Kanon Alkitab
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Kanon adalah khazanah teks, terutama teks Kitab Suci, Alkitab. Selama berabad-abad banyak terjadi diskusi kitab manakah yang harus dimasukkan sebagai kanon Alkitab.
Buku-buku yang tak termasuk kanon dimasukkan ke dalam kitab Deuterokanonika, yang secara harfiah berarti "kanon kedua". [butuh rujukan]Buku-buku ini disebut pula buku-buku apokrifa ("tersembunyi").[butuh rujukan]
Istilah kanonisitas merujuk pada seberapa jauh suatu tulisan dapat dianggap berwibawa dan memenuhi syarat untuk diterima sebagai kanon atau tidak.[butuh rujukan]
Sejarah
Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak.[butuh rujukan] Ketika orang-orang Kristen berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak. [butuh rujukan]
Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk mengenal kanon (istilah Yunani yang artinya "standar") adalah yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja.[butuh rujukan]
Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja menganggap Paulus sebagai salah seorang rasul.[butuh rujukan] Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus, Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus.[butuh rujukan] Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para Rasul – menjadikannya model seorang rasul.[butuh rujukan]
Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul.[butuh rujukan] Dengan demikian, Injil Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon.[butuh rujukan] Setelah para rasul wafat, orang-orang Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.[butuh rujukan]
Tentang penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja, petunjuknya ialah, "Jika banyak gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut diilhami".[butuh rujukan] Meskipun standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga logikanya di balik itu. [butuh rujukan]Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para penyembah-Nya; tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga. [butuh rujukan]
Namun, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab sebagai kanon.[butuh rujukan] Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul.[butuh rujukan] Di samping itu, ada gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.[butuh rujukan]
Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di semua pelosok. [butuh rujukan]Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi", gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki otoritas spiritual.[butuh rujukan] Para uskup yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens dari Roma dan Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan yang luas. [butuh rujukan]Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas serta Wahyu. [butuh rujukan]
Daftar ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori Gereja Roma.[butuh rujukan] Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti yang kita ketahui masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo.[butuh rujukan] Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip.[butuh rujukan] Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang diiihami. [butuh rujukan]
Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang beredar cukup luas. [butuh rujukan]Di dalamnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian Baru. [butuh rujukan]Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi. [butuh rujukan]
Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah.[butuh rujukan] Pada tahun 397, Konsili Kartago mensahkan daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban menyelesaikan kanon.[butuh rujukan] Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan, meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.[butuh rujukan]
Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius mendapat pengakuan umum, dan sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.[butuh rujukan]
Kanonisasi
Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibrani qāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran" atau "tali pengukur" dan kemudian dalam bahasa yunani berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja.[butuh rujukan]Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti 'ukuran' bagi iman Kristen. [butuh rujukan]Jika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai sebagai 'ukuran' bagi Iman dan Hidup orang Kristen.[butuh rujukan]
Kanonisasi Perjanjian Lama
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kanonisasi Perjanjian Baru
Kanonisasi Perjanjian Baru dimulai sekitar tahun 200.[1] Pada saat itu mulai disusun daftar-daftar kitab suci yang kurang lebih resmi. [butuh rujukan]Misalnya pada tahun 190 di Roma muncul sebuah daftar yang disebut Kanon Muratori. Kanon Muratori merupakan kanon tertua yang disimpan sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah salinan dari abad VIII. Nama Muratori merupakan nama seorang pustakawan Milano,L.A. Moratori yang menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1740.[2] Kanon ini berisi daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan sejumlah karangan yang dianggap "palsu". [butuh rujukan]Pada tahun 254, Origenes dari Alexandria juga menyusun sebuah daftar kitab.[butuh rujukan] Tahun 303 Eusebius dari Kaisarea juga membuat daftar kitab. Tahun 367, Batrik Aleksandria Atanasius menyusun Alkitab Perjanjian Baru dengan jumlah 27 kitab. Daftar itu kemudian diterima oleh umat di bagian Timur.[butuh rujukan] Sedangkan di bagian barat, umat menerima daftar yang disusun oleh Atanasius. Paus Inosentius I mengirim daftar itu ke Prancis pada tahun 419.[butuh rujukan] Daftar ke 27 kitab itu kembali diperteguh dalam konsili Florence (1441), konsili Trente (1546) dan Konsili Vatikan I (1870). [butuh rujukan]
Lihat pula
Referensi
- ^ (Indonesia)C. Groenen.2006. "Pengantar ke dalam Perjanjian Baru".[butuh rujukan] Yogyakarta: Kanisius.
- ^ (Indonesia)Willi Marxsen.2006. "Pengantar Perjanjian Baru". Jakarta: BPK Gunung Mulia.