Hadramaut, atau Hedramaut atau Havermavt (Bahasa Ibrani) dalam injil ia disebut sebagai Hazarmaveth Genesis:10-26-28, adalah sebuah lembah di negeri Yaman. Lembah ini cukup subur untuk ukuran negeri Yaman yang umumnya padang pasir tandus.

Hadramaut merupakan negeri tempat tinggal nabiAllah Hud dan Saleh. Awal mula julukan hadramaut masih merupakan perdebatan hingga saat ini. Sebagian kelompok mengambil kisah orang-orang Yunani yang menemukan air di lembah tandus Arabia dan kemudian menamakannya dengan Hydreumata atau sumber air.

Sementara sebagian yang lain mengambil kisah orang-orang arab lampau (kisah-kisah ini kebanyakan berasal dari zaman sebelum orang-orang Yunani mencapai lembah Arabia). Alkisah, dahulu kala Lembah Arabia merupakan tempat orang-orang barbar yang suka berperang dan saling membunuh. Kisah Kejantanan dan keperkasaan mereka dalam perang selalu mereka banggakan dan mereka luapkan dalam bentuk puisi, sya'ir dan juga memberi pujian kepada pahlawan-pahlawan dari suku-suku dan kabilah mereka masing-masing. Pada waktu itu di bagian selatan lembah Arabia (hadramaut) tinggal seseorang yang paling ditakuti oleh semua keluarga, bani, suku dan kabilah di seluruh arab. Orang tersebut bernama Amir Bin Qahtan, dia ditakuti karena keberaniannya, kejeliannya dan keperkasaannya. Setiap kali Amir Bin Qahtan berpartisipasi dalam sebuah perang maka tempat tersebut akan berubah menjadi lembah kematian. Karena itulah suku-suku Arab pada waktu itu menamai tempat Amir Bin Qahtan tinggal sebagai Hadhramout yang berarti Hadhra=hadir mout=kematian yaitu dimana Amir Bin Qahtan berada, disitu pula kematian hadir bersamanya.

Sebagian besar kaum keturunan Arab di Indonesia umumnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Dapat dibuktikan dari nama-nama marga mereka seperti, Alaydrous, Badjubier, Bawazier, Al Attas, Al Kathiri, Al Habsyi, Sungkar, dan lain sebagainya.

Kebanyakan dari mereka adalah pedagang dan petualang yang menghubungkan antara bagian timur benua Afrika (Sudan, somalia, Eritrea) dengan bagian selatan benua Asia (India, Indonesia). Kebanyakan dari mereka berdagang dengan mengikuti arah angin barat dan timur. Hal inilah yang memaksa mereka menunggu selama beberapa bulan sebelum mereka kembali ke kampung halaman mereka (Yaman Selatan/Hadramaut).

Selama masa penungguan inilah interaksi antara mereka dengan penduduk asli terjadi. Sebagian diantara para pedagang itu berdakwah dan juga menikahi gadis-gadis pribumi dan kebanyakan dari mereka menetap di sana.