Revolusi Sosial Sumatera Timur
Pada bulan-bulan Januari sampai Maret 1946, sebelum pengaruh Republik sampai ke kawasan Sumatera Timur, terjadi gejolak revolusi sosial di Sumatra Timur oleh rakyat terhadap penguasa kerajaan Melayu. Gejolak ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan. Pembantaian tidak hanya terjadi pada keluarga kerajaan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menegah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia. [1]
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara yang dikumandangkan oleh Wakil Gubernur Sumatera Dr. M. Amir pada tanggal 3 Maret 1946, tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia. Akibatnya rakyat tidak merasa puas dan mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dinamika perjuangan kemerdekaan. Sistem yang dikehendaki ialah pemerintah yang demokratis berporos kepada kedaulatan rakyat.
Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para aktivis PKI, PNI dan Pesindo. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh lasykar-lasykar yang tergabung dalam Volks Front. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Sultan Langkat di Tanjung Pura pun tertangkap. Demikian juga sultan-sultan lainnya seperti Sultan Kualoh Leidong, Sultan Asahan, dan sultan-sultan lainnya ditangkap walaupun melakukan perlawanan tetapi pasukan-pasukannya dapat dikalahkan oleh lasykar-lasykar rakyat. Pujangga dan anggota keluarga Kesultanan Langkat, Amir Hamzah ikut terbunuh dalam peristiwa ini. [2]
Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Mr. Amir mengeluarkan pengumuman: Bahwa gerakan itu suatu “Revolusi Sosial”, Supaya korban Revolusi Sosial itu harus diminimalisir, Residen Sumatera Timur dipimpin oleh Yunus Nasution untuk sementara waktu yang bekerjasama dengan BP.KNI maupun Volksfront, dan Mr. Luat Siregar diangkat menjadi Juru Damai (Pacifikator) untuk seluruh wilayah Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya. Keterlibatan aktivis Partai Komunis dalam revolusi sosial di Sumatera Timur memberikan kontribusi besar. Terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, Wakil Gubernur Dr. Amir secara resmi mengangkat M. Joenoes Nasoetion, yang juga ketua PKI Sumatra Timur sebagai Residen Sumatera Timur. [3]