dr A. Haga adalah gubernur Borneo dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin yang merupakan pusat pemerintahan dan militer kolonial Belanda. Status residensi (karesidenan) untuk Borneo telah ditingkatkan menjadi propinsi sejak tahun 1938. Sebagai gubernur diangkat dr. Haga, seorang kolonial yang baik untuk tugasnya di sebuah koloni, seorang penggemar Hukum Adat dan Peraturan-peraturan desentralisasi Ia dikenal bersikap kaku dan formalistis.

Kedatangan Tentara Jepang

Perkembangan antara 8 Desember 1941 hingga 10 Pebruari 1942 menjelang Tentara Jepang memasuki kota Banjarmasin, menggambarkan segala kepanikan dan kehancuran pemerintahan di daerah, yaitu adanya pertentangan antara pemerintah sipil dan militer. Sementara terbetik kabar Jepang memasuki Kalsel melalui Bongkang, Muara Uya, Tabalong pada tanggal 8 Februari 1942, sehingga Gubernur Haga terpaksa meninggalkan Banjarmasin yang dibumihanguskan, mengungsi ke pedalaman (sebagai rencana perang gerilya) melalui Kuala Kapuas menuju Puruk Cahu, Murung Raya diiringi staf, rombongan tentara, pegawai sipil, dan para wanita kulit putih yang tertinggal dalam evakuasi ke pulau Jawa sebelumnya.

Menyerahkan Diri

Tanggal 8 Maret 1942 setelah mendengar kapitulasi Hindia Belanda tak bersyarat kepada Jepang, mereka mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyerahkan diri dan dikepalai Kapten van Epen yang mengunakan kapal Ellen dengan memasang bendera putih. Tanggal 17 Maret 1942 orang Jepang membawa Kapten van Epen ke Puruk Cahu untuk melucuti dan penyerahan diri yang terjadi dua kali. Pertama penyerahan diri pihak militer, yang berikutnya penyerahan diri pihak pemerintah sipil Hindia Belanda. Selanjutnya mereka dimasukan dalam barak Benteng Tatas. Dalam tawanan tersebut dr. Haga sempat membuat rencana-rencana pemulihan kembali kekuasan Belanda di Kalimantan Selatan, jika perang telah berakhir. Dalam bulan Mei 1943, Jepang menangkapi sejumlah orang (termasuk anggota Organisasi Penyokong Tawanan}, yang dianggap tersangkut rencana tersebut, lebih dari 200 orang tangkapan ini mati dibunuh dan hampir semua pegawai Pemerintah Hindia Belanda dalam kasus tersebut dijaatuhi hukuman mati.