Verbalisme berasal dari kata Latin, verbum yang berarti perkataan atau ucapan.[1] Verbalisme dapat sekadar berarti sebagai ungkapan verbal (verbal expression), entah istilah untuk menyebut sesuatu, atau pengungkapan lewat kata-kata untuk mengungkapkan gagasan dan menyatakan pengertian.[1] Verbalisme juga dapat dipergunakan untuk menyebut tulisan atau uraian yang mempergunakan terlalu banyak kata, sedang isinya terlalu sedikit, tanpa isi atau terlalu sedikit, atau sama sekali tak menyentuh topik yang sedang dibicarakan, alias omong kosong.[1] Akan tetapi, verbalisme juga merupakan pendirian.[1] Verbalisme lalu menjadi sikap yang lebih menjunjung tinggi kata daripada kenyataan yang diungkapkan, istilah daripada permasalahan yang ada di belakangnya, dan rumusan daripada kebenaran yang dikandungnya.[1]

Dengan sikap itu, penganut verbalisme memperlakukan kata lebih penting daripada kenyataan yang diungkapkan.[1] Secara umum verbalisme dapat menjadikan kata, ungkapan, ucapan, sebagai hal atau entitas yang berdiri sendiri.[1] Dalam dan dengan anggapan itu, orang sudah dianggap baik, loyal, terhormat, hanya karena kata-katanya yang bernada sedap, mendukung dan menyanjung, tanpa menyelidiki bagaimana perilaku yang sesungguhnya.[1] Sebaliknya orang seringkali dianggap jahat dan pengacau, hanya karena ucapan-ucapannya yang terus terang, berbeda dengan yang lazim dan kritis, meskipun perbuatan nyatanya sungguh membawa kebaikan bagi banyak orang.[1]

Dalam mental verbalistis,

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 232-236.