Safiatuddin dari Aceh
Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612[1] dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.[2] Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.[1]
Sultanah Safiatuddin | |
---|---|
Sultanah Aceh | |
Masa jabatan 1641 – 1675 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1612 |
Meninggal | 1675 |
Suami/istri | Sultan Iskandar Tsani |
Sunting kotak info • L • B |
Riwayat
Sebelum menjadi sultanah
Sebelum ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.[2]
Masa pemerintahan
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Hubungan luar negeri
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab.[1]
Penasehat negara
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam. [3]
Referensi
Sumber
- ^ a b c Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa. Kabari, 19 Maret 2008.
- ^ a b c Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia
- ^ Posisi Perempuan Dalam Politik Melayu Aceh. (A. Hasjmi. 59 Tahun Atjeh Merdeka, h. 110)
Pranala luar
- (Indonesia)M. Adli Abdullah. Ada Apa Ratu Safiatuddin. Serambi Indonesia, 28 Agustus 2004.
- (Indonesia)Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah Modus Aceh, 2 April 2009.
Didahului oleh: Sultan Iskandar Tsani |
Sultan Aceh 1641—1675 |
Diteruskan oleh: Sultana Naqiatuddin |