Poligami

kelompok pasutri dengan lebih dari satu pasangan

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami (atau istri, sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena dianggap sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.

Poligami dan agama

Hindu

Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja yang melakukan poligami.

Buddhisme

Yudaisme

Walaupun kitab-kitab kuna agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.

Kristen

Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dll.) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan poligami berdasarkan kitab-kitab kuna agama Yahudi. Gereja Mormon, misalnya, sempat mengajarkan praktek poligini, namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktikkan poligini.

Islam

Agama Islam memperbolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari satu sampai empat orang wanita dengan persyaratan laki-laki tersebut harus mampu berbuat adil kepada wanita-wanita yang dinikahi.

QS An-Nisa, 4:2-3 Satu-satunya ayat yang berbicara tentang menikahi lebih dari satu wanita sebenarnya lebih meletakkan pernikahan lebih dari satu wanita pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Al Azhar Mesir -lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar, namun menikahi wanita lebih dari satu hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar,4/287).

Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.

Dalam sebuah ungkapan dinyatakan:

Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus.

(Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).

Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Kehidupan pernikahan Nabi Muhammad SAW

Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Nabi lebih lama bermonogami daripada beristeri lebih dari satu wanita. Saat itu monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap beristeri lebih dari satu wanita adalah lumrah. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau.

Sunah beristeri lebih dari wanita, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus pernikahan lebih dari satu wanita yang dilakukan Nabi SAW, sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim.

Menurut kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), ditemukan bukti bahwa kehidupan lrumah tangga Nabi SAW dengan beristeri lebih dari satu wanitaadalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawin an Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakar RA.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (merujuk pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berberisteri lebih dari satu wanita.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Teks-teks hadis beristeri lebih dari satu wanita sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak peristeri lebih dari satu wanitaoleh Ali bin Abi Thalib RA. Teks hadis riwayat para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru:

Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.

(Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162,nomor hadis: 9026).