Kedatuan Luwu

kerajaan di Asia Tenggara

Kesultanan Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu') adalah kerajaan Bugis tertua, pada 1889, Gubernur Hindia-Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Kerajaan-kerajaan awal di Sulawesi Selatan menurut I La Galigo

Sejarah Kesultanan Luwu

Masa Awal Berdiri

Kesultanan Luwu disebut sebagai kesultanan tertua di Sulawesi Selatan. Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kesultanan ini, namun Kesultanan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan pada abad ke-XV. Jika ditarik ke belakang, nama Kesultanan Luwu telah dikenal dalam naskah Bugis [[I La Galigo]]. Di sini dikenal nama tokoh Sawerigading yang berasal dari kesultanan di Sulawesi Selatan (besar kemungkinan adalah Kesultanan Luwu). Menurut beberapa ahli, kesultanan di Sulawesi Selatan ini telah berdiri pada abad ke-VII sampai XV. Dari pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kesultanan Luwu telah berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa jadi sebelum abad ke-VII.

Nama Luwu disebut dalam karya suku Bugis, I La Galigo. Bersama dengan Kesultanan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari tiga kesultanan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo (http:wiki-indonesia.club). Pada bagian awal kisah dalam I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang sejarah awal mula masyarakat Bugis. I La Galigo membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau Luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia tengah yang menikah dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama We Nyelliqtomaq. Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah yang terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya sastra. Rafles menyebut I La Galigo sebagai sebagai teks sejarah, khususnya pada bagian tokoh Sawerigading (Muhammad Yunus Hafid dan Mukhlis Hadrawi, 1998:12).

Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo. Luwu merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone. Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian orang beranggapan bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan orang-orang Bugis. Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis, Kesultanan Luwu menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi kesultanan tertua di tanah Bugis.

Kesultanan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu. Bersama dengan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone, Kesultanan Luwu disebut sebagai Kesultanan Tellu Bocco-e (dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh atau utama). Kesultanan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan beribukota di Palopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat yang berjarak sekitar 380 km dari Gowa ini bermukim datu atau raja Kesultanan Luwu

Pada abad ke-XIV sampai XV, Kesultanan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Pernyataan ini dikuatkan oleh Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889 yang menyatakan bahwa antara abad ke-X sampai ke-XIV, Kesultanan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Sektor pendukung kejayaan Kesultanan Luwu terutama berasal dari perdagangan bijih besi dan dan barang-barang yang berbahan dasar besi. Komoditas ini kemudian diperdagangkan dengan negara-negara agraria Bugis di selatan Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran Kesultanan Luwu menjadikannya sebagai kesultanan terkuat di sebelah tenggara dan barat daya Sulawesi

Kekuatan Kesultanan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan. Pada abad ke-XV, Kesultanan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di Kesultanan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 - 1530 Masehi, kekuasaan Kesultanan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kesultanan Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya diserahkan kepada Kesultanan Wajo. Ketika itu Kesultanan Wajo diperintah oleh Arung Matoa Puang ri Ma?galatung, sedangkan Kesultanan Luwu diperintah oleh Dewaraja

Kekuasaan Kesultanan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu, Kesultanan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah. Akibat dari semakin kuatnya Kesultanan Bone, pada pertengahan abad ke-XVII, kemegahan Kesultanan Luwu mulai tertandingi seiring dengan meningkatnya kebesaran Kesultanan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka

Masa Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda

Pada awal abad ke-20, Kesultanan Bone telah takluk di tangan Pemerintah Hindia Belanda. Penaklukan atas Kesultanan Bone ternyata berimbas dengan penaklukan terhadap Kesultanan Luwu dan kesultanan-kesultanan lainnya di Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (korte verklaring) yang ditujukan kepada berbagai kesultanan di Sulawesi Selatan, termasuk di dalamnya Kesultanan Luwu. Secara tegas, Kesultanan Luwu menolak menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan ini, perang antara Kesultanan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.

Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kesultanan Luwu pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (korte verklaring) kepada raja Kesultanan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat perjanjian pendek dengan Kesultanan Luwu Sikap Andi Kambo diartikan sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda. Kesultanan Luwu diserang oleh Belanda.

Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan hadat luwu untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo sebelumnya, Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kesultanan Luwu. Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9 September 1905 di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama antara pihak Belanda dan Kesultanan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda meletus pada tanggal 12 September 1905.

Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, yang telah meninggal dunia di Ponjalae). Pasca kematian Andi Tadda, Kesultanan Luwu tak lagi memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah lagi, Belanda mengancam apabila Andi Kambo tidak menyerah dan menandatangi perjanjian pendek, maka Belanda akan membakar Palopo. Andi Kambo akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda. Penyerahan ini terjadi pada tanggal 19 September 1905. Sejak saat itu, Kesultanan Luwu telah takluk dan berada di bawah penguasaan Belanda.

Penaklukan Kesultanan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan sistem pemerintahan yang berada di Kesultanan Luwu. Belanda mengatur sistem pemerintahan dengan membagi Kesultanan Luwu menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kesultanan Luwu). Selain itu, wilayah Kesultanan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekongga, . Sistem pemerintahan di Kesultanan Luwu ini tetap berlaku ketika Jepang menjajah Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.

Pada era kemerdekaan, Kesultanan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma (putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu (periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (datu) Kesultanan Luwu terakhir. Sejarah Kesultanan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar

Sistem Pemerintahan

Struktur pemerintahan di Kerajaan Luwu menempatkan status seorang raja sebagai pemimpin tertinggi. Raja merupakan pelaksana kekuatan tertinggi sebagai penyatu kekuatan magis dan mistis. Di Kerajaan Luwu kedudukan seorang raja bergelar mangkue(yang bertahta) atau payungnge ri Luwu. Sebutan ini mengalami perubahan ketika ajaran Islam mulai masuk ke Kerajaan Luwu pada abad ke-16. Kala itu, Datu Luwu ke-XIII yang bernama La Patiware Daeng Parabbung (1585 - 1610 M) menerima dan masuk Islam pada tahun 1604 1605. Beliau menjadi raja pertama dari Kerajaan Luwu yang memeluk Islam. Sehubungan dengan telah masuknya La Patiware Daeng Parabbung ke dalam agama Islam, maka sebutan raja atau datu di Kerajaan Luwu berubah menjadi sultan sebagaimana gelar yang kemudian disandang oleh La Patiware Daeng Parabbung, yaitu Sultan Muhammad.

Menurut hukum adat, yang di wilayah Bone disebut Latowa, di Gowa disebut Rappang, dan di Wajo disebut Lontara, sistem pengangkatan seorang raja dilakukan dengan cara Raja sultan diangkat oleh Dewan Pemangku Adat. Raja diangkat melalui pemilihan calon-calon yang telah ditentukan dan disaring oleh Dewan Pemangku Adat yang berjumlah 40 orang. Sistem pengangkatan yang cukup ketat ini diberlakukan karena kedudukan raja adalah pemimpin tertinggi. Sehubungan dengan kedudukan yang ditinggikan daripada masyarakat di sekitarnya, maka tidak jarang martabat seorang raja dihubungkan dengan unsur kedewaan, raja merupakan penjelmaan dari dewa. Selain itu, rakyat di Kerajaan Luwu juga hanya mau diperintah oleh keturunan dari tumanurung, yaitu wakil dewata di dunia.

Jabatan dalam Pemerintahan

Di bawah kedudukan seorang raja diangkat seorang opu patunru, sebuah jabatan yang setara dengan kedudukan mangkubumi (perdana menteri). Putra mahkota didudukan dalam suatu dewan pemerintahan yang bernama hadat tinggi(pakettena adee) dan hadat sembilan (ade aseraE). Kedua nama ini lazim disebut sebagai hadat luwu. Hadat luwu terdiri dari opu patunru (perdana menteri), opu pabbicara (menteri kehakiman), opu tomarilaleng (menteri dalam negeri), dan opu balirante (menteri kesejahteraan). Dewan pemerintahan ini merupakan pemangku kekuasaan yang kedudukannya setara dengan jabatan legislatif pada masa sekarang.

Opu patunru yang setara kedudukannya dengan seorang perdana menteri membawahi dua jabatan, yaitu opu pabicara dan opu tomarilang yang bertugas untuk mengurus segala urusan yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam istana. Di bawahnya terdapat opu bale rante yang mempunyai tugas seperti bendahara istana sekaligus mengurus urusan perdagangan dan hubungan ke luar kerajaan. Kerajaan Luwu tidak mengenal istilah menteri luar negeri karena tugas tersebut telah diemban sekaligus oleh opu bale rante.

Selain jabatan-jabatan di atas, terdapat pula jabatan-jabatan lain, seperti: opu wagee yang bertugas sebagai kepala pembawa sirih bipang, opu cenrana yang bertugas sebagai kepala pasukan, dan opu lalantoro yang menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga putra mahkota. Sedangkan untuk urusan keagamaan, diurus oleh kadi yang dibantu oleh imam dan bilal.

Sidang Kerajaan

Ketika Islam telah masuk dan diterima oleh Kerajaan Luwu, dikenal adanya sistem seba, yaitu suatu acara pertemuan atau sidang raja-raja. Pada kesempatan ini, para penguasa di daerah taklukan akan menghadiri acara sebagai tanda kesetiaan terhadap negara induk. Sistem seba diadakan setahun sekali pada Hari Raya Idul Fitri. Konsep acara seba menjadi tanggungjawab dewan pemerintahan, yaitu hadat luwu. Sebelum acara seba berlangsung, dewan pemerintahan mengundang para kepala negara taklukan untuk datang. Ketika para pemimpin dari negara taklukan telah hadir, maka para pemimpin dari negara taklukan telah memperlihatkan loyalitas mereka terhadap raja negara induk.

Selain seba, hubungan antara negara induk dengan negara bawahan juga diatur dalam upaya perluasan wilayah. Apabila negara bawahan akan memperluas wilayah, negara tersebut harus mendapatkan restu dari negara induk. Hal ini dilakukan karena telah menjadi kesepakatan bahwa antara negara induk dengan negara bawahan harus saling menghormati dan mendukung, terutama apabila pada salah satu negara terjadi pertikaian dengan negara lain. Bantuan secara otomatis akan diberikan oleh negara induk kepada negara bawahan apabila terjadi penyerangan oleh musuh, baik yang berasal dari dalam maupun luar.

Sistem Pemerintahan Masa Penjajahan Belanda

Ketika Belanda menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1905, sistem pemerintahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi yang dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah yangdipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Belanda kemudian membagi wilayah Kerajaan Luwu menjadi beberapa bagian, yaitu:

  1. Wilayah Poso (yang kini termasuk ke dalam wilayah Sulawesi Tengah) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan dan dibentuk menjadi satu afdeling tersendiri.
  2. Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
  3. Dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Lihat pula