Kritik Tradisi merupakan salah satu metode yang dapat dipakai dalam menafsirkan teks-teks Alkitab dengan menggunakan tradisi yang berlangsung dalam sebuah kebudayaan di waktu suatu teks ditulis.

Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Biasanya, tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll. Metode yang akan kita bahas; kritik tradisi, terfokus pada tradisi-tradisi yang digunakan dalam perjalanan suatu masyarakat.

Sebelum menjadi suatu kesatuan yang padu, teks-teks Alkitab memiliki tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangannya sendiri (ada yang dalam jangka waktu yang panjang ataupun sebaliknya), memang tidak semua teks mengalami hal ini tetapi sebagaian besar teks Alkitab melalui proses ini dan tradisi menjadi salah satu bagian penting dalam perjalanan teks-teks tersebut. Dengan kenyataan seperti itu kritik tradisi pun dapat menjadi metode yang sangat bermanfaat untuk melakukan pendekatan pada teks-teks Alkitab. Dalam hal ini, Pentateukh dapat menjadi contoh yang tepat karena Pentateukh mengalami tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam jangka waktu yang lama. Kita dapat menemukan banyak penyuntingan yang dilakukan dalam kronologi waktu yang berbeda. Kekhasan dalam unsur-unsur sastra di dalamnya, penggunaan bahasa, gaya penulisan, sumber-sumber dst sehingga menunjukkan perbedaan teks, secara tidak langsung menunjukkan lamanya perjalanan teks tersebut dengan tradisi yang juga berbeda-beda (tradisi Y, E, D, dan P). Sedangkan Injil dapat menjadi contoh yang tepat bagi teks-teks yang juga melalui perjalanan tahapan teks tetapi dalam jangka waktu yang relativ lebih pendek.

Masa yang dilalui teks sebelum menjadi Alkitab, sering digolongkan menjadi periode lisan dan tulisan. Cerita-cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut dalam periode lisan diperlakukan sebagai tradisi yang dianggap cukup berharga dan suci untuk diteruskan ke generasi berikutnya. Menurut buku Pedoman Penafsiran Alkitab, istilah tradisi merujuk pada apa yang diteruskan ke generasi berikutnya baik suci atau tidak, tetapi dalam konteks PL dan PB tentu saja cerita yang dianggap suci dan normative bagi orang percayalah yang diteruskan. Kritik tradisi dapat diterapkan juga pada periode tulisan.

Cara bagaimana suatu tradisi bertumbuh dan berkembang dapat dilihat juga pada tulisan-tulisan zaman modern . Misalnya dalam buku nyanyian gereja. Seringkali kita temukan versi yang berbeda. Ada yang berisikan tiga bait, ada yang lima bait. Kata-kata pada buku nyanyian yang satu berbeda dari buku nyanyian yang lain. Jika kita mencoba untuk memahami versi tertentu dari sebuah nyanyian, maka akan banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini versi yang asli? Atau, apakah ada yang lebih asli dari sebelumnya, dsb. Ini berarti bahwa nyanyian sudah menjadi tradisi atau “ditradisikan”. Nyanyian itu muncul pada satu waktu kemudian disebarluaskan dan diubah-ubah sampai nyanyian itu kini dapat kita temukan dalam berbagai bentuk.

Begitu pun Alkitab. Seringkali tulisan-tulisan Alkitab memperlihatkan pertumbuhan yang serupa yang terletak dibalik sebuah teks tertentu. Itu dapat kita lihat pada kitab PL tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11. Ketika kita melihat isi dan strukturnya, kita akan menemukan satu versi lain dalam Ulangan 5:12-15, dan yang lebih penting lagi keduanya terdapat beberapa perbedaan. Diantaranya, kitab Keluaran lebih pendek beberapa baris. Isi dari kedua kitab ini pun berbeda. Dalam kitab Keluaran, pemelihaaan hari Sabat dikaitkan dengan penciptaan dunia, sedangkan dalam kitab Ulangan, pemeliharaan hari Sabat didasarkan pada pembebasan dari mesir. dari hal-hal ini kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana dua versi dari perintah yang sama di dalam Dasa Titah berkaitan satu dengan yang lain? Versi yang panjang lebih tua atau yang pendek yang lebih tua? Bagaimana menjelaskan adanya dua dasar teologi yang satu sama lain berbeda untuk pemeliharaan hari Sabat, dsb. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kritik tradisi. Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjdai perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

Cara bagaimana suatu tradisi bertumbuh dan berkembang dapat dilihat pada tulisan-tulisan zaman modern . Misalnya dalam buku nyanyian gereja. Seringkali kita temukan versi yang berbeda. Ada yang berisikan tiga bait, ada yang lima bait. Kata-kata pada buku nyanyian yang satu berbeda dari buku nyanyian yang lain. Jika kita mencoba untuk memahami versi tertentu dari sebuah nyanyian, maka akan banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini versi yang asli? Atau, apakah ada yang lebih asli dari sebelumnya, dsb. Ini berarti bahwa nyanyian sudah menjadi tradisi atau “ditradisikan”. Nyanyian itu muncul pada satu waktu kemudian disebarluaskan dan diubah-ubah sampai nyanyian itu kini dapat kita temukan dalam berbagai bentuk.

Begitu pun Alkitab. Seringkali tulisan-tulisan Alkitab memperlihatkan pertumbuhan yang serupa yang terletak dibalik sebuah teks tertentu. Itu dapat kita lihat pada kitab PL tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11. Ketika kita melihat isi dan strukturnya, kita akan menemukan satu versi lain dalam Ulangan 5:12-15, dan yang lebih penting lagi keduanya terdapat beberapa perbedaan. Diantaranya, kitab Keluaran lebih pendek beberapa baris. Isi dari kedua kitab ini pun berbeda. Dalam kitab Keluaran, pemelihaaan hari Sabat dikaitkan dengan penciptaan dunia, sedangkan dalam kitab Ulangan, pemeliharaan hari Sabat didasarkan pada pembebasan dari mesir. dari hal-hal ini kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana dua versi dari perintah yang sama di dalam Dasa Titah berkaitan satu dengan yang lain? Versi yang panjang lebih tua atau yang pendek yang lebih tua?

Bagaimana menjelaskan adanya dua dasar teologi yang satu sama lain berbeda untuk pemeliharaan hari Sabat, dsb. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kritik tradisi. Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjdai perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

Kritik tradisi juga bergantung pada tekhnik-tekhnik penafsiran, dimensi sejarah dan kesusestraan. Kritik tradisi dalam tulisan alkitabiah terdapat banyak tulisan yang menunjukkan suatu proses penerusan tradisi yang masih berlangsung. Contohnya, terdapat pada pentateukh, selain itu Keluaran dan Ulangan ( yang terdapat dalam Perjanjian lama ) tradisi tentang perjalanan di padang gurun. Hal ini memiliki arti tradisi penderitaan yang menceritakan pengharapan akan kebebasan. Kebebasan dalam tulisan alkitabiah juga disesuaikan pada tradisi yang ada. Kritik tradisi memperoleh hasil yang bersifat hipotesis. Perlu diketahui juga untuk menafsirkan secara pendekatan kritik tradisi harus memerhatikan pemilahan bentuk-bentuk khusus teks, menyusunnya dalam urutan kronologis dan menafsirkan pelbagai aspek tahap-tahap perkembangan.