Herman Neubronner van der Tuuk
Herman Neubronner van der Tuuk (24 Oktober 1824 – 17 Agustus 1894[1]) adalah peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di Nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuna), dan Bali.
Kehidupan awal
Van der Tuuk lahir dari ayah seorang pengacara Belanda dan ibu seorang peranakan Jerman-Jawa di Malaka, di kala kota pulau itu di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Neubronner adalah nama keluarga dari pihak ibu. Ketika Traktat London (1924) mulai berlaku pada 1925, keluarga van der Tuuk berpindah ke Surabaya.
Seusai menempuh pendidikan dasar, van der Tuuk muda (sekitar 12 tahun) melanjutkan sekolah ke Belanda dan pada usia 16 tahun (1840) ia lulus ujian penerimaan di Universitas Groningen untuk studi ilmu hukum. Namun demikian ia ternyata lebih berminat mempelajari linguistika sehingga tahun 1845 pindah ke Universitas Leiden untuk memperdalam bahasa Arab dan Persia di bawah bimbingan Th. W Juynboll, saat itu seorang ahli Kearaban yang terkenal. Di samping itu ia juga mendalami Sanskrit dan bahasa Melayu.
Sumbangan
Dikenal sebagai orang yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, ia banyak menyusun kamus, seperti kamus bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Toba, bahasa Lampung, dan bahasa Bali. Sebagai tambahan, sebuah buku tata bahasa Toba juga berhasil disusunnya sebagai yang pertama kalinya. Motivasi yang terutama sebenarnya adalah dalam rangka misi penyebarluasan Bibel ke dalam bahasa-bahasa itu, meskipun van der Tuuk diketahui kurang menyukai kekristenan. Meskipun demikian, ia lah orang yang pertama kali menerjemahkan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Magnum opus-nya adalah kamus tribahasa Kawi-Bali-Belanda, yang baru terbit sepeninggalnya.
Van der Tuuk mewariskan dua hukum tentang peralihan konsonan dalam bahasa-bahasa Austronesia. Hukum pertama adalah mengenai pergeseran antara bunyi /r/, /g/, dan /h/, sedangkan yang kedua adalah mengenai pergeseran konsonan antara /r/, /d/, dan /l/.
Di masa-masa akhir hidupnya, Van der Tuuk hidup menyendiri di Bali dan menjadi bahan gunjingan kenalan-kenalannya. Namun demikian, ia sering dimintai bantuan oleh orang-orang Bali, yang menyebutnya Tuan Dertik.
Di Rumah Sakit Militer Surabaya, malam hari tanggal 16 Augutus 1894, ia mengembuskan napasnya yang terakhir. Sekitar seratus surat dan ribuan catatannya tergeletak di sebuah rumah bambu di Singaraja. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman kristen Peneleh, Surabaya[1].
Sebelum meninggal, Agustus 1888, ia sempat menulis surat kepada seorang temannya. Ia mengaku "setengah gila” karena terdorong ambisinya untuk membuat kamus Kawi-Bali, “…berserakan bentukan kata-kata, cukup untuk membuatmu gila; aku setengah gila karena sengsara.”
Dalam buku ”Mirror of the Indies”, Rob Nieuwehuys mengutip komentar seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, “Hanya ada satu orang di seluruh penjuru Bali yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Tuan Dertik (Mr. Van der Tuuk).”
H.N. Van der Tuuk sejak 1870 (ada juga yang mengatakan tahun 1850-an) ia menetap di Bali, di sebuah rumah bambu sangat sederhana. Sebagai seorang linguist (ahli bahasa Bali, Jawa Kuna, Melayu dan bahasa lainnya), sebelum datang ke Bali, ia telah sempat bekerja di Batak sebagai peneliti dan ahli bahasa Batak. Kamus Batak dan terjemahan Injil telah ia kerjakan. Kedatangannya ke Bali sebagai ahli bahasa awalnya juga dibiayai untuk menjadi penerjemah Injil.
Namun, kata hatinya tak terbendung lagi, sebagai seorang yang tidak percaya Injil dan antimoralitas kristiani, akhirnya ia keluar dari lingkaran para misionaris Kristen yang mengirimnya ke Bali. Ia yang semula diharapkan oleh para misionaris Kristen bisa membantu dan membuka jalan untuk ”meng-Kristen-kan” Bali, justru berbalik menentang para pengirimnya.
Suatu hari ia menulis surat kepada Sekretaris Persekutuan Injil (Injil Society) bahwa sudah terlalu banyak kebencian yang memenuhi penanya. Ia adalah ”orang pertama” yang secara terbuka menentang misionaris dan agenda pemerintah Belanda untuk ”meng-Kristen-kan” Bali.
Di kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang ”aneh”, namun sekaligus ”dicintai”. Van der Tuuk ”menyebarkan” semangat perlawanan terhadap Belanda. Ia menentang cara berpakaian Belanda, penentang segala tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Sekitar 40 tahun waktunya ia habiskan untuk mempelajari bahasa Bali dan Jawa Kuna. Ia bersabahat baik dengan para seniman tradisional dan para sastrawan kidung, tembang dan kakawin di Bali. Ikut membaur dengan masyarakat Singaraja, selalu mengenakan sarung dan jarang memakai baju. Ia adalah gambaran lain dari orang Belanda masa kolonial.
Di masa tuanya, konon, ia sering berjalan-jalan di pantai Singaraja, dengan tungked (tongkat untuk membantu berjalan) yang di ujungnya berpentol besar. Kalau ada yang mengganggunya atau menertawakan caranya berjalan, ia memukul kepala orang-orang dengan pentol tongkatnya.
Yayasan Van der Tuuk
Memasuki 34 tahun kematian Van der Tuuk, diselenggarakan sebuah pertemuan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali.
Rapat itu sepakat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.
Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.
Kata ”kirtya” diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ”kr”, menjadi ”krtya”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang mengandung “usaha” atau “jerih payah”.
Hari ini, telah lahir ratusan thesis magister dan desertasi doctoral dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek Kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet).Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuna-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.
Dalam pengantar kamus itu terungkap jasa dari koleksi Van der Tuuk dan Perpustakaan Kirtya dalam penyususan kamus megaproyek yang dikerjakan Romo Zoet dengan kecintaan –jangan pernah membayangkan proyek ini mendapat sponsor pemerintah.
Dalam Kalangwan, ”A Survey of Old Javanese Literature” (Kalangwan, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuna), Prof. P.J. Zoetmulder memberi kesaksian terhadap peranan besar Perpustakaan Kirtya: “Terdapat tiga koleksi utama, yaitu Perpustakaan Nasional di Jakarta, dulu dikenal sebagai Batavians Genootschap van Kunsten en Wetenchappen; di perpustakaan Universitas Negeri di Leiden, Negeri Belanda, dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (dulu perpustakaan Kirtya Liefrinck der Tuuk).
Kalau diperhatikan jumlah naskah yang dimiliki sebuah perpustakaan, maka Leiden-lah menduduki tempat pertama, khususnya karena koleksi lontar dari Lombok dan koleksi dari warisan H.N. Van der Tuuk. Tetapi di lain pihak Kirtya memiliki keanekaragaman yang lebih besar mengenai karya-karya Jawa Kuna, walaupun umumnya hanya satu salinan dari setiap karya.
Pada tahun 1928 didirikan sebuah yayasan (Kirtya) di bawah pemerintah setempat di Bali; dengan terang dijelaskan apa yang menjadi tujuan yayasan itu, yakni: Melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi (diakses) oleh para peminat.
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan, naskah-naskah mana dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu.
Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya kecillah kemungkinan bahwa naskah penting lolos dari perhatian kita dan tetap tersembunyi dalam salah satu tempat terpencil. Maka dari itu kita tak mengharapkan penemuan-penemuan yang menggemparkan di masa yang akan datang. Karena disenteri Perpustakaan (Gedong) Kirtya dibangun tepat di atas tanah tempat rumah bambu Van der Tuuk semasa hidupnya. Perpustakaan ini juga dirintis dengan menjadikan buku-buku dan lontar peninggalan Van der Tuuk sebagai koleksi pertama.