagai suatu strategi tujuan untuk mendapatkan yang diinginkan.

Tahun 1807 Daendels datang ke Jawa dan membenahi admnistratif Jawa dan Nusantara dengan aturan aturan baru semacam protocular kepada penguasa penguasa setempat termasuk para raja di Jawa.Pabu Buwono IV dari Surakarta yang tadinya menolak cepat membaca situasi dan menerimanya.Mangkunegaran yang terampil dan cepat membaca perubahan jaman dengan segera merespon dan menjalin kemitraan dengan pembentukan Angkatan Bersenjata Kerajaan. Yogyakarta agak terlambat dalam membaca perubahan sehingga menerima resiko kemerosotan Kerajaan.

b. Kekuatan Eropa di Jawa

Berbeda dengan Belanda, kekuatan Eropa yang datang di tahun 1800 an itu memiliki militer sebagai kekuatan pemaksa terhadap pembangkangan.Sama sama dari Eropa, kekuatan Eropa yang datang adalah kekuatan Revolusioner yang selalu siap berlaga-tempur.Di Kraton Yogyakarta situasinya terpecah pecah dalam kelompok kekuatan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.Ada kelompok Natakusuma dengan anaknya Natadiningrat disamping juga kelompok Putra Mahkota (calon Hamengku Buwono III) dengan Kapiten Cina wilayah Yogyakarta yakni Tan Jiem Sing (kelak bergelar Tumenggung Secadiningrat).Satu lagi adalah kelompok Patih Danurejo yang karena jabatannya merupakan kompromi antara Sultan dengan Gubernur Belanda maka mengharuskan seorang patih melayani dua kepentingan penguasa; Kasultanan dan Gubernur Belanda.

Konflik antar kelompok itu mengundang pemerintah di Batavia turun ke daerah dengan bala tentara nya.

c. Intervensi Eropa di Jawa

Dalam dua periode Gubernur Jenderal (Daendels dan Raffles), Yogyakarta ditekan dengan kekuatan militer untuk memaksa Hamengku Buwono II turun tahta.Di bulan Desember tahun 1810 Daendels dengan pasukan 4.200 tentara menyerbu Yogyakarta.Daendels menurunkan Hamengku Buwono II kemudian mengangkat putera Mahkota Yogyakarta sebagai Hamengku Buwono III dan kembali ke Batavia dengan membawa Pangeran Natakusuma sebagai tawanan.Pada bulan Juli 1812 gantian Raffles dengan 2.000 tentara menyerbu Yogyakarta.Dalam waktu yang bersamaan Tentara Gurkha-Sepehi yang datang ke Jawa bersama Inggris terlibat rencana pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris karena beredar desas desus bahwa mereka akan dijual ke Belanda dan ditinggalkan Inggris sehingga untuk memperbesar jumlah pasukan menekan Yogyakarta maka Raffles mengkontak Pangeran Prangwadana dari Mangkunegaran untuk mengerahkan Legiun Mangkunegaran]] memback up pasukan Natakusuma.

Kekuatan Eropa yang datang ke Jawa adalah kekuatan yang memiliki kemampuan untuk memaksa karena dilengkapi dengan pasukan tempur yang sangat memadai.Terhadap yang mementang maka kekuatan ini tidak segan segan untuk bertindak keras bahkan kalau perlu membubarkan kekuasaan dan penguasa tradisional di Jawa.Korban pertama dengan datangnya Daendels ke Jawa adalah Banten. Oleh Daendels Kasultanan [Banten dibubarkan.

d. Destabilisasi Kraton Yogyakarta

Pada masa Raffles memerintah Jawa menggantikan Janssens, Kasultanan Yogyakarta terancam dibubarkan.Campur tangan Mangkunegaran dengan Legiun Mangkunegaran berhasil mencegah pembubaran Kasultanan dengan penyelesaian berdirinya Kadipaten Paku Alaman. Solusi berdirinya Kadipaten di Yogyakarta ini adalah kompromi untuk mencegah munculnya satu kerajaan dengan dua penguasa.

Kompromi adalah solusi yang tepat karena tidak ada ketepatan untuk menyingkirkan Hamengku Buwono III dan menggantinya dengan Pangeran Natakusuma dan juga tidak ada ketepatan mempertahankan Hamengku Buwono III dengan menyingkirkan Pangeran Natakusuma. Contoh dari masa lalu yang berhasil untuk meredakan konflik yang berlarut adalah pembagian kekuasaan. 17 Maret 1813 Yogyakarta dibelah menjadi dua kekuasaan. Bersamaan dengan pembelahan itu (masih jaman Raffles Mangkunegaran mendapat tambahan wilayah masuk dalam kekuasaannya.

e. Kompromi Kekuasaan di Yogyakarta

Konflik kekuasaan di Yogyakarta berakhir dengan dilantiknya Pangeran Natakusuma sebagai Paku Alam tetapi ini baru awal dari peran Paku Alaman dalam peta konflik di Yogyakarta. [sunting] Referensi

   * Peter carey : The Power of Prophecy PrinceDipanagara and The End of An Old Older in Java 1785-1855,
   * MC.Ricklefs; Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi
   * MC. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
   * Djumadi, Thojip,Majalah SENANG, Jakarta; 7 Maret 1982
   * Susilantini,Endah.,Mumfangati,Titi.,Suyami., Konsep Sentral Kepengarangan KGPAA.Mangkunegara IV,Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
   * Moedjanto, G., 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
   * Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
   * Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta 1755-1825 (Perjanjian Giyanti-Perang Dipanegara),Djakarta: Mahabarata-Amsterdam, 1952.

C. Mangkunegara III

D. Mangkunegara IV

E. Mangkunegara V

Mangkunegara V adalah penerus dinasti Mangkunegaran yang bertahta relatif singkat (1881-1896).Dari beberapa sumber tulisan Mangkunegara V disebutkan tidak memiliki putra Mahkota padahal beliau memiliki putra dan putri tetapi masih remaja dan belum ada yang diangkat sebagai putra mahkota.

Dari Putra putranya yang potensial menggantikan kedudukannya ada dua yakni KPH.Suryakusuma sebagai putra sulung Mangkunegara V dengan nama kecil BRM samekto ( lahir 9 Oktober 1873 ) dan RMA. Suryasuparta.Kedua putra Mangkunegara V pada fakta sejarah tidak menggantikan ayahnya sebagai Mangkunegara VI karena tahta kemudian jatuh kepada adik Mangkunegara V yaitu RM.Suyitno yang menggantikan kakaknya menjadi Mangkunegara VI.

1.Pemerintahan Mangkunegara V

Pemerintahan Mangkunegara V tergolong relatif singkat dan beberapa catatan yang dapat ditulis mengenai pemerintahannya adalah sekitar masalah meneruskan usaha bisnis Kerajaan yang telah di rintis oleh ayahanda dan pendahulunya yakni Mangkunegara IV.

Dalam masa pemerintahannya, pabrik gula mengalami defisit anggaran dan keberlansungan industri gula.Mangkunegara V tahun 1885 berusaha mencari pinjaman kepada Belanda melalui Residen Surakarta tetapi ditolak.Penolakan ini didasarkan karena Mangkunegara V tidak memberi kepastian penghentian model pengurusan keuangan yang salah urus.Belanda mengusulkan soal keuangan diserahkan kepada suatu komisi yang diangkat oleh Residen setelah dirundingkan dengan Raja (Mangkunegara V).Dalam komisi ini Belanda juga mengusulkan agar asisten Residen masuk dalam komisi bersama dengan para keturunan Mangkunegara II, III, IV dan V dalam suatu kepanitiaan.

Komisi itu dinamakan Dewan Pengawas yang mengatur urusan keuangan, tanah dan barang barang milik Mangkunegaran.Mangkunegara V menolak adanya komisi tersebut karena pada hakikatnya Belanda mencampuri urusan dan mengawasi Mangkunegaran dalam urusan keuangan.Mangkunegara V didukung oleh Patihnya Raden Tumenggung Jaya Sarosa yang sudah menjabat patih sejak Mangkunegara V. Masa pemerintahan Mangkunegara V berakhir tahun 2 Oktober 1896 karena meninggal setelah mengalami kecelakaan di Wonogiri dalam usia 41 tahun.

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa mangkatnya Mangkunegara V tidak meninggalkan putra mahkota sehingga menurut salah satu sumber dikatakan bahwa penggantinya sebagai Mangkunegara VII yang adalah adiknya adalah atas persetujuan dan arahan dari ibundanya GRay. Dunuk.

Dua putra Mangkunegara V yakni KPH.Suryakusuma dan RMA. Suryasuparta secara potensial adalah generasi penerus Mangkunegara tetapi karena suatu proses politik dan kekuasaan yang terus berjalan mengharuskan kedua kakak beradik itu dengan rela harus menerima keberadaan pamannya KPH.Dayaningrat sebagai Mangkunegara VI.

2.Panggung Kesenian

Panggung kesenian Jawa pada masa Mangkunegara V mengalami kemerosotan yang diakibatkan oleh berkurangnya pendanaan yang mengalir dari Istana ke Panggung sebagai akibat dari kemunduran karena adanya kemerosotan keuangan kerajaan sebagai akibat menurunnya produksi gula dengan munculnya komoditi gula bit di pasaran Eropa (Rick- lefs,1991). Kesenian Wayang Wong gaya Surakarta yang di ciptakan oleh Pangeran Sambernyawa dan memuncak dalam jaman Mangkengara IV sedikit menggelepar sebelum akhirnya seorang Tionghoa bernama Gam Kang dengan restu Mangkunegara V (1895) mendirikan Grup Wayang Orang profesional diluar Istana yang pertama di Surakarta dengan nama Wayang Wong Sriwedari. 3.Bintang Jasa Mangkunegara V

Mangkunegara V adalah pemegang bintang Singa Netherlands

4.Putra Putri Mangkunegara V

1. BRAj. Sutikah menikah dengan RMPj. Gondokusumo 2. KPA. Suryokusumo menikah dengan BRaj. Catharina Bertha 3. BRAj. Samekti 4. BRAj. Marwestri 5. BRAj. Sutantinah menikah dengan KPA. Kusumodiningrat 6. BRAj. Sutitah 7. KPAr. Suryosutanto 8. RM. Suparto ( KGPAA Mangkunegara VII) 9. BRM Ar. Suryosukanto 10. KPA. Suryosudarso 11. BRMA. Suryosugiyanto 12. BRM. Suryosurarto 13. BRM. Suryosubandriyo 14. BRAj. TgA. Daryosugondo 15. KPA. Suryosumarno 16. BRAj. PA. Mloyokusumo 17. BRM A. Suryosuwito 18. BRM A. Suryosumanto 19. BRA. Subastutu sedo 20. BRMA. Suryosularjo 21. BRAj. Sugiyanti sedo 22. BRM. Sukamto sedo 23. BRM Ar. Suryosubandoro 24. BRM. Suryosumasto

Referensi

  1. Cariyos Kêkesahan saking Tanah Jawi dhatêng Nagari Walandi, 1916, Suryasuparta, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 234, No.Rec. 530
  2. Cariyos Lêlampahanipun Ki Padmasusastra Dhatêng Nagari Nèdêrlan, 1935, Jayang Gêni, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 31, No.Rec. 249
  3. http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_0044-8613_1982_num_24_1_1771
  4. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:boVPC0rBQRkJ:en.rodovid.org/wk/Person:26116+Mangkunegara+V&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
  5. http://gondosuputran.blogspot.com/2007/03/legiun-mangkunegaran.html
  6. Wasino, Kapitalisme Bumi Putra, Perubahan Masyarakat Mangkunegaran


G. Mangkunegara VI

H. Mangkunegara VII

I. Mangkunegara VIII

J. Mangkunegara IX

' Daftar Pustaka

Lampiran

1. Lampiran 1;

Pangeran Surya Mataram

Pangeran Surya Mataram adalah gelar yang dianugerahkan oleh Mangkunegara I untuk cucu nya tetapi mengundang kontroversi pihak Belanda karena nama itu dikhawatirkan dapat memicu perselisihan baru berkepanjangan.Gelar Pangeran Surya Mataram setelah dihalangi Belanda dengan menekan Sunan Surakarta akhirnya ditarik oleh Mangkunegara I].Cucu Mangkunegara I yang mendapat gelar itu adalah Pangeran Prangwadana calon penerus Mangkunegara I.

Situasi Politik Jawa 1755-1757

Perebutan kekuasaan di kerajaan Mataram dalam lintasan menuju perdamaian dan mengakhiri konflik yang berkepanjangan pada mulanya dimulai dengan keberhasilan Belanda mendapatkan keabsahan kendali kekuasaan atas Mataram melalui Paku Buwono II sebagai titipan. Dua Pangeran lain yang telah menurun keabsahannya dalam tahta kerajaan semula berjuang bersama menghadapi Belanda dan Sunan Paku Buwono III namun kemudian berpisah untuk untuk tujuan yang sama.Pada tanggal 13 februari 1755 Pangeran Mangkubumi mengadakan perdamaian dengan Belanda yang disebut sebagai Perjanjian Giyanti dan tanggal 17 Maret 1757 Pangeran Sambernyawa mengadakan perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III yang disebut sebagai Perjanjian Salatiga.Para Pangeran dari dinasti Mataram dengan dua perjanjian tersebut secara legal telah mendapat pengakuan sebagai para penguasa; Kasunanan Surakarta diperintah Paku Buwono III, Kasultanan Yogyakarta diperintah Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan Mangkunegaran yang diperintah oleh Pangeran Sambernyawa] dengan gelar Mangkunegara I.Rivalitas selanjutnya berganti dengan bentuk baru seperti strategi perkawinan dan penganugerahan nama untuk para Pangeran Kerajaan.

Pasca Perjanjian Giyanti (1755) dan Salatiga (1757)

Dengan Perjanjian Giyanti dan Salatiga berakhir sudah Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati dan dibesarkan oleh Sultan Agung cucunya sebagai kerajaan yang bersatu dan berdaulat Tunggal di Jawa.Mataram telah terbagi menjadi tiga kekuatan politik dan kekuasaan; Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran.

Tiga kekuatan Jawa ini berdampingan dengan kekuatan asing VOC atau Belanda yang hadir sebagai penengah dan sekutu.Pertikaian bersenjata telah menguji dan mampu mengukur kapasitas kekuatan masing masing dan menghasilkan suatu keadaan tidak ada yang unggul dan dominan secara tunggal. Kedalam suasana berdamai itu persaingan kekuatan dan kekuasaan memasuki dimensi baru dan satu sama lain saling mengabaikan keberadaan Keraton yang lain (MC.Ricklefs, 2002).

Surya Mataram

Gelar Pangeran Surya Mataram pertama kali diajukan oleh Mangkunegara I untuk nama cucunya yang kelak melanjutkan tahtanya sebagai Mangkunegara II.Gelar Pangeran Surya Mataram yang dalam sejarah Mataram belum pernah ada dan untuk pertama kalinya dipergunakan sebagai gelar Pangeran Surya Mataram untuk cucu Mangkunegara I menimbulkan spekulasi kehawatiran dan kepanikan Belanda.Nama dan gelar itu memancarkan keagungan dan Belanda tidak menghendaki Mangkunegara I memperoleh keagungan itu karena lambat atau pasti pengaruh Mangkunegara I menjadi bersinar terang kembali yang mengundang daya tarik menghimpun pengikut dengan jumlah yang semakin besar. Belanda dan dua kekuasaan yang lain tidak rela dan menginginkan Mangkunegaran menjadi besar dan berpengaruh.

Kepanikan Belanda juga berdasar dari dua penguasa lain yang merasa sikap agresifitas Mangkunegara I kembali kambuh dengan akibat munculnya kembali dukungan pengikut Sultan dan Sunan kepada Mangkunegara I. Belanda menyarankan untuk menarik kembali nama Pangeran Surya Mataram kepada Mangkunegara I.

Referensi

1. MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004

2. Yasadipura Babad Mangkubumi

3. http://grobogan.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=57

Lampiran 2:

Pangeran Surya Mangkubumi

Pangeran Surya Mangkubumi adalah gelar RM. Sulomo dari Istana Mangkunegaran putera dari Pangeran Hario Prabuwijaya.

Rivalitas Kerajaan

Rivalitas penguasa Jawa sejak masa perdamaian ditanda tangani, selanjutnya persaingan baru memasuki dimensi yang baru pula.Penggunaan gelar dan nama yang berkait satu dengan pihak lain selain mengundang kecurigaan juga potensi menambah dan menaikan suhu ketegangan.

Seperti halnya yang dibahas oleh Graft dalam sejarah mataram,bahwa gelar gelar yang menyangkut nama nama yang bersangkut paut dengan tempat atau lainnya selalu mengundang kecurigaan sebab dibalik nama nama itu tersimpan sesuatu yang lambat atau cepat pasti diwujudkan.

Setelah perpecahan Mataram terjadi menjadi; Yogyakarta, Surakarta dan Mangkunegaran maka sistem pemberian gelar untuk para pewaris kerajaan mengalami masa masa sensitif dan gejolak.Ketiga dinasti kelanjutan Mataram di Jawa ini pada masa masa awal pemerintahan para perintisnya memulai dengan mengalihkan tujuan semula menyatukan kembali Mataram menjadi tujuan untuk membangun wilayah dan kekuasaan yang diperolehnya.

Pangeran Surya Mangkubumi

Ditariknya atau dibatalkannya gelar Pangeran Surya Mataram untuk cucu Mangkunegara I bukan berarti tidak adanya inovasi yang baru.Negosiasi Belanda dengan Sunan yang telah berhasil menarik nama dan gelar Pangeran Surya Mataram dari cucu Mangkunegara I masih berlanjut dengan ketegangan ketegangan baru ketika RM. Sulomo bergelar Pangeran Surya Mangkubumi. Menyangkut penggunaan nama Mangkubumi ini kemarahan dan protes datang dari Yogyakarta.Sultan Hamengku Buwono I melancarkan protes karena Mangkubumi adalah nama untuk dirinya. Sultan melihat bahwa penggunaan nama Mangkubumi merupakan pelecehan dan merendahkan martabat dan kekuasaannya (Ricklefs, 1991). Sultan menuntut supaya gelar itu dicabut.

Referensi

   * Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi
   * http://www.karatonsurakarta.com/sejarah.html

Lampiran 3

Pangeran Prangwadana

Pangeran Prangwadana adalah gelar kemiliteran dalam sistem Aristokrasi Jawayang untuk pertama kalinya disandang oleh Raden Mas Said.Gelar ini dikukuhkan pada Raden Mas Said sewaktu menjadi Panglima Militer Bala Tentara Sunan Kuning di Kartasura.

Asal Mula

Nama Pangeran Prangwadana bermula dari gelar pendahulu Mangkunegaran yakni Mangkunegara I dan berlanjut pada Mangkunegara berikutnya pada usia sebelum 40 tahun.Semua calon Mangkunegara yang bertahta dalam masa usia belum genap 40 tahun adalah Pangeran Prangwadana.

Pangeran Prangwadana adalah gelar dari Raden Mas Said yang lahir di tahun 1726.

Gelar Prangwadana

Di Istana Mangkunegaran semua Mangkunegara sebelum berumur 40 tahun bergelar Prangwadana.Mangkunegara I dengan gelar;Pangeran Prangwadana Pamot Besur .Gelar Prangwadana selanjutnya terdapat pada dua orang cucunya yang merupakan putera pertama dan kelima dari Raden Mas Sura Mulya/Kanjeng Pangeran Arya Prabhuwijaya Amijaya dengan Kanjeng Ratu Alit.

Putera pertama adalah; Kanjeng Pangeran Arya Prabhuwijaya /Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Prabhu Prangwadana, sedangkan putera kelima adalah;Bandara Raden Mas Sulama/Pangeran Suryadiningrat/Pangeran Surya Mangkubumi/Pangeran Surya Prangwadana.

Referensi

1. http://mahandisyoanata.multiply.com/journal?&page_start=20

2. http://www.jogjatrip.com/en/encyclopedia/detail/439/mangkunegara-i

3. http://4dw.net/royalark/Indonesia/mangku2.htm

4. Berbagai sumber

Lampiran 4

Raden Rongga Prawiradirja

Raden Rongga Prawiradirja adalah Bupati kepala Mancanegara yang berkedudukan di Madiun tepatnya di Kraton Maospati. Raden Rongga Prawiradirja ada tiga yang semuanya menjadi kepala Bupati Mancanegara dari Kasultanan Yogyakarta.

Asal Usul

Raden Rongga Prawiradirja semula bernama Rongga Prawirasentika atau yang terkenal dengan sebutan Rangga Jenggot. Setelah menjadi Bupati yang mengepalai Mancanegara Rangga Prawirasentika berganti nama menjadi Raden Rongga Prawiradirja . Dari garis silsilah Amangkurat IV Raden Rongga Prawiradirja adalah menantu Sunan karena beristerikan putri dari Amangkurat IV. Dengan Mas Said Raden Rongga Prawiradirja masih terhitung pamannya seperti halnya Pangeran Mangkubumi dan Paku Buwono II.

Semula Raden Rongga Prawiradirja adalah orang kepercayaan Mas Said tetapi kemudian menggabungkan diri dengan Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran melawan Belanda bahkan menjadi panglima perang menggantikan Mas Said. Raden Rongga Prawiradirja I

Selain beristerikan putri Amangkurat IV Raden Rongga Prawiradirja juga beristerikan putri keturunan dari patih Matahun dan adiknya dari isterinya diperisteri oleh Pangeran Mangkubumi yang melahirkan RM.Sundoro.Raden Rongga Prawiradirja dengan adiknya mendapatkan perjanjian dari Pangeran Mangkubumi bahwa RM.Sundoro adalah putra Mahkota yang bakal menggantikan dirinya (Lihat: Soekanto, Dr., 1952).

Penyeberangannya menjadi panglima tentara Mangkubumi menjadi sebab Raden Rongga Prawiradirja kemudian di himpit dan dikejar kejar oleh Mas Said tetapi untuk putrinya yang terancam di Yogyakarta Raden Rongga Prawiradirja mempercayakan keselamatan putrinya untuk berlindung kepada Mas Said (Ricklefs, MC., 2002, kemudian ketika rekonsiliasi atara Mas Said yang sudah menjadi Mangkunegara I dengan Pangeran Mangkubumi yang sudah menjadi Hamengku Buwono I, putri dari Raden Rongga Prawiradirja dikembalikan ke Yogyakarta. Raden Rongga Prawiradirja selanjutnya disebut sebagai Prawiradirja I

Raden Rongga Prawiradirja II

Prawiradirja I digantikan oleh putranya Rongga Mangundipura menjadi Prawiradirja II

Pangeran Rongga Prawiradirja

Kepala bupati Mancanegara di madiun yang ke tiga adalah cucu Prawiradirja I dan pada sang cucu inilah gelar pangeran diperolehnya.Pangeran Rongga Prawiradirja adalah anak dari Raden Rongga Prawiradirja II.

Sedang disusun---

Kepala Bupati Mancanegara

--- sedang disusun---

Referensi

1. Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta 1755-1825, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

2. Ricklefs,MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, Yogyakarta:Bentangilmu,2002.






.mn