Bawazier (Bawazeer, Bawazir, Bauzir, sebelum hijrah dari Iraq ke Yaman dikenal dengan marga Az Zainabi)) atau Banu Al Wazir adalah marga dan bangsawan Timur Tengah dari keturunan Bani Hasyim. Wazir dalam bahasa Arab bermakna menteri. Permulaan nama Ba-Wazir adalah ketika keturunan Ali Al Wazir yang menjabat menteri dalam dua kalifah Abasiah yaitu al-Mustarshid dan al-Muqtafi hijrah dari Irak ke Hadramaut. Ia juga dikenal sebagai Menteri Agung dengan nama Abul Qasim Ali Sharafuddien, dan bernasab langsung dengan Sayyidina Abbas (Paman Nabi Muhammad Rasulullah SAW) bin Abdul-Muththalib bin Hasyim bin Abdulmanaf .

Nasab lengkap

Secara lengkap, Keturunan Ba-Wazir bernasab dari Syeich Sayyid Muhammad (Maula Urf-Al Bawazir) bin Salim (Maola Al Jowaib) bin Abdullah bin Yaaqoub bin Yousif bin Ali (Al-Wazir) bin Tarad bin Muhammad bin Ali bin Al-Hassan bin Mohammad bin Sulaiman bin Abdullah Al Zainabi bin Mohammad bin Ibrahim Al Imam (Istrinya adalah Umm Jaafar binta Ali Bin Hussein bin Ali bin Abu Thalib ) bin Mohammad bin Imam Ali al Sajjad bin Abdullah (Turjoman Al-Quran) bin Sayyidina Abbas (Paman Nabi Muhammad Rasullullah SAW) bin Abdul-Muththalib bin Al Hasyim bin Abdulmanaf [1].

 

Gelar/Title

Syekh, Sultan, Emir

Syekh Ya’qub bin Yusuf bin Ali Al Wazir

Pada akhir abad ke – 5 Hijriyah atau awal abad ke 6 Yakub bin Yusuf bin Ali bin Thirad lahir di Baghdad. Ayahnya yusuf meninggal pada saat Yakub masih kecil. Oleh sebab itu Yakub dirawat dan di didik oleh kakeknya Ali bin Thirad pemimpin Bani Abasiyah dan menjadi menteri pada 2 masa khalifah yaitu Al-Mustarsyid dan Al –Muqtafi. Kakeknya sangat mengawasi masalah pendidikan dan pelajaran sehingga Ya’qub memperoleh banyak ilmu dan pengetahuan. Dan diantara para guru Ya’qub adalah Abu al- Fatuh Al-Ghozali saudara dari Hujjatul – Islam pengarang kitab Ihya’ulumuddin, Imam Sahruwirdi, Ahmad Ar-rifa’i dan lain-lain dari para pembesar ulama Ilmu dan pengetahuan.

Kemudian Ya’qub meminta izin kakeknya untuk pergi ke daerah Bashroh, Kuffah dan Hijaz untuk menuntut ilmu setelah itu diapun kembali ke Iraq dan menetap di Baghdad baru untuk mengajar dan menyebarkan ilmu menjauhi megahnya istana dan kekuasaan. Karena beliau tidak suka dengan keadaan pemerintahan yang mengalami kerusakan akhlak, kegoncangan politik, dan semakin bertambah ketidaksukaan beliau dan semakin tertekan manakala pemerintah saat itu yaitu Al-Mustarsyid menangkap dan memenjarakan kakeknya, maka dia pun pergi ke Baghdad lama dan bersembunyi di sana. Pada saat itu kakeknya dibebaskan dan sebelum menjadi menteri pada khilafah Al-Muqtafi tahun 531 H, Ya’qub mendatangi kakeknya menasehati dan mengingatkan tentang akibat terlalu loyal dengan pemerintahan yang berakhlak buruk, menyibukkan diri dengan kelezatan dunia sehingga lalai akan tugas dan kewajibannya sebagai Kholifah tetapi kakeknya tidak memperdulikan nasehat Yakub, maka Yakub pun meninggalkan kakeknya dan membiarkannya. Ternyata apa yang diperkirakan cucunya itu benar, pada suatu waktu Al-Muqtafi berbeda pendapat dengan menteri Ali bin Thirad sehingga beliau di tangkap dan dipenjarakan. Setelah dibebaskan beliau berlindung kapada sulthan Mas’ud bin Muhammad. Oleh Sulthan Mas’ud bin Muhammad, Ali diparlakukan dengan baik, dan diperbolehkan tinggal ditempatnya sulthan sampai beliau wafat pada tahun 538 H.

Yakub merasa sedih dan tertekan setelah kakeknya meninggal dan tidak sanggup untuk tinggal di Bagdad, ia sepakat bersama ketiga anaknya untuk meninggalkan Bagdad, anaknya Umar pergi ke daerah Bukhara yang berada di Turkistan, Abdullah pergi ke daerah Syiroz yang merupakan bagian dari daerah Persia hingga ia menikah dengan seorang wanita terpandang dari kalangan Abasiyah, di daerah Syiroz dan memperoleh anak bernama Salim, sementara Ya’qub dan anaknya yang ketiga Yusuf pergi ke daerah Khuratan, tetapi karena perasaan rindu akan negeri Iraq setelah menetap di daerah ‘ajam mereka sepakat kembali ke Iraq pada tahun 549 H.

Tetapi mereka tidak tahan menetap di Baghdad dan menyadari tidak cocok menetap disana dikarenakan keadaan politik dan keamanan yang tidak stabil serta keadaan aparatur penegak hukum yang buruk. Banyak terjadi fitnah sehingga semakin kuat tekad Yakub untuk hijrah dari Baghdad. Sebagian pendapat mengatakan sebagian sahabat Ya’qub memberi saran untuk hijrah ke daerah Yaman. Diantara sahabatnya adalah Al-Allamah Syaikh Abdulqodir Al-Jailani salah seorang pemuka Tasawuf dimasa itu. Ia berkata kepada mereka : “Sesungguhnya negeri Yaman tempat yang lebih baik untuk agama, lebih jauh dari fitnah, lebih mudah mencari penghidupan.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>.

Salim bin Abdullah menyelesaikan pendidikannya di daerah Syihr di bawah arahan orang tuannya, atas saran ayahnya Salim berpindah dari satu negeri pegunungan ke negeri pegunungan yang lain untuk mengajarkan ilmu dan melakukan rekonsilisasi damai diantara kabilah yang bertikai. Hal ini mendorong Salim untuk berinteraksi dengan penduduk suku tersebut sehingga ia menikah dengan seorang putri kepala Kabilah di daerah ‘Urf yang bernama Jamilah binti Ahmad bin Ali kepala Kabilah Musailiyin, dan dikaruniai seorang putra bernama Syeikh Sayyid Muhammad bin Salim yang merupakan leluhur keluarga Bawazir yang terkenal sekarang dengan nama wali (penguasa) ‘Urf, karena ia hidup dan meninggal di daerah ‘Urf.

Muhammad (penguasa / wali) merupakan salah satunya ahli waris di Hadromaut dari keluarga Al Wazir (Menteri) yang hijrah dari Iraq dan merupakan Bani Abasyiah pertama yang dilahirkan pertama di Hadromaut. Dua saudara kakeknya yaitu Yusuf dan Umar telah meninggal dan tidak mempunyai keturunan. Kakeknya Abdullah telah meninggal di daerah Syihr dan mempunyai seorang anak yaitu Salim dan dimakamkan di daerah Juwaib sebelah barat Huroh. Ia merupakan salah satu pemuka Ulama Tasawuf pada abad ke 7 hijriah. Diantara sahabat Beliau adalah Al-Faqih Muhammad bin Ali Ba’alawi dan Syeih Said bin Isa Al-‘Amudi. Dengan keduanya beliau mempunyai hubungan yang sangat erat. Sayyid Muhammad bin Salim meninggalkan tiga orang anak yaitu Abu Bakar, Said dan Umar. Umar adalah ayah dari Syaikh Abdurohim bin Umar pendiri kota Ghil Bawazir.

Hasil penelitian salah satu tulisan tangan kuno milik salah seorang Syaikh di Huroh, Bahwa diantara guru, Syaikh Sayyid Muhammad bin Salim (Penguasa / Wali ‘Urf) adalah Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Ali pengarang kitab Mirbath, Syaikh Ahmad Al-Hudhudi, Syaikh Ahmad al-Bathini, Al-Allamah Al-Faqih Muhammad bin Ismail Al-Hadromiyi di daerah Zabidi, yang semuanya merupakan ulama-ulama Yaman selain itu beliau juga belajar kepada Ayahnya Salim dan kakeknya Abdullah bin Ya’qub.

Adapun orang-orang yang belajar kepada Syaikh Sayyid Muhammad bin Salim sangat banyak, diantaranya: Al-Faqih Al Mukadam Muhammad bin Ali Ba’alawi, Syaikh Ali bin Salam Al-Hadromiyi, Imam Al-Faqih Al-Allamah Muhammad bin Ahmad bin Yahya bin Abil Hubb Al - Tarimi, Syaikh Sa’id bin Ali Adz – Dzafari, . Syaikh Sufyan Al-Yamani, Syaikh Ahmad bin Al-Ja’adi Syaikh Sa’id bin Isa Al-Amudi, Syaikh Sa’id bin Umur Balhaf, Syaikh Abdullah bin Muhammad Ba’ibadi dan yang lainnya.

Syekh Abdurrahim bin Umar bin Muhammad bin Salim

Syaikh Abdurrahim bin Umar (Pendiri Kota Ghil Bawazir) datang ke daerah Sahil pada tahun 706 H untuk mencari daerah yang layak dijadikan tempat tinggal, kemudian diikuti oleh orang sesudah beliau. Pilihan beliau jatuh pada daerah Baq’ah yang sekarang disebut Ghil Bawazir. Kemudian beliau membangun rumah pertamanya disana, terletak di sebelah barat Masjid Jami’ Al Masyhur, beliau juga menggali sumur sebelah utara Masjid yang letaknya tidak jauh. Sumur tersebut mengeluarkan mata air yang sangat banyak. Selain itu beliau juga memiliki tanah yang luas yang terdiri dari kebun kurma dan lahan pertanian lain yang terletak disebelah selatan kota al-Ghil. Hasil dari kebun kurma dan pertanian yang beliau kelola digunakan untuk membeli tanah yang luas di daerah Khorbah, Baqarain dan tempat lain didaerah Mukalla. Semua harta yang beliau miliki, beliau shodaqohkan di daerah Ghil, seperti untuk kemaslahatan masjid, menjamu tamu, dibagikan pada acara-acara keagamaan dan hari raya tertentu (khusus) dan bentuk-bentuk lain yang sekiranya sesuai dengan apa yang beliau inginkan untuk shodaqoh. Kegiatan – kegiatan ini diikuti oleh anak-anak beliau dengan menambah waqaf-waqaf yang beliau lakukan sehingga kalau ditaksir jumlahnya bisa mencapai 15.000 Syalan per tahun. Bentuk kegiatan yang dilakukan Syaikh Abdurrahim bin Umar Bawazir tidak itu saja, beliau juga membangun madrasah untuk mendidik anak cucu beliau dan siapa saja yang ingin belajar, mendatangkan Ustadz-ustadz yang kompeten dalam mengajar, memerintahkan anak-anak beliau belajar ilmu ditempat lain seperti ke Yaman, Hijaz dan tempat lainnya. Sehingga anak cucu beliau dikenal sangat luas ilmunya, dalam pentelaahannya, senang berbuat kebaikan dan konsisten dalam memberi manfaat kepada manusia selain itu juga terkenal gigih dalam mengajak / dakwah di daerah pantai, mengutus juru damai guna mendamaikan kabilah-kabilah / suku yang bertikai. Contoh lain kedermawanan beliau adalah kepekaan beliau terhadap musafir dan peziarah, ini tercermin dari sikap memulyakan beliau terhadap tamu asing yang singgah, dan ini merupakan sifat baik yang terkenal dan keistimewaan dari anggota keluarga ini di daerah pantai Hadromaut.

Beliau dan keluarga banyak menyiapkan rumah singgah baik di kota ataupun di desa-desa untuk menjamu musafir pada hari-hari tertentu dan senantiasa melanjutkan tradisi ini. Sebagai contoh kami (penulis) sebutkan rumah-rumah singgah yang ada di daerah Ghil Bawazir, Naq’ah, Roidah Al-Jarhiyain, Rihbah Ibnu Janid, Wadi ‘Adm Wusah, Hauroh, Wadi Al-‘In, Ja’imah, ‘Urf dan yang lainnya.

Setelah berlalu 40 tahun sejak Syaikh Sayyid Abdurrahim bin Umar meletakkan batu pertama kota ini, banyak ahli ibadah yang datang ketika menjelang malam. Pengajar yang aktif mengajar ketika siang. Urusan agama di masjid tidak terlalu berlebihan sehingga merusak tatanan kehidupan dunia. Sebaliknya tatanan kehidupan dunia tidak terlalu berlebihan sehingga merusak urusan agama, antara kehidupan agama dan kehidupan dunia seimbang. Di setiap waktunya beliau bagi untuk mengawas madarasah, menyebar ilmu, melayani masyarakat umum dan menyambut tamu-tamu yang tidak henti-hentinya datang, Mendamaikan kabilah yang bertikai dan masih banyak lagi kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Disamping itu beliau mengajak masyarakat agar mau menempati tempat ini. Oleh karena itu beliau menggali banyak sumur, membuat saluran air untuk mengairi lahan pertanian agar menjadi subur. Jejak balik beliau ini diikuti oleh anak pamannya Muhammad bin Sa’id dimana ia dan anak-anaknya menggali sumur di daerah Naq’ah, Wadikah dan tempat lainnya. Sehingga daerah ini menjadi daerah yang hijau penuh dengan pohon kurma dan lahan pertanian.

Demikianlah peran serta Syaikh Abdurrohim bin Umar bagi lingkungan sekitarnya baik dibidang agama khususnya pendidikan ataupun ekonomi sosial. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk beribadah sampai akhir hidupnya. Ia meninggal pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 747 H dan dimakamkan di samping masjid dekat dinding sebelah timur (sekarang terletak di dalam mesjid). Ia meninggalkan 3 orang anak yaitu Said, Utsman dan Ahmad, mereka semua termasuk anggota keluarga Bawazir di daerah Al-Ghil. ”<ref name="Alwazir">Al Mukhtashir fi Tarikh Hadramaut oleh Muhammad Abdul Qadir Bamathraf.

Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir - WaliAllah Banyuwangi

Makam kuno Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir di Kelurahan Lateng, Banyuwangi, Jawa Timur. merupakan tempat yang paling banyak dituju oleh sebagian umat muslim Banyuwangi, Jawa Timur dan Bali. Ia adalah Wali Besar yang berperan dalam penyebaran Islam di kota Banyuwangi dan sekitarnya serta penyebaran ajaran Islam di Loloan, Jembrana, Bali.

Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir adalah ulama dari Arab. Pertama ia menginjakkan kaki di bumi Nusantara tahun 1770-an. Partama datang, ia memilih Blambangan sebagai daerah transit. Kemudian ia melanjutkan siarnya ke arah timur, hingga di perkampungan Melayu, Loloan.

Di tempat ini, Datuk Abdurahim menikahi seorang gadis setempat, Zaenab, dan memiliki putra. Putra pertama Datuk Abdurahim, Syekh Sayyid Bakar Bauzir, meninggal di Loloan dan dimakamkan di sana. Beberapa tahun kemudian, istrinya, Zaenab, menyusul berpulang. Sejak itu, Datuk memilih kembali ke Banyuwangi, bertempat tinggal di perkampungan Arab di Lateng.

Di Banyuwangi, Datuk meneruskan menyebarkan Islam, mengajak putra keduanya, Datuk Ahmad, dan seorang sahabat karibnya, Syekh Hasan. Penyebaran agama Islam dilakukannya hingga tutup usia tahun 1876. Datuk wafat pada umur 86 tahunan. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum warga Arab di Lateng. Sebagian umat muslim menyakralkan makam ini sampai sekarang. Banyak karomah yang dimiliki oleh Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir diantaranya menyembuhkan orang-orang sakit dan mendoakan orang-orang yang mempunyai hajat dan terkabul hajatnya. Makam kuno di pinggir Jalan Basuki Rahmat dalam mengelolanya dibentuk sebuah yayasan. Pada umumnya pengunjung biasanya menyerahkan sumbangan sukarela usai berdoa di makam. Hasil sumbangan ini digunakan merawat makam dan dibagikan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim untuk melestarikan kebiasaan Sayyid Datuk Abdurahim sewaktu Hidup.

Di Banyuwangi ada dua makam kuno lagi yang disakralkan. Dua makam anak kedua Datuk dan sahabat karibnya itu berdampingan. Peziarah biasanya membludak ketika malam Jumat. Puncaknya pada perayaan kelahiran Datuk tiap minggu ketiga bulan Rajab. Peziarah yang juga datang dari luar kota Banyuwangi, seperti Lampung, Jakarta, dan Bali.

Di areal makam, Datuk meninggalkan sumur kuno. Sumur ini diyakini memiliki mukzijat yang mampu menyembuhkan penyakit dan mendatangkan berkah. Para pejiarah biasanya membawa air suci ini untuk dibawa pulang. Di dekat makam juga dibangun musala kecil. Di sekitar makam terdapat beberapa makam lain dari keturunan Datuk.

Lihat pula

Sumber Pustaka

  1. ^ Al Asas fi Ansab Bani Abbas oleh Sayyid Syarif Husni Bin Ahmad Bin Ali Al Abbasi Al Hasyimi ( الأساس في أنساب بني العباس - تأليف السيد الشريف حسني بن أحمد بن علي العباسي الهاشم )