Mangkunegara VI

Adipati dari Mangkunagaran (1896-1916)
Revisi sejak 28 September 2010 07.26 oleh Pare Anom (bicara | kontrib)
K.G.P.A.A. Mangkunegara VI.

Asal-Usul

Mangkunegara VI (1881-1896) adalah adik dari Mangkunegara V dan memerintah di Mangkunegaran sebelum kemudian digantikan oleh keponakannya Mangkunegara VII.Ayahnya adalah Mangkunegara IV dan ibundanya adalah Ray. Dunuk putri dari Mangkunegara III

Mangkunegara V tidak digantikan oleh putranya langsung karena puteranya belum mencapai kematangan untuk berkuasa. Menurut Gondosuputra tampilnya Mangkunegara VI sebagai penguasa menggantikan kakaknya adalah pesan dari ayahandanya Mangkunegara IV yang disampaikan oleh ibundanya Ray. Dunuk agar Mangkunegara V penerusnya adalah yang berasal dari Mangkunegara IV.

Tampil Sebagai Penguasa

Mangkunegara VI selanjutnya tampil sebagai penguasa yang membawa pembaharuan dan perubahan.Berbeda dengan kakaknya Mangkunegara V yang mengedepankan Kesenian, Mangkunegara VI lebih mengedepankan keuangan dan ekonomi sehingga Kas kerajaan yang di jaman kakaknya memerintah hampir kosong oleh Mangkunegara VI digemukan kembali.Segala macam kebutuhan yang menghisap keuangan dan tidak terlalu utama disingkirkan untuk efisiensi.Keuangan Mangkunegaran pada masa itu sedang jatuh akibat kurang tertib nya manajemen pengelolaan dalam bisnisnya. Disamping itu harga gula di pasaran dunia juga sedang jatuh karena mendapat pesaing baru dari Brasilia.Pada Masa Mangkunegara ke VI ini hutang kerajaan yang ditinggalkan pendahulunya dapat dilunasi.

Mangkunegara VI juga mempelopori model penampilan dengan pemotongan rambut yang pendek dengan memotong rambutnya sendiri dan semua pejabat serta kawula diwajibkan untuk tidak memelihara rambut panjang bagi laki laki. Sembah sungkem kepada atasan juga dirubah tidak berkali kali tetapi cukup tiga kali.Ikatan dengan Kasunanan yang mewajibkan Mangkunegara harus menghadap setiap persidangan kerajaan diputus sehingga Mangkunegaran selain otonom juga menjadi pesaing semakin serius dalam memperebutkan hegemoni kebudayaan di Jawa.

Sebelum Mangkunegara VI bertahta sistem pertemuan dengan duduk dilantai dan pada masa pemerintahannya dirubah dengan sistem duduk di kursi dan hal ini adalah yang pertama kali sejak Mangkunegaran berdiri.Mangkunegara VI pula di Mangkunegaran yang memberi ijin kerabat untuk memeluk Agama Kristen.

Mengundurkan diri Sebagai Penguasa

Pemerintahannya yang tampil dengan banyak perubahan dan anti Belanda pada berkesudahan dengan ketegangan dan tragis. Mangkunegara VI memiliki putera dan putri; RM. Sujana Handayaningrat dan Ray. Suwasti Surahatmana. Ketika Mangkunegara VI berkehendak menjadikan putranya sebagai calon penggantinya beliau di veto oleh kelompok kerabat Pangeran dan Belanda. Akhirnya Mangkunegara VI mengundurkan diri dan bermukim di Surabaya.Mangkunegara VI adalah satu satunya raja di Mangkunegaran yang mengundurkan diri atas kehendak sendiri (Media Komunikasi Keluarga Ex-HIK Yogyakarta, 1987).

Ketika wafat Mangkunegara VI tidak disemayamkan di Astana Mangadeg atau Astana Girilayu melainkan di Astana Oetoro Nayu Surakarta. Di Mangkunegaran yang bertahta selanjutnya adalah keponakannya yaitu RMA.Suryosuparta sebagai Mangkunegara VII.

Perekonomian Mangkunegaran

Terhitung 1 Juni 1899 semua kepengurusan perusahaan perusahaan Mangkunegaran kembali lagi ke Praja Mangkunegaran dengan pengendali langsung oleh Mangkunegara VI yang memisahkan antara keuangan perusahaan dan keuangan kerajaan. Akibat dari kebijakan penguasa Mangkunegaran ini, semua perusahaan berada dalam kontrol seorang superintenden (Wasino, 2008) dan campur tangan Residen Belanda dalam keuangan perusahaan berakhir.

Konflik antara Residen dengan Mangkunegara VI sering terjadi dalam tarik ulur karena pihak Mangkunegaran yang memiliki otonomi pengaturan menolak campur tangan Residen.Residen Surakarta Van Wijk melakukan intervensi dengan cara pihak Mangkunegaran diwajibkan untuk konsultasi dalam melakukan anggaran keuangan kerajaan.

Keamanan Wilayah

Para gerombolan kecu-bandit yang telah lama beroperasi di wilayah Mangkunegaran dan sekitarnya mulai berhitung ulang dengan tampilnya Mangkunegara VI.Raja yang digosipkan kikir/pelita dalam keuangan ini terhadap kelompok hitam menghadapinya dengan tangan besi.Para Polisi Praja yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap keamanan tidak tanggung tanggung kena sanksi oleh sang raja bila sampai kalah menghadapi para gerombolan tersebut. Kekalahan para penjaga keamanan wilayah merupakan suatu petaka yang meresahkan karena selain menjarah harta benda para berandal-kecu-bandit juga melakukan pembunuhan dan perkosaan.

Operasi polisional bersama dengan Kasunanan di perbatasan tidak jarang berakhir dengan konfliknya Mangkunegara VI dengan Residen Surakarta karena karena pihak Residen yang menjadi polisional di Kasunanan tidak bersungguh hati sehingga kawanan perampok/berandal yang lari di perbatasan wilayah begitu masuk Kasunanan sudah dapat ditengarai bakal membikin kerusuhan kembali karena tidak ada tindakan menghukumnya.

Pasca perang Jawa 1830 dengan menjamurnya perluasan perkebunan, para berandal/kecu/perampok lokal yang kecewa semakin tumbuh berkembang di wilayah kerajaan dan kadipaten.Dalam masa ini dikenal jenis bandit bandit pedesaan sebagai kecu dan dan koyok (Suara Merdeka, 2009). Kecu adalah sebutan kecu mengacu pada sekawanan orang yang beroperasi menjarah rayah secara paksa korban dengan penyiksaan dan pembunuhan sedang koyok mengacu pada pengertian kecu tetapi jumlah orang nya terbatas/sedikit (Suhartono, 1995).

Pada tahun 1872 di wilayah Mangkunegaran tercatat ada 24 peristiwa yang dilakukan oleh para kecu dan koyok (Wasino, 2008). Bila dalam setahun ada 24 kriminalitas bisa dihitung dalam setiap bulan terjadi kejahatan perampasan dan pembunuhan. Puncak kegeraman Mangkunegara VI terjadi ketika sekawanan kecu Pada 15 November 1873 mengamuk dan membunuh istri tua seorang bekel di Desa Kretek, Sragen. Mangkunegara VI langsung tunjuk hidung bahwa polisi praja kurang bersungguh sungguh dalam menjalankan tugas kerajaan (Suara Merdeka, 2009)

PUSTAKA

1. Gema Edisi Yubileum HIK Yogyakarta 60 tahun, Juli 1987, dalam:Media Komunikasi Keluarga Ex-HIK Yogyakarta, 1987.

2. Damar Pustaka, Sufism in Javanese spiritual life; Literary Study based on Serat Wedhatama written by K.G.P.A.A. Mangkunegara IV.

3. Haryanto, S.,Pratiwimba adhiluhung;Sejarah dan Perkembangan Wayang, Jakarta :Djambatan, 1988

4. Soetomo (Raden), Paul W. Van der Veur, Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984

5. Samad, Bahrin, Suka duka pelajar Indonesia di Jepang sekitar Perang Pasifik, 1942-1945,Collection of accounts of Indonesian alumni from Japanese universities, 1942-1945.

6. Ktut Sudiri Panyarikan,Dr. Saharjo, S.H., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983

7. The Journal of Asian studies, Volume 47, Association for Asian Studies, 1988

8. Sutan takdir Alisyahbana, Achdiad Kartamiharja,Polemik kebudayaan: pergulatan pemikiran terbesar dalam sejarah kebangsaan, JAKARTA: PT Balai Pustaka, 2008

9. Wasino, Kapitalisme bumi putra: perubahan masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta:LKIS, 2008

10. Suara Merdeka, Semarang, 4 November 2009

11. Pranoto, W. Suhartono, Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa, study historis 1850-1942, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.