Marga Simalungun
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Marga Simalungun merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama depan masyarakat Simalungun yang berasal dari daerah Kabupaten Simalungun. Ada 4 marga asli dari Simalungun: Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga. Keempat marga tersebut berasal dari marga raja-raja di Simalungun yang bermufakat untuk tidak saling menyerang. Beberapa marga dari luar Simalungun kemudian menganggap dirinya sebagai bagian dari 4 marga tersebut ketika mereka menetap di Simalungun. Sebagai suku yang menganut Paterilinear, marga pada suku Simalungun diturunkan melalui garis Ayah, oleh karena itu orang yang memiliki marga yang sama dianggap sebagai kakak-adik sehingga tidak diperbolehkan untuk saling menikah.
Asal-Usul
Sejarah asal-usul dari marga-marga yang ada di dalam suku Simalungun sangatlah minim, namun beberapa sumber tertulis menyatakan bahwa ada 4 marga asli dalam Suku Simalungun yang biasa diberi akronim SISADAPUR.[1] Beberapa sumber juga menyatakan bahwa 4 marga tersebut berasal dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (dalam bahasa simalungun yaitu: marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah[2]:
Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
- Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
- Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
- Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah:
- Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
- Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:
- Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei
- Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.
Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.
Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.
Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).Tideman, 1922
Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara.
Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Sebagian besar dari marga-marga ini merupakan marga yang telah ada di daerah/suku lain. Marga-marga tersebut yaitu:
Saragih
- Munthe
- Siadari
- Sidabutar
- Sidabalok
- Sidauruk
- Simarmata
- Simanihuruk
- Sijabat
Purba
- Manorsa
- Simamora
- Sigulang Batu
- Parhorbo
- Sitorus
- Pantomhobon
- Sigumonrong
- Pak-pak
- manalu
Damanik
- Malau
- Limbong
- Sagala
- Gurning
- Manikraja
- Tambak
Sinaga
- Sipayung
- Sihaloho
- Sinurat
- Sitopu
Sebagian marga di atas dikategorikan ke dalam salah satu marga Simalungun karena hubungan persaudaraan, perjanjian atau kerjasama antara kedua marga. Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Marga Mengikuti Raja
Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Fenomena sosial ini diakibatkan adanya hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.
Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu menghilang dengan sendirinya di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Siantar menjadi Pusat Afdeling
Ditengah-tengah suksesnya perkebunan di Sumatra Timur, sejumlah kota-kota dinaikkan statusnya menjadi kota administratif (geemente) dan kabupaten (afdeeling). Wilayah kecamatan (onderafdeling) ditata sedemikian rupa sehingga mencerminkan sebuah kota dengan peradaban modern. Siantar (ibukota kerajaan Siantar) telah dipersiapkan pemerintah kolonial menjadi ibukota afdeling Simalungun yang sebelumnya merupakan onderafdeling Karo-Simalungun. Perlawanan rakyat karo dibawah pimpinan Kiras Bangun telah dilumpuhkan pada tahun 1904 dan menduduki wilayah dingin pegunungan tersebut. Pada saat itu, ahli Batak, Kontrolir Westenberg, diangkat menjadi Assisten Residen urusan Batak Dusun beribu Kota di Saribu Dolok pada tahun 1905.
Wilayah-wilayah kekuasaan dinegeri Simalungun yang sudah menandatangani Perjanjian Pendek telah dibangun jalan raya sebagai penghubung antara perkebunan-perkebunan besar yang baru dibuka. Acapkali muncul ketegangan dan perlawanan rakyat yang hak-hak tanahnya diambil alih oleh pengusaha perkebunan seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan tewas akibat siksaan selama hukuman penjara Belanda di Sukamulia Medan. Demikian pula raja Panei yakni Tuan Jontama Dasuha yang melapor kepada Asisten Residen Sumatra Timur di Medan sebagai akibat perbuatan semena-mena pengusaha kolonial. Hingga kini, jasad Raja Panei tersebut belum diketemukan. Perlawanan rakyat Girsang dan Simpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dapat dilumpuhkan pada tahun 1906. Sementara itu, Rev. Simon (kemudian dilanjutkan oleh Muller) dari Misi Sungai Rhein Jerman telah bergerak membuat projek irigasi di negeri Bandar wilayah kekuasaan Kerajaan Siantar. Pemerintah Hindia Belanda mengharapkan agar misi Kristen ini menjadi bahagian dari negeri Batak yang harus dikeluarkan dari pengaruh Islam.
Melihat berbagai peristiwa diwilayah kekuasaannya, Sang Na Ualuh memiliki dendam terhadap pemerintah kolonial dan memilih upaya konfrontasi. Sinyal pemberontakan dari raja ini terbaca dan dimakzulkan atas tuduhan intrik dan pemerasan terhadap penduduknya sendiri. Oleh karena itu, atas petunjuk Residen Sumatera Timur yang diteruskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 2478/05/3775/4 maka Raad van Nederlandsch–Indie dalam keputusan sidangnya tanggal 6 April 1906 telah mengeluarkan putusan sebagai berikut: “Jika seandainya Residen Sumatera Timur yang baru diangkat setuju dengan usul rekannya terdahulu mengenai apa yang akan diperbuat dengan Raja Siantar seperti yang dijelaskan secara telegrapis sebelumnya, begitu juga Raad van Ned. Indie sejalan dengan pendapatnya. Pendapat diatas dikeluarkan jika seandainya karena sesuatu alasan politik tidak jadi raja dijatuhkan atau karena pemerintah daerah setempat sehubungan dengan itu datang dengan usul agar ianya direhabilitir”. Sesuai dengan peraturan undang-undang kolonial, maka seandainya raja dijatuhkan maka harus ada persiapan untuk pemerintahan sementara sebagaimana yang diusulkan didalam nota Sekretaris Negara. Mengenai usul Residen supaya Sang Na Ualuh dan Bah Bolak ditahan di Medan hingga suasana dan kondisi akan lebih di kerajaan Siantar, hanya mungkin jika pasal 47 dari R.R. dikenakan kepada mereka. Oleh sebab itu diharapkan agar Residen Sumatera Timur memberikan pendapatnya tentang upaya pemakzulan Sang Na Ualuh. Oleh karena itu, untuk alasan dijatuhkannya Sang Na Ualuh dari tahta kerajaan Siantar, Residen Sumatera Timur mengumpulkan kesalahan-kesalahan Sang Na Ualuh dan menterinya Bah Bolak. Untuk itu dipakai laporan pengaduan yang diperbuat oleh Kontrolir Batubara Karthaus April 1905 yang berisi ”10 kejahatan-kejahatan bersifat penindasan” yang diperbuat oleh Raja Siantar dengan sepengetahuan Bah Bolak dan menteri-menteri lainnya anggota-anggota Kerapatan. Tuduhan-tuduhan Kontrolir Batubara tersebut oleh Residen Sumatera Timur dengan suratnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 25 Agustus 1905 nomor 3775/4 didukung dengan menyatakan bahwa Sang Na Ualuh sudah di interogasinya sendiri dan dinyatakan “sudah mengaku salah”. Lebih lanjut dalam suratnya disebut pula bahwa atas dasar itu tidak mungkin lagi Sang Na Ualuh dipertahankan lebih lama selaku Raja Siantar.
Residen Sumatera Timur juga mengusulkan agar selaku pengganti Sang Na Ualuh ditunjuk puteranya yaitu Tuan Riah Kadim. Berhubung karena Riah Kadim belum akil baliq, maka sebagai pemangku diserahkan kepada Tuan Sidamanik dan Marihat dan pemerintahan kerajaan Siantar sementara itu dijabat oleh Kontrolir Simalungun yang bakal diciptakan. Dengan Besluit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat dengan Besluit tanggal 22 Janauari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Na Ualuh dijatuhkan dari tahtanya. Selaku pemegang pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akli balighnya Tuan Riah Kadim maka otoritas kekuasaan dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan yang terdiri dari Tuan Marihat dan Tuan Sidamanik yang diketuai oleh Kontrolir Simalungun.
D. Meninggal di Pembuangan Bengkalis.
Raja Siantar Sang Na Ualuh dan Perdana Menterinya Bah Bollak di internir (dibuang) oleh pemerintah kolonial ke Bengkalis pada tahun 1906. Upaya tersebut telah memuluskan jalan bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh konsesi tanah dari Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontrolir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29 Juli 1907 nomor 254 yakni dikeluarkannya Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) yang isinya adalah pernyataan takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Seiring dengan itu, nyatalah bahwa penanaman modal Eropa semakin terbuka di wilayah Simalungun. Pada tahun 1906 perkebunan Siantar Estate dibuka dan terus melebar ke berbagai daerah dengan komoditas perkebunan yang beranekaragam seperti karet, teh, kakao dan kelapa sawit.
Tahun 1912 ibu negeri affdeling Simalungun dipindahkan dari Saribu Dolok ke Siantar dan Riah Kadim Damanik dengan nama baptis Waldemar diangkat menjadi Raja Siantar yakni Raja Kristen pertama di wilayah Simelungun/Karo yang menadatangani Pernyataan Pendek pada tanggal 18 Mel 1916. Sesuai tradisi, putra mahkota yang layak menjadi raja adalah Tuan Sarmahata Damanik yang lahir di Bengkalis pada tahun 1911 yakni putra pertama yang dilahirkan oleh puang bolon (permaisuri). Tetapi karena Sarmahata masih sangat belia, maka Tuan Riah Kadim Waldemar Damanik diangkat sebagai penerus tahta kerajaan. Pada saat keluarga Sang Na Ualuh berkunjung ke Bengkalis, Tuan Sang Na Ualuh mengirmkan foto dan menitipkan pesan tertulis dibalik foto dalam aksara Simalungun: ”Selama hidup saya dalam pembuangan, pimpinan rakyat di daerah bersatulah!”. Dua tahun setelah lahirnya putra mahkota Tuan Sarmahata maka pada tahun 1914 Sang Na Ualuh wafat dalam pembuangan di Bengkalis. Pada pusara Sang Na Ualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”.(Erond L. Damanik, M.Si)
Residen Sumatera Timur itu juga mengusulkan agar selaku pengganti Sang Naualu ditunjuk puteranya yang masih kanak-kanak yaitu Tuan Kadim, dengan dipangku orang lain dan pemerintahan kerajaan Siantar sementara itu dijabat oleh Kontelir Simalungun, yang bakal diciptakan. Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.
Setelah dibuangnya Raja Siantar Sang Naualuh dan Perdana Menterinya Bah Bolak oleh Belanda dalam tahun 1906 ke Bengkalis, maka sudah ratalah kini jalan untuk memaksakan Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontelir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29-7-1907 nomor 254 untuk membuat Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dari isi surat-surat dokumen Belanda dapatlah direka yang tersirat bahwa dimakzulkannya dari tahta Siantar Tuan Sang Nahualu dan dibuangnya ia bersama perdana menterinya Bah Bollak ke Bengkalis 1906, adalah terutama karena background : Ia bersama hampir seluruh Orang-orang Besar Kerajaan Siantar adalah anti penjajahan Belanda; bahwa merembesnya propaganda Islam ke Simalungun khususnya dan Tanah Batak umumnya tidaklah disenangi oleh penjajah Belanda.
Pada 16 Oktober 1907 oleh Tuan Torialam (Tuan Marihat) dan Tuan Riah Hata (Tuan Sidamanik), melalui Verklaring (Surat Ikrar), dinyatakan tunduk kepada Belanda.
Dalam butir satu dari Verklaring yang memakai aksara Arab Melayu dengan Bahasa Melayu dan aksara Latin dengan Bahasa Belanda itu, tertulis, “
Ten eerste: dat het landschap Siantar een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch Indie en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland..” (Pertama: bahwa wilayah Siantar merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berada di bawah kerajaan Belanda…). Masih ditambahkan bahwa akan setia kepada Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal.
Sejak Surat Ikrar Torialam dari Marihat dan Riah Hata dari Sidamanik itu, Kerajaan Siantar akhirnya di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh bukan dari permaisuri, yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.
Padahal, Riah Kadim bukanlah dari anak Puang Bolon (Permaisuri) yang layak menjadi Raja. Disisi lain, menurut aturan tradisi, Seorang Raja disebut mangkat (marujung goluh, matei) jika sudah dinobatkan Raja pengganti dari dari aturan yang sah, jika tidak Raja belum bisa disebut mangkat tapi masih disebut Modom (secara harfiah, modom berarti tidur). ( Muhar Omtatok )
DENGAN KORT VERKLARING, 16 OKTOBER 1907, BELANDA MEMBAGI KERAJAAN SIANTAR MENJADI 37 PERBAPAAN dan tuan SAUADIM, DAMANIK KE XV, PERBAPAAN DARI BANDAR diangkat BELANDA MENJADI RAJA SIANTAR yang berakhir sampai tahun Revolusi Simalungun 1946.
1. Si Saoeadim , Toean Van Bandar 2. Si Badjandin , Toean Van Bandar Poelau 3. Si Kani , Toean Van Bandar Bajoe 4. Si Djamin , pemangkoe Van Toean Negeri Bandar 5. Si Mia , Toean Van Si Malangoe 6. Si Kama , Roumah Suah 7. Si Bisara , Nagodang 8. Si Djommaihat , Toean Kahaha 9. Si Djarainta , Toean Boentoe 10. Si Djandioeroeng , Toean Dolok Siantar 11. Si Silim , Toean Van Bandar Sakoeda 12. Si Djontahali , Toean Van Mariah Bandar 13. Si Rimmahala , Toean Van Naga Bandar 14. Si Kadim , Toean Van Bandar Tonga 15. Si Tongma , Bah Bolak Van Pematang Siantar 16. Si Naman , Toean Van Lingga 17. Si Djaha , Toean Van Bangoen 18. Si Djibang , Toean Van Dolok Malela 19. Si Djandiain , Toean Van Silo Bajoe 20. Si Lampot , Toean Van Djorlang Hataran 21. Si Djanji-arim , Toean Van Maligas Bandar 22. Si Djadi , Toean Van Sakuda 23. Si Radjawan , Toean Van Gunung Maligas 24. Si Djaoelak , Toean Van Tamboen 25. Si Tahan Batoe , Toean Van Si Polha 26. Si Riakadi , Toean Van Manik Si Polha 27. Si Ganjang , Toean Van Repa 28. Si Djoinghata , Toean Van Pagar Batoe 29. Si Djaingot , Toean Van Si Lampoeyang 30. Si Djaoeroeng , Toean Van Gadjing 31. Si Mahata , Toean anggi Van Sidapmanik 32. Si Bandar , Toean Manik Hataran 33. Si Takkang , Toean Van Tamboen Rea 34. Si Rian , Toean Van Manik Maradja 35. Si Marihat , Toean Van Perbalogan 36. Si Pinggan , Toean Van Hoeta Bajoe 37. Si Djoegmahita , Toean Van Manggoetoer
Runtuhnya Kerajaan Simalungun Sumatera Timur.
Kekhasan Sumatera Timur menjelang Indonesia merdeka tahun 1945 adalah adanya perbedaan-perbedaan kelas antara bangsawan dan rakyat jelata. Dalam masyarakat Simalungun, perbedaan kelas tersebut adalah seperti golongan parbapaan (bangsawan), partongah (pedagang), paruma (petani) dan jabolon (budak). Keadaan yang sama ada pada rakyat Melayu Sumatera Timur terutama antara Sulthan dan rakyat.Sebagai negera yang bari terbentuk, nasionalisme rakyat Indonesia masih mengental dan dapat dipahami apabila masih menaruh dendam terhadap feodalisme yang sebelumnya merupakan kaki tangan kolonial. Oleh karena itu, situasi rakyat yang masih baru merdeka, kemudian disulut dengan provokasi orang lain (organisasi) tak pelak lagi apabila kecemburuan sosial dapat berujuk revolusi massa yang menelan ongkos sosial yang tinggi. Termasuk punahnya sebuah peradapan di Sumatera Timur (Simalungun dan Melayu), dimana raja dan kerabatnya beserta istananya musnah selama-lamanya. Keadaan seperti ini berlanjut hingga memasuki tahun 1946 sehingga mendorong kebencian masyarakat terhadap golongan elit. Sejalan dengan itu, berkembangnya pemahaman politik pada waktu itu, turut pula menyulut keprihatinan terhadap perbedaan kelas yang didorong oleh keinginan untuk menghapuskan sistem feodalisme di Sumatera Timur.Demikianlah hingga akhirnya terjadi peristiwa berdarah yang meluluhlantakkan feodalisme di Sumatera Timur terutama pada rakyat Simalungun dan Melayu. Pada peristiwa tersebut empat dari tujuh kerajaan Simalungun yaitu Tanoh Jawa, Panai, Raya dan Silimakuta pada periode ketiga ini musnah dibakar. Sementara Silau, Purba dan Siantar luput dari serangan kebringasan massa. Raja dan kerabatnya banyak dibunuh. Peristiwa ini menelan banyak korban nyawa, harta dan benda. Kejadian yang sama juga menimpa kesultanan Melayu dimana empat kesultanan besarnya Langkat, Deli, Serdang serta Asahan dibakar dan lebih dari 90 sultan dan kerabatnya tewas dibunuh (Reid, 1980)Riwayat swapraja Simalungun telah berlalu setelah terjadinya revolusi sosial pada tahun 1946. Revolusi itu tidak saja menamatkan kerajaan tapi juga seluruh kerabat perangkat kerajaan dan keluraga raja yang mendapatkan hak istimewa dari pemerintah kolonial, sehingga telah meningkatkan kecemburuan sosial dari rakyat terhadap raja. Revolusi terjadi setelah rakyat diorganisir dan diagitasi oleh organisasi dan partai revolusioner di Simalungun. Sejak saat itu sistem kerajaan tradisional Simalungun menemui riwayatnya. Dalam arti lain, lenyapnya atau runtuhnya zaman keemasan monarhi itu telah pula menandai berakhirnya peradapan besar rumah bolon. ( Suntingan dari Erond Damanik )
Dari Nagur ke Revolusi Sosial Renungan Sejarah Bangsa Simalungun Menyikapi Pentas Pemilu 2004 dan Suksesi Bupati Simalungun 2005
Oleh : Juandaha Raya Purba Dasuha
Pengantar Ungkapan Simalungun mengatakan, “Ulang Lupa Bona!” Soekarno pernah berkata, “Jasmerah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!” Sejarah memang suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa mengenal sejarah masa lampau, sulit melangkah ke masa depan. Demikian ungkapan orang-orang arif menyinggung perlunya sejarah sebagai guru dalam proses kehidupan manusia. .................
Di Bawah Kolonialisme Belanda Sesudah masuknya kolonialisme Belanda dan dimasukkannya daerah kerajaan-kerajaan Simalungun ke dalam tatanan adminitrasi pemerintahan Hindia Nederland melalui penandatanganan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) tahun 1907, resmilah nama Simalungun dipakai dalam surat-meyurat dan adminitrasi kolonial. Melalui Staatsblad No. 531 tahun 1906, nama Simalungun dikukuhkan sebagai nama resmi dalam Afdeeling Simeloengoen en Karolanden yang berpusat di Saribudolook dan kemudian berpindah ke Pematangsiantar dengan V.C.J Westenberg sebagai asisten residen yang pertama.
Resistensi dan Oposisi Simalungun atas Kolonialisme Masuknya Simalungun ke dalam wilayah kerajaan Hindia Nederland bukan tanpa resistensi dan oposisi. Raja-raja Simalungun bersama dengan rakyatnya bangkit berkali-kali menentang Belanda. Mulai dari “serangan fajar” Tuan Raimbang Sinaga tuan Dolog Panribuan yang menunggang-langgangkan pasukan Controleur Kroesen dan Baron de Raet di Aek Buluh di pagi hari tanggal 11 September 1891, sampai Tuan Rondahaim (1897-1891) di Raya yang karena perlawanannya yang cukup keras digelari pejabat kolonial Tichelman sebagai Napoleon van Bataks. Raja Siantar Tuan Sang Na Ualuh Damanik beserta dengan iparnya raja Panei Tuan Djontama Purba Dasuha ikut bahu-membahu mengobarkan perang diplomasi/politik melawan ambisi kolonialisme Belanda yang ingin memecah belah dan memisahkan sebagian wilayah Simalungun ke daerah sultan Deli yang merupakan sahabat terdekat Belanda. Raja Sang Na Ualuh yang dicap keras kepala dan Felle op Mohammedan (Islam yang Keras) oleh Belanda dengan tuduhan yang dicari-cari segera diasingkan ke Bengkalis pada 24 April 1906. Sementara itu iparnya raja Panei Tuan Djontama Poerba Dasoeha yang meprotes tindakan Belanda segera berangkat menghadap residen ke Medan pada 1901 dan meminta Belanda mengembalikan wilayah Kerajaan Panei : Dolog Batu Nanggar, Badjalinggei dan Dolog Merawan ke Panei yang dialihkan Belanda ke daerah kesultanan Deli melalui Padang Badagei, menerima perlakuan yang tidak baik. Begitu bertemu residen, ia ditahan dan meninggal dalam penjara. Sampai sekarang, tidak diketahui di mana kuburnya.
Politik Pecah-Belah Kolonialisme Belanda kemudian memecah belah Simalungun dengan mengadakan poses pembodohan atas Simalungun dengan menumbuh-suburkan praktek perjudian, Candu diberikan dengan dalih apresiasi kolonial untuk kesetiaan raja-raja pada aturan kolonialisme Belanda. Padahal sesungguhnya, Belanda berniat jahat; untuk menghancurkan Simalungun dengan program pembodohan atas golongan pemimpin elit-politik halak Simalungun. Akibatnya raja-raja lebih asyik menghayati kehidupannya sendiri dan kurang peduli dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak yang sengaja diarahkan Belanda untuk kepentingan ekonomi kapitalisnya. Munculnya perkebunan-perkebunan swasta dan pemerintah sejak 1910 di saat Simalungun secara resmi dicanangkan sebagai bagian dari Daerah Perkebunan Sumatera Timur (Cultuurgebied Oostkust van Sumatra) [yang sahamnya sebagian besar dimiliki pengusaha perkebunan (ondernemingers) asing dari Eropa] dalam kenyataannya sedikit saja menyisakan keuntungannya bagi pembangunan dan kemajuan rakyat Simalungun dan itu pun hanya dinikmati raja-raja bersama orang-orang besar kerajaannya. Akibatnya makin bertumbuh dan melebar jurang pemisah yang nyaris tak terjembatani antara raja-raja dan elit politik Simalungun di satu pihak dan rakyat (paruma ni harajaan) di pihak yang lain. Alienasi bangsawan dan elit politik Simalungun dari rakyatnya makin hari makin melebar dan berbalik arah menghunjam kekuasaan “kaum feodal” dan sempurnanya berhasil menjungkalkan kekuasaan kaum feodal yang konon “pro Belanda” dalam aksi Revolusi Sosial tahun 1946.
Imigran Batak Toba dan Tobaisasi Masuknya imigran Batak Toba dari Tapanuli atas inisiatif dan dukungan finansial dan payung hukum Kolonial Belanda dan lambaga zending Jerman (RMG) yang secara spontan dan simultan “menjarah” tanah subur Simalungun Bawah, makin menyempurnakan proses marginalisasi orang Simalungun yang sudah dimulai pasca pasifikasi kolonial 1907. Dampaknya banyak orang Simalungun yang kurang agresif dan “garang” ketimbang imigran Batak Toba itu terpaksa harus mengalah dan mundur ke pedalaman di Simalungun Atas. Dengan arogannya pendatang Batak Toba itu yang merasa dirinya lebih tinggi derajadnya ketimbang raja-raja Simalungun dengan alasan bernada semangat “triumfalistik” produk kolonial dan zending merasakan kalau raja-raja Simalungun yang menjadi zelfbestuur (penguasa swapraja) nota bene sipelebegu dan Silom (Islam) tidak patut memerintah mereka yang lebih superior dan beradab. Dengan alasan itu pula, mereka terang-terangan memaksa Belanda menempatkan pemimpin tersendiri untuk orang Batak Toba seperti halnya orang China dan Timur Asing yang bermigrasi ke Simalungun. Karena itu Belanda atas nama kepentingan politik Hindia Nederland segera pula memenuhi permintaannya dan mengangkat bekas pegawai raja Purba bernama Guru Andreas Simangunsong sebagai “jaihutan” (raja kecil buat orang Toba) pada 1917 untuk memimpin mereka. Sikap “tak tau diri” pendatang orang Toba ini, sangat menggusarkan perasan raja-raja Simalungun. Dengan suara bulat kaum aristokrat menyuarakan protes mereka atas pengangkangan kaum imigran ini atas realitas politik posisi raja-raja Simalungun yang diakui secara de jure dan de facto oleh Belanda sebagai zelfbestuurende landschappen di Onderafdeeling Simeloengoen. Protes mereka atas “previlege” yang diterapkan Belanda atas kaum pendatang dari Tapanuli ini akhirnya mendapat respon dari Asistent Resident Ter Haar, sehingga pada tahun 1920 jabatan itu dihapus dan banyak pegawai-pegawai Batak Toba yang kemudian diberhentikan pemerintah Belanda atas desakan raja-raja dan digantikan pejabat-pejabat orang Simalungun. Ini rupanya menimbulkan perasaan tidak puas dari pihak orang Batak Toba. Dengan pewartaan yang mereka buat di surat-surat kabar lokal, mereka menyuarakan protes dan mengerahkan banyak massa di Tapanuli mendemo keputusan “rasialis” Belanda di Tano Timur.
Perjuangan Pdt. J. Wismar Saragih dan Tokoh-tokoh Simalungun Akan tetapi proses Tobaisasi terus dipertahankan di Simalungun, khususnya dalam kegiatan gerejawi. Orang Simalungun yang sudah beragam Kristen dimasukkan ke HKBP dan memaksa mereka untuk memakai bahasa dan adat Toba, sehingga menimbulkan perlawnaan dari pendeta Simalungun pertama Pdt. J. Wismar Saragih. Bersama dengan kawan-kawannya seperjuangan, mereka meretas kebuntuan perjuangan orang Simalungun dengan mendirikan Lembaga Bahasa dan kebudayaan Simalungun yang mereka sebut Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928. Diterbitkan juga banyak buku yang mengupas berbagai topik dan akar penyebab ketertinggalan suku bangsa Simalungun dan sekalian mengarahkan orang Simalungun ke arah kemajuan (social progress) di segala bidang, seperti pemerintahan, pertanian, rumahtangga dan keluarga maupun kehidupan religius orang Simalungun. Pdt. J. Wismar, Djaoedin Saragih, Guru Djason Saragih dan kawan-kawan dengan tanpa pamrih dan jemu-jemunya berani bersikap menerobos arogansi Gereja Batak Toba yang mengecilkan peranan orang Simalungun dalam partisipasi aktifnya di HKBP. Sukses Pdt. J. Wismar dicatat dengan pengakuan HKBP atas kemandirian Gereja Simalungun dalam HKBP Simalungun (1952) setelah sebelumnya menjadi Distrik Simalungun tahun 1940 dan GKPS sejak 1 September 1963. Perjuangan itu tercapai dengan kerjasama yang kompak antara pejabat-pejabat Gereja Simalungun dengan pejabat-pejabat pemerintah yang kebetulan warga Simalungun, seperti Tuan Madja Purba, Tuan Djariaman Damanik, Haji Ulakma Sinaga, T.S. Mardjans Saragih dan lain-lain.
Revolusi Sosial Puncak kebencian rakyat Simalungun produk proses alienasi bertahun-tahun yang dilakukan kolonial Belanda dan provokasi aktif dari pihak-pihak di luar Simalungun yang punya beragam kepentingan dan akses politik di Simalungun pecah dengan serangkaian aksi vandalisme dan barbarisme yang disebut Revolusi Sosial pada tanggal 3 Maret 1946-1947. Kaum bangsawan (parbapaan, partongah dan partuanan) dan elit-politik Simalungun dituduh publik sebagai antek kolonial dan cenderung pendukung separatisme, yang “halal” untuk dilenyapkan dari permukaan bumi. Satu persatu raja-raja dan golongan bangsawan serta intelektual Simalungun diciduk kalau bukan diculik dari istananya dan dibunuh dengan sadis di tempat-tempat umum yang dapat disalksikan oleh rakyat banyak untuk mendemonstrasikan pembalasan dendam kaum marginal atas kaum feodal selama kejayaannya. Penjarahan atas harta benda milik kerajaan, pemerkosaan dan pembunhan marak di mana-mana di seluruh Sumatera Timur, banyak istana raja-raja dan sultan serta sibayak yang dibakar dan keluargannya dicerai-beraikan oleh perusuh. “Pameran” atas keberhasilan kaum “proletar” menumbangkan kaum “borjuis” diperankan di seluruh Sumatera Tiimur (Simalungun, Melayu dan Karo). Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Poerba Dasoeha beserta sanak saudaranya dibunuh dengan sadis di Sibuttuon, pemangku raja Raya Tuan Djaoelan Kadoek Saragih Garingging diciduk paksa dari keramaian pesta di Manak Raya dan disembelih di jembatan Bah Huta Iling di perbatasan Kerajaan Panei dan Raya. Raja Silimakuta Tuan Padiraja Girsang yang jelas-jelas pro Republik tidak luput dari pembunuhan, demikian pula dengan Tuan Mogang Purba Pakpak raja Purba. Deretan korban revolusi makin panjang, tuan Dologsaribu Tuan Djademan Saragih Garingging harus menerima nasib yang sama seperti tondong-nya raja Panei. Sementara itu, pada April 1947 pembunuhan masih berlanjut, orang-orang yang mengaku nasionalis dan pro Republik menyeret Tuan Hormajawa Sinaga anak tuan Dolog Panribuan dari rumahnya dan mayatnya setelah dibunuh konon dicincang dan dicampur-baurkan dengan daging kerbau untuk santapan laskar rakyat yang berpesta pora merayakan kemenangan orang “kecil” atas orang-orang “besar” kerajaan. Ya, sekali lagi atas nama demokrasi, orang membungkam suara halus hati nurani dan mengabaikan nilai-nilai agama dengan tanpa perasaan bersalah melakukan serangkaian tindakan pembunuhan bahkan kanibalisme demi sesuatu yang dinamakan cita-cita dan ideologi.
Menyikapi “semaraknya” Revolusi Sosial itu ada pakar yang “sedikit mentoleransinya” dengan menyebutnya sebagai tindakan “sadis” yang “terpaksa” dilakukan para barisan sakit hati dan korban-korban arogansi kekuasaan raja-raja dan golongan elit Sumatera Timur [baca: Simalungun] yang konon dimanja oleh Belanda selama masa kolonial. Siapa pelaku Revolusi? Ada yang menyebut pelakunya adalah sekelompok laskar rakyat yang kurang berpendidikan yang teragitasi dan terprovokasi slogan-slogan menggugat pemarginalisasian kaum feodal atas kelompok rakyat kerajaan yang terkondisi untuk miskin dan terbelakang dari para “petualang-petualang” politik yang konon dialamatkan kepada organisasi politik yang namanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan arahan Bupati Urbanus Pardede dan eksekutor lapangan Komandan Barisan Harimau Liar (BHL) yang dilatih Inoue seorang Jepang, yakni Anggaraim Elias Saragih Turnip anak partuanan Tigaras di wilayah Kerajaan Panei. .............................
Penambahan Marga
Pada tahun 1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di Pematang Siantar yang meminta agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.
Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini senada dengan apa yang pernah dituliskan mengenai asal-usul beberapa Marga. Semisal Marga Saragih Garingging, yang disebut beberapa sumber berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah (sebuah daerah di Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging.[3] Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di daerah Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak.[4] Marga Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga Saragih dan kemudian diberi marga.
Adat
Sebagai suku yang bersifat Paterilinear, Suku Simalungun menurunkan marganya melalui garis keturunan Pria, dengan demikian marga seorang ayah akan diteruskan ke putera/puterinya. Oleh karena itu 2 orang yang memiliki marga yang sama akan saling menganggap diri mereka sebagai saudara seketurunan sehingga dipantangkan (tidak diperbolehkan) untuk saling menikah.
Bagi Wanita, marga disebutkan sesudah kata boru (biasa disingkat br.), sehingga jika ada seorang wanita bernama Sofia yang lahir dari ayah bermarga Saragih, maka akan dipanggil sebagai Sofia boru Saragih. Saat seorang wanita Simalungun menikah dengan lelaki dari marga lain, biasanya ia akan menggunakan marga suaminya tersebut pada namanya. Sehingga jika Sofia boru Saragih menikah dengan marga Purba, maka ia akan dipanggil sebagai Sofia Purba boru Saragih.
Daftar Marga
Daftar di bawah ini memuat beberapa marga Simalungun.
A
Ambarita(Dmk)
B
Bariba(Dmk), Bayu(Dmk), Bonor(Sng)
D
Damanik, Dajawak(Srg), Damuntei(Srg)[5], Dasalak(Srg)[6]
G
Garingging(Srg), Girsang(Prb), Gurning(Dmk)
H
Hajangan(Dmk), Hinalang(Prb)
M
Malau(Dmk), Malayu(Dmk), Munthe(Srg)
P
Purba, Pakpak(Prb), Permata(Srg)[7], Porti(Sng)
R
Rampogos(Dmk), Raja/Raya(Dmk), Repa(Dmk), Rih(Dmk), Ruma Horbo(Srg)
S
Sagala(Dmk), Saragih, Sarasan(Dmk), Siallagan(Srg), Siboro(Prb), Siborom Tanjung, Sidabalok(Srg), Sidabahou(Srg), Sidabariba(Sng), Sidabuhit(Srg), Sidabungke(Srg), Sidabutar(Srg), Sidadihoyong(Sng), Sidadolog(Prb), Sidahan Pintu(Sng), Sidajawak(Srg), Sidagambir(Prb), Sidamuntei(Srg), Sidapulou(Srg), Sidasuha(Prb), Sidasuhut(Sng), Sidasalak(Srg), Sidauruk(Srg), Sidoulogan(Sng), Sigumonrong(Prb), Sihala(Prb), Sijabat(Srg), Silangit(Prb), Simaibang(Sng), Simandalahi(Sng), Simanihuruk(Srg), Simanjorang(Sng), Simaringga(Dmk), Simarmata(Srg), Sinapitu(Srg), Siparmata(Srg), Sinaga, Sitanggang(Srg), Sitio(Srg), Sola(Dmk), Sumbayak(Srg)
T
Tanjung(Prb), Tamba(Srg), Tambak(Prb), Tambun Saribu(Prb), Tomog(Dmk), Tondang(Prb), Tua(Prb), Turnip(Srg), Tambak (pasaribu)
U
Uruk(Sng), Usang(Dmk)
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ The Simalungun Protestant Church in Indonesia, a brief history, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1983, hlm. 6
- ^ Pdt Juandaha Raya P Dasuha, STh, SIB(Perekat Identitas Sosial Budaya Simalungun) 22 Oktober 2006
- ^ Taralamsyah Garingging, Garingging
- ^ TBA Purba Tambak, Sejarah Simalungun
- ^ Dalimunthe adalah rumpun Saragih Garingging
- ^ Dasalak adalah rumpun Saragih Garingging
- ^ Permata adalah rumpun Saragih Garingging