Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus
Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus merupakan salah satu dari ketiga surat (1 & 2 Korintus dan Roma) yang menempati posisi sentral dalam Perjanjian Baru.[1] Surat Korintus yang pertama ditulis setelah Paulus menerima kabar buruk dari orang-orang Kloe.[2] Berita buruk tersebut adalah timbulnya persoalan-persoalan, seperti keikutsertaan jemaat Korintus dalam upacara-upcara keagamaan kafir, penghakiman di depan orang-orang kafir dan pelacuran.[3] Selain masalah-masalah etis dan moral, surat ini juga merupakan surat penggembalaan untuk menegur jemaat di Korintus yang memiliki berbagai macam karunia, sehingga menjadikan jemaat satu dengan yang lainnya saling menyombongkan diri.[3]
Konteks Surat I Korintus
Gambaran kota Korintus
Kota Korintus bukanlah kota kuno yang telah lama dikenal sebagai pusat perdagangan, budaya, dan berbagai macam kegiatan politik, melainkan kota ini merupakan kota yang baru setelah dihancurkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 146 sM.[4] Barulah setelah kehancuran itu, kota Korintus dibangun kembali oleh Julius Caesar pada tahun 44 sM.[4] Setelah pembangunan kembali, kota ini pun dikenal sebagai pusat provinsi Romawi, yaitu Akhaya yang dipimpin oleh Gubernur Galio dan menjadi pusat perdagangan yang berkembang, khususnya industri keramik (barang tembikar).[4] [2] Selain perdagangan tembikar, kota ini dikenal juga karena kemajuannya yang pesat dalam kebudayaan, pendidikan, juga karena banyaknya agama Hellenis yang terdapat di sana.[3] Kota ini didominasi oleh Akrokorintus yang dikenal sebagai dewi asmara.[2] Pelayanan dewi ini banyak menghasilkan tindakan-tindakan amoral pada zaman Aristofanes.[2] Tindakan amoral itu didominasi oleh perilaku seksual yang sembarangan dan pemujaan dewa-dewi Romawi di kuil-kuil utama dan orang-orang Kristen di Korintus ada sebagian yang termasuk mengikuti praktek-praktek amoral tersebut.[4]
Gambaran Jemaat di Korintus
Penulis, Waktu dan Tempat Penulisan surat I Korintus
Paulus dikenal sebagai penulis surat yang pertama kepada jemaat di Korintus (I Korintus 5:9).[4] Ia menulis surat ini antara tahun 57 dan 58 SMdi kota Efesus (1 Kor.16:8,19).[5]
Tujuan penulisan
Keberadaan jemaat di Korintus dikenal karena perpecahan mereka antara berbagai golongan, sehingga masing-masing membanggakan keunggulannya.[5] Adanya perbedaan antara mereka sebenarnya bukan timbul dari kejahatan mereka saja, namun juga disebabkan oleh guru-guru agama yang membuat perbedaan golongan.[5] Atas perbedaan-perbedaan inilah Paulus menulis suratnya untuk menegur perpecahan yang telah merusak iman jemaat.[5]
Garis Besar Isi
Secara garis besar, isi surat I Korintus terbagi menjadi sebelas, yaitu:[2]
- Salam dan pengantar (1:1-9).
- Perpecahan dalam jemaat; terdapat perbandingan antara ajaran Paulus dengan ajaran Apolos (1:10-4:21).
- Kejadian maksiat (asusila) (5:1-13).
- Peringatan lebih lanjut terhadap masalah asusila (6:1-20).
- Pembicaraan mengenai perkawinan (7:1-40).
- Persoalan tentang daging yang dipersembahkan kepada berhala: tafsiran Paulus mengenai pelayanan yang rasuli (8:1-11:1).
- Pembenaran terhadap ketidakberaturan dalam perkumpulan ibadah; tutup kepala wanita, pesta kasih, dan perjamuan kudus (11:2-34).
- Karunia-karunia rohani (12:1-31; 14:1-40).
- Konsep tentang Kasih (13:1-13).
- Ajaran Kristen yang benar tentang kebangkitan orang mati (15:1-58).
- Petunjuk tentang pengumpulan persembahan bagi Yerusalem; berbagai macam peringatan; salam penutup (16:1-24)
Pokok-pokok Teologis
- Jemaat Harus Menjadi Satu Persekutuan di dalam Tuhan
Mengingatkan jemaat di Korintus untuk tetap dalam persekutuan (koinonia), sehati sepikir, seia-sekata dan jangan ada perpecahan di antara jemaat merupakan perhatian utama Paulus.[6] Peringatan ini diberikan oleh Paulus karena dalam jemaat timbul beberapa alasan yang membuat perpecahan itu, pertama adanya berbagai ajaran yang membuat jemaat berselisih (1 Kor.1:11) dan iri hati (1 Kor.3:3).[6] Kedua, orang yang "kuat" mencari kesenangan sendiri dalam ritual penyembahan berhala, sehingga mereka tidak memperhatikan keadaan orang "lemah" (1 Kor.10:33), kemudian yang ketiga adanya orang-orang tertentu yang melahap habis hidangan saat perjamuan bersama, sehingga orang yang datang belakangan tidak mendapatkan jatahnya dan menjadi lapar (1 Kor.11:17-34), dan yang terakhir juga ditimbulkan karena adanya orang yang saling membanggakan karunianya masing-masing.[6] Dalam peringatan ini juga, Paulus menggunakan metafora tentang banyak anggota dalam satu tubuh untuk memberitahu jemaat bahwa setiap anggota harus saling mendukung.[6]
- Hidup Kudus sebagai Tubuh Kristus
Sabagai umat Allah yang dipanggil, (1 Kor.1:24; 10:32) jemaat harus menunjukkan hidupnya dalam kekudusan. [6] Paulus harus mengingatkan bahwa status mereka bukanlah kagi "orang biasa", melainkan mereka adalah umat yang telah disucikan, dikuduskan serta dibenarkan oleh Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus. [6] Peringatan ini diberikan oleh Paulus karena banyak dari anggota jemaat yang terlibat dalam hubungan seks, bahkan hubungan seks sesama anggota keluarga, padahal mereka belum ada dalam hubungan suami-isteri, ada juga yang datang ke kuil-kuil untuk dilayani pelacur, dan melakukan ritual-ritual penyembahan berhala.[6] [5] Sebenarnya prkatek-praktek kejahatan dan perzinahan tersebut pada saat itu tidak dilarang, bahkan diizinkan oleh tradisi karena saat itu sedang terkenal istilah "tubuh adalah rumah jiwa", sehingga orang harus menjaga jiwa dengan memenuhi keinginan tubuh mereka.[6] Untuk menanggapi persoalan bergaul dengan pelacur, Paulus berangkat dari Amsal 6:26&32 bahwa selain merusak, hal itu juga dapat menyebabkan berdosa terhadap dirinya sendiri.[6] Kedua, menanggapi slogan yang terkenal di atas, Paulus menegaskan bahwa tubuh adalah milik Allah dan merupakan bagian dari anggota tubuh Kristus, oleh karena itu jemaat harus memuliakan Allah dengan tubuhnya.[6]
- Kebangkitan orang mati
Permasalahn ini timbul ke permukaan disebabkan oleh sekelompok orang yang tidak memeahami kebangkitan tubuh (1 Kor. 15:12) serta bagaimana kebangkitan itu terjadi (1 Kor.15:35).[6] Masyarakat Roma memahami bahwa kematian dapat membebaskan jiwa dari tubuh.[6] Maka dari itulah jemaat Kristen di Korintus tidak percaya akan hal ini, karena pemahaman mereka yang masih dipengaruhi oleh Helenistik yang mengatakan bahwa jika ada kehidupan sesudah kematian, maka hanya merupakan tipe dari suatu keberadaan yang tidak bertubuh.[6] Maka tanggapan Paulus akan hal ini menegaskan bahwa orang yang sudah mati dapat bangkit sekalipun tubuh jasmaninya (soma psychicon) telah hancur, karena menurutnya kehancuran tubuh jasamani itu akan diganti dengan tubuh rohani dalam kepribadian yang dikenal Allah (soma pneumatikon).[6] Melalui masalah kebangkitan ini, Paulus juga ingin memberitahu pada jemaat Korintus bahwa mereka semua telah memiliki iman yang sama yaitu iman di atas Yesus Kristus yang telah bangkit pada hari ketiga dari antara orang mati.[6] Lewat pemberitaan ini, Paulus menghubungkan bahwa antara kebangkitan Yesus dengan kebangkitan orang percaya di masa depan tidak terpisahkan.[6] Ketidakterpisahan ini dikatakan Paulus bahwa kematian orang-orang percaya tidak akan binasa, karena mereka mati bersama Kristus dan kematiannya tidak menjadi binasa karena kebangkitan Kristus.[6] Selanjutnya, Paulus juga memberikan perhatiannya pada kebangkitan orang percaya di masa depan.[6] Ia menegaskan bahwa tanpa kebangkitan tubuh, tidak mungkin ada kekekalan (1 Kor.15:18,19).[6]
Referensi
- ^ John Drane. 1996. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm.346-360.
- ^ a b c d e {{id]}J.D Douglas. 1992. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I (A-L). Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF. Hlm.583-587.
- ^ a b c Bambang Subandrijo. 2010. Menyingkap Pesan-pesan Perjanjian Baru. Bandung: Bina Media Informasi. Hlm.33-34.
- ^ a b c d e V.C.Pfitzner. 2000. Kesatuan dalam Kepelbagaian: Tafsiran atas Surat 1 Korintus. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm.1-11.
- ^ a b c d e Howard M. Gering. 1992. Analisa Alkitab Perjanjian Baru. Jakarta: Yayasan Pekabar Injil "IMMANUEL". Hlm.64-67.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Samuel B.Hakh. 2010. Perjanjian Baru: Sejarah, Pengatar dan Pokok-pokok Teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi. Hlm.137-155.