Insektisida

pestisida yang digunakan untuk melawan serangga

Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga. [1] Insektisida dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada kematian serangga pengganggu tanaman[2] Insektisida termasuk salah satu jenis pestisida.

Sejarah penggunaan insektisida

Jenis-jenis Insektisida Sintetik

Insektisida sintetik dapat dibedakan menjadi golongan organik dan anorganik.[3]Insekstisida organik mengandung unsur karbon sedangkan insektisida anorganik tidak.[3]

Insektisida anorganik yang banyak dipakai adalah:

  • Silica (SiO2) merupakan insektisida yang bekerja dengan menghilangkan selubung lilin pada kutikula serangga sehingga menyebabkan mati lemas.[3]
  • Asam Borat (H3BO3) dipakai untuk menarik perhatian semut.[3]

Sedangkan insektisida organik yang banyak dipakai dibagi-bagi lagi menjadi beberapa golongan besar:[3]

Senyawa Organofosfat

Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan penambahan fosfat.[3] Insektisida sintetik yang masuk dalam golongan ini adalah Chlorpyrifos, Chlorpyrifos-methyl, Diazinon, Dichlorvos, Pirimphos-methyl, Fenitrothion, dan Malathion.[3]

Senyawa Organoklorin

Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan penambahan klorin.[3] Insektisida organoklorin bersifat sangat persisten, dimana senyawa ini mashi tetap aktif hingga bertahun-tahun.[3] Oleh karena itu, kini insektisida golongan organoklorin sudah dilarang penggunaannya karena memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Contoh-contoh insektisida golongan organoklorin adalah Lindane, Chlordane, dan DDT.[3]

Karbamat

Insektisida golongan karbamat diketahui sangat efektif mematikan banyak jenis hama pada suhu tinggi dan meninggalkan residu dalam jumlah sedang.[3] Namun, insektisida karbamat akan terurai pada suasana yang terlalu basa. Salah satu contoh karbamat yang sering dipakai adalah bendiokarbamat.[3]

Pirethrin/ Pirethroid Sintetik

Insektisida golongan ini terdiri dari dua katergori, yaitu berisfat fotostabil serta bersfiat tidak non fotostabil namun kemostabil.[3] Produknya sering dicampur dengan senyawa lain untuk menghasilkan efek yang lebih baik. Salah satu contoh produk insektisida ini adalah Permethrin.[3]

Pengatur Tumbuh Serangga

Insektisida golongan ini merupakan hormon yang berperan dalam siklus pertumbuhan serangga, misalnya menghambat perkembangan normal.[3] Beberapa contoh produknya adalah Methoprene, Hydramethylnon, Pyriproxyfen, dan Flufenoxuron.[3]

Fumigan

Fumigan adalah gas-gas mudah menguap yang dapat membunuh hama serangga.[3] Fumigan hanya boleh digunakan oleh personel terlatih karena tingkat toksisitasnya yang tinggi.[3] Contoh-contohnya adalah Metil Bromida (CH3Br), Aluminium Fosfit, Magnesium Fosfit, Kalsium Sianida, dan Hidrogen Sianida.[3]

Insektisida Hayati

Meskipun insektisida lebih dikenal merupakan senyawa sintetik, namun terdapat juga insektisida alami yang berasal dari bakteri, pohon, maupun bunga.

  • Pirethrum adalah insektisida organik alami yang berasal dari kepala bunga tropis krisan.[3] Senyawa ini memiliki kemampuan penghambatan serangga yang baik pada konsentrasi rendah.[3] Namun berkaitan dengan proses ekstraksinya, senyawa ini sangat mahal.[3]
  • Rotenon juga merupakan insektisisa organik alami yang diperoleh dari pohon Derris.[3] Senyawa ini berfungsi sebagai insektisida yang menyerang permukaan tubuh hama.[3]

Resistensi insektisida

Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup meski terpapar satu atau lebih senyawa insektisida.[4] Peningkatan individu ini terutama oleh karena matinya individu-individu yang sensitif insektisida sehingga memberikan peluang bagi individu yang resisten untuk terus berkembangbiak dan meneruskan gen resistensi pada keturunannya.[4]

Resistensi terhadap insektisida pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1914 oleh AL Melander. Penggunaan kapur sulfur untuk mematikan hama pada anggrek pada satu minggu pertama percobaan.[4] Namun ketika dilakukan pengulangan perlakuan insektisida, 90% hama tetap hidup.[4] Tingkat resistensi serangga hama pada insektisida terus meningkat seiiring dengan kemunculan dan pemakaian berbagai jenis insektisida sintetik di tahun-tahun berikutnya.[4]


Selain itu, insektisida dapat pula membunuh serangga pengganggu (hama serangga). Insektisida dapat membunuh serangga dengan dua mekanisme, yaitu dengan meracuni makanannya (tanaman atau langsung meracuni serangga tersebut). Penelitian akan dampak penggunaan insektisida sintesis untuk tanaman cabai merah besar telah dilakukan di beberpa kota besar, seperti Cianjur, Semarang, dan Surabya. Pengujian residu insektisida ini menggunakan alat KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Hasil pengujian terhadap beberapa golongan pestisida kemuadian dikaji kembali berdasarkan pola konsumsi cabai orang Indonesia dan dihitung BMR (Batas Maksimum Residu) dari pestisida tesebut dan membandingkannya dengan BMR pustaka. Dari hasil pemeriksaan tersebut terdeteksi pestisida golongan organoklorin seperti lindan, aldrin, heptaklor, endosulfon, paration, klorpirifos, dimethoat, profenofos, dan protiofos. Dari golongan karbamat ang terdeteksi adalah karbofuran, sedangkan golongan piretrin tidak terdeteksi. Secara umum hasil perhitungannya lebih kecil dari BMR pustaka. Penggunaan yang berlebihan dilakukan karena petani beranggapan semakin banyak insektisida yang diaplikasikan maka akan semakin bagus hasilnya, selain itu beberapa petani mencampurkan perekat pada insektisidanya agar tidak mudah larut terbawa air hujan. Namun, penggunaan pereka tini mengakibatkan tingginya jumlah residu pestisida pada saat panen dan sangat berbahaya apabila residu itu masih ada pada saat produk dihidangkan di meja makan yang seakan-akan menyuguhkan makanan yang berlapis pestisida. Sebagai contoh Widjanarka dari kelompok relawan anti penyalahgunaan pestisida menuturkan bahwa kubis di daerah Cipanas mengandung pestisida sejenis paration 20-29 ppm, kubis dan sawi di daerah Sukabumi juga mengandung pestisida jenis paration 20-29 ppm, kubis dan sawi di daerah Lembang mengandung pestisida jenis methamidopos 14-41 ppm (WALHI 1987). Berdasarkan hal tersebut dapat kita bayangkan jika kita mengonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida tersebut dalam 100 g setiap hari maka dalam setahun kita mengonsumsi bahan aktif pestisida sekitar 5,5-12,75 g setara dengan ¾ liter atau ½ kaleng racun nyamuk yang jika diminum dapat menimbulkan kematian. Menurut data WHO sekitar 500 ribu orang meninggal dunia setiap tahunnya dan diperkirakan 5 ribu orang meninggal setiap 1 jam 45 menit akibat pestisida (WALHI 1987). Penggunaan insektisida sintetik juga dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan insektisida tertentu dapat tersimpan di dalam tanah selama bertahun-tahun (Kusnaedi 2003).

Agrios. 1998. Plant Pathologi. New York: Academic Press. BPS (Biro Pusat Statistik). 2007. Data produksi sayuran Indonesia. http://www.deptan.go.id/bdexim/. [6 April 2007] BPS (Biro Pusat Statistik). 2007. Data ekspor-impor sayuran Indonesia. http://www.deptan.go.id/bdexim/. [6 April 2007] Ditjen BPPHP. 2002. Volume dan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia Tahun 2000-2001. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. Hamijaya MZ dan Asikin A. 2005. Teknologi ”Indiggenous” dalam mengendalikan hama padi di Kalimantan Selatan. Dalam Simposium Nasional, Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi. Bogor 22 November 2005. Irliyandi F. 2006. Pembentukan Badan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (BP-DPL) dengan model Co-Managemant sebagai Alternatif Solusi Pengelolaan Berkelanjutan di Kepulauan Raja Ampat. Lomba Karya Tulis Mahasiswa Lingkungan Hidup. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Kalie MB. 1996. Bertanam Pepaya. Jakarta: Penebar Swadaya. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Kamrin MA. 1997. Pesticide Profiles: Toxicity, Environmental, Impact, and Fate. New York: Lewis Publisher.

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup). 1987. Teropong Masalah Pestisida (Terompet). Jakarta: WALHI. Pomeroy, Robert. 2004. Fisheries co-Management A Fact Sheet for Connecticut Fishermen. Connecticut Sea Grant Extension. Department of Agriculture and Resource Economics University of Connecticut. Prijono D. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT. Di dalam: Nugroho BW, Dadang dan Prijono D, editor. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida alami, Bogor 9-13 Agustus 1999. Bogor: pusat Kajian PHT IPB. Halaman 1-7. Sabari SD, Broto W, Mulyani T, Yuni S, Pratikno S. 2001. Perbaikan teknologi penyadapan dan pengawetan getah pepaya segar untuk produksi papain. Jurnal Hortikultura 11 (3):196-206.

Referensi

  1. ^ (Inggris) Heller, JL (2010). "Insecticide Poisoning". Medline Plus. Diakses tanggal 06-07-2011. 
  2. ^ Kardinan. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x (Inggris) Bennet, SM (2003). "Insecticide". PiedPiper. Diakses tanggal 06-07-2011. 
  4. ^ a b c d e (Inggris) Tabashnik, BE (2011). "Pesticide Resistance - History and Extent of Insecticide Resistance, Genetics and Biochemistry of Resistance, Delaying Evolution of Resistance". Diakses tanggal 06-07-2011.