Marga Mandailing
Perkataan 'marga' yang berarti 'clan' itu asalnya dari bahasa Sanskrit, varga yaitu warna. Marga itu bermakna 'kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun'. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA keluaRGA'. Tidak semua orang Mandailing mencantumkan 'marga' dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing ada juga yang tak memakai garis patrilineal (marga), melainkan matrilineal (suku dalam bahasa Minang, seperti etnis Lubu yang merupakan penduduk asli Mandahiling).
Seperti orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah (tarombo/tambo) mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo) kemudian diturunkan secara tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.
Penelitian silsilah marga Lubis Singengu dan Lubis di Pakantan, beserta Harahap dan Hutasuhut di Angkola yang merupakan keturunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu mula menetap di Mandailing Julu pada kurun ke-16. Sementara Lubis-Lubis lainnya, seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Namora Pande Bosi, sampai sekarang belum dipublikasikan.
Umumnya marga-maraga di Mandailing, kisah asal-usulnya tidak menunjukkan berasal dari Toba, seperti opini yang ditebarkan. Antara lain, Batu Bara, Daulae dan Matondang yang berasal dari satu nenek moyang. Tokoh nenek moyang ketiga marga tersebut menurut kisahnya dua orang bersaudara, yakni Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo. Sekitar 1560 keduanya bersama rombongan berangkat dari Batu Bara, Tanjung Balai menuju kawasan Barumun. Di tempat itu, mereka mendirikan kampung bernama Binabo dan di situlah akhirnya Parmato Sopiak meninggal dunia. (Pada 1981 beberapa tokoh marga Daulae, Matondang dan Batu Bara dari Mandailing telah memugar makam Parmato Sopiak yang terletak dekat desa Binabo di kawasan Barumun.) Kemudian hari, dua putera Parmato Sopiak yang bernama Si Lae dan Si Tondang bersama pengikut mereka pindah ke Mandailing Godang, dan mendirikan kampung bernama Pintu Padang. Di situlah, keturunan mereka berkembang dan bermarga Daulae dan Matondang. Datu Bitcu Rayo kemudian berpindah, dan mendirikan kampung Pagaran Tonga. Di tempat itu, keturunannya berkembang menjadi marga Batu Bara.
Orang-orang Mandailing bermarga Rangkuti dan pecahannya marga Parinduri, juga tidak mendukung pendapat, yang mengatakan mereka berasal dari Toba. "...sampai kini tidak seorang pun marga Rangkuti yang menganggap dirinya Batak, tidak marmora (punya hubungan kerabat mertua) dan tidak maranak boru (punya hubungan kerabat bermenantu) ke Tanah Batak." Sebab, menurut penuturan yang dihimpun dari orang-orang tua di Mandailing dan disesuaikan pula dengan tarombo marga Rangkuti, bahwa Ompu Parsadaan Rangkuti (nenek moyang orang-orang bermarga Rangkuti) di Runding, bernama Mangaraja Sutan Pane, yang pada kira-kira abad ke XI datang dari Ulu Panai membuka Huta Runding dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan tersebut berhadapan dengan Harajaon (kerajaan) Pulungan di Hutabargot di kaki Tor (gunung) Dolok Sigantang di seberang sungai Batang Gadis kira-kira 16km dari Panyabungan". Versi lain pula mengatakan bahwa nenek moyang orang Mandailing bermarga Rangkuti pada mulanya datang "dari Aceh Selatan (dari Rondeng Tapak Tuan) menyusur pantai laut sampai ke Natal". Dari sana mereka kemudian turun ke Mandailing Godang dan mendirikan perkampungan mereka yang dinamakan Runding sesuai dengan nama tempat asal mereka. Versi lainnya, Rangkuti merupakan keturunan dari Ra Kuti, yang merupakan tokoh dalam pemberontakan Wedeng pada masa Majapahit, yang lari ke Mandailing yang pada masa lampau sebelum Majapahit masuk dalam Kesultanan Aru.
Marga-Marga Mandailing
Etnis Mandailing hanya mengenal sekitar belasan marga, antara lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut.
Menurut Abdoellah Loebis, marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan adalah seperti berikut: Lubis (yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang adalah Nasution yang terbagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain; Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Di Padang Lawas, terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis.
Nota Kaki 1. Edward McKinnon, Vocabulary: Karo Words of Sanskritic and Tamil Origin, tidak diterbitkan. T. Iskandar, Kamus Dewan, 1970. 2. Katalog Koleksi Melayu, UKM, 1990. 3. Syarahan Haji Abdullah Abbas Nasution, tidak bertarikh. 4. Temubual dengan Ustadh/Cikgu Dahlan Harun (Lubis) di Kampong Batu Sembilan, Chemor, Perak. 5. Basyral Hamidy Harahap, Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk, 1976. 6. Donald Tugby, Cultural Change and Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia, University of Queensland Press, 1977. 7. Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta, 1987. 8. N. Siahaan, Sedjarah Kebudajaan Batak, Medan, 1964. 9. Abdoellah Loebis, Riwajat Mandailing, dipetik dari Mangaraja Ihoetan, Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan, 1926. 10. Lance Castles, Statelessness and Stateforming Tendencies among the Batak before Colonial Rule. Anthony Reid and Lance Castles (editors), Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia, Monographs of MBRAS, Kuala Lumpur, 1975. 11. Ariffin Omar, Bangsa Melayu Malay, Concepts of Democracy and Community 1945-1950, Oxford University Press, 1993.