Belenggu (Buddhisme)

Revisi sejak 23 Oktober 2011 11.41 oleh Tjmoel (bicara | kontrib) (Referensi: +terjemahan)

Dalam agama Buddha, sebuah belenggu, rantai atau ikatan (Pāli: samyojana, saŋyojana, saññojana) jiwa, mengikat mahluk hidup kepada sasāra, lingkaran kehidupan beserta dengan dukkha. Dengan memutuskan seluruh belenggu, seseorang mencapai nibbāna (Pāli; Skt.: nirvāa).

Belenggu penderitaan

Diseluruh Kanon Pali, kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang kepada penderitaan. Sebagai contoh, dalam Itivuttaka 1.15 kitab Khuddaka Nikaya, Buddha menyatakan:

"Bhikkhu, Saya tidak membayangkan belenggu lain - terbelenggu yang oleh karenanya mahluk yang tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama - seperti belenggu keinginan. Terbelenggu oleh belenggu akan keinginan, mahluk hidup tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama."[1]

Dilain pihak, penderitaan yang disebabkan oleh sebuah belenggu sebagaimana tersirat dalam percakapan teknis dalam SM 35.232, dimana YM. Sariputta bercakap-cakap dengan YM. Kotthita:

YM. Kotthita: "Bagaimana, rekan Sariputta, bahwa ... telinga adalah belenggu akan suara atau suara merupakan belenggu akan telinga?..."
YM. Sariputta: "Rekan Kotthita, sebuah ... telinga bukanlah belenggu akan suara ataupun suara merupakan belenggu akan telinga, akan tetapi keinginan dan nafsu yang timbul daripadanya yang bergantung pada keduanya: terdapatlah belenggu disana.."[2]

Daftar belenggu

Belenggu diberi nomor dengan cara yang berbeda antara Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka Kanon Pali

Daftar sepuluh belenggu menurut Sutta Pitaka

Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (lihat anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kemelekatan
    pada ritual
    dan adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Sutta Pitaka dalam Kanon Pali menjelaskan sepuluh "belenggu-belenggu untuk menjadi":[3]

  1. percaya pada diri (Pali:sakkāya-diṭṭhi)[4]
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)[5]
  3. Kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)[6]
  4. nafsu indria (kāmacchando)[7]
  5. keinginan buruk (vyāpādo atau byāpādo)[8]
  6. nafsu akan keberadaan materi, nafsu akan kelahiran kembali secara material (rūparāgo)[9]
  7. nafsu akan keberadaan non-materi, nafsu akan kelahiran kembali di dunia tanpa bentuk (arūparāgo)[10]
  8. kesombongan (māno)[11][12]
  9. kegelisahan (uddhaccaŋ)[13]
  10. kedunguan (avijjā)[14]

Sebagaimana ditampilkan pada tabel disebelah kanan, di dalam Sutta Pitaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan diberantas segera setelah menjadi seorang pemasuk-arus; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), diberantas oleh seorang arahat.[15]

Tiga belenggu

Baik dalam Sagīti Sutta (DN 33) dan Dhammasaṅgaṇi (Dhs. 1002-1006) merujuk kepada "tiga belenggu" sebagai tiga belenggu pertama dari sepuluh belenggu dalam Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan di atas:

  1. percaya pada diri (sakkāya-diṭṭhi)
  2. keraguan (vicikicchā)
  3. kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)[16]

Menurut Kanon, tiga belenggu-belenggu telah diberantas oleh para pemasuk-arus dan kembali-sekali.[17]

Daftar sepuluh belunggu menurut Abhidhamma Pitaka

Kitab Dhamma Sangani dalam Abhidhamma Pitaka (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam Culla Niddesa kitab Khuddaka Nikaya (Nd2 656, 1463) dan pada komentar-komentar Kanon Pali. Penomorannya adalah:[18]

  1. nafsu sensual (Pali: kāma-rāga)
  2. kemarahan (paṭigha)
  3. kesombongan (māna)
  4. pandangan-pandangan (diṭṭhi)
  5. keraguan (vicikicchā)
  6. kemelekatan pada kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāsa)
  7. nafsu akan keberadaan (bhava-rāga)
  8. kecemburuan (issā)
  9. keserakahan (macchariya)
  10. kebodohan (avijjā).

Komentar menegaskan bahwa pandangan-pandangan, keraguan, kemelekatan pada kebiasaan dan rituas, kecemburuan dan keserakahan keluar dari tahapan pertama akan Kesadaran (sotāpatti); nafsu sensual yang kotor dan kemarahan pada tingkatan kedua (sakadāgāmitā) dan bahkan bentuk halus serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu akan keberadaan dan kebodohan pada tahapan keempat dan akhir (arahatta).

Referensi

  1. ^ Thanissaro (2001).
  2. ^ Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the Satipatthana Sutta (regarding mindfulness of the six sense bases), Bodhi (2005) references this sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (chanda-raga). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)
  3. ^ Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam SN 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry (retrieved 2008-04-09).
  4. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry (retrieved 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
  5. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry (retrieved 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
  6. ^ Sebagai contoh, lihat : Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."
  7. ^ Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry, and p. 274, "Chanda" entry (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan kāmacchando sebagai "nafsu indria" ("sensual desire").
  8. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
  9. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" ("lust for form") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" ("desire for form"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan akan bentuk" ("passion for form"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" ("craving for existence in the Form World").
  10. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" ("lust for the formless"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" ("desire for the formless"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" ("attachment to the pure form or formless worlds") Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion for what is formless"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" ("craving for existence in the Formless World").
  11. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" ("the 'I am' conceit").
  12. ^ Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89(trans., Thanissaro, 2001).
  13. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan uddhacca sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" ("over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" ("restlessness"). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."
  14. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" ("spiritual ignorance").
  15. ^ Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
  16. ^ Untuk daftar dalam Sagīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), p. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasaṅgaṇi, lihat : Rhys Davids (1900), pp. 256-61. Lihat pula, Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, entry for "Saŋyojana" (retrieved 2008-04-09), mengenai i saŋyojanāni. (C.A.F. Rhys Davids (1900), p. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan akan hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" ("the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual."))
  17. ^ See, e.g., MN 6 and MN 22.
  18. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry merujuk Cula Niddesa 657, 1463, dan Dhamma Sangani 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhamma Sangani ditujukan kepada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hal. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hal. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance.") Pada naskah-naskah setelah masa kanon, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar Buddhagosa (dalam Papañcasudani) pada bagian Satipatthana Sutta mengenai enam dasar indera dan belenggu-belenggu.(Soma, 1998).