Tuanku Rao

tokoh Padri
Revisi sejak 11 Oktober 2011 04.50 oleh Afandri (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Tuanku Rao''' (lahir, 1790 - wafat, 1833) adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka. Dia merupakan salah seorang penyebar Islam di Tanah [[Suku Batak|Ba...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Tuanku Rao (lahir, 1790 - wafat, 1833) adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka. Dia merupakan salah seorang penyebar Islam di Tanah Batak.

Asal usul

Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Koto Gadang, Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Matinggi, Rao.[1]

Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.

Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita anak Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.[2]

Gerakan Paderi

Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke Rao untuk menyebarkan hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakan.

Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan, Riau. Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.

Menentang Belanda

Pada bulan Oktober 1832, Tuanku Rao bertemu dengan Letnan Vevervoorden dan membujuknya supaya menyerah. Sesudah pertemuan itu, Tuanku Rao menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya Yang Dipertuan Rao. Meskipun Rao telah dikuasai musuh, namun Tuanku Rao terus berjuang dengan melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis.

Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda di Air Bangis. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani pelor. Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya dalam keadaan syahid. Diduga jenazahnya dibuang oleh tentara Belanda ke laut.[3]

Kontroversi

Dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: terror agama Islam mazhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833, Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi.[4] Namun buku itu banyak terdapat kejanggalan yang tidak dapat diterima oleh banyak sejarawan. Diantara pernyataan Parlindungan yang cukup kontroversial adalah asal-usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal dari etnis Batak bermarga Sinambela, serta kematiannya pada tahun 1921.

Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain oleh Hamka, melalui bukunya Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta. Dalam buku ini Hamka membeberkan kebohongan yang diungkapkan Parlindungan, sekaligus meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi. [5]

  1. ^ Marjohan, Mempertimbangkan Kepahlawanan Tuanku Rao, Padang Today, 2-4-2009
  2. ^ Mohammad Said, Sisingamangaradja XII
  3. ^ Mohammad Said, Sisingamangaradja XII
  4. ^ Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: terror agama Islam mazhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833, Tandjung Pengharapan, 1964
  5. ^ Hamka, Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta, Bulan Bintang, 1974