Dalam agama Buddha, sebuah belenggu, rantai atau ikatan (Pāli: samyojana, saŋyojana, saññojana) jiwa, mengikat mahluk hidup kepada sasāra, lingkaran kehidupan beserta dengan dukkha. Dengan memutuskan seluruh belenggu, seseorang mencapai nibbāna (Pāli; Skt.: nirvāa).

Belenggu penderitaan

Diseluruh Kanon Pali, kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang kepada penderitaan. Sebagai contoh, dalam Itivuttaka 1.15 kitab Khuddaka Nikaya, Buddha menyatakan:

"Bhikkhu, Saya tidak membayangkan belenggu lain - terbelenggu yang oleh karenanya mahluk yang tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama - seperti belenggu keinginan. Terbelenggu oleh belenggu akan keinginan, mahluk hidup tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama."[1]

Dilain pihak, penderitaan yang disebabkan oleh sebuah belenggu sebagaimana tersirat dalam percakapan teknis dalam SM 35.232, dimana YM. Sariputta bercakap-cakap dengan YM. Kotthita:

YM. Kotthita: "Bagaimana, rekan Sariputta, bahwa ... telinga adalah belenggu akan suara atau suara merupakan belenggu akan telinga?..."
YM. Sariputta: "Rekan Kotthita, sebuah ... telinga bukanlah belenggu akan suara ataupun suara merupakan belenggu akan telinga, akan tetapi keinginan dan nafsu yang timbul daripadanya yang bergantung pada keduanya: terdapatlah belenggu disana.."[2]

Daftar belenggu

Tahapan, belenggu dan kelahiran kembali duniawi
(menurut Sutta Piaka[3])

"Buah"[4]
tahapan

Belenggu
yang diabaikan

kelahiran kembali
hingga berakhirnya penderitaan

pemasuk-arus

1. pandangan salah
2. keraguan
3. melekat pada ritual

belenggu
rendah

sampai dengan tujuh kali lagi
sebagai manusia atau di surga

kembali-sekali[5]

sekali lagi sebagai
seorang manusia

tidak-kembali

4. nafsu indria
5. dendam dan dengki

sekali lagi dalam
sebuah bait murni

arahat

6. nafsu materi
7. nafsu non-materi
8. kesombongan
9. kegelisahan
10. ketidak-tahuan

belenggu
tinggi

tidak ada

Sumber: Ñāṇamoli & Bodhi (2001), Diskusi Ukuran-Menengah, hal. 41-43.

Belenggu diberi nomor dengan cara yang berbeda antara Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka Kanon Pali

Daftar sepuluh belenggu menurut Sutta Pitaka

Sutta Pitaka dalam Kanon Pali menjelaskan sepuluh "belenggu-belenggu untuk menjadi":[6]

  1. percaya pada diri (Pali:sakkāya-diṭṭhi)[7]
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)[8]
  3. Kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)[9]
  4. sensual desire (kāmacchando)[10]
  5. ill will (vyāpādo or byāpādo)[11]
  6. lust for material existence, lust for material rebirth (rūparāgo)[12]
  7. lust for immaterial existence, lust for rebirth in a formless realm (arūparāgo)[13]
  8. conceit (māno)[14][15]
  9. restlessness (uddhaccaŋ)[16]
  10. ignorance (avijjā)[17]

As indicated in the table to the right, throughout the Sutta Pitaka, the first five fetters are referred to as "lower fetters" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) and are eradicated upon becoming a non-returner; and, the last five fetters are referred to as "higher fetters" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), eradicated by an arahant.[18]

Referensi

  1. ^ Thanissaro (2001).
  2. ^ Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the Satipatthana Sutta (regarding mindfulness of the six sense bases), Bodhi (2005) references this sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (chanda-raga). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)
  3. ^ Sebagai contoh, lihat : "Tamsil seekor Ular air"" (MN 22), dimana Buddha menyatakan:

    '... [U]ntuk mereka yang adalah arahat, terbebas dari noda, yang telah mencapai dan menyelesaikan tugas mereka, menaruh beban, mencapai tujuan mereka, memutuskan belenggu yang mengikat keberadaan, yang terbebaskan oleh pengetahuan penuh, tidak lagi terdapat lingkaran (mendatang) akan keberadaan yang dapat mengikat mereka.... [B]hikkhu tersebut yang telah mengabaikan lima belenggu terendah akan terlahir kembali segera (di Baik Murni) dan disana mereka pada akhirnya akan melampaui, tidak akan kembali dari dunia itu.... [B]hikkhu tersebut yang telah mengabaikan tiga belenggu, seluruhnya adalah pemasuk-arus, tidak cenderung untuk menurun, terjamin, dan menuju kepada Pencerahan sepenuhnya.'(Nyanaponika, 2006)

  4. ^ "Buah" (Pali:phala) adalah puncak dari "jalan" (magga). Oleh karena itu, sebagai contoh, seorang "pemasuk-arus" adalah buah untuk seseorang pada jalur "masuk-arus"; lebih jelasnya, pemasuk arus telah mengabaikan tiga belenggu pertama, yang mana seseorang yang berada pada jalur masuk-arus berjuang untuk mengabaikan belenggu-belenggu ini.
  5. ^ Baik pemasuk-arus dan kembali-sekali mengabaikan tiga belenggu pertama. Yang membedakan tingkatan-tingkatan ini adalah bahwa kembali-sekali sebagai tambahan juga melemahkan nafsu, kebencian dan khayalan, dan akan harus dilahirkan kembali hanya satu kali.
  6. ^ Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam SN 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry (retrieved 2008-04-09).
  7. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry (retrieved 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
  8. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry (retrieved 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
  9. ^ Sebagai contoh, lihat : Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."
  10. ^ For a broad discussion of this term, see, e.g., Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry, and p. 274, "Chanda" entry (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, translate kāmacchando as "sensual desire."
  11. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry (retrieved 2008-04-09), defines vyāpādo as "making bad, doing harm: desire to injure, malevolence, ill-will." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, translate it as "ill will." Gethin (1998), p. 73, uses "aversion."
  12. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry (retrieved 2008-04-09), defines rūparāgo as "lust after rebirth in rūpa." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, translates it as "lust for form." Gethin (1998), p. 73, uses "desire for form." Thanissaro (2000) uses "passion for form." Walshe (1995), p. 27, uses "craving for existence in the Form World."
  13. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry (retrieved 2008-04-09), suggests that arūparāgo may be defined as "lust after rebirth in arūpa." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, translates it as "lust for the formless." Gethin (1998), p. 73, uses "desire for the formless." Harvey (2007), p. 72, uses "attachment to the pure form or formless worlds." Thanissaro (2000) uses "passion for what is formless." Walshe (1995), p. 27, uses "craving for existence in the Formless World."
  14. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry (retrieved 2008-04-09), defines māna as "pride, conceit, arrogance." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "conceit." Gethin (1998), p. 73, uses "pride." Harvey (2007), p. 72, uses "the 'I am' conceit."
  15. ^ For a distinction between the first fetter, "personal identity view," and this eighth fetter, "conceit," see, e.g., SN 22.89 (trans., Thanissaro, 2001).
  16. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry (retrieved 2008-04-09), defines uddhacca as "over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry." Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "restlessness." Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."
  17. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry (retrieved 2008-04-09), define avijjā as "ignorance; the main root of evil and of continual rebirth." Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, uses "spiritual ignorance."
  18. ^ For single-sutta references to both "higher fetters" and "lower fetters," see, DN 33 (section of fives) and AN 10.13. In other instances, a sutta regarding the lower fetters is followed by a sutta regarding the higher fetters, as in: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 and 46.184; SN 47.103 and 47.104; SN 48.123 and 48.124; SN 49.53 and 49.54; SN 50.53 and 50.54; SN 51.85 and 51.86; SN 53.53 and 53.54; and, AN 9.67 and 9.70. In addition, the five lower fetters alone (without reference to the higher fetters) are discussed, e.g., in MN 64.