Kesenian dari Kabupatén Subang
Kesenian merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan seni. Sedangkan menurut pengertian awam, seni adalah keindahan yang diciptakan oleh manusia[1]. Bunga mawar yang indah bukan suatu karya seni, tetapi jika bunga tersebut dilukis maka lukisan tersebut merupakan sebuah karya seni[1]. Ki Hajar Dewantara memberi batasan yang lebih luas lagi dengan pendapatnya, bahwa seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia[1]. Seni dapat lahir dan berkembang karena pada umumnya manusia senang pada keindahan[1]. Sampai dengan sekarang telah terdapat banyak macam seni yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa cabang seni[1]. Pengelompokkan tersebut berdasarkan pada media yang dipakai untuk mengungkapkannya[1].
Genjring Bonyok
Kesenian genjring Bonyok memiliki corak kehidupan dan perkembangan yang agak berbeda dengan kesenian lain yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Pagaden kabupaten Subang[2]. Kesenian mampu berkembang lebih cepat, mendapat popularitas lebih cepat dan diterima oleh masyarakat sebagai kesenian tradisional miliknya sendiri yang dapat dinikmati[2]. Pengertian Genjring Bonyok asal mula dari Genjring dan Bonyok[2]. Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-anting terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias seperti rebana[2]. Sedangkan Bonyok adalah nama daerah di desa Pangsor Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Genjring bonyok artinya kesenian Genjring yang awal mulanya berada di daerah Bonyok[2]. Kesenian merupakan salahsatu jenis seni musik tradisional (karawitan) yang alat musiknya terdiri dari Genjring, Bedug, Kecrek, Tarompet dan Goong[2]. Pertumbuhan dan perkembangan kesenian ini tidak lepas dari keadaan lingkungan masyarakat penduduknya. Maksudnya semakin meningkat kehidupan masyarakat, pengalaman estetis masyarakat dan semakin banyak munculnya pemahaman-pemahaman baru tentang Genjring Bonyok akan berpengaruh besar terhadap eksistensi kesenian tersebut[2]. Jauh sebelum Genjring bonyok lahir, di kampung Bunut Desa Pangsor Kecamatan pagaden telah ada kesenian genjring yang dipimpin oleh Sajen. Kesenian merupakan cikal bakal lahirnya Genjring Bonyok[2]. Di awal perkembangannya Genjring Bonyok menggunakan alat musik yang relatif sederhana yaitu tiga buah genjring, tarompet dan bedug[2]. Ketiga genjring tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Perbedaannya hanya tinggi rendahnya bunyi genjring tersebut[2]. Bunyi yang dihasilkan genjring biasanya bunyi pong, pang, ping dan bunyi pak bum[2]. Untuk menghasilkan bunyi pong dengan cara menepak bagian pinggir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan dan menepuknya dilepas[2]. Bunyi pang dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir genjring (lebih ketengah sedikit dari cara membunyikan pong) menggunakan sebagian telapak tangan dan menepuknya dilepas[2]. Bunyi ping dihasilkan dengan cara menepuk bibir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan menepuknya dirapatkan[2]. Bunyi pak dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir atau tengah genjring menggunakan telapak tangan penuh, menepuknya agak ditekan[2].
Kesenian Gembyung
Gembyung adalah ensambel musik yang terdiri dari beberapa waditra terbang dengan tarompet yang merupakan jenis kesenian bernafaskan Islam. Meskipun demikian, di lapangan ditemukan beberapa kesenian Gembyung yang tidak menggunakan waditra tarompet[3]. Gembyung merupakan jenis kesenian tradisional khas daerah Subang yang sampai sekarang masih terus dimainkan[3]. Gembyung biasa dimainkan untuk hiburan rakyat seperti pesta khitanan dan perkawinan atau acara hiburan lainnya dan juga digunakan untuk upacara adat seperti halnya Ruatan bumi, minta hujan dan mapag dewi sri[3]. Dalam perkembangannya saat ini, gembyung tidak hanya sebagai seni auditif, tapi sudah menjadi seni pertunjukan yang melibatkan unsur seni lain seperti seni tari[3].
Kesenian Sisingan
Keseniaan Sisingaan merupakan salah satu kesenian daerah yang sampai sekarang masih berkembang dengan baik di daerah Subang, bahkan kesenian ini sudah terkenal sampai ke manca negara[4]. Kesenian Sisingaan telah dimainkan oleh rakyat Subang pada saat melawan penjajahan dulu sebagai symbol pelecehan terhadap penjajah, yang pada waktu itu adalah negara agraris[4]. Dimana lambang negara itu adalah Singa atau Negara yang ditakuti yang dinaiki oleh seorang anak kecil diatas punggungnya yang melambangkan bahwa rakyat Subang tidak takut melawan penjajahan pada saat itu[4]. Sekarang kesenian sisingaan dimainkan untuk acara-acara khusus seperti penerimaan tamu kehormatan, acara khitanan anak dan sebagainya[4]. Setiap tahunnya diadakan Festival Sisingaan yang diikuti oleh semua Kecamatan yang ada di Subang untuk memeriahkan acara peringatan hari jadi Kabupaten Subang pada tanggal 5 April[4].