Gereja Katolik Roma

denominasi Kristen

Gereja Katolik Roma (sering disebut singkatnya Gereja Katolik, silakan lihat Katolik untuk penjelasan yang lebih detil tentang "Gereja Katolik") adalah persekutuan Kristen yang dipimpin oleh Paus, Uskup Roma, dan percaya pada keyakinan yang dijelaskan dalam kredo dan keputusan yang dibuat oleh konsili Gereja awal.

Basilika Santo Petrus di Roma. Patung di depan adalah Santo Petrus, yang merupakan Paus pertama dalam Gereja Katolik

Hal ini didasarkan pada kredo yang menyatakan "Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik yang didirikan oleh Yesus Kristus", dan bahwa "satu-satunya Gereja Kristus yang menurut Kredo kami percayai adalah Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik" hadir dalam bentuk "Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan oleh para uskup yang berada dalam satu komuni bersamanya" (Dekrit Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 8).

Yang dimaksudkan dengan "pengganti Petrus" ini adalah Uskup Roma, Paus, yang ditahbiskan tanpa terputus sejak masa Yesus Kristus pada abad pertama. Inilah identitas yang kelihatan dari Gereja Katolik.

Berdasarkan tata cara beribadahnya, Gereja Katolik Roma dapat digolongkan menjadi dua ritus: ritus Barat (atau Latin) dan ritus Timur. Gereja Katolik di Indonesia mengikuti ritus Barat.

Terminologi

Sepanjang sejarahnya, Gereja yang dijelaskan dalam artikel ini menggunakan banyak nama, antara lain "Gereja", "Gereja Katolik", dan "Gereja Katolik Roma". Nama "Gereja Katolik" digunakan untuk membedakannya dengan Gereja-Gereja lain yang tidak berada dalam persekutuan penuh (komuni penuh) dengan Uskup Roma, yakni Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, Anglikan, dan berbagai denominasi Protestan.

Nama "Gereja Katolik Roma" pertama kali digunakan oleh kaum Protestan untuk menyebut seluruh Gereja yang setia kepada Uskup Roma. Namun nama ini juga digunakan oleh umat Katolik sendiri sejak abad ke-17, baik dalam bahasa Inggris, bahasa Perancis, maupun bahasa Latin, untuk memperkenalkan iman mereka terutama dalam hal persekutuan mereka dengan tahta keuskupan Roma. Di kawasan Timur Tengah, sebutan Gereja Katolik Roma dapat pula berarti Gereja Katolik Melkit, atau Gereja katolik yang menggunakan Ritus Latin, atau bahkan bisa berarti Gereja Katolik di kota Roma, Italia.

Dalam hubungannya dengan Gereja-Gereja lain, nama "Gereja Katolik" yang dipergunakan, dan untuk urusan internal digunakan nama "Gereja". Sebagai contoh, dalam Katekismus Gereja Katolik, nama "Gereja" digunakan ratusan kali, sedangkan nama "Gereja Katolik" hanya digunakan 24 kali, bahkan nama "Gereja Katolik Roma" sama sekali tidak digunakan.

Penggunaan nama "Gereja Katolik" secara resmi diterima oleh beberapa Gereja Kristen lainnya, namun kebanyakan dari mereka menggunakan istilah "Gereja Katolik Roma" untuk menyebut Gereja ini. Meskipun demikian, dalam penggunaan secara informal, bahkan oleh anggota-anggota Gereja lainnya istilah "Gereja Katolik" difahami sebagai nama dari Gereja ini. Pada tahun 397 Masehi, Santo Agustinus dari Hippo menjelaskan bahwa nama tersebut bahkan difahami oleh mereka yang digolongkannya sebagai kaum bidaah:

… Nama itu, yakni Katolik, yang bukannya tanpa alasan, dengan dikelilingi begitu banyak bidaah, telah digunakan oleh Gereja; dengan demikian, meskipun semua kaum bidaah ingin disebut Katolik, namun jika ada orang asing bertanya dimanakah jemaat Katolik berkumpul, maka tak satupun kaum bidaah yang berani menunjuk kapel atau rumahnya sendiri.

Singkatnya, baik nama "Gereja Katolik", maupun "Gereja Katolik Roma" digunakan sebagai sebutan alternatif bagi seluruh gereja "yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan oleh para uskup yang berada dalam satu komuni bersamanya."

Gereja tertentu dalam Gereja Katolik Roma

Tidak seperti gereja lain yang melihat diri mereka sebagai gereja yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lainnya, gereja yang dipimpin oleh Paus menganggap persekutuan mereka sebagai satu Gereja. Seperti yang dijelaskan dalam Surat kepada Uskup Gereja Katolik dalam beberapa aspek Gereja tentang persekutuan, tertanggal 28 Mei 1992.

Sejarah Gereja Katolik di Indonesia

  • Era Portugis

Di Indonesia, orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku pada tahun 1534. Ketika itu pelaut-pelaut Portugis baru menemukan pulau-pulau rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.

  • Era VOC

Sejak kedatangan dan kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619 - 1799, akhirnya mengambil alih kekuasaan politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk VOC yaitu Flores dan Timor.

Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang kemudian menjadi Protestan saat itu.

Imam-imam Katolik diancam hukuman mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1924, Pastor Egidius d'Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara.

Pastor A. de Rhodes, seorang Yesuit Perancis, pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan pembakaran salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de Rhodes diusir (1646).

Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria, terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.

Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat diliputi perang dahsyat antara Perancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Perancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedaulatannya. Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar.

  • Era Hindia-Belanda

Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia (lihat: Sejarah Gereja Katedral Jakarta)

Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.

Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) berkuasa menggantikan VOC dengan pemerintah Hindia Belanda. Kebebasan beragama kemudian diberlakukan, walaupun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun 1889, kondisi ini membaik, di mana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.

  • Van Lith

Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.

Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool di tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di tahun 1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat.

Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranata, SJ.

  • Era Perjuangan Kemerdekaan

Albertus Soegijapranata menjadi Uskup Indonesia yang pertama ditahbiskan pada tahun 1940.

Tanggal 20 Desember 1948 Romo Sandjaja terbunuh bersama Frater Hermanus Bouwens, SJ di dusun Kembaran dekat Muntilan, ketika penyerangan pasukan Belanda ke Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Romo Sandjaja dikenal sebagai martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.

Mgr. Soegijapranata bersama Uskup Willekens SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.

Banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti Adisucipto,_Agustinus (1947), Ignatius Slamet Riyadi (1945) dan Yos Sudarso (1961).

  • Era Kemerdekaan

Kardinal pertama di Indonesia adalah Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia pada 1970. Kemudian tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan DIY), Maumere (Flores) dan Dili (Timor Timur).

Pranala luar