Ulos

kain tradisional Batak

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Ulos yang dipakai penari Sigale gale.

Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.

Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Pranala luar


1. Kain Tekstil Batak Sudah beberapa tahun belakangan ini, pria bernama lengkap Midian Sefnat Sihombing memfokuskan perhatian pada tekstil ulos dan songket Batak. Dalam sebuah perbincangan dengan Merdi mengekspresikan rasa prihatin sekaligus optimismenya: “Kalau kita lihat (bandingkan) dengan batik Jawa atau dengan songket Palembang, mengapa ulos dan songket Batak masih belum banyak yang diperkenalkan? (Padahal) Ulos itu merupakan satu bagian dari budaya yang harus dilestarikan dan saya akan aplikasikan dalam bentuk fashion.” Guna mewujudkan niatnya melestarikan dan memperkenalkan kemungkinan baru dalam mengembangkan tenunan khas Batak, dia tengah mempersiapkan pameran tunggal rancangannya dari bahan ulos dan songket Batak awal Mei tahun depan. Ia tidak main-main dengan fokus perhatiannya itu. Ia bolak-balik berkunjung ke tempat pembuatan ulos dan songket Batak. Mulai dari Meat, Samosir, Laguboti, Tarutung hingga Sipirok dan daerah-daerah lain di Tano Batak. Semuanya itu ia lakukan sembari memperdalam pengetahuannya tentang khasanah budaya Batak. Selain berupaya untuk lebih memahami produksi ulos di kampung halaman, Merdi – sapaan akrabnya – juga berusaha mengajak para penenun untuk kembali ke cara pewarnaan alami. Dalam penelusurannya, banyak pengrajin ulos meninggalkan kebiasaan teknik mewarnai benang dari bahan-bahan alami. Padahal dalam pandangannya walau pengerjaannya lebih lama, pewarnaan alami ini tidak merusak lingkungan. Sebaliknya dengan memakai perwarnaan kimia, walau waktu lebih cepat dan warna-warni yang dihasilkan beragam tetapi berpotensi merusak ekosistim. Demikian pria lajang kelahiran Medan ini berusaha menjelaskan kepada para penenun ulos. Meski belum bisa dibilang mendapat sambutan yang memadai dari para penenun, Merdi tetap rajin mempraktekkan teknik pewarnaan alami. Misalnya untuk mendapatkan warna merah ia mengolah akar mengkudu untuk pewarnanya. Sedangkan warna biru atau hitam ia dapatkan dari hasil olahan tumbuhan salaon dan itom (Latin: indigodera). Merdi pun mengakui bahwa pengetahuannya itu ia dapatkan lewat proses pembelajaran panjang sambil menelusuri huta-huta di Bona Pasogit. Di luar perhatiannya terhadap ulos, Merdi gundah melihat sebagian penenun ulos yang masih hidup dalam lingkaran kemiskinan. Masih menurut dia, sebagian penenun itu hampir-hampir beralih profesi, sebab hidup mengandalkan tenunan tidak bisa mengangkat ekonomi mereka. Sesuai dengan yang mampu dilakukannya kadangkala ia memberi bantuan berupa alat tenun yang telah dimodifikasi kepada beberapa orang penenun. Selain mempersiapkan pameran tunggalnya tahun depan, Merdi juga tengah digayuti obsesi untuk mendirikan sebuah sentra tenun di Tapanuli. Sebuah upaya yang pantas disokong demi semakin terbukanya ruang inovasi tenunan ulos.


Himpunan Pecinta Kain Adati (Wastraprema) dan Museum Tekstil Indonesia Wastraprema berasal dari bahasa Sansekerta, kata wastra berarti kain dan prema artinya cinta. Jika diterjemahkan secara bebas Wastraprema adalah pecinta kain tradisional atau lebih tepat disebut Pecinta Kain Adati. Lembaga ini berdiri di Jakarta pada 28 Juni 1976 bersamaan dengan peresmian Gedung Museum Tekstil Indonesia yang berlokasi di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sejak awal berdirinya Wastraprema memang bersinergi erat dengan Museum Tekstil. Mereka berkomitmen untuk mengisi galeri-galeri yang masih kosong di museum tersebut. Lewat berbagai aktivitasnya Wastraprema berhasil mengumpulkan ratusan jenis kain tradisional dari seluruh Indonesia. Kegiatan itu di antaranya ialah mengunjungi daerah-daerah sentra produksi kain tradisional di berbagai pelosok Indonesia, menyelenggarakan pameran dan menerima sumbangan koleksi tekstil dari setiap orang yang perduli pada pelestarian kain adati Indonesia. Setelah mengumpulkan jenis-jenis kain tradisional yang ada di Indonesia, Wastraprema kemudian menyerahkannya kepada Museum Tekstil Indonesia sebagai sejawat utama lembaga nirlaba ini. “Biasanya sebelum disumbangkan, terlebih dahulu disortir, mana yang layak dan jika kondisi masih baik baru dikirim ke Museum Tekstil,” ungkap Hadiati Arifin Siregar. Sebagai organisasi yang tidak mengharapkan keuntungan (nirlaba) dari setiap aktivitasnya Wastraprema cukup meminta kepada pihak museum untuk membubuhkan nama mereka di setiap galeri museum yang mereka isi. Langkah Wastraprema menyerahkan berbagai jenis kain tradisional hasil pengumpulan mereka kepada Museum Tekstil merupakan upaya mereka untuk melestarikan kain-kain adati tersebut. Di samping itu, mereka berharap setelah kain-kain tersebut di koleksi oleh Museum Tekstil semakin banyak warga masyarakat yang bisa menikmati dan mengapresiasi keindahan kain-kain adati Indonesia. Salah satu jenis kain adati yang menjadi perhatian Wastraprema ialah tenunan ulos. Di tahun 2003, Wastraprema memberikan kesempatan kepada ‘Martaulos’ untuk menyelenggarakan pameran di Museum Tekstil. Persis pada saat peringatan hari jadi Wastaprema dan Museum Tekstil tentunya. Momen ini pun dimanfaatkan Wastraprema untuk memperkenalkan ulos kepada masyarakat luas. Pameran ini berlangsung tiga minggu. Yang dipamerkan adalah kain ulos dari seluruh sub-etnis Batak, Sumatera Utara. Namun demikian saat ini koleksi ulos adalah yang paling sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jenis kain tradisional lainnya yang ada di Museum Tekstil. Dari Batak Mandailing ada ulos Sadum dan Abit Godang. Milik Batak Karo ada ulos Jungkit. Dari Batak Simalungun ada ulos Ragi Santik. Motif dari Batak Dairi ada ulos Polang-polang dan Gobar. Dari Batak Toba ada ulos Ragi Hotang dan Ragi Idup. “Koleksi ulos Batak sangat sedikit di museum ini. Ulos Batak yang paling minim koleksinya,” ujar Kepala Museum Tekstil Indonesia, Dra. Dyah Damayanti MM saat menerima Hotman J Lumban Gaol. Mangulosi ’Kegenitan Budaya’ Zaman dahulu, ulos hanya kain tenun, pakaian sehari-hari masyarakat Batak kuno, dipakai untuk melindungi badan dari kedinginan. Kata ”ulos” ditimba dari pengalaman seorang ibu dan anak yang berjuang menundukkan kedinginan alam Batak yang terkenal amat dingin. Tersebutlah satu keluarga miskin dengan seorang ibu dan anaknya yang berdiam di pucuk gunung, Pusuk Buhit, namanya. Suatu malam, si ibu melihat anaknya menggigi. Si anak meronta-ronta hingga giginya menggelatuk saking dinginnya. Si ibu mencari akal untuk mengatasi dingin. Maka, ditemukanlah bahan dari kulit kayu yang kemudian diselimutkannya ke tubuh anaknya itu. Sontak si anak merespon dengan ucapan “las-lass-los loss.” Pendek cerita, sejak itu penutup badan disebut sebagai ulos. Seiring waktu, ulos dijadikan pakaian sehari-hari, dan berikutnya diproduksi dalam jumlah yang besar dan diperdagangkan. Bahannya pun mulai diperhalus dengan pewarnaan alam yang diolah dari daun-daun. Warna dasar ulos hanya tiga: merah, putih, dan hitam. Merah melambangkan warna untuk dongantubu. Putih untuk boru. Hitam untuk hula-hula. Partonun atau pembuat ulos itu juga menjadi personifikasi dari dewata, Ompu Mula Jadi Nabolon yang merajut kehidupan umat manusia. Namun, sejak masuknya zending dan penjajah membawa kain tenun yang baru, yaitu pakaian Eropa, perlahan ulos Batak itu berubah fungsi dan motifnya juga berubah. Masyarakat Batak lebih banyak menggunakan kain tenun Eropa dan tidak lagi mengenakan ulos sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang dulunya pakaian sehari-hari berubah menjadi sebuah pakaian ritual. “Mangulosi” menjadi acara yang tak terpisahkan dari ritus adat Batak. Memberikan ulos disebut mangulosi. Ini hanya boleh dilakukan pihak yang berada pada posisi hula-hula ke boru, orangtua ke anak. Artinya, mangulosi menjadi simbol pamoholi dan manggomgom yang berarti memberikan peneguhan atau kekuatan pada pihak yang dikasihi. Pemberi ulos selalu berada di atas yang menerima. Ulos memaknai “ugari ni habatahon,” atau semangat kebatakan, dan berkaitan dengan patik (titah), dan uhum (hukum). Ornamen yang muncul di ulos mencerminkan latar-belakang yang merepresentasikan pembuatan ulos itu sendiri.

Kesakralan lenyap Di zaman modern ini ulos tidak hanya dipakai pada acara seremonial. Ulos yang dulunya merupakan medium dalam ritual budaya, telah berubah menjadi simbol kebanggaan, prestise, terutama apabila seseorang bisa mengulosi seorang pesohor. Punguan-punguan marga juga berlomba-lomba mangulosi orang-orang berpengaruh seperti pemimpin partai dan pejabat pemerintahan. Yang menjadi persoalan adalah saat pemberian ulos itu apakah yang bersangkutan sadar siapa hula-hula dan siapa boru, di mana posisi pemberi dan di mana posisi penerima ulos. Yang menjadi pertanyaan juga adaah siapa yang berada di atas. Salah kaprah ini menjadikan tradisi “mangulosi” menjadi tidak bermakna, karena diumbar sedemikian rupa sehingga kesakralannya lenyap. Contoh soal. Mangulosi Sultan Hamengkubuwono ke-X menerima ulos yang tidak tahu-menahu tentang makna pemberian ulos. Padahal, ulos hanya diberikan kepada mereka yang mengerti makna dan esensinya.Kalau hanya memberika ulos tidak menjadi persoalan. Tetapi, jika ulos diuloskan dan dilingkarkan ke pundak maknanya menjadi lain. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ketika memberikan ulos para pembeli ulos terlebih dahulu sudah menerangkan kepada Sultan makna dan siapa yang bisa memberikan ulos? Saya kira, kalau Sultan mengetahui hal ini, dia tentu tidak akan mau menerima ulos itu. Pemberian ulos kepada Sultan adalah salah kaprah. Inilah yang disebut Professor Hotman M. Siahaan sebagai “kegenitan budaya.” Seharusnya pemberian ulos kepada orang yang tidak mengerti esensi dari penerimaan ulos seharusnya tak boleh terjadi lagi. Memberikan ulos sebagai cendera mata itu sah-sah saja, tetapi jangan jadi ”mangulosi” seperti yang dilakukan orang Batak terhadap Sultan. Terkadang, esensi budaya berubah. Yang dulunya tidak biasa sekarang menjadi lazim. “Mangulosi” yang dulu adalah sakral, sekarang telah menjadi basa-basi pergaulan. Memang, ada juga pihak yang menyebutkan “Budaya Batak” itu jangan kaku, terjebak dalam pemahaman sempit yang hanya terkait dengan acara seremonial. Esensi daripada pemahaman saat mangulosi seharusnya jangan dilebarkan. Sebab fungsi ulos itu menjadi “ada” ketika dia diuloskan, disampirkan di punggung. “Kegenitan budaya” Batak ini perlu terus dikritik. Mangulosi para persohor itu sama dengan mencoreng adat dan melenyapkan esensi sebuah tradisi. Pakem yang sudah berakar-berurat jangan sampai tercerabut. ***oleh: Hotman J. Lumban Gaol