Sampuraga adalah nama tokoh dalam cerita rakyat suku Dayak Tomun yang berasal dari Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Legenda Sampuraga bercerita tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi bukit batu. Sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah membatu di desa Karang Besi, tepatnya 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut legenda ini. Bukit Sampuraga, demikian nama obyek wisata Pemerintah Kabupaten Lamandau tersebut, diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal Sampuraga.

Bukit yang mirip reruntuhan sisa kapal yang diyakini sebagai sebagai kapal Sampuraga yang telah membatu.

Cerita rakyat yang mirip dengan kisah Malin Kundang dari Padang tersebut mempunyai versi lain yang jauh lebih terkenal di Indonesia, yaitu legenda Kolam Sampuraga dari daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Legenda

Patih Sebatang menikahi Dayang Ilung

Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak Tomun, seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatera berlayar sampai ke kerajaan Petarikan, di hulu sungai Belantikan, pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang. Tidak jelas apakah Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh legendaris masyarakat Minangkabau.

Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan seorang putri Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namnya Dayang Ilung, yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat cerita Patih Sebatang jatuh cinta dan akhirnya menikahi sang putri.

Sampuraga mencari ibunya

Tidak lama kemudian, Dayang Ilung melahirkan seorang putra, yang dinamai Cenaka Burai. Entah bagaimana kisahnya Patih Sebatang akhirnya berpisah dengan isteri tercintanya. Selain buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih Sebatang.

Sampuraga dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang berharkat dan bermartabat tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya, Cenaka Burai juga kelak dipanggil sebagai Sampuraga. Kemudian ketika sudah dewasa Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya ada di sebuah kerajaan nun jauh di hulu sungai Belantikan. Sampuraga berkeras ingin menjumpai ibu kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri ibunya. Sang ayah pun menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga, dan menunjukkan sebuah cincin pernikahan mereka.

Dibekali dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar sampai ke kerajaan Petarikan. Sesampainya disana, masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah tua. Dayang Ilung ternyata telah bertahun-tahun menantikan kembalinya anak kandungnya. Bukan main senangnya Dayang Ilung mengetahui buah hatinya menjumpainya langsung. Hampir saja ia memeluk Sampuraga, tapi Sampuraga menolak. Sampuraga tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah?

Sampuraga masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya kepada wanita tua itu. Karena Dayang Ilung sudah dimakan usia, cincin tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga semakin yakin bahwa wanita itu bukan ibunya. Sampuraga memutuskan untuk pulang.

Dayang Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, "Nak, kamu sudah meminum susu dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu akan terkena malapetaka!"


Sampuraga dikutuk

Dengan amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak habis pikir, kenapa ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan Sampuraga bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang ibu.

Di tengah jalan, tiba-tiba badai menghadang. Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Sampuraga teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri.

"Ibu, ibu, kamu memang ibuku!" demikian Sampuraga memohon ampun.

Tiba-tiba terdengar suara ibunya, "Nak, sudah jatuh telampai. Tidak mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi."

Demikianlah Sampuraga membatu bersama kapalnya.


Dayak Tomun dan Pengaruh budaya Minangkabau

Dayak Tomun sebagai pewaris cerita Sampuraga merupakan nama suku besar dayak yang bermukim di daerah aliran sungai Lamandau, tepatnya di Kabupaten Lamandau. Istilah "Tomun” dipakai untuk menunjuk sekelompok suku dayak yang saling mengerti dan memahami dalam hal bahasa walaupun terdiri dari berbagai macam sub-suku yang ada di sana, baik dari segi dialek, daerah permukiman (dukuh dan sungai), dan tradisi. Kata "Tomun” memiliki makna yang dalam bahasa Indonesia, “berbicara”, “bermusyawarah”, “bertemu”, “adanya perjumpaan untuk saling memahami”. Maka, dari kata “Tomun” inilah, mengungkap alasan mengapa mereka bisa saling mengerti dalam berbahasa, walau mereka berasal dari sub-suku, daerah, dan bahasa yang berbeda satu sama lain sebagai sebuah ciri khas dan keunikan dari suku Dayak Tomun.

Mengherankan mengetahui bahwa asal-usul Dayak Tomun berkaitan erat dengan suku Minangkabau di Sumatera Barat. Dayak Tomun mengklaim bahwa mereka adalah generasi dari Datuk Perpatih Nan Sebatang dari Pagaruyung, Kalimantan Barat. Khususnya di Kudangan, banyak kosakata daerah mirip dengan kosakata dalam bahasa Minangkabau. Ada rumah adat mirip rumah Minangkabau.

Lihat pula

Pranala luar