Kedatuan Luwu
Kesultanan Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu') adalah kerajaan Bugis tertua, pada 1889, Gubernur Hindia-Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Sejarah Kesultanan Luwu
Masa Awal Berdiri
Kesultanan Luwu disebut sebagai kesultanan tertua di Sulawesi Selatan. Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kesultanan ini, namun Kesultanan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan pada abad ke-XV (Bambang Suwondo, et.al., 1976:20). Jika ditarik ke belakang, nama Kesultanan Luwu telah dikenal dalam naskah Bugis I La Galigo. Di sini dikenal nama tokoh Sawerigading yang berasal dari kesultanan di Sulawesi Selatan (besar kemungkinan adalah Kesultanan Luwu). Menurut beberapa ahli, kesultanan di Sulawesi Selatan ini telah berdiri pada abad ke-VII sampai XV (Suwondo, et.al., 1976:20). Dari pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kesultanan Luwu telah berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa jadi sebelum abad ke-VII.
Nama Luwu disebut dalam karya suku Bugis, I La Galigo. Bersama dengan Kesultanan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari tiga kesultanan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo (http:wiki-indonesia.club). Pada bagian awal kisah dalam I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang sejarah awal mula masyarakat Bugis. I La Galigo membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau Luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia tengah yang menikah dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama We Nyelliqtomaq. Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah yang terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya sastra. Rafles menyebut I La Galigo sebagai sebagai teks sejarah, khususnya pada bagian tokoh Sawerigading (Muhammad Yunus Hafid dan Mukhlis Hadrawi, 1998:12).
Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo. Luwu merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone. Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian orang beranggapan bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan orang-orang Bugis. Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis, Kesultanan Luwu menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi kesultanan tertua di tanah Bugis (Hafid dan Hadrawi, 1998:13).
Kesultanan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu? (http:wiki-indonesia.club). Bersama dengan Kesultanan Gowa dan Bone, Kesultanan Luwu disebut sebagai Kesultanan Tellu Bocco-e (dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh atau utama). Kesultanan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan beribukota di Palopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat yang berjarak sekitar 380 km dari Gowa ini bermukim datu atau raja Kesultanan Luwu (Muhammad Abduh, et.al., 1981:135).
Pada abad ke-XIV sampai XV, Kesultanan Luwu mencapai puncak kejayaannya (Bambang Suwondo, et.al., 1976:20). Pernyataan ini dikuatkan oleh Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889 yang menyatakan bahwa antara abad ke-X sampai ke-XIV, Kesultanan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Sektor pendukung kejayaan Kesultanan Luwu terutama berasal dari perdagangan bijih besi dan dan barang-barang yang berbahan dasar besi. Komoditas ini kemudian diperdagangkan dengan negara-negara agraria Bugis di selatan Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran Kesultanan Luwu menjadikannya sebagai kesultanan terkuat di sebelah tenggara dan barat daya Sulawesi (http:ms.wiki-indonesia.club).
Kekuatan Kesultanan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan. Pada abad ke-XV, Kesultanan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di Kesultanan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 - 1530 Masehi, kekuasaan Kesultanan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kesultanan Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya diserahkan kepada Kesultanan Wajo. Ketika itu Kesultanan Wajo diperintah oleh Arung Matoa Puang ri Ma?galatung, sedangkan Kesultanan Luwu diperintah oleh Dewaraja (http:ms.wiki-indonesia.club).
Kekuasaan Kesultanan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu, Kesultanan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah. Akibat dari semakin kuatnya Kesultanan Bone, pada pertengahan abad ke-XVII, kemegahan Kesultanan Luwu mulai tertandingi seiring dengan meningkatnya kebesaran Kesultanan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka (Hafid dan Hadrawi, 1998:13).
Pada awal abad ke-20, Kerajaan Bone telah takluk di tangan Pemerintah Hindia Belanda. Penaklukan atas Kerajaan Bone ternyata berimbas dengan penaklukan terhadap Kerajaan Luwu dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (/korte verklaring/) yang ditujukan kepada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk di dalamnya Kerajaan Luwu. Secara tegas, Kerajaan Luwu menolak menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan ini, perang antara Kerajaan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.
Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kerajaan Luwu pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (/korte verklaring/) kepada raja Kerajaan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat perjanjian pendek dengan Kerajaan Luwu (Abduh, /et.al/., 1981:136). Sikap Andi Kambo diartikan sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda. Kerajaan Luwu diserang oleh Belanda.
Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan /hadat luwu /untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo sebelumnya, Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kerajaan Luwu. Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9 September 1905 di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama antara pihak Belanda dan Kerajaan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda meletus pada tanggal 12 September 1905 (Abduh, /et.al/., 1981:138).
Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, yang telah meninggal dunia di Ponjalae) (Abduh, /et.al/., 1981:142). Pasca kematian Andi Tadda, Kerajaan Luwu tak lagi memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah lagi, Belanda mengancam apabila Andi Kambo tidak menyerah dan menandatangi perjanjian pendek, maka Belanda akan membakar Palopo. Andi Kambo akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda. Penyerahan ini terjadi pada tanggal 19 September 1905 (Abduh, /et.al/., 1981:142). Sejak saat itu, Kerajaan Luwu telah takluk dan berada di bawah penguasaan Belanda.
Penaklukan Kerajaan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan sistem pemerintahan yang berada di Kerajaan Luwu. Belanda mengatur sistem pemerintahan dengan membagi Kerajaan Luwu menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Selain itu, wilayah Kerajaan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekongga, (http://wiki-indonesia.club/). Sistem pemerintahan di Kerajaan Luwu ini tetap berlaku ketika Jepang menjajah Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.
Pada era kemerdekaan, Kerajaan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma (putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu (periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (/datu/) Kerajaan Luwu terakhir. Sejarah Kerajaan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar (http://wiki-indonesia.club/).