August Theis
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Masa Kecil
Pendeta August Theis memiliki sedikit sekali dokumen yang menceritakan tentang kehidupannya sejak lahir sampai ia beragabung dengan Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG), sebuah misi pengabaran Injil yang berpusat di Barmen.
August Theis dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1874 di Haiger, sebuah kota kecil dengan jarak kira-kira 120 km dari Barmen. August Theis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara.
August Theis lahir dari keluarga biasa dengan ekonomi yang pas-pasan. Setamatnya ia dari Sekolah Dasar, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan. Dengan ilmu dari sekolah kejuruan itu ia kemudian bekerja untuk membiayai sekolahnya sendiri. Selain itu August Theis kecil rajin bersekolah minggu dan beribadah di Gereja.
Setelah lulus dari sekolah, August Theis bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik dengan tugas mengangkat pasir.
Sejak kecil August Theis sudah memiliki pemahaman bahwa beban dosa yang ditanggung manusia sangat berat. Dan pada akhirnya setelah membaca buku An der Pforte, August Theis menyadari bahwa bukan usaha manusia yang memberikan keselamatan, tetapi kasih Tuhan sajalah.
August Theis dan RMG
Dengan pemahaman di atas, August Theis muda mendaftar di pendidikan Seminari Zending di Barmen.
Pada usia 21 tahun ia mendapat panggilan dari direktur RMG. Setelah belajar selama 7 (tujuh) tahun, August Theis menerima berkat kependetaan pada tanggal 6 Agustus 1902.
Pada usianya yang ke-28 August Theis diberangkatkan RMG dari Belanda ke Indonesia, tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1902, menggunakan kapal laut yang memakan waktu berbulan-bulan. August Theis pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia di kota Padang (kini ibukota propinsi Sumatera Barat). Dari sana ia menggunakan transportasi darat ke Sigumpar untuk kemudian menunggu surat pengutusan dari atasannya (Nommensen).
August Theis di Simalungun
Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai (Yohanes 4:35), dalam bahasa Simalungun yaitu: Mangkawah ma hanima, tonggor hanima ma juma in, domma gorsing, boi ma sabion.
Ayat inilah yang diucapkan oleh Pendeta August Theis saat beliau tiba di Simalungun.
Simalungun 1903
Simalungun saat itu seperti daerah pelosok lain di Indonesia masih berada dalam masa kegelapan. Pdt. August Theis pun harus membelah hutan dalam perjalanannya dari daerah Toba menuju ke Pematang Raya. Menurut wawancara beliau dengan A. Munthe seperti dituliskan dalam buku Pandita August Theis, Missionar Voller Hffnung (oleh A. Munthe, Kolportase GKPS, 1987) Hutan tersebut masih dipenuhi oleh hewan-hewan buas seperti Harimau sehingga beliau harus mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi misinya ke Pematang Raya.
Adapun masyarakat Simalungun masih bercocok tanam menggunakan ladang kering, yang memaksa mereka untuk melakukan ladang berpindah di mana mereka harus mencari lahan lain sampai 4 tahun sebelum mereka dapat kembali menggunakan ladang yang sama secara optimal.
Dalam kesusahan tersebut sebagian besar masyarakat Simalungun berjudi untuk mencari penghiburan, mereka menjual segala harta miliknya bahkan diri sendiri (sebagai budak) demi memenuhi nafsu mereka untuk berjudi.
Penyebaran Injil August Theis
Pengiriman August Theis
Pada tanggal 3-8 Februari 1903 diadakan sebuah pertemuan di Laguboti yang diikuti oleh para
pendeta RMG yang memutuskan agar diadakan misi zending ke Simalungun. Nomensen yang saat itu
menjabat sebagai Ephorus dan berkantor di Sigumpar, Tapanuli Utara, mengirimkan surat ke
direktur RMG di Barmen, Jerman mengenai rekomendasi ini dan merekomendasikan pengabaran
injil ke 3 daerah yaitu: Samosir, Simalungun dan Dairi.
Pada tanggal 3 Maret 1903, diutuslah rombongan pertama RMG ke tanah Simalungun yang
beranggotakan Pdt Guillaume, Pdt Simon dan Pdt Meisel dengan tujuan utama untuk menemui
raja-raja Simalungun.
Rombongan kedua yang diberangkatkan RMG ke Simalungun terdiri dari Pendeta August, Theis
Guru Ambrocius dan Theopilus Pasaribu.
Kedua rombongan tersebut bertemu di Haranggaol dimana Nommensen berkesempatan untuk
berkhotbah. Dari Haranggaol, rombongan Pendeta August Theis menuju ke Pematang Purba dan kemudian tiba
di Pamatang Raya pada hari Rabu, 2 September 1903, tanggal yang sampai saat ini terus
diperingati oleh anggota GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) di seluruh dunia
sebagai hari olob-olob (sukacita dalam bahasa Simalungun) sebagai tanda syukur atas
masuknya Alkitab ke Simalungun.
Saat tiba itulah Pendeta August Theis langsung membacakan ayat kutipan dari Yohanes 4:35 di
atas dengan keyakinan bahwa orang Simalungun harus mendapat Terang dan masuk ke dalam
Kerajaan Allah.
Pelayanan August Theis
Satu tahun setelah tiba di Pematang Raya, ia mendirikan sekolah walaupun belum jelas siapa
yang akan dididik saat itu. Setelah Pematang Raya, ia mendirikan sekolah di Raya Usang, Buluraya, Sipoldas dan juga Raya
Tongah.
Walaupun pendidikan ini akhirnya diterima oleh masyarakat Simalungun, tapi mereka masih
tetap menyembah berhala. Setelah 4 tahun, sudah berdiri 7 sekolah yang menampung 183 murid,
namun hanya 19 orang saja yang memeluk agama Kristen, karena memang tidak ada paksaan bagi
murid untuk memeluk agama Kristen. Kebaktian minggu yang diadakan pun hanya diikuti oleh anggota keluarga Guru Ambrosius dan 19
murid itu saja.
Simalungun 1920-an
Pada tahun 1920-an krisis ekonomi melanda dunia hingga Simalungun, namun dibanding keadaan tahun 1903, telah ada beberapa perkembangan sebagai berikut:
- Peningkatan kwalitas jalan Pematang Siantar - Pematang Raya
- Peningkatan sarana ibadah dengan dukungan RMG
August Theis keluar dari Simalungun
Pada tahun 1919, mertua dari August Theis meninggal dunia.
Pada saat itu sudah banyak orang Simalungun yang dapat membantu August Theis dalam pelayanannya seperti J. Wismar Saragih yang melayani di Raya Usang dan Tuan Anggi (saudara dari raja Raya) yang perkawinannya diberkati secara Kristiani oleh August Theis.
Pada tahun 1919, August Theis mengirimkan 2 puterinya kembali ke Belanda untuk bersekolah. Tahun 1921, permohonan cutinya untuk kembali ke Belanda dikabulkan dan diadakanlah perpisahan di Pematang Raya pada 4 April 1921 yang acaranya dipimpin oleh salah seorang murid August Theis, yaitu J. Wismar Saragih.
Sekembalinya August Theis dari Belanda, ia ditempatkan di Dolok Sanggul, dan posisinya di Pematang Raya dilanjutkan oleh Pendeta Guillaume (sebelumnya di Saribudolok). Setelah melayani di Dolok Sanggul, ia berkedudukan di Medan sampai habis masa pelayanannya dan kembali ke Eropa.