René Girard adalah salah seorang pemikir besar dari Perancis pada abad ke-20.[1] Bidang yang ia kaji dan pengaruh dari pemikirannya amat luas, mulai dari antropologi, sastra, psikologi, mitologi, dan teologi.[1] Pemikiran Girard yang paling dikenal adalah teori kambing hitam yang menerangkan hubungan antara agama dan kekerasan.[1] Salah satu pokok pemikirannya didasarkan pada analisa agama primitif yang melihat kekerasan sebagai pengganggu stabilitas sosial dan perlu untuk melakukan penebusan karena hal itu.[2] Girard berusaha untuk menganalisa sistem ini dan menyimpulkan bahwa saat penebusan terjadi bukan dengan sendirinya menghilangkan pelaku kekerasan, melainkan meng-kambinghitam-kan seseorang atau sesuatu demi suatu komunitas yang melakukan kesalahan.[2] Sistem inilah yang akhirnya melahirkan rantai kekerasan karena dengan penebusan kekerasan tidak begitu saja terputus.[2]

René Girard
René Girard tahun 2007
Lahir25 Desember 1923
Avignon
Tempat tinggalStanford, California (United States)
AlmamaterIndiana University
Dikenal atasRené Girard#hasrat mimesis
kambing hitam yaitu mekanisme pengurbanan dan juga merupakan fondasi kebudayaan manusia
Karier ilmiah
InstitusiDuke University, Bryn Mawr College, Johns Hopkins University, State University of New York at Buffalo, Stanford University

Riwayat Hidup

René Girard lahir di Avignon pada tanggal 25 Desember 1923.[1] Ia lahir dalam keluarga Katolik, namun tidak terlalu acuh terhadap kehidupan keagamaan.[1] Di masa mudanya, Girard lebih tertarik pada politik.[1] Pada tahun 1947, ia meninggalkan Prancis dan pergi ke Amerika Serikat.[1] Di sana, Girard menjadi guru besar dalam bidang sastra di Universitas John Hopkins.[1]

Girard mulai tertarik untuk beragama pada tahun 1959 setelah menulis buku pertamanya yang terkait dengan pemikiran lima novelis besar dunia: Cervantes, Flaubert, Stendhal, Proust,dan Dostojevsky.[1] Bersamaan dengan masuknya Girard ke dalam kehidupan agama Katolik, lahirlah teori kambing hitam yang kemudian menjadi ciri khas pemikirannya.[1] Teori tersebut mulai dikenal pada tahun 1980-an.[1] Pemikiran Girard dipengaruhi oleh Jacques Derrida.[1] Tahun 1980 hingga masa pensiunnya di tahun 1995 dilalui dengan menjadi guru besarbahasa, sastra, dan kebudayaan Perancis di Universitas Stanford.[1]

Pada tahun 1981 ia menjadi Professor dalam bidang bahasa Prancis, Literatur, dan peradaban di Universitas Stanford. Selama periode ini ia menghasilkan tulisan-tulisan antara lain: Le Bouc émissaire (1982), La route antique des hommes pervers (1985), A Theatre of Envy: William Shakespeare (1991) dan Quand ces choses commenceront ... (1994). Pada tahun 1990, sekelompok ilmuwan mendirikan Colloquium on Violence and Religion (COV&R) dengan tujuan untuk "menggali, mengkritisi, dan mengembangkan model mimesis dari hubungan antara kekerasan dan agama dalam Kejadian dan dipelihara oleh kebudayaan.[3][4]

Pemikiran

René Girard dianggap sebagai satu-satunya pemikir pada saat ini yang hidup dengan sebuah visi, yaitu membuat sebuah teori yang dapat menjelaskan segala sesuatu.[5] Pengaruh Marcel Proust terlihat dalam pemikiran Girard ketika ia mengatakan bahwa di dalam teks terdapat "hukum psikologis", seperti yang dikatakan oleh Marcel Proust.[6] Marcel Proust memahami hukum dan sistem ini sebagai konsekuensi.[2] Girard menyebut hal ini sebagai hasrat mimesis.[2]

Hasrat Mimesis atau Peniruan

Pada buku pertamanya yang berjudul Deceit, Desire and The Novel (1961), ia menyatakan bahwa kita meniru apa yang kita inginkan dari orang lain.[7] Proses peniruan ini disebut mimesis.[7] Mimesis ada di dalam diri setiap manusia sehingga proses peniruan ini juga menjadi proses terciptanya budaya.[7] Secara sistematis, Mimesis terjadi karena kita menjadikan orang lain sebagai model.[7] Hubungan yang terjadi antara diri kita dengan apa yang kita inginkan dan antara orang lain dengan apa yang ia dan juga kita inginkan membuat hubungan yang terjadi tidak di dalam relasi eksklusif.[7] Oleh karena itu relasi ini dapat digolongkan sebagai hubungan antara subyek, obyek, dan mediator.[7] Kita juga meminjam hasrat kita dari orang lain, yang menjadi model untuk subyek yang sama.[2] Girard mengatakan bahwa hasrat bersifat metafisik karena hasrat bukan sekadar kebutuhan tapi membutuhkan perwujudan, maka hasrat mimesis nyata di dalam komunitas.[2]

Mediator dapat dibagi menjadi dua, yaitu mediator internal dan mediator eksternal.[2] Mediator internal biasanya berada dalam posisi yang sama sebagai subyek oleh karena itu akan menjadi saingan.[2] Contohnya terdapat dalam legenda-legenda yang memuat unsur persaingan.[7][2] Obyek persaingan dalam legenda-legenda biasanya adalah ketenaran dan jabatan.[2] Misalnya cerita kakak beradik, Romulus dan Remusdalam legenda Romawi.[2] Mereka bersaing untuk mendapatkan hal yang sama, yaitu wilayah.[2] Mereka berusaha untuk mendapatkannya dengan segala cara, bahkan melalui jalan kekerasan.[2] Kisah Kain dan Habel juga memiliki kesamaan, bedanya roh Habel dalam kisah ini diberi kesempatan untuk “bersuara” lewat tangisannya.[2] Dengan kata lain korban diberikan hak untuk bersuara.[2] Kedua kisah ini menggambarkan bagaimana manusia sebagai subjek menjadikan manusia lainnya sebagai mediator atas apa yang diinginkan.[7] Sedangkan mediator eksternal adalah tokoh-tokoh fiktif yang tidak dapat dijangkau oleh subyek.[7] Misalnya seorang anak yang ingin seperti pahlawan dalam kisah tertentu.[7]

Kambing Hitam

Istilah kambing hitam diambil dari tradisi Yahudi yang terdapat dalam kitab Perjanjian Lama.[7] Kambing hitam yang disebut azazelitu dilepaskan ke padang belantara sebagai korban bagi dosa kolektif komunitas.[7] Maka Mekanisme kambing hitam seperti yang dipahami Girard adalah mekanisme yang menyembunyikan kekerasan yang nyata.[7] Saat mekanisme ini terjadi seolah penyebab kekerasan adalah kambing hitam itu, bukan masyarakat.[1]

Agama dalam hal ini seolah memiliki dua sikap terhadap keadaan yang sama.[7] Di satu pihak agama seolah menipu karena menyembunyikan kenyataan yang sesungguhnya, namun di lain pihak agama memang harus melakukan hal ini.[1] Jika agama tidak menyembunyikan hal ini maka tidak akan tercipta ketentraman.[1] Kambing hitam ini pada dirinya tidak bersalah namun dikorbankan demi menanggung kesalahan masyarakat.[1] Di dalam kisah Ayub seperti yang dituliskan oleh Girard dalam bukunya yang berjudul Ayub, Korban Masyarakatnya, Ayub membandingkan dirinya dengan teman-temannya dan mendefinisikan dirinya sebagai kambing hitam dari para kambing hitam.[8] Ia merasa menjadi korban dari semua orang, kambing hitam dari para kambing hitam, korban dari para korban.[8]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Indonesia) Sindhunata. 2007. Kambing Hitam: Teori René Girard. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 7-11.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Inggris) Colin Gunton. 1998. "Atonement" dalam Routledge Encylopedia of Philosophy. London: Routledge. Hal. 666-670.
  3. ^ 'The rationale for and goals of "The Bulletin of the Colloquium on Violence & Religion"' COV&R-Bulletin No. 1 (September 1991)
  4. ^ "Constitution and By-Laws of the Colloquium on Violence and Religion" COV&R-Bulletin No. 6 (March 1994)
  5. ^ (Indonesia) Joas Adiprasetya. 2010. Berdamai dengan salib: Membedah Ioanes Rakhmat dan Menyapa Umat. Jakarta: Grafika Kreasindo. 54
  6. ^ contohnya di dalam Time Regained (Le Temps retrouvé, volume 7 dalam judulRemembrance of Things Past), ia mengatakan: "Setiap penulis pada umumnya melakukan hal yang sama secara umum. Mereka memberikan perhatian pada yang lain karena hanya untuk mengulang saja. Ini seperti yang dilakukan burung kakak tua,...." dalam bahasa Prancis: "(...)c'est le sentiment du général qui dans l'écrivain futur choisit lui-même ce qui est général et pourra entrer dans l'œuvre d'art. Car il n'a écouté les autres que quand, si bêtes ou si fous qu'ils fussent, répétant comme des perroquets ce que disent les gens de caractère semblable,...."
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n (Inggris) Andrew Marr. Violence and The Kingdom of God. Anglican Theological review, 590-595
  8. ^ a b (Indonesia) Rene Girard. 2003. terj. Ayub, Korban Masyarakatnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 7