Agenda HKBP (buku)
Agenda (Tata Ibadah HKBP) adalah sebuah buku kumpulan tata ibadah yang dipakai oleh gereja HKBP. Kata Agenda berasal dari bahasa Latin yang berarti menunjukkan sebuah daftar tentang hal-hal yang akan dikerjakan; kemudian kata itu digunakan oleh gereja-gereja protestan di Jerman Agende atau “Kirchenagende”, yaitu sebuah buku kumpulan tata ibadah yang dipakai oleh gereja, antara lain: kebaktian minggu biasa, kebaktian dengan perjamuan kudus, dengan babtisan, naik sidi, pemberkatan nikah, pemakaman, ordinasi (die Ordination zum Predigtamt), dll. Padanannya sebelum masa Reformasi adalah Agenda missarum (perayaan messe ), agenda mortuorum (perayaan mengenang para orang mati ), dll. Kumpulan Tata Ibadah HKBP pun dikenal dengan nama “Agende” (dulu) atau “Agenda” (kini) sesuai dengan pemakaian kata itu oleh gereja-gereja asal para misionaris yang bekerja di Tanah Batak (1861 – 1940).
Latar Belakang Historis
Sejak awal pekabaran Injil di Tanah Batak ( 1850-an ) oleh para penginjil ( Protestan ) Eropa keinginan untuk pengadaan sebuah liturgi atau tata ibadah minggu dan peristiwa-pristiwa gerejawi lainnya sudah menggema dan upaya untuk itu sudah dilakukan. Ini nampak dari laporan-laporan para penginjil, seperti yang nampak dari laporan kegiatan pengabaran Injil di lembah Silindung ( Batak – Toba ) oleh Ingwer Ludwig Nommensen ( Hutadame) , Peter H.Johannsen ( Pansurnapitu) dan August .Mohri.(Sipoholon). Mereka di tempat pelayanan masing-masing telah membuat gagasan-gagasan awal untuk menciptakan tata ibadah minggu, ibadah baptisan, perjamuan kudus, peneguhan sidi, pernikahan, dll. Dan ini semuanya telah bermuara pada sebuah buku Agenda, dan besar kemungkinan Agenda edisi pertama ialah Agenda 1904, yang menjadi acuan bagi paparan kita dalam mencari dasar-dasar teologis dan praktis sebuah Agenda HKBP untuk dipakai masa mendatang. Dugaan ini didukung oleh adanya sebuah buku pedoman dan penjelasan tata ibadah serta kelengkapannya, yang telah dipublikasikan melalui edisi bahasa Jerman terbit tahun 1906 dan edisi bahasa Batak ( Toba ) tahun 1907.
Urutan mata acara ibadah dalam Agenda Edisi 1904
Susunan mata acara ibadah menurut Edisi 1904 adalah sebagai berikut: Marende ( Menyanyi ). Pasu – pasu ( Berkat; “Votum” ). Manjaha sada ayat na tongon tu ganup Minggu manang ari pesta sian bag.IIA ( Membaca sebuah nats mingguan atau sebuah nats yang ditentukan dalam bagia IIA Agenda ). Martangiang ( Doa dari bag.IID ); Huria mandok ( Jemaat menyambutnya dengan mengucapkan ): Amen! Pandita mandok ( Pendeta mengucapkan ) : Didongani Debata ma hamu!; Huria mandok ( Jemaat meresponnya ): Amen! Tangihon hamu ma patik ni Debata ( Dengarkanlah Hukum Allah): ( manang sinungkun angka patik tu na torop I / atau menanyakan isi Hukum itu kepada jemaat yang beribadah). Huria mandok di ujung ( jemaat menyambutnya ): “Ale Tuhan Debata! Sai pargogoi ma hami, mangulahon na hombar tu patikmi! Amen!” ( Ya Tuhan Allah! Kuatkanlah kami melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan HukumMu. Amin!) Marende huria ( Jemaat menyanyi ): “O Jesus Panondang di portibi on” ( No.24 ) ; manang No.21,3: “Paian Panondangmu ale Panondang i. Ambati ma na lilu di hasiangan i.”; manang ayat ni Ende na asing pinillit, jadi do. Panopotion di dosa ( Pengakuan dosa ): Tatopoti ma dosanta! ( Marilah kita mengaku dosa-dosa kita! ) ( Dijaha tangiang on,manang sada na asing taringot tu panopotion, na tarsurat di bag. II B/ membaca doa yang sudah tersedia atau memilih doa pengakuan dosa dari bagian IIB ). Pandita mandok: Bege hamu ma baga-baga ni Debata,taringot tu hasesaan ni dosa ( Pendeta mengucapkan: dengarlah janji Allah tentang pengampunan dosa itu ) : “Molo tatopoti angka dosanta, haposan do Ibana jala bonar, manesa dosanta jala paiashon hita sian saluhutna hageduhon i.” ( Kalau kita mengaku dosa-dosa kita, Dia setia dan jujur untuk menghapus jala memurnikan kita dari segala kebohongan kita ). Manang hata baga-baga nasing na tarsurat di bag.II C ( Atau membaca sebuah janji pengampunan dosa dari bag IIC ). Huria marende ( Jemaat menyanyi ): “Amen, Amen, Amen na tutu do I, Sai marhasonangan na porsea i. Sesa do dosana salelengna I, Lehonon ni Jesus haposanta i!” Pandita mandok ( Pendeta mengatakan ): Tabege ma hata ni Debata turpuk ni ari Minggu on ( Marilah kita mendengar Firman Allah nats untuk hari mInggu ini ): ( jahaon sian Evangelium manang sian Epistel manang sian Padan na Robi, na so sipajojoron di na sadari di parjamitaan / membaca dari kitab Injil atau nats darei Prjanjian Lama yang tidak perlu dihafalkan pada hari itu dari podium khotbah ). Pandita mandok ( Pendeta mengatakan ): Martua do angka na tumangihon hata ni Debata, jala na umpeopsa. Amen! ( Berbahagailah orang yang mendengar firman Allah serta memperhatikannya / menyimpannya dalam hati. Amin! Huria mandok ( Jemaat menyambut dengan nyanyian ): “Hatami ale Tuhanhu, arta na ummarga I etc.” Pandita mandok ( Pendeta mengatakan ) : Tahatindanghon ma hata haporseaonta I ( Marilah kita menyaksikan pengakuan percaya kita ) , ( rap mandok Pandita dohot huria / pendeta mengucapkannya bersama-sama denganjemaat): …. Huria marende ( Jemaat menyanyi ) : “Na martungkot sere au etc.” ( No.168 ) ; manang ( atau ) “Ojahan on do ingananhu” etc ( No. 155,6 ); manang ( atau ) “Pos ma ho rohanghu di Debata” etc ( No. 166 ) ; mamang ( atau ) :”Jahowa do haposanghi na, na mangapoi rohanghu” etc ( No. 148 ) ; manang ( atau ): “Loas hutiop Jesushi” etc ( No. 172, 4 ). Pandita ro tu parjamitaan, dohononna ma ( Pendeta maju ke podium khotbah serta mengucapkan ):”Dame ni Debata, na sumurung sian saluhut roha, I ma mangaramoti angka ate-atemuna dohot rohamuna, marhute-hite Jesus Kristus. Amen! / Damai Allah yang melebihi segala akal, itulah yang memelihara hati dan pikiranmu melalui Jesus Kristus. Amin! Marjamita ( Berkhotbah ) . Dung sun marjamita, martangiang sian roha ( khotbah ditutup dengan doa bebas ). Tingting ( Warta jemaat ) . Tiningtinghon angka sitingtinghononhon di huria ( pemberitahuan apa-apa yang perlu diketahui dan dilakukan oleh jemaat ). Huria marende ( Jemaat menyanyi ). ( Andorang marende mardalan durung-durung / persembahan / menyanyi sambil memberikan persembahan ke kantong persembahan yang diedarkan oleh para penatua )). Pandita ro tu jolo ni langgatan, martangiang ( Pendeta datang menuju mezbah dan membacakan doa ): Dijaha ma sada tangiang, na tongon tu minggu manang pesta / doa dipilih dari doa yang ditentukan untuk setiap minggu ( ida di bag.II E di buku on / lihat bag II E Dario Agenda ). Udutna luhut huria mandok ( semua jemaat mengucapkan Doa Bapa Kami ): “Ale Amanami na di banua ginjang ….Amen! Pasu-pasu ( berkat ) : “Dipasu-pasu jala diramoti ….” Manang / Atau : “Didongani asi ni roha ni Tuhanta Jesus Kristus ….” Laho haruar ( ketika saat keluar ibadah ) : marende angka anak dohot boru sikola, sada ende na pinillit hian ( anak-anak sekolah laki-laki dan perempuan menyanyikan sebuah lagu yang sudah dilatih sebelumnya ).
Agenda 1904 dan Agenda HKBP terkini 1998
Melihat susunan mata acara ibadah 1904 tersebut di atas, jika dibandingkan dengan susunan mata acara ibadah dalam Agenda edisi terkini , misalnya edisi 1998 , maka beberapa diantaranya punya tempat yang tetap, tetapi ada pula yang sudah bergeser, ada penambahan, pengurangan, bahkan ada pula penghapusan. Pertama, dalam satuan Votum: dalam Agenda 1904 ( nomor 1 – 5 ), mata acara no. 4 dan 5 sudah ditiadakan dalam Agenda 1998; mungkin sebagai gantinya dalam Agenda 1998 ialah mata acara no 3 di mana jemaat menyambut votum ( dan introitus ) dengan menyanyian Haleluya 3 kali. Kedua, mata acara tentang pembacaan Hukum Taurat ( Dasa Titah ) berada dalam posisi yang sama dalam kedua Agenda, di mana tempatnya sesudah satuan mata acara yang termasuk bagian votum dan introitus ( Agenda 1904 dalam nomor 5-6 ) sedang dalam Agenda 1998 dalam nomor 6-7 ). Sebagai catatantambahan: mata acara ini tidak disinggung oleh F.Tiemeyer dalam paparannya tahun 1936 itu. Mungkin perlu juga mencari alasan mengapa beliau tidak membuat refleksi teologis – praktisnya. Apakah ada keinginan untuk menghilangkannya dari mata acara ibadah? Cuma ada juga perubahan dalam mata acara ( no. 8 ) menyanyi dalam Agenda 1904, di mana beberapa nyanyian tertentu sudah dipilih untuk menyambut Hukum Taurat Tuhan, sedangkan dalam Agenda 1998 nyanyian tersebut dapat dipilih sesuai dengan fungsinya. Ketiga, satuan mata acara berikut ialah tentang pengakuan dosa serta janji penghapusan dosa ( Agenda 1904, mata acara nomor 9-11 dan Agenda 1998,mata acara 9-11 ). Dalam kedua Agenda tersebut mata acara ini ditempatkan sesudah mendengar Hukum Taurat. Namun dalam mata acara tentang janji penghapusan dosa, Agenda 1904 telah menyusun doa tertentu :”Molo itatopoti angka dosanta …!” Doa ini dapat juga diganti oleh salah satu doa yang tersedia dalam bagian II.C. Doa tersebut sudah dihilangkan dalam Agenda 1998. Perubahan lain yang terjadi diantara kedua Agenda tersebut ialah dalam hal menyanyikan nyanyian menyambut mata acara pengakuan dosa dan janji penghapusan dosa. Agenda 1904 ( mata acara nomor 11 ) mencantumkan nyanyian tertentu yaitu :”Amen, Amen, Amen, na tutu do I, Sai marhasonangan na porsea i. Sesa do dosana, salelengna I, Lehonon ni Jesus, haposanta i!” Agenda 1998 tidak membatasinya, artinya bisa diambil nyanyian yang sesuai dengan mata acara tersebut. Keempat, satuan tentang pembacaan firman Allah ( Epistel ) ditempatkan sesudah pengakuan dosa dan janji penghapusan dosa dalam kedua Agenda tersebut ( Agenda 1904 dalam mata acara nomor 12-14, dan dalam Agenda 1998 dalam mata acara nomor 12-13 ). Dalam Agenda 1904, jemaat menyambut pembacaan firman dengan nyanyian yang sudah ditentukan dalam Agenda, yaitu :”Hatami ale Tuhanku, arta na ummarga etc.” Agenda 1998 tidak membatasinya. Kelima, satuan mata acara berikut untuk kedua Agenda ialah jemaat mengucapkan Pengakuan Percaya Rasuli ( Agenda 1904,nomor 15-16 dan Agenda 1998,nomor 14 ). Tetapi Agenda 1998 telah menambahkan kalimat ajakan liturgis untuk pengucapan secara bersama melalui kalimat berikut : “….. songon na hinatindanghon ni donganta sahaporseaon di sandok portibi on. Rap ma hita mandok: …” Agenda 1904 menyebutkan beberapa nyanyian ( 5 nynyian ) untuk menguatkan pengakuan percaya jemaat tersebut, dan Agenda 1998 tidak membatasinya. Keenam, ada perbedaan yang signifikan dalam mata acara berikutnya. Agenda 1904 ( mata acara nomor 17-19 ) menempatkan mata acara untuk khotbah yang didahului oleh doa peneguhan akan janji Allah yang telah memberikan damai sejahteraNya dan akan memberikan-Nya lagi melalui firman Allah yang dikhotbahkan oleh pengkhotbah. Sesudah khotbah, jemaat mendengar “Tingting” ( warta jemaat: mata acara nomor 19 ); kemudian dilanjutkan dengan nyanyian menyambut khotbah dan tingting, dan pada saat bernyanyi jemaat mengumpulkan persembahan ( “durung-durung” ) . Dapat dicatat, bahwa persembahan dilakukan satu kali, dan dalam Agenda 1998 sebanyak dua kali.Dan akhir-akhir ini persembahan sudah dilakukan tiga kali ( tiga kantongan persembahan ). Agenda 1998 menempatkan mata acara tentang “Tingting” ( mata acara nomor 15 ) sesudah mata acara Pengkuan Iman Percaya, kemudian menyanyi sebagai penghantar khotbah ( mata acara nomor 17 ) sambil jemaat mengumpulkan persembahan ( dengan dua kantongan : mata acara nomor 16 ). Khotbah disambut oleh jemaat dengan menyanyi; dan tanpa dicantumkan dalam mata acara 18, jemaat juga mengumpulkan persembahan kedua kali ( dengan satu kantongan ). Dengan demikian nampak adanya pergeseran tempat dari mata acara “Tingting”: Agenda 1904 menempatkannya sesudah khotbah, sedang Agenda 1998 menempatkanannya sebelum khotbah. Melalui penempatan ini, nampak bahwa Agenda 1904 lebih dekat kepada susunan mata acara ibadah dari Agenda Gereja Injili Union ( Die Evangelische Kirche Der Union di Prusia, Jerman ). Ketujuh, mata acara ibadah diakhiri dengan doa penutup dan berkat oleh Pendeta yang berkhotbah, namun caranya berbeda-beda. Dalam Agenda 1904 liturgis mengambil sebuah doa yang dapat dipilih dari bagian II E, kemudian mengundang jemaat bersama-sama mngucapkan doa “Bapa Kami..!”, kemudian ditutup dengan pengucapan Berkat ( mata acara 21-22 ), dan jemaat mendengar sebuah nyanyian dari para anak-anak sekolah Dasar ( mata acara 23 ). Dalam Agenda 1998, Pendeta / Liturgis membacakan doa persembahan ( mata acara nomor 19 a ), kemudian membacakan “Doa Bapa Kami” ( mata acara 19b ), dan bagian terakhir dari Doa tersebut dinyanyikan oleh jemaat : “Karena Engkau yang punya kerajaan …” ( mata acara nomor 20 ), dan diakhiri dengan ucapan Berkat ( mata acara nomor 21 ) serta disambut oleh jemaat dengan menyanyikan “Amin, Amin, Amin!” ( mata acara nomor 22 ). Dalam mata acara untuk hari-hari raya gerejawi tertentu ( Paskah dll ), diucapkan juga sebuah doa khusus untuk itu yang diambil dari Agenda bagian II E ), dan tempatnya sebelum pengucapan Doa Bapa Kami. Kedelapan, dalam Agenda 1904 ada tata ibadah Minggu yang khusus untuk jemaat muda yang dipimpin oleh seorang Guru Jemaat ( Guru ). Ada beberapa mata acara yang ditiadakan, yaitu mata acara tentang votum dan introitus, pengakuan dosa dan janji penghapusan dosa, serta doa yang menghantar Doa Bapa Kami, demikian juga pengucapan Berkat. Besar kemungkinan alasannya ialah bahwa mata acara tersebut hanya dapat dilayankan oleh Pendeta sebagai liturgis. Namun nampak bahwa penghapusan ini sudah mengurangi esensi teologis dari mata acara ibadah itu, dan hal ini tidak disinggung oleh F.Tiemeyer dalam paparannya di atas. Artinya yang dihilangkan itu tidak lagi dihargai sebagai bagian yang esensial dari sebuah ibadah injili. Dalam Agenda 1998, susunan tata ibadah untuk jemaat muda sudah ditiadakan. Namun dalam Agenda 1998, masih ada sisa pemahaman tentang perbedaan pelayanan ibadah oleh pendeta dan non-pendeta. Ini nampak dalam sapaan yang berbeda antara pendeta dan non-pendeta dalam pemberian berkat, antara kata “engkau” / “ho” untuk pendeta sebagai liturgis dan “kita” / “hita” untuk yang non-pendeta ( Guru atau Sintua, atau Diakones atau Bibelvrouw) . Ada baiknya pembedaan ini dipikirkan, apakah pembedaan itu bisa dibenarkan dari sudut teologi Martin Luther, yang menghilangkan pembedaan antara klerus / imam dan non-klerus. Fungsi imam dalam Perjanjian Lama sudah digenapi oleh jabatan rajani setiap orang Kristen dan khusunya oleh ketiga jabatn Yesus Kristus yang sudah bangkit itu.
Tinjauan F.Tiemeyer 1936
Sebuah ceramah tentang ibadah HKBP, yang disampaikan oleh Misionaris F.Tiemeyer pada Konferensi Tahunan para misionaris Jerman ( RMG ) tahun 1936 di Padangsidempuan, jadi 72 tahun lampau. . Konferensi para misionaris RMG 1936 sedang membicarakan konsep baru dari Agenda HKBP dan mencari apa-apa saja yang harus ditambah atau dikurangi Agenda 1904 . Tetapi F.Tiemeyer tidak bermaksud memasuki tugas tersebut, bagi beliau yang lebih utama ialah untuk mengkaji kembali apa sebenarnya dasar teologis dari sebuah liturgy ibadah gereja yang evangelis ( injili ) atau dengan kata lain apa saja yang paling fundamental dari sebuah agenda gerejawi yang berdasarkan teologi reformatories M.Luther atau J.Calvin maupun para reformator lainnya. Dasar teologis yang sangat fundamental menurut beliau ialah bahwa karya Tuhan Allah sendiri yang selalu mendominasi sebuah tata ibadah yang otentik ( sebagaimana ditemukan kembali oleh para reformator M.Luther dan J.Calvin. Beliau mengedepankan pendirian beliau yang mengatakan bahwa upaya mencari makna dan hakekat sebuah “tata ibadah evangelis” ( “evangelische Gottesdienst” ) atau istilah yang lebih kita kenal dengan kata “injili” ( ibadah injili, dan kita memakai istilah ini untuk selanjutnya ) ialah memperlihatkan aksi jemaat yang menuinjukkan kepatuhannya terhadap Allah yang hidup itu. Karena arti tata ibadah yang paling mendasar ialah perbuatan Allah bersama jemaatNya ( umatNya ). TeguranNya dan pemberianNya, dan bukan kedatangan ( kehadiran ) kita dan itu terjadi selalu dalam sikap pertobatan dan iman. Di mana terjadi sebuah ibadah gerejawi ( “Gottesdienst” = ibadah Allah ), entah itu tarjadi dalam khotbah, sakramen atau liturgy, di sana selalu terjadi dalam nama Allah Tritunggal. Allah muncul di atas pentas. Allah bertindak, berbicara dan menghibur. Allah menghukum dan menghajar. Allah menengur dan mengampuni. Tetapi kalau kita mengatakan Allah, itu berarti bahwa kita tidak mengatakan manusia sekalipun yang nampak ialah manusia sendiri. Manusia yang nampak bekerja dalam sebuah ibadah, tetapi Allahlah yang hidup dan kudus itulah yang bertindak. Dan dalam hal ini kita harus mengatakan, bahwa tidak ada perbedaan antara pendeta ( pengkhotbah = “Prediger” ) dan liturgis. Di sini pendeta dan liturgis sebagai manusia biasa tidak bakal melewati batas antara Allah dan manusia. Allah telah menyatakan diriNya kepada manusia dan tidak bakal membagikan kemuliaan-Nya dengan siapapun dari antara manusia, termasuk bagi manusia yang melayankan ibadah gerejawi itu. Di sini terjadi suatu ketegangan ( teologis-liturgis ) didalam proses peribadahan evangelis itu ( “Spannung des evangelischen Gottesdienstes” ). Ketegangan itulah yang harus dicermati oleh setiap liturgi dan egenda gerejawi, termasuk liturgy dan agenda HKBP. Setiap upaya untuk membicarakan sebuah liturgy dan agenda gerejawi, hendaknya berawal dari perhatian akan ketegangan teologis – liturgis ini. Sekilas pemantauan histories berbagai tata ibadah gerejawi yang pernah dipakai oleh Gereja – gereja sepanjang abad, telah dipaparkan oleh F.Tiemeyer dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa sepanjang sejarahnya Gereja-gereja itu selalu jatuh bangun dalam mempertahankan hal-hal yang fundamental dari sebuah tata ibadah seperti beliau kepdepankan tadi, yaitu yang paling utama ialah tindakan Allah, Allah yang bertindak, Allah yang hadir dan manusia merespons kehadiran Allah yang mulia dan agung itu. Dalam lima periode, beliau melihat Gereja-gereja itu jatuh bangun dalam mempergumulkan ke-evangelisan dari tata ibadah kristiani itu. Beliau mengibaratkan perjalanan dari tata ibadah evangelis itu telah melalui lima setasi / persinggahannya secara histories: Yerusalem, Roma, Wittenberg dan Geneva. Zaman Israel. Pada setasi pertama di Yerusalem nampak, bahwa ibadah pada bait suci memperlihatkan kehadiran Allah yang hidup itu. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Israel selalau nampak bahwa sebuah tempat tertentu ( sebuah kemah nomadis tabut pada zaman perjalanan di gurun pasir atau sebuah tempat yang menetap pada zaman sebelum dan sesudah pembuangan ), fenomenanya tetap sama, yaitu “Allah hadir, mari kita sujud di hadapan-Nya!”, demikian yang terjadi pada awalnya. Ketika batas antara Allah dan manusia dilewati, maka para imam Israel atas kekuatan / kekuasaan jabatannya, mereka telah membangun ibadah untuk Allah, dan pada saat itulah menghilang kehadiran Allah. Kehadiran Allah telah menghilang, dan sebagai gantinya ialah ibadah ( “Gottesdienst” ) tanpa Allah. Kemudian utusan Allah yaitu Kristus datang memasuki sejarah bangsa Isarel. Firman Allah menjadi daging. Tetapi Kristus tidak diterima, manusia ingin menguasai Allah dalam bait suci. Kristus menjatuhkan hukuman. Bait Suci di Yerusalem musnah, tinggal puing-puing. Demikian F.Tiemeyer menggambarkan perubahan makna ibadah di Yerusalem, yang tadinya berpusat pada kehadiran Allah, tetapi oleh kehadiran para imam Israel tempat Allah telah direbut oleh para imam. Imam jadi pusat ibadah. Zaman Kekristenan. Zaman Israel digantikan oleh zaman Kekristenan. F.Tiemeyer merujuk ke nats Alkitab Mat. 7, yang untuk beliau nats ini menunjukkan karakteristik dari pemberitaan Yesus : “sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” ( 7:29 ). Demikian beliau mengutibnya serta menambahkan, bahwa Yesus menerima kewibawaan / kuasa dari Allah; Yesus bukan mengandalkan wibawa / kuasa sendiri. Kini Allah kembali hadir dan bertindak dalam ibadah yang dipimpin oleh Yesus. Kehadiran Allah dipertegas lagi oleh nats Alkitab Luk.4: 21 :” Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: ‘Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya’”. Dan pada akhir hidup-Nya, demikian Tiemeyer – Yesus mendirikan Perjamuan Kudus ( “Abendmahl” ) sebagai ibadah. Rasul Paulus melanjutkan ibadah yang mengedepankan kehadiran Allah dalam ibadah Perjamuan Kudus: “ dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: "Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku! ( 1 Kor. 11:24 ) Inilah menurut beliau bentuk yang sangat sederhana yang dilayankan oleh Yesus, yaitu makan ( roti ) dan minum ( anggur ); bentuk yang sangat sederhana ini dipakai oleh Yesus untuk mencerminkan kebesaran dan kehadiran Allah yang berbuat itu. Inilah suatu ketegangan yang indah, yang nampak dalam ibadah yang dipimpin oleh Yesus: ketegangan antara unsur ( roti dan anggur ) yang bersifat sementara itu dan dalam bentuknya yang sederhana itu ( kata-kata yang biasa tanpa seremoni ) dengan kemuliaan yang abadi dari Tuhan Allah yang hidup itu. Namun ketegangan ini akhirnya sirna oleh ulah manusia yang tidak sabar dan rindu akan kehadiran Tuhan Allah. Lagi-lagi terjadi penyimpangan oleh ulah dan perbuatan para pejabat gerejawi abad ke-2. Kehadiran Allah dalam ibadah telah digantikan oleh kegiatan seremonial para pejabat gerejawi itu. Kehadiran Allah dalam Perjamuan Kudus telah digantikan oleh unsur-unsur yang diilahikan ( roti dan anggur ; “die vergotteten Elemente Brot und Wein”). Artinya, kini yang bertindak ialah manusia bukan lagi Allah. Imam maju ke depan dan mengorganisasi ibadah itu, menguasainya, bertindak dan memutuskan melalui seremonial yang saleh. Dalam hal ini, Tiemeyer menyimpulkan bahwa kini yang terjadi ialah: Ibadah – tanpa Allah ( “Gottesdienst – ohne Gott” ). Zaman Romawi. Pusat ibadah Gereja Katolik Roma ialah Messe, yang pada hakekatnya adalah Perjamuan Kudus. Dalam Messe,menurut pemahaman beliau, Allah telah dimaterialisasikan ( “Gott ist dinglich geworden” ) dalam sebuah peti sacral yang dikenal dengan nama Hostie ( tempat roti yang sudah berubah jadi tubuh Kristus ). Melalui pelayanan ritus seorang imam, maka roti dan anggur itu telah diilahikan ( “vergotten” ). Ketegangan antara Allah dan manusia telah dihancurkan. Gereja yang merayakan itu memiliki, berkuasa atas Allah dalam peti sacral hostie. Kristus telah hadir salam peti tersebut. Gereja telah menguasai Allah. Gereja telah berkuasa atas Allah, bukan lagi sebaliknya Allah mengasai Gereja. Kejatuhan dalam dosa telah kembali terjadi di tempat kudus. Sekali lagi terjadilah : Kebaktian – tanpa Allah. Zaman Reformasi abad ke-16. Menurut pemahaman Tiemeyer, tujuan para reformator ( M.Luther, J.Calvin, dll. ) bukanlah mereformasi kehidupan kultis gereja , sekalipun mereka menilai Messe itu sebagai suatu pengilahian ( “Abgotterei” ) dan oleh karenanya perlu ditiadakan. Bagi kedua reformator, Luther dan Calvin, adalah suatu hal yang sangat mendasar, bahwa tindakan Allah sendiri yang terjadi dalam sebuah ibadah dan hendaknya jangan ada yang merampok kemuliaan Allah dalam tempat suci. Ketegangan antara Allah dan manusia harus ditegakkan kembali: “Allah tidak bertempat tinggal di rumah bait suci buatan manusia” ( Kis.17 : 24 ), demikian beliau mengutib nas Alkitab. Dalam ibadah itu harus nyata adanya perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia, dan keduanya jangan dicampuradukkan, melainkan dalam ibadah itu harus nampak kekuatan dan anugerah Allah, bahwa Dia yang kudus itu mendekatkan diri kepada orang-orang berdosa dan Dia memang membutuhkan orang-orang berdosa dalam pelayanannya masing-masing. Dengan demikian Allah yang kembali hadir dalam ibadah sebagai Hakim dan juga sebagai Juru Selamat. Suara Allah yang mengatakan Tidak pada tindakan-tindakan penuh dosa kembali terdengar nyaring dalam ibadah, tetapi juga suaraNya yang mengatakan Ya berlaku bagi orang berdosa. Bagaimana caranya hal sedemikian rupa dapat terjadi dalam ibadah injili buat para reformator itu? Beliau mengatakan bahwa hal ini dapat terjadi hanya melalui firman Allah dan bukan melalui Messe. Sekali lagi beliau mengulangi, bahwa melalui Messe, dalam roti dan anggur yang telah diilahikan itu, Gereja telah menampilkan diri sebagai pemilik, sebagai yang mempunyai. Tetapi fireman Allah itu tak akan pernah dapat dimiliki atau dikuasai oelh siapapun, melainkan firman Allah itu mengajar supaya sabar dan berpengharapan. Beliau mengutib nas Alkitab Rom 8: 24 :” Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya.” ( “Wir leben im Glauben und nicht im Schauen” = Kita hidup dalam iman dan bukan dalam melihat dengan organ mata ). Menurut beliau, semua reformator sependapat akan arti dan makna sebuah ibadah yang injili / evangelis itu. Mereka beda hanya dalam menentukan bentuk luarnya. Perbedaan antara Luther, Calvin dan Zwingli hanya dalam bentuk luarnya, bukan secara kualitatif tetapi hanya secara kuantitatif. Luther berpijak pada tradisi lama yaitu liturgi Messe ketika dia memperkenalkan tata ibadahnya, yaitu Messe Jerman ( “Deutsche Messe” = Messe berbahasa Jerman bukan lagi berbahasa Latin ). Tetapi bagi Luther Messe Jerman ini bukan dianggap bersifat hukum / aturan ibadah yang harus dipatuhi atau dilaksakan. Rujukan beliau untuk itu ialah kata pengantar buku Messe Jerman itu ( hal 227 cetakan I ). Lain halnya dengan Calvin, karena Calvin mengambil pijakannya dari tradisi alkitabiah. Dalam hal ini, beliau tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa karakteristika dari tata ibadah calivinis adalah kebeningannya ( “Nuechternheit” ). Beliau mengetahui, bahwa ketika Calvin melayani di Strassburg beliau sudah mengenal sebuah buku nyanyian yang dikenal dengan nama Nyanyian Mazmur, dan buku nyanyian ini beliu perkenalkan kepada jemaatnya di Geneva sebagai “Nyanyian rakyat” ( Volksgesang ). Buku liturgi karangan Calvin tahun 1545 memanfaatkan Nyanyian Mazmur tersebut. Penilaian akan sebuah tata ibadah yang bening atau cerah, menurut Tiemeyer lebih tepat diberikan pada Zwingli yang menyusun sebuah tata ibadah yang berpusat pada firman Allah dan bukan pada nyanyian. Tetapi perdebatan ini diakhiri beliau dengan kutiban dari nas Alkitab dari 2 Kor. 4: 7: “ Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” Aspek kuantitatif dari sebuah tata ibadah adalah relative dan tidak mengurangi esensinya atau istilah yang beliau pakai “kualitasnya” sebuah tata ibadah. Zaman pasca-reformasi. Menurut beliau terjadi juga penyimpangan dalam Gereja zaman pasca-reformasi di kalangan Gereja reformasi. Aliran Ortodoksi telah menjadikan tata ibadah itu sebagai suatu pemberitaan ajaran ( “Lehrverkuendigung” ). Firman Allah telah menjadi buku hukum / aturan ( “Gesetzbuch” ). Dan isinya telah disimpan dalam sebuah lemari buatan roh manusia. Tetapi, demikian beliau, Roh Allah tidak identik dengan roh manusia. Roh Allah berembus ke mana Dia inginkan. Roh Allah tidak mau berkompromi dengan roh manusia sekalipun ajaran yang benar itu dibutuhkan. Aliran Ortodoksi ketika itu berseberangan dengan aliran Pietisme. Struktur pemikiran pietisme ialah “Mistik dan Injil”. Berangkat dari pemikiran inilah maka kaum Pietisme selalu menekankan kehidupan ( “Leben” ) dan tidak ajaran ( “Lehre”). Dan sikapnya terhadap Gereja resmi ( arus utama ) tidaklah besahabat, malahan anti-gereja, demikian beliau. Yang diutamakan bukan ajaran ortodoksi, tetapi kehidupan jiwa-jiwa dalam hubungan pribadi yang sangat hangat dan emosional dengan Allah, dengan kata-kata yang membelai seperti : “‘Yesus sang bayi yang cantik, buah hati yang setia.’” ( “’lieben Jesulein’, dem ‘treuen Herzlein’” ). Kembali beliau jumpai di sini suatu pencampuradukan perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia. Dosa dirasakan sangat menekan dan ini terjadi secara mistis. Dalam hal ini kebenaran hanya oleh iman sudah sangat menurun. Yang menjadi pergumulan pokok dalam kehidupan ini ialah bagiamana seseorang dapat meraih kekudusan / kesalehan. Dalam hal ini beliau mengatakan, bahwa yang terjadi di sini ialah bahwa manusialah yang mengambil prakarsa dan yang ingin memisahkan diri dari “’Dunia, Gereja dan Dosa’”, tetapi hasilnya ialah bahwa manusia tetap tinggal sebagai orang yang ditipu oleh dosa. Demikian penyimpangan yang terjadi dalam aliran atau kaum Pietisme. Tetapi bukan hanya dalam gerakan kegerejaan, seperti dalam Pietisme itu terjadi penyimpangan; penyimpangan terjadi juga akibat aliran atau semangat Rasionalisme dan Kulturprotestantisme, sebagaimana masih menguasai pemikiran dan pola pikir manusia Barat sezaman para misionaris Jerman yang melayani di Tanah Batak. Atas kenyataan maka Tiemeyer tidak perlu membahasnya secara menditel, karena masih bagian pergumulan masa kininya mereka yang dalam Konferensi 1936 itu. Beliau hanya ingin mengangkat yang paling pokok dari kedua aliran itu yang memengaruhi pola pikir dan sikap menggereja atau beragama ketika itu. Misalnya nilai-nilai kemanusiaan seperti kebaikan ( Tugend ), kesejahteraan ( Wohlfahrt ), solidaritas persaudaraan ( Bruederlichkeit ) dianggap sebagai ibadah – pengganti / ibadah – serap ( Ersatz-Gottesdienst ) manusia Barat saat itu, yang memang adalah anggota Gereja di Jerman saat itu. Dan sejak Schleiermacher ( seorang tokoh teolog abad ke-19 di Jerman ), demikian beliau, terjadilah pemutarbalikan: Allah yang bertindak bersama jemaat telah digeser oleh perbuatan jemaat yang sedang dipentaskan bersama Allah. Asumsi beliau yang beliau sampaikan ke tengah konferensi itu ialah: pola pikir Schleiermacher sangat menguasai diskusi tentang tata ibadah dan sedang memengaruhi pola pikir teologis para pendeta di Jerman termasuk para misionaris Jerman di Tanah Batak, artinya juga mereka yang sedang mendiskusikan pembaharuan tata ibadah untuk Gereja Batak HKBP. Alasan beliau berbicara demikian ialah bahwa lahirnya Agenda Union yang lama ( die alte Unionsagende buat Gereja Senegeri Prusia atau lazim disebut Gereja Evangelis Union ) sangat banyak dipengaruhi oleh Teologi Schleiermacher, yang berpusat pada perasaan manusia yang sangat bergantung pada suatu kekuasaan diatasnya atau diluarnya ( “das schlechthinnige Abhaengigkeitsgefuehl” ). Dan menurut beliau, Agenda Union itulah yang dipakai saat menyusun tata ibadah Gereja Batak ( HKBP ) edisi pertama. Kapan edisi pertama dari Agenda HKBP diterbitkan, mencarinya masih tugas kita bersama. Tiemeyer mengakhiri uraian histories itu dengan mengajukan dua hal yang perlu diperhatikan saat membicarakan revisi Agenda HKBP. Pertama bentuk apapun nanti yang dihasilkan oleh konferensi, maka yang penting ialah mempertahankan roh sejati dari tata ibadah Evangelis / Injili. Kedua harus jelas bahwa siapapun tidak memiliki wewenang seolah-olah dapat memiliki atau mengendalikan Allah, sebaliknya haruslah dikedepankan bahwa Allah yang bertindak dan kita manusia bukanlah orang yang benar tetapi yang dibenarkan melalui anugerahNya.
Dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP menurut F.Tiemeyer
Untuk menjadikan dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP, F.Tiemeyer mengambil alih dasar teologis tata ibadah injili sebagaimana beliau temukan dalam sejarah tata ibadah - tata ibadah terdahulu dalam lima zaman yang beliau paparkan di atas, mulai dari zaman umat Yahudi hingga zaman pasca-Reformasi. Kesimpulan beliau ialah bahwa tata ibadah Injili selalu mengedepankan tindakan Allah bersama jemaat-Nya. Itulah yang diisyaratkan ibadah yang diawali oleh rumusan “’Dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’” ( Votum ). Ibadah Injili bukan dibuka oleh sebuah nyanyian ( oleh jemaat ). Ini mau menjelaskan , bahwa manusia ( dalam hal ini liturgis ) bukan bertindak atas kekuatan atau wibawa jemaat atau pribadi sendiri tetapi atas penugasan Allah yang berindak itu. Dan makna serta arti sebuah nyanyian yang dinyanyikan bersama oleh jemaat dan pendeta ( liturgis ) hendaknya mengisyaratkan pernyataan bersama akan kehadiran Allah dan kerelaan jemaat untuk sujud dan berdoa di hadapan Allah. Suara Allah yang gemuruh hendaknya bergaung untuk menyadarkan manusia supaya rela melepaskan diri dari roh yang selalu ingin menguasai ( Allah ). Suara Allah seperti itu pernah didengar oleh Musa saat dia menggembalakan ternak mertuanya Yetro : “’Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.’” ( Kel. 3:5 ). Kutiban ini mau mengingatkan setiap orang yang mau menyusun atau membaharui tata ibadah ( HKBP ) agar selalu mewaspadai bahwa pengaruh kehadiran Allah selalu membangkitkan rasa terkejut ( Erschrecken ), penyesalan ( Reue ) dan pertobatan ( Busse ). Itulah sebabnya dalam ibadah nampak unsur pengakuan dosa dari pihak jemaat ( bersama liturgis ). Baik liturgis maupun jemaat sama-sama pihak yang berdosa di hadapan Allah. Ketergerakan hati dan pikiran mengaku dosa mendorong manusia untuk rindu menerima pengampunan dosa melalui janji anugerah melalui pembacaan firman Allah ( yang dikutib dari Alkitab ). Setiap orang akan tergerak hatinya mengatakan: “ya Tuhan Yesus, seandainya Engkau tidak ada dekatku, apalah saya ini!” Pengakuan dosa dan pengampunan dosa tersebut dilanjutkan oleh sebuah doa jemaat. Doa tersebut akan mengantar pengkhotbah yang akan memberitakan firman Tuhan, artinya pengkhotbah bertindak sebagai mulut Allah pada hal dia juga adalah orang berdosa ; dan itulah sebabnya jemaat mendoakan pengkhotbah dan jemaat itu sendiri, agar Allah sendiri yang akan membuka hati, mulut dan telinga mereka untuk memahami dan menerima firman Tuhan. Doa ini dilanjutkan dengan sebuah nyanyian khusus untuk menghantar khotbah yang akan segera disampaikan oleh pengkhotbah. Melalui khotbah Allah berbicara kepada jemaat yang datang dalam sikap penyesalan dan rasa serba kekurangan. Allah datang melalui firman yang disampaikan melalui khotbah. Allah menyampaikan pengampunan dosa terhadap jemaat yang berhimpun itu. Allah menyampaikan seluruh kekayaan anugerahnya kepada jemaat. Ini pula yang diisyaratkan salam anugerah dari pengkhotbah. Inti sari dari khotbah ialah: firman Allah selalu punya kekuatan untuk mengikat ( bindend ) dan membebaskan ( loesend ). Jemaat terikat untuk tetap setia terhadap tuntutan Allah: “’engkau adalah milik-Ku!”. Allah membebaskan orang-orang yang telah menyesali dosa-dosanya :”’pergilah dalam damai, imanmu telah menolong engkau!’”. Kemudian pengkhotbah dan jemaat mengucapkan doa ucapan terimakasih kepada Allah yang mencurahkan anugerahnya yang melimpah itu dan ini diakhiri dengan sebuah nyanyian. Memang anugerah Allah tidak akan berkesudahan. Setiap hari kasih karunianya selalu baru. Dalam situasi yang demikian, jemaat bangkit berdiri untuk mengucapkan Pengakuan Percaya ( Kredo = Aku percaya ). Artinya, melalui firman Allah yang disampaikan melalui khotbah, jemaat dipanggil kembali untuk mengucapkan pengakuan umat Allah sepanjang abad kepada Allah bersama-sama dengan seluruh umat Allah di dunia ini, baik jemaat terdahulu, maupun jemaat terkini dan jemaat yang akan datang. Bersama-sama dengan umat Allah sepanjang zaman, jemaat yang berkumpul itu patut mengucapkan kembali Pengakuan Percaya yang universal itu. Menurut Tiemeyer, di sini yang berbicara bukan perasaan ( Gefuehl ) yang sangat subjektif itu, tetapi Pengakuan yang walaupun dengan kata-kata yang diulangi dan dengan pikiran yang cerah. Kemudian jemaat bernyanyi. Melalui nyanyian itu, jemaat diingatkan akan tanggungjawab jemaat terhadap kehidupan orang-orang yang berkekurangan, terhadap tanggungjawab jemaat terhadap tugas pelayanan Allah di seluruh dunia ( diakonia ). Itulah alasannya maka jemaat mengumpulkan persembahan ( “Kollekte” ). Kemudian dilanjutkan dengan doa penutup. Jemaat menyampaikan doa pujian dan terimaksih atas perbuatan Tuhan Allah di dalam dan melalui firman-Nya dan kepedulian Allah kepada Gereja-Nya dalam segala kekuatan dan kekurangannya, dan atas kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada jemaat-Nya untuk menyampaikan persembahannya ke hadapan takhta Tuhan Allah yang mulia itu; dan ini semuanya permohonan itu dirangkum dalam doa “Bapa kami”. Dan di dalam berkat Allah dan janji perlindungan-Nya bagi jemaat yang selalu menghadapi berbagai cobaan, serta diakhiri nyanyian permohonan : Sai tiop ma tanganhu ( “So nimm denn meine Haende” ), maka jemaat kembali ke dunia sehari-hari, menjalani kehidupan sehariannya, dan di sana akan mempelajari, bahwa seluruh hidup ini adalah sebuah ibadah kepada Tuhan Allah ( “Gottesdienst” ), bahwa hidup kita seutuhnya adalah sebuah pertobatan. Semua yang beliau paparkan di atas itu didorong oleh kemauan dan komitmen bukan untuk mengejar sebuah bentuk atau bahkan sebuah bentuk baru tata ibadah, tetapi lebih banyak didorong oleh minat dan kerinduan supaya tata ibadah tetap berazaskan tindakan Tuhan Allah, kehadiran Tuhan Allah ditengah-tengah jemaat yang beribadah itu. Beliau mengulangi lagi bahwa Yesus tetap berada di dalam bait suci Israel, tetapi kemudian meruntuhkannya. Martin Luther telah mengambil alih bentuk liturgi Messe yang lama ( Gereja Katolik Roma ), tetapi kemudian merombaknya untuk Gereja Reformasi. Beliau mengutib ungkapan reformatoris ini :”’Roh itulah yang menghidupi’”. Kemudian kutiban ini dilanjutkan oleh kalimat yang dialektis, bahwa kita masih hidup dalam daging dan dalam sebuah bentuk yang nyata, dan oleh karena itulah dalam bentuk yang bersifat sementara itu, kita wajib mencari sebuah bentuk ( tata ibadah ), yang dalam bentuk yang fana itu kita akan menyimpan isi yang mendekati kepenuhan yang diharapkan. Demikian F.Tiemeyer mengakhiri paparannya tahun 1936.
Pdt.Dr/.Justin Sihombing
Masih ada penjelasan tentang susunan mata cara tata ibadah minggu yang harus diperhatikan, yakni dari kalangan para pendeta HKBP masa kepemimpinan para misionaris RMG dan pada awal masa kemandirian HKBP ( sejak 10-11 Juli 1940 ). Diantara mereka ialah Pdt. M. Pakpahan dan Pdt. Dr.Justin Sihombing, Ephorus Emeritus kedua dari kalangan pendeta HKBP ( 1942-1962 ). Pada kesempatan ini cukup kalau diambil pikiran dan penjelasan dari Justin Sihombing, yang dalam usia lanjut masih menyeselaikan sebuah buku tentang khotbah dan tata ibadah HKBP tahun 1963. Beliau melihat bahwa sedikitnya ada empat hal yang mendasar yang harus dipenuhi oleh sebuah tata ibadah Minggu. Pertama, tata ibadah itu harus mencerminkan makna dan arti dari persekutuan kristiani,yakni “parsaoran ni Debata dohot huria-Na dohot parsaoran ni huria dohot Debata.” Artinya, persekutuan Allah dengan gereja-Nya dan persekutuan gereja dengan Allah.” Segala sesuatu yang tidak mendukung unsur hakiki, hendaknya dijauhkan, sebaliknya segala sesuatu yang mendukungnya hendaknya diupayakan. Lebih jauh lagi, beliau menekankan bahwa persektuan gereja dengan Allah, bukanlah persekutuan seseorang dengan Allah, karena itu apa yang hanya menguntungkan orang per-orang hendaknya jangan dilakukan dalam ibadah itu, tetapi segala sesuatu yang terjadi dalam ibadah, hendaknya berkaitan dengan kepentingan “hatopan” ( umum / public ). Beliau sangat mengedepankan arti dan makna sebuah “huria”, sebuah Gereja, persekutuan orang-orang percaya; Gereja yang aktif, bukan individunya orang –perorang. Ketika pemberitaan firman diberikan melalui khotbah, maka yang menjawab bukan individu, tetapi jemaat sekalipun bukan dengan suara yang kedengaran, tetapi melalui suara hati para pendengar khotbah itu. Beliau menjelaskan makna yang terdalam dari persekutuan itu dengan menerapkannya akan apa arti sebuah nyanyian atau paduan suara dalam ibadah. Beliau mengatakan, bahwa “rapna I do pangkal manang ojahan ni parendeon di bagasan parpunguan Kristen, ndada holan ende ni angka koor. Ai ndada holan na marende na arga, alai na rap marende I do. .. ai ia merande pe angka koor ala na dipasahat huria I do tu nasida…. Ingkon domu do parendeonnasida tu pangkilaan ni hria na mangutus nasida taringot tu ganjang ni ende, loguna dohot hata ni ende i. Asa ndang na bebas nasida mambahen lomo-lomona. ” Misalnya, dalam sebuah doa, kata yang digunakan ialah kata “kami”, bukan “saya” Kedua, adapun caranya Allah bersekutu dengan gereja /jemaat-Nya ialah melalui manusia yang Allah utus bagi jemaat itu. Dan cara yang dipakai oleh utusan Allah hanya satu, yakni melalui pemberitaan firman itu ( “marhite sian na mangkatahon hata I sambing. ) Masih ada pendukungnya, yakni berupa symbol untuk lebih menekankan arti dan makna firman itu sendiri. Pada saat melayankan kedua sakramen, di sana muncul juga bebagai bahasa atau gerakan simbolis, misalnya pada saat memercikkan air baptisan dan mempersiapkan tanda-tanda nyata perjamuan kudus dalam rupa roti dan anggur, atau pada saat liturgis mengangkat kedua tangannya saat menyampaikan berkat Tuhan Allah; juga pada saat jemaat berdiri. Semuanya itu punya muatan simbolis. Beliau menekankan, bahwa muatan-muatan simbolis itu bukan untuk mensahkan apa yang dilayankan itu, hanya sebagai alat menolong penghayatan atau penerimaan sakramen itu. Ketiga, dia yang berbicara ditengah-tengah persekutuan yang beribadah itu bertindak sebagai wakil jemaat untuk berbicara kepada Tuhan Allah melalui doa, atau sebagai wakil Allah menyapa jemaat itu melalui khotbah . Dan menurut beliau, mereka yang bertindak sebagai wakil Allah dan juga sebagai wakil jemaat, tidak perlu harus seorang pendeta atau guru , tetapi dia harus yang diangkat ( “pinabangkit” ) oleh jemaat itu; artinya, dia yang diberi oleh jemaat wewenang dan tugas untuk melakukannya. Seseorang tidak berhak mengangkat dirinya untuk berdiri di depan jemaat sebagai wakil Allah dan sekaligus sebagai wakil jemaat. Allah itu adalah Allah yang cinta keteraturan. Keempat ( terakhir ), segala sesuatu yang terajdi dalam ibadah harus sesuai dengan kehadiran atau keberadaan ( “haadongon” ) Allah dalam persekutuan itu. Jemaat harus merasakan bahwa Allah hadir dari awal hingga akhir ibadah, bahwa jemaat itu bersekutu di hadapan Allah. Untuk itu,hedaknya diupayakan supaya ibadah itu dapat berjalan dengan keteduhan, jangan ada orang yang keluar masuk, jangan ada orang yang duluan keluar. Beliau dalam memberikan penjelasan dan arti dari setiap mata acara ibadah , beliau mengacu pada tata ibadah dalam Agenda HKBP terakhir ( misalnya edisi 1998 ). Beliau tidak memberikan penjelasan kritis secara teologis-praktis sebagaimana dilakukan oleh F.Tiemeyer, tetapi menyampaikan penjelasan-penjelasan yang medukungnya dan mengingatkan jemaat khusunya para liturgis / pengkhotbah; sikap tidak sungguh-sungguh dan acak-acakan hendaknya dijauhkan. Misalnya, ketika jemaat bernyanyi, hendaklah jemaat merasakan bahwa melalui nyanyian itu jemaat ingin berbicara dengan Allah. Mustahil jemaat berbiacara dengan Allah dengan suara yang dilagukan secara tidak baik; makanya setiap anggota jemaat harus mengetahui melodi dari nyanyian dalam Buku Ende HKBP, karena itulah harta yang sangat berharga. Atau, ketika liturgis menyampaikan votum, “patut tarsunggul di bagasan rohana nang di roha ni huria I, angka na binahen ni Debata Ama na tarsurat di Padan na Robi sahat ro di nuaeng.” Artinya, mendengar nama Allah Tritunggal itu, maka liturgis dan jemaat terus merasakan dalam batin mereka alangkah besarnya dan banyaknya tindakan Allah demi keselamatan umat-Nya sepanjang zaman.