Virginia Fabella adalah seorang tokoh yang memiliki pemikiran tentang Kristilogi dari sudut pandang perempuan Asia.[1] Virginia Fabella memandang bahwa sudah terlalu lama apa yang perempuan Asia percayai tentang Yesus Kristus dan apa artinya Dia bagi perempuan Asia telah dipaksakan oleh para penjajah, oleh dunia Barat, oleh suatu gereja partiakhal, dan oleh para pakar dan penasihat-penasihat rohani pria. [1] Dalam mengembangkan teologinya, Fabella berangkat dari pertanyaan yang Yesus ucapkan”kata orang, siapakah Aku ini?”.[1] Dia berusaha menjawab pertanyaan tersebut dari sudut pandang dan pengalaman perempuan Asia yang selama ini dikuasai, kemanusiaan dan keperempuanan mereka ditiadakan, dipandang sebagai insan-insan yang berkedudukan rendah yang senantiasa harus menempatkan diri mereka sendiri di bawah apa yang disebut keunggulan laki-laki.[1] Fabella berpendapat bahwa melalui hidup, kata-kata dan kiprah Yesus dari Nazaret telah memperlihatkan kepada kita makna kemanusiaan dan keilahian.[1]

Dalam merumuskan Kristologi perempuan Asia, Fabella memusatkan perhatiannya pada Yesus sejarah.[1] Dia juga melihat bahwa inti amanah Yesus terpusat pada Kerajaan Allah dan agar dapat memasuki Kerajaan Allah berarti mengubah cara-cara orang bertingkah laku dan bergaul.[1] Hal ini tampak sikap Yesus terhadap peremuan-perempuan dan bagaimana Dia memperlakukan mereka secara tidak lazim menurut pemahaman orang Yahudi pada saat itu.[1] Yesus memandang mereka dengan penghormatan yang dalam: Ia tidak pernah mengabaikan mereka ketika mereka mendekati-Nya meminta kesembuhan: Ia melihat bahwa mereka adalah manusia-manusia yang berkeutuhannya patut dipulihkan kemebali.[1]

Dengan mengingatkan kenyataan hidup yang dialami perempuan-perempuan Asia, maka Kristologi yang dibuat Fabella adalah suatu Kristologi yang mendatangkan pembebasan, berisi pengharapan, diilhami oleh cinta kasih, dan yang diarahkan pada praksis.[1] Oleh karena itu, ia menambahkan, dialog antar umat beragama yang tidak membicarakan penindasan kaum perempuan dan karena hanya melanggengkan kedudukan mereka yang lebih rendah itu di dalam agama dan masyarakat bertentangan dengan Firman Yesus yang mendatangkan keselamatan.[1]

Fabella juga memberikan saran bahwa gereja perlu meninjau ulang dogma yang telah diwarisi dari konsili Nicea (tahun 325) bahwa Yesus Kristus sepenuhnya Allah, sehakikat dengan Allah, Sang Bapa dan Konsili Chalsedon (tahun 425) mengenai rumusan dengan keilahian dan kemanusiaan yang sama-sama sempurna, sang Kristus yang satu dan sama, Tuhan, Anak Allah yang tunggal, di dalam dua tabiat.[2] Kedua rumusan konsili ini dibuat pada zamannya dan tentu tidak melihat konteks masa yang akan datang ketika umat Kristen (khususnya di Asia) berjumpa dengan agama lain dan dibutuhkan rumusan yang dapat menjembatani perbedaan yang ada.[2]


referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k Fabella,Virginia. 1996. Kristilogi dari sudut pandang seorang perempuan Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 333-350.
  2. ^ a b Sugirtharajah, R.S. 2007. Wajah Yesus Di ASia . Jakarta: BPK Gunung Mulia. 343.