Tutur Tinular

api berkorbar di karang cendana

TUTUR TINULAR adalah judul sebuah sandiwara radio yang sangat legendaris karya S. Tidjab. Kisah ini menceritakan tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria bernama Arya Kamandanu akan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, suatu kisah dengan latar belakang sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit.

Tutur Tinular
SutradaraEWS Yuwono
Bambang S
Y. Rudy Wartono
C. Ispriyono. K
ProduserSanggar Cerita
Sanggar Prathivi
Ditulis olehS. Tidjab
PemeranFerry Fadli
Elly Ermawati
Ivone Rose
M. Aboed
Petrus Urspon
Hari Akik
Bambang Jeger
Idris Apandi
Lukman Tambose
A.P Burhan
Margareth
Anna Sambayon
Yulie Muliana
Sono Sudiakso
Rio Sempana
Mario Kulon
Herry Setiyono
Suryadin Tanjung
Wenda Lubis
Iwan Dahlan


Tehnik dan Montage :


Announcer
(Pengantar Cerita) :

DistributorSanggar Cerita
Sanggar Prathivi
Tanggal rilis
1989
Durasi30 menit per seri per hari
NegaraIndonesia Indonesia

Sandiwara radio ini pertama kali mulai disiarkan pada tanggal 1 Januari 1989 dan dipancarluaskan hingga mencapai 512 stasiun radio di seluruh Indonesia, yang tergabung dalam Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia PRSSNI. Pada tahun 2002, Sandiwara radio Tutur Tinular disiarkan ulang di salah satu radio yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu Radio MBS FM Jogja. Tidak hanya itu, bahkan hingga pada bulan Nopember 2011, tercatat masih ada beberapa stasiun radio yang menyiarkannya kembali seperti 103,3 FM Radio Karimata, Pamekasan, Madura; 95.6 FM Radio Bintang Tenggara, Banyuwangi; dan 95,2 FM Radio Oisvira, Sumbawa. Disamping itu, beberapa situs online juga masih ada yang memperdengarkan sandiwara radio ini secara live streaming.

Tutur Tinular sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti "nasihat atau petuah yang disebarluaskan".

Ringkasan Cerita

 
S. Tidjab (kiri), pengarang Tutur Tinular bersama dengan Awy Doank (Admin Group Facebook TUTUR TINULAR - MAHKOTA MAYANGKARA - SATRIA KEKASIH DEWA Karya S. TIDJAB) disela - sela rekaman untuk Karya Terbaru beliau Sandiwara Radio Modern "KASIH SEPANJANG JALAN" di Cut2Cut Studio, Jakarta.

Tutur Tinular berkisah tentang seorang pemuda Desa Kurawan bernama Arya Kamandanu, putra Mpu Hanggareksa, seorang ahli pembuat senjata kepercayaan Prabu Kertanagara, raja Kerajaan Singhasari. Pemuda lugu ini kemudian saling jatuh hati dengan seorang gadis kembang desa Manguntur bernama Nari Ratih, putri Rakriyan Wuruh, seorang bekas kepala prajurit Kerajaan Singasari. Namun hubungan asmara di antara mereka harus kandas karena ulah kakak kandung Kamandanu sendiri yang bernama Arya Dwipangga.

Kepandaian dan kepiawaian Dwipangga dalam olah sastra membuat Nari Ratih terlena dan mulai melupakan Kamandanu yang polos. Cinta segitiga itu akhirnya berujung pada peristiwa di Candi Walandit, di mana mereka berdua (Arya Dwipangga dan Nari Ratih) yang sedang diburu oleh api gelora asmara saling memadu kasih hingga gadis kembang desa Manguntur itu hamil di luar nikah.

Kegagalan asmara justru membuat Arya Kamandanu lebih serius mendalami ilmu bela diri di bawah bimbingan saudara seperguruan ayahnya yang bernama Mpu Ranubhaya. Berkat kesabaran sang paman dan bakat yang dimilikinya, Kamandanu akhirnya menjadi pendekar muda pilih tanding yang selalu menegakkan kebenaran dilandasi jiwa ksatria.

Kisah Tutur Tinular ini diselingi berbagai peristiwa sejarah, antara lain kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di negeri Cina, yang meminta Kertanagara sebagai raja di Kerajaan Singhasari menyatakan tunduk dan mengakui kekuasaan bangsa Mongolia. Namun utusan dari Mongolia tersebut malah diusir dan dipermalukan oleh Kertanagara.

Sebelum para utusan kembali ke Mongolia, di sebuah kedai makan terjadilah keributan kecil antara utusan kaisar yang bernama Meng Chi dengan Mpu Ranubhaya, Mpu Ranubhaya berhasil mempermalukan para utusan dan mampu menunjukkan kemahirannya dalam membuat pedang, karena tersinggung dan ketertarikannya terhadap keahlian Mpu Ranubhaya tersebut, kemudian dengan cara yang curang para utusan tersebut berhasil menculik Mpu Ranubhaya dan membawanya turut serta berlayar ke Mongolia, sesampainya di negeri Mongolia di dalam istana Kubilai Khan, Mpu Ranubhaya menciptakan sebuah pedang pusaka bernama Nagapuspa sebagai syarat kebebasan atas dirinya yang telah menjadi tawanan. Namun pada akhirnya pedang Naga Puspa tersebut malah menjadi ajang konflik dan menjadi rebutan diantara pejabat kerajaan. Akhirnya untuk menyelamatkan pedang Naga Puspa dari tangan-tangan orang berwatak jahat, Mpu Ranubhaya mempercayakan Pedang Nagapuspa tersebut kepada pasangan pendekar suami-istri yang menolongnya, bernama Lo Shi Shan dan Mei Shin di mana keduanya kemudian menjadi pelarian, berlayar dan terdampar di Tanah Jawa dan hidup terlunta-lunta. Sesampainya di Tanah Jawa pasangan suami istri ini akhirnya bertemu dengan beberapa pendekar jahat anak buah seorang Patih Kerajaan Gelang-gelang bernama Kebo Mundarang yang ingin menguasai Pedang Naga Puspa hingga dalam suatu pertarungan antara Lo Shi Shan dengan Mpu Tong Bajil (pimpinan pendekar-pendekar jahat) Lo Shi Shan terkena Ajian Segoro Geni milik Mpu Tong Bajil, setelah kejadian pertarungan beberapa hari lamanya Pendekar Lo Shi Shan hidup dalam kesakitan hingga akhirnya meninggal di dunia disebuah hutan dalam Candi tua, sebelum meninggal dunia yang kala itu sempat di tolong oleh Arya Kamandanu, Lo Shi Shan menitipkan Mei Shin kepada Arya Kamanadu

Mei Shin yang sebatang kara kemudian ditolong Arya Kamandanu. Kebersamaan di antara mereka akhirnya menumbuhkan perasaan saling jatuh cinta. Namun lagi-lagi Arya Dwipangga merusak hubungan mereka, dengan cara licik Arya Dwipangga dapat menodai perempuan asal daratan Mongolia itu sampai akhirnya mengandung bayi perempuan yang nantinya diberi nama Ayu Wandira. Namun demikian, meski hatinya hancur, Kamandanu tetap berjiwa besar dan bersedia mengambil perempuan dari Mongolia itu sebagai istrinya.

Saat itu Kerajaan Singhasari telah runtuh akibat pemberontakan Prabu Jayakatwang, bawahan Singhasari yang memimpin Kerajaan Gelang-Gelang. Tokoh ini kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri yang dahulu kala pernah runtuh akibat serangan pendiri Singhasari. Dalam kesempatan itu, Arya Dwipangga yang menaruh dendam akhirnya mengkhianati keluarganya sendiri dengan melaporkan ayahnya selaku pengikut Kertanagara kepada pihak Kadiri dengan tuduhan telah melindungi Mei Shin yang waktu itu menjadi buronan. Mpu Hanggareksa pun tewas oleh serangan para prajurit Kadiri di bawah pimpinan Mpu Tong Bajil. Sebaliknya, Dwipangga si anak durhaka jatuh ke dalam jurang setelah dihajar Kamandanu. Kemudian Kamandanu kembali berpetualang untuk mencari Mei Shin yang lolos dari maut sambil mengasuh keponakannya, bernama Panji Ketawang, putra antara Arya Dwipangga dengan Nari Ratih.

Petualangan Kamandanu akhirnya membawa dirinya menjadi pengikut Raden Wijaya (Nararya Sanggrama Wijaya), menantu Kertanagara. Tokoh sejarah ini telah mendapat pengampunan dari Jayakatwang dan diizinkan membangun sebuah desa terpencil di hutan Tarik bernama Majapahit. Dalam petualangannya itu, Kamandanu juga berteman dengan seorang pendekar wanita bernama Sakawuni, putri seorang perwira Singhasari bernama Banyak Kapuk.

Nasib Mei Shin sendiri kurang bagus. Setelah melahirkan putri Arya Dwipangga yang diberi nama Ayu Wandira, ia kembali diserang kelompok Mpu Tong Bajil. Beruntung ia tidak kehilangan nyawa dan mendapatkan pertolongan seorang tabib Cina bernama Wong Yin.

Di lain pihak, Arya Kamandanu ikut serta dalam pemberontakan Sanggrama Wijaya demi merebut kembali takhta tanah Jawa dari tangan Jayakatwang. Pemberontakan ini mendapat dukungan Arya Wiraraja dari Sumenep, yang berhasil memanfaatkan pasukan Kerajaan Yuan yang dikirim Kubilai Khan untuk menyerang Kertanagara. Berkat kepandaian diplomasi Wiraraja, pasukan Mongolia itu menjadi sekutu Sanggrama Wijaya dan berbalik menyerang Jayakatwang.

Setelah Kerajaan Kadiri runtuh, Sanggrama Wijaya berbalik menyerang dan mengusir pasukan Mongolia tersebut. Arya Kamandanu juga ikut serta dalam usaha ini. Setelah pasukan Kerajaan Yuan kembali ke negerinya, Sanggrama Wijaya pun meresmikan berdirinya Kerajaan Majapahit. Ia bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana.

Kisah Tutur Tinular kembali diwarnai cerita-cerita sejarah, di mana Kamanadanu turut menyaksikan pemberontakan Ranggalawe, Lembu Sora dan Gajah Biru akibat hasutan tokoh licik yang bernama Ramapati. Di samping itu, kisah petualangan tetap menjadi menu utama, antara lain dikisahkan bagaimana Kamandanu menumpas musuh bebuyutannya, yaitu Mpu Tong Bajil, serta menghadapi kakak kandungnya sendiri (Arya Dwipangga) yang muncul kembali dengan kesaktian luar biasa, bergelar Pendekar Syair Berdarah.

Kisah Tutur Tinular berakhir dengan meninggalnya Kertarajasa Jayawardhana, di mana Arya Kamandanu kemudian mengundurkan diri dari Kerajaan Majapahit dengan membawa putranya yang bernama Jambu Nada, hasil perkawinan kedua dengan Sakawuni yang meninggal setelah melahirkan, dalam perjalanan menuju lereng Gunung Arjuna inilah Arya Kamandanu bertemu dengan Gajah Mada yang waktu itu menyelamatkan putranya ketika masih berumur 40 hari yang terjatuh ke jurang karena lepas dari gendongannya akibat terguncang-guncang diatas kuda. Tutur Tinular kemudian berlanjut dengan sandiwara serupa berjudul Mahkota Mayangkara.

Daftar Pemain dan Tokoh

Para pengisi suara dalam sandiwara radio Tutur Tinular tersebut adalah para artis dari Sanggar Cerita dan Sanggar Prathivi, antara lain:

Daftar Judul Episode

Jumlah keseluruhan kisah Tutur Tinular adalah 720 seri yang terbagi ke dalam 24 episode, atau setiap episode terdiri atas 30 seri dengan durasi kurang lebih 30 menit dan disiarkan setiap hari. Adapun judul-judul episodenya adalah sebagai berikut :

  1. Pelangi di Atas Kurawan, seri 1-30 (bulan ke-1)
  2. Kisah dari Seberang Lautan, seri 31-60 (bulan ke-2)
  3. Daun-Daun Bersemi Lagi, seri 61-90 (bulan ke-3)
  4. Kemelut Cinta di Atas Noda, seri 91-120 (bulan ke-4)
  5. Perguruan Lopandak, seri 121-150 (bulan ke-5)
  6. Cahaya Fajar Menembus Hutan Tarik, seri 151-180 (bulan ke-6)
  7. Mata Air di Tanah Gersang, seri 181-210 (bulan ke-7)
  8. Angkara Murka Merajalela, seri 211-240 (bulan ke-8)
  9. Badai Mengamuk di Atas Kediri, seri 141-270 (bulan ke-9)
  10. Pemberontakan Ranggalawe, seri 271-300 (bulan ke-10)
  11. Mutiara Ilmu di Atas Batu, seri 301-330 (bulan ke-11)
  12. Nagapuspa Kresna, seri 331-360 (bulan ke-12)
  13. Geger Pedang Nagapuspa, seri 361-390 (bulan ke-13)
  14. Keris Mpu Gandring, seri 391-420 (bulan ke-14)
  15. Kisah Seorang Prajurit Pelarian, seri 421-450 (bulan ke-15)
  16. Pemberontakan Gajah Biru, seri 451-480 (bulan ke-16)
  17. Pendekar Syair Berdarah, seri 481-510 (bulan ke-17)
  18. Dendam Lama dari Kurawan, seri 511-540 (bulan ke-18)
  19. Keluarga Prabu Kertarajasa Jayawardhana, seri 541-570 (bulan ke-19)
  20. Golek Kayu Mandana, seri 571-600 (bulan ke-20)
  21. Pemberontakan Lembu Sora, seri 601-630 (bulan ke-21)
  22. Gelapnya Malam Tanpa Bintang, seri 631-660 (bulan ke-22)
  23. Wong Agung Turun Gunung, seri 661-690 (bulan ke-23)
  24. Mendung Bergulung di Atas Majapahit, seri 661-720 (bulan ke-24)

Selain itu, S. Tidjab juga meluncurkan sekuel kelanjutan Tutur Tinular yang berjudul Mahkota Mayangkara, berkisah tentang Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Jayanagara, di mana pada akhirnya terjadi pemberontakan Ra Kuti yang berhasil ditumpas oleh Gajah Mada.

Sebagai lanjutan dari Mahkota Mayangkara, S. Tijab telah mempersiapkan sekuel ketiga berjudul Satria Kekasih Dewa, yang menceritakan generasi anak-anak dari tokoh Tutur Tinular. Namun produksi sekuel yang ketiga ini terhambat karena belum adanya sponsor sebagai penyandang dana.

Novel Tutur Tinular

TUTUR TINULAR 1
Pelangi di Atas Kurawan
Hak Cipta © Buanergis Muryono & S.Tidjab
Di tulis ulang oleh : Awy Doank


Pada tahun Caka 1206 (1284 Masehi) kekuasaan Raja
Kertanegara mencapai puncaknya di Singasari. Pulau Bali
berhasil ditundukkannya. Demikian pula Kerajaan Gurun,
Bakulapura, Pahang, Sunda, dan Madura. Demikianlah,
Singasari semakin mengembangkan sayap kekuasaannya di
luar Pulau Jawa.
Walaupun demikian Kertanegara belum merasa puas.
Dia mulai melihat kemungkinan untuk menundukkan
Swarnabhumi. Pada bulan Agustus 1286 pasukan Singasari
berangkat ke negeri seberang mengadakan ekspansi ke
Swarnabhumi yang sekarang kita kenal bernama Sumatra.
Raja Swarnabhumi yang bernama Tribhuwanaraja
Mauliawarmadewa akhirnya dapat dikalahkannya
Gegap-gempita, sorak-sorai prajurit Singasari
membahana. Mereka mengacung-acungkan senjata yang
masih berlumuran darah. Lautan manusia memenuhi alunalun
tempat para ksatria menunjukkan olah keprajuritan.
Mereka mengelu-elukan kebesaran Raja Kertanegara.
Kemenangan demi kemenangan diraihnya, bahkan enam
tahun kemudian Kertanegara menaklukkan negeri Melayu
pada tanggal 17 April 1292. Dengan kemenangan itu karena
sangat gembiranya Raja Kertanegara mengeluarkan prasasti
Camunda sebagai tanda terima kasih atas kemenangankemenangan
yang diperolehnya
Di pertemuan agung Raja Kertanegara mengenakan
busana kebesaran. Mahkota yang dikenakannya
bertatahkan permata manik manikam tampak berkilau-kilau
menyilaukan mata. Bajunya bersulam emas
Raja Kertanegara duduk di atas singgasananya dengan
penuh wibawa, bibirnya tersungging senyum. Kumisnya
yang tebal tercukur rapi. Hidungnya mancung serasi dengan
alisnya yang tebal, melindungi manik mata beliau yang
tajam menatap bagai mata elang. DaSanya mengembang
hingga terlihat semakin gagah ketika menghela napas
dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.
Jakunnya bergerak-gerak tampak jelas di lehernya yang
bersih berwarna sawo matang.
Raja Kertanegara bangkit dari singgasananya dan
memberikan salam pada yang hadir dengan anggukan
kepala penuh kewibawaan. Segenap yang hadir serempak
menyambut salam sangRaja,
"Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahai
Sang Ciwa Rahaja!" Sambutan itu berakhir bagai dengung
berjuta lebah yang terbang dari sarangnya. Para ksatria dan
tamtama serta segenap hadirin yang diundang di Pendapa
Agung itu menghaturkan sembah sampai ke tanah.
Raja Kertanegara tersenyum, bibirnya bergetar ketika
bersabda, "Terima kasih. Salam kalian kuterima dengan
senang hati. Mudah-mudahan berkenan pula bagi para
dewa yang bersemayam di atas langit." Kembali Raja
Kertanegara menghela napas, tampak butir-butir keringat
mengembun menghiasi dahi dan pelipisnya, juga ujung
hidungnya yang bangir. Kemudian ia melanjutkan
sabdanya, "Kalian semua kuundang untuk berkumpul di
Pendapa Agung ini agar menjadi saksi hidup dengan
adanya prasasti yang baru saja diselesaikan oleh
Sudharmopapatti."
Pandangan Raja Kertanegara menghunjam ke arah
Sudharmopapatti yang duduk bersila dan menghaturkan
sembah. Para hadirin pun memberikan penghormatan
dengan sinar mata iri bercampur haru atas penghormatan
baginda raja pada seorang yang berhasil merampungkan
prasasti Camunda. Semua berbisik-bisik lalu kembali pada
posisi seperti semula
"Kita semua mengerti, banyak yang bisa kita capai
dengan gemilang tahun-tahun terakhir ini.
Singasari bukan lagi sebuah tempurung di Muara Sugalu
yang mengapung-apung, melainkan telah berubah, telah
berganti menjadi sebuah armada kapal perang yang ditakuti
negeri-negeri lain yang jauh. Arca Amoghapasa yang
kutanam di permukaan Swarnabhumi adalah bukti yang tak
bisa disangkal, sekalipun oleh orang yang kurang berpengetahuan."
Raja Kertanegara diam sejenak. Guratan-guratan usia
yang menghiasi wajahnya tak mampu menyembunyikan
ketampanannya, bahkan menambah kewibawaan orang
utama di Singasari itu. Matanya melirik pada Lembusora
yang menggeser posisi duduknya. Lembusora
menghaturkan sembah Lelaki setengah tua yang perkasa itu
dengan tegas memotong menimpali sabda Raja, "Memang
benar, Gusti. Apa yang telah diraih Singasari merupakan kebanggaan yang tak bisa dipungkiri." Lembusora kembali menghaturkan sembah dan duduk seperti semula. "Nah, itu semua berkat jerih payahmu juga, Paman Lembusora. Juga jerih payah kalian, Ranggalawe, Nambi, Kebo Anabrang, menantuku Dyah Wijaya dan Ardaraja!" Semua yang disebut namanya menghaturkan sembah sambil menyunggingkan senyum penuh rasa bangga. "Kau pun ikut berjasa, Paman Banyak Kapuk, Gajah Pagon, dan kau, Ra Podang. Semua ini adalah pekerjaan kita semua Bukankah demikian?" "Benar, Sang Prabu!" sambut hadirin bergema memenuhi ruangan Pendapa Agung. Raja Kertanegara lalu duduk kembali di singgasananya seraya mengelus janggutnya, tanpa melepaskan pandangan pada semua yang hadir. Seolah ia berpikir keras. Ia menghela nafas dalam-dalam setelah merasa enak dalamduduknya. "Nah, sekarang dengar. Pekerjaan yang baik sudah sepantasnya mendapat hadiah atau penghargaan. Sebaliknya, pekerjaan yang buruk, yang sering dilakukan oleh para pemalas dan sok pintar, sudah seharusnya diberi hukuman untuk peringatan bagi yang lain. Banyak Wide contohnya Dia kuturunkan kedudukannya dari Rakyan Demung menjadi Adipati di Sumenep, karena menentang kebijaksanaanku. Juga Ramapati kupecat, sebab tidak setuju ketika aku merencanakan menundukkan Swarnabhumi. Itulah hukuman yang setimpal bagi para penentang, pembangkang, dan pengkhianat negeri Singasari." Raja Kertanegara menegakkan posisi duduknya lalu memandang Dyah Wijaya. Merasa dirinya diperhatikan ksatria muda itu segera menghaturkan sembah dengan menundukkan kepalanya penuh hormat. "Menantuku DyahWijaya!" "Daulat, Ayahanda Prabu." "Dan kau juga, Ardaraja!" "Daulat, Ayahanda Prabu!" "Dalam prasasti Camunda yang baru saja dirampungkan, tercantum keputusan Kertanegara sebagai raja yang sah di Singasari Pada lempengan batu ini aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa mereka yang telah membantu seluruh usahaku. Kepada mereka aku akan memberikan penghargaan yang layak. Baik jasa yang besar maupun yang kecil, semua akan mendapat imbalan dari pemerintah Singasari. Dan kalian berdua, kutugas-kan untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan pemberian ini. Ingat, jangan sampai ada yang tercecer. Semua yang telah berjasa harus menikmati hasilnya!" "Daulat, Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakan perintah sebaik-baiknya," sahut Dyah Wijaya menghaturkan sembah. "Demikian pula Ananda akan menjunjung tinggi perintah Ayahanda Prabu," Ardaraja menimpali. "Nah, kalau begitu pertemuan di Pendapa Agung ini aku tutup sampai di sini. Tak lupa kita panjatkan puji syukur pada para dewa, yang memberikan rahmat-Nya pada kita semua." "Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahai Sang Rahaja!" Selesai menerima hatur sembah dari para ksatria dan orang-orang terdepan Singasari, Raja Kertanegara meninggalkan Pendapa Agung. Langkahnya yang gagah diiringi para dayang yang cantik jelita dengan tak hentihenti mengayun-ayunkan kipas. Para hadirin pun undur dari pase-ban Pendapa Agung dengan hati berbunga-bunga atas anugerah dan penghargaan sang Raja. Lebihlebih nama mereka dicantumkan pada lempengan batu prasasti Camunda. Sementara itu, di barak prajurit sedang bercakap-cakap dua orang yang merasa bahagia atas kebesaran rajanya. Yang satu Ganggadara, seorang prajurit muda. Otot-otot tangannya menonjol karena terlatih dalam olah keprajuritan. Kumisnya tebal dengan rambut disanggul menambah kegagahannya. Sedangkan yang seorang lagi bernama Jarawaha. Ia juga tak kalah gagah dengan Ganggadara. "Kakang Jarawaha! Kupikir kita ini akan semakin mulia. Raja kita sekarang semakin hebat dan namanya terdengar di mana-mana," Ganggadara membuka percakapan "Di mana letak kehebatannya menurut pendapatmu, Adi Ganggadara?" Dia tegas dan tergolong seorang raja yang berani. Bayangkan, Swarnabhumi yang megah dapat ditundukkan tanpa kesukaran. Aku bangga bisa mengabdi pada raja seperti Prabu Kertanegara. Ganggadara bicara dengan lantang penuh rasa bangga atas junjungannya, hingga bibirnya ikut meliuk-liuk penuh irama seiring nada bicaranya. "Ya, aku pun merasa bangga mempunyai raja seperti beliau. Tapi aku mempunyai alasan yang berbeda. Dengan dibuatnya prasasti Camunda, semakin tampak arif dan bijaksanalah beliau. Seorang raja besar bersedia menekuk leher menundukkan-wajah untuk mengucapkan rasa terima kasih pada rakyat dan bawahannya, itulah yang luar biasa Kukira belum pernah terjadi sebelum Prabu Kertanegara." "Benar, Kakang. Jasa orang, baik yang kecil maupun yang besar, baik dari kalangan bawah, menengah ataupun golongan atas, semua diperhatikan dan diberi penghargaan. Rasanya pekerjaan kita tidaklah sia-sia!" Selesai bicara dengan gagahnya Ganggadara mencabut pedang dari wrangka-nya, lalu menimangnya dan mengelus dengan telapak tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman penuh rasa bangga "Dua kali aku terlibat peperangan bersama pedang kebanggaanku ini. Pertama ketika menyerang Pulau Bali, dan kedua ketika merebut ibukota Swarnabhumi." "Dan sekarang pangkatmu naik menjadi perwira muda!" tukas Jarawaha. "Dan Kakang Jarawaha menjadi perwira tinggi!" "Dan atasan kita, Tuan Pranaraja, naik pangkat menjadi...." Belum selesai melanjutkan kata-katanya terdengarlah suara derap kaki kuda. Jarawaha setengah menganga memperhatikan siapa yang datang. Ganggadara membisikkan sesuatu pada telinga Jarawaha. "Sssstth, Kakang Jarawaha, bukankah itu Tuan Pranaraja?" "Hmh, ya. Pasti ada sesuatu yang penting. Tidak biasanya sepagi ini Tuan Pranaraja datang ke barak prajurit." Kuda semakin dekat dengan mereka lalu Pranaraja menghentikannya tak jauh dari mereka bercakap. Pranaraja melompat turun dari punggung kuda dan binatang kesayangan itu meringkik mengerti. Keduanya menyambut kehadiran atasannya penuh hormat. "Selamat pagi, Tuan!" salam mereka berbarengan. "Sarungkan pedangmu Ganggadara. Negara Singasari aman dan kita belum merencanakan perang lagi dengan negara lain!" tegur Pranaraja sambil memandang tajam ke arah Ganggadara yang memegang pedang. Ganggadara merah padam wajahnya lalu tersenyum malu pada Pranaraja dan tergesa-gesa menyarungkan pedangnya. "Emh, ehh, maaf, Tuan!" ucapnya lirih dengan suara agak parau menyadari keteledorannya. "Aku ada perlu dengan kalian berdua.Mari kujelaskan di dalam!" kata Pranaraja-penuh wibawa. Lelaki agak tua itu masih tampak gagah. Tubuhnya kekar. Otot-ototnya menonjol dan tangannya amat kukuh. Telapak tangannya tebal agak kasar karena sering berolah kanuragan. Ketiganya pun berjalan menuju barak prajurit. Pranaraja memberi tahu bahwa ia mendapat tugas dari Sang Prabu untuk menemuiMpu Hanggareksa di desa Kurawan. Letak desa itu dekat dengan desa Jasun Wungkal. Dapat ditempuh dengan berkuda menuju arah tenggara dari Kotaraja Singasari. Ketiga orang itu segera berkemas-kemas untuk mengadakan perjalanan menuju desa Kurawan tempat Mpu Hanggareksa tinggal. Matahari telah tinggi. Panasnya menyengat membuat musim kemarau tampak gersang. Seluruh kota Singasari bermandikan keringat. Mendadak debu-debu jalan beterbangan, bercampur baur dengan daun-daun kering yang gugur ke bumi ketika tiga ekor kuda berlari bagaikan terbang. Tiga binatang perkasa itu terus berlari menuju perbatasan kota untuk kemudian meninggalkan Singasari. Tiada terasa seharian penuh mereka telah mengadakan perjalanan. Telah lama sinar matahari meredup bersembunyi di peraduannya. Keadaan semakin gelapgulita. Ringkik kjida dan derapnya yang melemah menunjukkan binatang-binatang itu telah lelah seperti para penunggangnya. Mereka memasuki sebuah desa dan memperlambat lari kuda sambil mencari-cari rumah penduduk untuk menginap semalam. Mereka menginap di desa Jasun Wungkal di sebuah penginapan yang tak begitu besar. Suasana desa di malam itu cukup tenteram Kerlip lampu-lampu yang berasal dari pintu rumah penduduk yang masih terbuka menunjukkan suasana desa itu cukup aman. Ada seorang wanita berdiri di depan rumah, tersenyum ramah memperhatikan tiga penumpang kuda yang mendekatinya. Melihat ketiga prajurit Singasari yang turun dari kuda, maka wanita itu menghampiri. "Ehh, maaf, sepertinya Tuan bertiga ini datang dari jauh? Apa yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu sopan. Pranaraja setengah melotot memandang rendah pada orang yang menyapanya. "Hemh, apa kau sama sekali tidak mengenal lencana keprajuritan?" "Kami adalah prajurit-prajurit Singasari. Yang sedang kauajak bicara ini adalah Panglima Muda Tuanku Pranaraja!" sangat tegas dan bernada tinggi Ganggadara menjelaskan. "Kami mengemban tugas dari Sang Prabu Kertanegara!" sambung Jarawaha, dalam dan wibawa.Mengetahui hal itu orang tersebut langsung memberikan sembah penuh hormat. Tubuhnya menggigil karena merasa bersalah. Dengan wajah menunduk ia merasa menyesal karena berlaku lancang pada perwira Singasari. "Ohh, ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak tahu. Hamba memang orang bodoh dan pantas dihukum!" "Sudahlah. Tak ada perlunya memberi hukuman. Kami hanya mau menginap di rumah ini barang semalam," jelas Pranaraja. Perwira tinggi itu menginginkan penginapan yang layak, namun semua kamar sudah penuh h ngga wanita itu menawarkan kamar belakang. Jarawaha marah pada wanita itu dan terjadilah keributan kecil Tampaknya Jaran Bangkai, pemuda yang berperangai berangasan itu mendengar percakapan mereka hingga ia bangkit dan menghampiri. "Hahahah! Selamat malam, tuan-tuan. Agaknya Tuan-tuan membutuhkan ruangan yang nyaman untuk istirahat malam ini?" "Ya! Agaknya Tuan-tuan baru saja berjalan jauh!" timpal Jaran Lejong. Wajah kedua pemuda itu sangat mirip. Mereka memang kakak-beradik. Cara bicara dan tingkah laku mereka cenderung liar dan berangasan. Jaran Bangkai menghela napas lalu memandang Jarawaha, Ganggadara, dan Pranaraja berganti-ganti. Kepalanya mengangguk-angguk dibuat-buat sambil mendenguskan napas "Baiklah! Kami tahu bahwa tuan-tuan adalah prajurit Singasari yang sudah sepantasnya dihormati. Karena itu kami akan mengalah saja. Ambillah ruang tidur kami yang di depan itu untuk istirahat!" "Terima kasih, Tuan Jaran Bangkai'" tukas Pranaraja tegas. "Ayo, Adi Jaran Lejong! Kita pindahkan barang-barang kita ke ruangan belakang!" ajak Jaran Bangkai membalikkan tubuh setelah mengangguk kepada Pranaraja, Ganggadara, dan Jarawaha yang menjawab dengan anggukan kepala juga. Pelayan itu membantu menambatkan kuda di „ bawah pohon sawo lalu memberi rumput pada binatang-binatang itu. Sementara ketiga tamu terhormatnya dibiarkan langsung masuk ke ruang istirahat. Tengah malam, ketika baru saja mereka akan merebahkan diri di balai-balai, terdengar langkah seseorang. Mereka bersiaga. Ganggadara setengah berjingkat mendekati pintu utama dan mengintip ke luar. Setelah tahu siapa yang datang ia pun segera membuka pintu hingga terdengar derit panjang. Pranaraja langsung mendekati pelayan yang serius membungkuk pada mereka. ”Ada apa, pelayan?” ”Gusti. Harap Gusti berhati-hati. Dua orang itu agaknya punya niat yang kurang baik!” bisik pelayan ke telinga Pranaraja. Pranaraja dan kedua bawahannya mengerutkan dahi. Bibir Pranaraja bergetar sebelum balik bertanya lirih pada pelayan. ”Kau tahu banyak tentang mereka?” ”Mereka orang-orang jahat, Gusti. Mereka suka merampok orang-orang yang kemalaman di jalan,” jelas pelayan. Pelayan itu juga memberi keterangan tentang jalan yang harus dilalui Pranaraja. Setelah basa-basi pelayan itu segera mundur pergi karena melihat para tamunya beberapa kali menguap di depannya. Pranaraja ngantuk sekali setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pelayan itu. dw Matahari telah tinggi sepeng-galah. Sinarnya menerpa bumi Singasari yang semakin agung dan anggun oleh Citranya nan cemerlang Angin mendesau lembut menyapa dedaunan hingga berayun-ayun seolah menyapa penuh keramahan pada tiga prajurit Singasari yang melanjutkan perjalanan menuju desa Kurawan. Kuda-kuda yang mereka tunggangi pun ikut meringkik, seakan-akan mengucapkan syukur pada Hyang Murbehing Dumadi, Sang Khalik yang senantiasa memberikan rahmat-Nya pada segala yang diciptakan-Nya. Tetapi kedamaian itu terusik ketika kuda Pranaraja yang ada di depan tiba-tiba meringkik dan melonjakkan kedua kaki depannya. "Sebentar. Jalan yang harus kita tempuh semakin sempit dan berbahaya. Kita harus berhati-hati, Ganggadara!" Baru saja ia mengatupkan bibirnya, mendadak ada pohon cukup besar roboh sedemikian dahsyat. Suaranya gemeretak memecah keheningan. Ketiga kuda tunggangan itu meringkik terkejut hingga oleng ke kanan dan ke kiri seperti ketakutan. Ketiganya semakin waspada. Gemeretak dahan-dahan pohon yang patah nyaris mengenai tubuh Pranaraja seandainya Jarawaha tidak berteriak memperingatkan tuannya. "Awas, Tuan!" Pohon yang lebih besar roboh menimbulkan suara berdebum. Belum hilang rasa heran dan terkejut di depan mereka berlompatan dua pemuda berangasan yang tidak asing lagi buat mereka. Keduanya tertawa terbahak-bahak karena merasa berhasil membuat lelucon buat ksatria Singasari. Ganggadara menahan emosi. Giginya gemeretak dan rahangnya tampak menonjol. Matanya melotot menyala-nyala. Napasnya sedikit terengah dan dihempaskan kasar sekali. "Hei! Bukankah kalian Jaran Bangkai dan Jaran Lejong? Apa maksud kalian merobohkan pohon ini di tengah jalan?" "Hahahahah! Maksud kami adalah menghalang-halangi perjalanan kalian bertiga!" jawab Jaran Bangkai meremehkan. "Kurang ajar!" geram sekali Ganggadara. Ia merasa diremehkan oleh pemuda liar. Jika Pranaraja tidak segera mengisyaratkan agar tenang, tentu ia sudah membabat kedua pemuda itu "Tenang, Ganggadara! Tenang saja. Aku tahu siapa mereka." Pranaraja melompat dari punggung kudanya diikuti Ganggadara dan Jarawaha yang sudah memasang kudakuda. Jiwa keprajuritan telah mendarah daging dalam setiap geraknya. Keduanya bersabar menanti perintah Pranaraja, yang tenang tersenyum sinis pada kedua pemuda berangasan di depannya. "Bukankah kalian bermaksud merampok kami?" tanyanya ringan. "Hahahahha, tidak! Kami hanya ingin minta ganti rugi!" jawab Jaran Bangkai kasar. Suaranya parau. "Ganti rugi apa? Kami tidak pernah merugikan kalian!" tukas Jarawaha. Jaran Bangkai maju selangkah dengan mata semakin jalang memandang Jarawaha "Semalam kalian tidur nyenyak di rumah penginapan itu, sedang kami hampir tak bisa tidur!" "Ya! Kami tidur dikerubuti nyamuk dan kepinding. Apakah itu bukan kerugian namanya?" timpal Jaran Lejong sambil memelototkan matanya "Baik! Sekarang apa yang ingin kalian lakukan?" tanya Pranaraja sedikit bersabar. "Kalau kalian mau memberi kami lima puluh ringgit, maka kami akan membiarkan kalian melewati jalan ini!" jawab Jaran Bangkai. "Jaran Bangkai. Apakah kau tidak tahu sedang bicara dengan siapa? Kami adalah prajurit. Kami tidak akan mempan digertak seperti itu!" Pranaraja memandang mereka remeh. "Heee! Begundal-begundal Kertanegara! Kami bukan hanya menggertak. Kalau kalian tidak bersedia memberikan apa yang kami minta, kalian akan menyesal!" ancam Jaran Lejong dengan bibir mencibir. "Jarawaha dan Ganggadara! Aku muak melihat tampang mereka! Cepat bereskan!" "Baik, Tuan!" jawab Ganggadara dan Jarawaha serentak. Keduanya melangkah zig-zag dengan kuda-kuda. Kaki mereka seperti terpaku ke dalam tanah. Tangan-tangan yang berotot itu serempak meraba gagang pedang dan mencabutnya penuh perasaan, seolah-olah pedang mereka senyawa menyatu. Pedang mereka tajam berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari, menyilaukan mata. Mereka tersenyum dengan tatap mata galak bagai mata elang yang ingin menyergap mangsanya. "Ayo, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong! Kalau kalian menginginkan lima puluh ringgit, cabutlah pedang dan hadapi Jarawaha dan Ganggadara!" tantang Jarawaha tanpa bergeming sedikit pun dan tempatnya berpijak, hanya dadanya yang kelihatan turun-naik memusatkan pernapasan mengumpulkan kekuatan. Terdengar suara berdecing pedang terhunus dari wrangka-nya ketika Jaran Bangkai dan Jaran Lejong menyambut tantangan itu. Jaran Bangkai melangkah ke samping sambil menyeringai garang, "Ayo, Adi Jaran Lejong! Kita tak perlu takut pada tikus-tikus piaraan Kertanegara!" Mendengar ejekan Jaran Bangkai, kedua ksatria Singasari tak mampu menahan emosi lagi. Wajah mereka merah padam. Disertai teriakan kemarahan mereka menerjang dan menggebrak musuh. Jaran Bangkai dan adiknya berlompatan mundur, menghindari gempuran dahsyat dari lawan yang ternyata memiliki ketangguhan. Jaran Lejong menyamping ketika tangan kakaknya memberi isyarat. "Bagus. Agaknya kali ini kita mendapat lawan yang sepadan, Adi Jaran Lejong!" "Cepat bereskan mereka, Jarawaha! Apa yang kalian tunggu?" perintah Pranaraja memberikan semangat dari kejauhan ketika kedua bawahannya tak melanjutkan gebrakan. Teriakan Pranaraja membakar darah muda mereka. Keduanya kembali melompat dan menerjang musuh. Pedang mereka rrtenyambar dan beradu. Mata Jaran Bangkai dan Jaran Lejong mendelik. Mereka terkejut karena senjata andalan mereka patah. Keduanya menjadi ragu-ragu antara menyerah atau melanjutkan duel. Keraguraguan membuat berandalan itu gemetaran dan kurang percaya diri. Sedianya hendak melompat menerjang tetapi yang dilakukan justru menekuk lutut dan bersujud menyembah sampai ke tanah. Keringat bercucuran membasahi tubuh keduanya. Napas mereka terengah-engah. Wajah mereka pucat pasi tak berani memandang tatapan Ganggadara dan Jarawaha yang masih menggenggam pedang. Jarawaha mengatur napas sambil memandang enteng musuhnya. "Bagaimana, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong? Kalian masih menginginkan lima puluh ringgit?" "Oh, tidak. Kami menyerah. Silakan tuan-tuan lewat jalan ini." "Ya, kami tidak akan menganggu lagi!" tukas Jaran Lejong menimpali kakaknya. Keduanya menggigil ketakutan ketika Pranaraja melangkah mendekati mereka dan membentak, "Tidak semudah itu! Kalian berani melawan prajurit Singasari, bahkan menghina Prabu Kertanegara! Untuk itu kalian harus dihukum!" Mendengar ucapan Pranaraja yang tegas, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong menubruk kaki Pranaraja, meratap dan menangis. Tubuh mereka berguncang-guncang hebat penuh kecemasan sebab mereka mendengar Pranaraja mencabut pedang dari sarungnya. Pedang pusaka Pranaraja lebih tipis dibandingkan milik Jarawaha dan Ganggadara. Jalur-jalur rajah dan pamor tampak jelas pada sisi-sisi senjata itu. Melihat pantulan sinarnya saja sudah kelihatan bahwa pedang itu bukan senjata sembarangan. Dengung suaranya ketika dicabut dari wrangka seperti memekakkan telinga kedua perampok yang kini tak berdaya di kaki Pranaraja. "Oh, ampun, Tuan. Kami mengaku bersalah!" ratap Jaran Bangkai. Air matanya mulai meleleh di pipinya. Kedua tangannya semakin erat memegang pangkal kaki Pranaraja. Demikian halnya dengan Jaran Lejong, ratapannya terdengar pilu bagai babi hutan terperangkap jebakan. "Ya Tuan, kami menyesal sekali. Kami sungguh-sungguh menyesal telah berani mengganggu tuan-tuan!" "Tidak mudah mengampuni kesalahan seperti itu. Mana tangan kalian? Ulurkan ke depan. Aku akan memotongnya!" Pranaraja mengempaskan mereka dari kakinya. Mereka merintih sambil membentur-benturkan kepala di tanah tanda menyesal, tapi Pranaraja tidak menyarungkan kembali pedangnya. Bahkan dengan garang mendekati kedua perampok itu. Pranaraja mengusapkan mata pedang itu pada telapak tangannya. Setiap gerakan tangannya membuat sisi mata pedang berkilat-kilat menyilaukan. Ratapan kedua perampok itu semakin memilukan, namun Pranaraja tak ambil peduli. "Ampun, Tuan. Hamba mengaku salah!" lolong Jaran Bangkai. "Hamba tak akan berbuat seperti ini lagi, Tuan. Hamba bersumpah," ratap Jaran Lejong tak kalah menyayat hati. "Kalau perampok seperti kalian ini dibiarkan, yang mendapat kerugian besar adalah pemerintah Singasari!" ucap Pranaraja dalam dan bergetar. "Hamba sudah kapok, Tuan. Hamba berjanji akan menjadi orang baik-baik," suara Jaran Bangkai parau, tak jelas lagi di sela isak dan engahan napas. "Hamba tidak berani merampok lagi. Sekarang kami sadar bahwa merampok adalah perbuatan yang tercela," timpal adiknya. "Mengapa tercela?" bentak Pranaraja membuat keduanya terkejut dan gelagapan "Sebab, sebab... ehh... maksud hamba..." "Sudahlah, Jaran Lejong! Orang seperti kalian tidak akan bisa berubah lagi. Ayo! Mana tangan kalian! Cepat ulurkan!" bentak Pranaraja parau dan penuh murka. Pedang diangkat ke udara hingga terdengar suara mendengung Kedua penjahat itu tersungkur mencium tanah. "Ohh, ampun, Gusti. Tangan hamba jangan dipotong. Kalau tangan kami dipotong dengan apa kami bekerja?" ratap mereka semakin tumpang tindih. Dengan pedangvmasih terhunus, Ganggadara mendekati mereka dan membentak, "Cepat ulurkan tanganmu!" "Jangan sampai Tuan Pranaraja marah sehingga leher kalian yang harus ditebas!" timpal Jarawaha karena keduanya menekuk tangan ke perut mereka sambil mencium tanah. Dengan tatapan mata bagaikan seekor rajawali, Pranaraja melangkah ke depan. Sementara Jaran Bangkai dan Jaran Lejong dengan muka pucat dan gemetar terpaksa mengulurkan kedua tangannya. Pandangan mereka mengabur tak berani menatap Pranaraja. Keringat mereka bercucuran, napas terengah, dan gemuruh jantung membuncah-buncah menahan kengerian, menanti petaka yang sebentar lagi mampir dalam hidup mereka. Mereka akan hidup cacat seumur hidup. Namun pada saat yang kritis itu muncul dua sosok tubuh menguak pohon-pohon hutan yang meranggas tak berdaun. Laki-laki dan perempuan. Mereka langsung melompat dari punggung kuda masing-masing tak jauh dari Jaran Lejong yang merintih minta ampun. "Tunggu! Apa yang terjadi?" tanya lelaki cebol berkepala botak mendekati mereka. Pranaraja menahan pedangnya di udara. "Aku akan memotong tangan kedua perampok ini!" jawabnya tegas. "Tenanglah. Jangan terburu nafsu," lanjut lelaki cebol bermata tajam memandang Pranaraja, Ganggadara, dan Jarawaha berganti-ganti. Melihat gelagat lelaki cebol itu Ganggadara membuka mulutnya dan tak sabar menukas, "Ini bukan urusanmu. Kalian siapa? Apa tujuan kalian datang ke tempat ini?" "Apakah kami salah karena telah melewati jalan ini? Harap Tuan bisa menahan diri sedikit!" jawab yang perempuan. Ia berumur sekitar tiga puluhan tahun. Wajahnya cantik, tetapi tatap matanya seram dan sadis. Suaranya memiliki tekanan khusus. Ia memandang enteng pada Pranaraja. Pranaraja tanpa bergem ng membalas pandangan perempuan itu "Baik. Kalian boleh lewat. Silakan!" ucapnya •sedikit rendah tanpa tujuan mengalah. Perempuan itu mencibir, demikian juga si lelaki cebol ikut-ikutan tersenyum sinis dan tertawa pendek, suaranya seperti kambing terjerat lehernya. "Semula kami memang hanya ingin melewati jalan ini. Tapi karena di sini telah terjadi sesuatu, maka tak ada salahnya kami ingin tahu. Bukan mau turut campur Hanya ingin tahu saja!" "Hee, orang cebol! Kau jangan membuat perkara baru dengan kami. Lewatlah kalau memang mau lewat. Jangan banyak cingcong," gertak Ganggadara mengeretakkan giginya. "Hemm! Jangan kaukira aku tidak mengenal kalian! Rupanya prajurit-prajurit Singasari sudah mabuk kemenangan, hingga bicara seenak perutnya sendiri," tukas lelaki cebol sinis. "Tutup mulutmu!" gertak Ganggadara kurang sabar. "Cukup, Ganggadara!" sela Pranaraja menengahi lalu memandang galak pada lelaki cebol dan perempuan itu. "Sebenarnya kalian mau apa?" "Kami tidak suka mel hat perbuatan sewenang-wenang!" jawab si cebol lantang. "Mereka perampok. Mereka orang-orang jahat. Barangkali mereka sudah membunuh puluhan manusia. Bukankah sudah sepantasnya dihukum?" jelas Pranaraja tegas. "Janganlah Tuan menghukum tanpa bukti." Lelaki cebol itu mengangguk-angguk dan menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Mari kita lihat apakah dua orang ini telah melakukan kesalahan atau tidak." Si cebol mendekati Jaran Bangkai dengan jumawa dan sok luhur. 'Siapa namamu?" tanyanya parau "Ekh, nama saya Jaran Bangkai, Tuan!" jawab Jaran Bangkai tanpa berani mengangkat wajah, namun sudah sedikit berkurang rasa takutnya karena merasa ada dewa penyelamat di dekatnya "Dan kau?" "Saya Jaran Lejong, Tuan!" hampir tak terdengar Lejong menjawab "Coba jawab, apakah kalian telah merampok harta tuantuan ini? Berapa kampil emas yang telah ka lan ambil dari mereka? Berapa ringgit yang telah kalian rebut?" ' "Ekh, kami... kami belum mengambil apa-apa, Tuan!" jawab Jaran Bangkai sedikit mengangkat wajah melirik dengan ekor matanya ke arah Pranaraja yang ternyata masih memegang pedang telanjang berkilat menakutkan hatinya "Nah, bagaimana, Tuan? Bukankah tuduhan-tuduhan tuan-tuan kurang bukti?" tanya lelaki cebol itu penuh kemenangan. "Mereka memang belum sampai mengambil apa-apa, tapi mereka bermaksud merampok kami. Itu yang penting," Jarawaha menjawab tak sabar. "Kalau begitu tuan-tuan tidak berhak menghukum mereka, apalagi memotong tangan mereka," lanjut si cebol. Kedua perampok itu saling melirik seolah-olah mendapat angin segar yang memberikan kipasan harapan untuk bebas dari tajamnya pedang Pranaraja. Namun, mendengar ucapan si cebol, Ganggadara naik pitam lalu membentak sangat kasar pada lelaki berwajah buruk itu. "Hee, orang cebol! Kau mau pergi atau tidak?" "Huuh. Kau tidak berhak mengusir kami sekalipun kau prajurit Singasari. Kami bebas. Kami bisa pergi ke mana kami suka. Kalian tidak usah ikut campur," tukas si perempuan sambil mencibir ke arah Ganggadara yang dadanya turun-naik menahan emosi. "Jadi, kalian tidak mau pergi?" semakin keras Ganggadara membentak mereka. Namun, si cebol mencerca Ganggadara dengan pandang remeh yang dilihatnya terlalu mentah baginya. "Jangan gusar. Kami akan segera pergi, tapi bersama mereka." Tangan si cebol menepuk pundak kedua perampok yang masih tersungkur di depan Pranaraja. "Ayo, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong! Naiklah ke atas kuda, kita tinggalkan tempat ini!" "Kurang ajar. Kau berani meremehkan kami!" bentak Ganggadara. Dengan kedipan matanya ia memberikan isyarat pada Jarawaha sehingga dalam waktu singkat Jarawaha menggebrak hebat ke arah si cebol. Namun, ketiga prajurit Singasari itu sempat kagum melihat si cebol berkelit dengan lincah dan sangat menarik menghindari serangan mendadak Jarawaha.Mata Ganggadara melotot! "Hei, kalian punya kebisaan juga rupanya?" Ganggadara berkomentar sinis dan mencibir Matanya awas memperhatikan lawan tanding yang tak boleh diremehkan. "Dia ingin memamerkan kemampuan ilmunya, Adi Ganggadara." "Kita ringkus saja sekalian. Siapa tahu mereka adalah komplotan perampok juga!" Tanpa banyak komentar lagi, kakak-beradik itu merangsek maju dan menyabetkan pedang tajam menyapu si cebol tepat di lehernya, namun si cebol sudah mencelat dan melompat di tempat lain sambil tertawa terkekeh meremehkan serangan yang sangat mentah itu. "Hentikan!" seru Pranaraja melihat gelagat tak baik. "Cukup, Jarawaha, Ganggadara!" Serempak keduanya menghentikan serangan dengan kaki tetap dalam posisi kuda-kuda dan penuh siaga. Jarawaha menoleh ke arah atasannya penuh rasa ingin tahu, "Ada apa, Tuan?" tanyanya tolol. "Tak ada manfaatnya berurusan dengan mereka!" jawab Pranaraja tanpa memandang ke arah si cebol, si perempuan dan kedua perampok. "Tapi mulut si cebol dan perempuan itu sudah keterlaluan, Tuan," tukas Ganggadara dengan terengah. Pranaraja melotot pada Ganggadara, "Cukup kataku! Biarkan mereka pergi." Pranaraja mengangkat tangannya sampai di bawah bahu dan memberikan isyarat agar komplotan si cebol itu pergi saja. Si cebol tertawa terkekeh, "Heheheheheheh! Rupanya Tuan yang ini mempunyai penglihatan lebih jeli. Nah, maafkan kami Bukan maksud kami ingin membuat garagara. Tapi kami tidak rela melihat prajurit-prajurit Singasari menjadi rusak Citranya." Si cebol melompat ke punggung kudanya, dan kembali berseru, "Supaya tuan-tuan tidak penasaran, ada baiknya kami memperkenalkan diri. Nama saya Mpu Tong BajiL Orang sering menyebut saya si cebol dari lereng Tengger." "Dan saya Dewi Sambi! Saya dibesarkan dan ditempa oleh angin pegunungan Lembah Kawi." Mpu Tong Bajil si cebol terkekeh seraya merapatkan kudanya di sisi kuda Dewi Sambi dan terkekeh panjang seraya mengangkat tongkatnya. "Selamat jalan Tuan-tuan. Mudah-mudahan kita akan bertemu lagi di lain kesempatan." Dia lalu memandang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong, "Ayo Jaran Bangkai, Jaran Lejong! Heya-heya heyaaaaa!" Si cebol diikuti Dewi Sambi dan kedua perampok itu menghela kuda. Sepakan kaki kuda meninggalkan kepulan debu-debu sampai akhirnya mereka lenyap di balik tikungan yang penuh semak belukar. Pranaraja menghela napas panjang memperhatikan arah lenyapnya empat kawanan orang aneh itu. Ganggadara menghampirinya. "Tuan, mengapa Tuan membiarkan mereka pergi?" "Jelas mereka orang-orang jahat, Tuan. Mereka pasti akan mengacau di tempat lain," tukas Jarawaha. Pranaraja memandang anak buahnya satu persatu dengan tenang, "Kita sedang mengemban tugas penting, karena itu kita jangan membuat masalah dengan orangorang seperti mereka." "Tapi orang-orang itu sudah berani menghina kita!" Jarawaha menahan rasa kesal hingga suaranya sedikit tercekat di tenggorokan. "Ya, Tuan. Sudah seharusnya mereka dihukum cambuk!" timpal Ganggadara tidak kalah sengit. "Ganggadara! Mereka tidak dapat kausamakan dengan Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. Ilmu kanuragan dua orang itu cukup tinggi." Jarawaha melangkah lebih rapat ke Pranaraja, "Bagaimana Tuan bisa mengukurnya?" "Dari sikapnya, dari pandangan matanya, juga dari kecepatan geraknya. Aku yakin, kalau sampai kita terlibat perkelahian dengan mereka, kita akan mendapat kesulitan besar." Pranaraja menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya agak kasar. "Sudahlah! Mari kita lanjutkan perjalanan!" Pranaraja melompat ke punggung kuda diikuti Jarawaha dan Ganggadara. Tampak Pranaraja berpikir keras dan di bilik hatinya menyimpan rasa cemas. Mereka menghela kuda masing-masing dan ketiga binatang perkasa itu pun mulai menapak jalan setapak. Mula-mula perlahan tapi lambat laun kian cepat seiring sentakan dan hela para penunggangnya. Tampak ketiga prajurit Singasari itu beriring menuju desa Kurawan. Sementara itu perjalanan si cebol, Dewi Sambi dan dua pemuda yang baru mereka kenal tampak menghentikan kuda mereka dan keempatnya berteduh di bawah kerindangan pohon beringin. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong begitu hormat pada dua pendekar yang telah menyelamatkan nyawanya. "Untung Tuan menolong kami, kalau tidak kami akan menjadi orang tak berguna lagi." "Ya, karena kami akan kehilangan tangan kami," tukas Jaran Lejong menimpali Jaran Bangkai. Mpu Tong Bajil tersenyum dingin, "Prajurit-prajurit Singasari itu tidak akan berani melakukannya di depanku." "Ya. Benar, Tuan. Agaknya mereka gentar menghadapi Tuan berdua," puji Jaran Bangkai. Dewi Sambi memperhatikan keduanya dengan menyipitkan mata. Ia melihat dua pemuda itu, berotot dan beringas, "Apa benar kalian bermaksud merampok mereka?" Jaran Bangkai melirik Jaran Lejong, mengangguk dan menjawab dengan gemetar, "Eh, be... benar, Tuanku." Lalu Jaran Lejong menjelaskan dengan perlahan, bahwa mereka memang perampok. Mereka selama ini hidup dari merampok harta benda orang. Hampir sepuluh tahun mereka melakukan hal itu. Mpu Tong Bajil makin tersenyum lebar, matanya mengerdip pada Dewi Sambi yang duduk merapat di sebelah kanannya. "Jawab saja dengan jujur. Kau senang pekerjaan itu?" Setelah menoleh kepada Jaran Bangkai, Jaran Lejong agak ragu menjawab pertanyaan Mpu Tong Bajil, "Eh, ya. Terus-terang sebenarnya kami menyukai pekerjaan itu, tapi..." "Cukup!" potong Mpu Tong Bajil. Dengan tajam ia perhatikan dua pemuda berotot itu matanya pun menyipit, melirik Dewi Sambi penuh arti, "Kalau kau senang pekerjaan itu, kau boleh ikut kami." Jaran Bangkai belum paham sepenuhnya apa yang dimaksudkan si cebol, namun si cebol segera menangkap rasa penasaran kedua pemuda itu. "Maksudku, marilah kita merampok bersama-sama. Marilah kita menjadi perampok yang lebih mapan." Jaran Bangkai menyodok bahu Jaran Lejong dan tersenyum lebar, "Oh, kami mau, Tuan. Kami senang sekali bergabung dengan Tuan " Mpu Tong Bajil manggut-manggut, demikian halnya dengan Dewi Sambi. Mereka tampaknya bersukacita bisa mendapatkan dua anak buah baru.Mpu Tong Bajil kembali serius memperhatikan Jaran Bangkai dan Jaran Lejong, "nanti akan kita bicarakan lagi soal ini. Sekarang mari kita pergi. Aku harus mengunjungi seorang kawan lama di Jasun Wungkal." Si cebol bangkit meraih lengan Dewi Sambi, melangkah menuju kuda masing-masing dan meninggalkan tempat sepi itu. Sementara itu perjalanan Pranaraja dan dua prajurit bawahannya sudah sampai di wilayah Kurawan. Mereka telah melewati tugu pembatas desa.Mereka melihat seorang lelaki tua sedang membetulkan saluran air di sawahnya. Jarawaha mengarahkan kudanya ke dekat lelaki tua itu yang sibuk membenahi pematang saluran air. "Hei, Pak Tua! Kau tahu di mana rumah Mpu Hanggareksa?" seru Jarawaha tanpa turun dari punggung kudanya Lelaki tua itu tidak menjawab, sebaliknya ia mengomel karena saluran air yang menuju sawahnya telah jebol. "Huuuh! Siapa yang memotong saluran airku ini? Dasar maling!" "Pak Tuaaaa! Di mana rumah Mpu Hanggareksa? Kau tahu tidak?" seru Ganggadara dari punggung kuda. Tapi lelaki tua itu sedikit pun tidak memberikan tanggapan. Bahkan makin asyik membetulkan pematang yang bobol dan terus ngomel sendiri. Ganggadara tampak kesal dan tidak sabar, "Kurang ajar! Kau jangan mempermainkan aku, Pak Tua!" "Mungkin dia tuli, Adi Ganggadara," tukas Jarawaha. Pak Tua itu benar-benar tidak menyahut, bahkan saat Ganggadara menegurnya makin keras, tetap saja lelaki tua itu macul dan menghempaskan cangkulnya kuat-kuat seraya ngomel. Ia kesal pada orang yang merusak tanggul saluran air. Jarawaha dan Ganggadara merasa dipermainkan lelaki tua itu, apalagi kehadiran mereka tampak tidak dihiraukan. Merasa diremehkan kedua prajurit Singasari itu naik pitam. Ganggadara melompat dari punggung kuda dan langsung menyerang lelaki tua. Lelaki tua menggunakan cangkul untuk menangkis tendangan Ganggadara, dan ia mundur. Ia cipratkan lumpur ke Ganggadara hingga prajurit Singasari itu menghentikan serangannya. "E, e, e, e ada apa ini? Kok marah-marah?" "Pak Tua, kau jangan main-main!" ancam Ganggadara. "Enak saja! Siapa yang main-main? Aku kan sedang macul saluran air ini, karena airnya mampet maka kupacul." Jarawaha melangkah lebih dekat, "Pak Tua! Apa kau tidak dapat melihat? Apa kau tidak tahu bahwa kami adalah prajurit-prajurit Singasari?" "Oh, hoho... jadi kalian bertiga ini prajurit Singasari, ya?" "Ya. Karena itu kau harus minta maaf pada kami!" Jarawaha sedikit membentak dan menggertak. Lelaki tua itu tersenyum dingin, disambung dengan tawanya yang aneh dan tertahan "Minta maaf?Mengapa?" "Karena kau sudah berbuat salah!" suara Jarawaha meninggi. Lelaki tua itu makin bingung tidak tahu apa salahnya. Ia terus tersenyum dingin dan mengelus-elus joran cangkul. "Apa salahku?" gumamnya lirih. "Dengar! Kau telah berani berlaku tidak sopan pada kami!" bentak Jarawaha Lelaki tua berpakaian compang-camping, kumal dan tampak belepotan lumpur itu makin terkekeh. Ia merasa lucu, "Dagelan! Heheheheh.... Kok bisa gitu, ya? Yang berlaku tidak sopan itu siapa? Aku atau kalian? Enak saja. Sudah, sudah! Pergi sana! Aku mau kerja." Lelaki itu kembali asyik mencangkul tidak menghiraukan ketiga prajurit Singasari yang memperhatikannya. Jarawaha dan Ganggadara melotot dan bertolak pinggang. Ganggadara naik pitam, ia anggap lelaki tua itu sudah gila dan tidak tahu aturan. Dadanya terbakar dan amarahnya memuncak. Ia langsung mencabut pedang dan berusaha menyabetkan kearah orang yang meremehkannya. Namun, dugaannya meleset. Joran cangkul di tangan lelaki tua itu menari dan berputar dengan indah menangkis seluruh serangannya. Ganggadara tidak mungkin menyerang lebih lanjut dengan posisi yang sulit. Ia juga tidak mau belepotan lumpur. Ia ingin sekali menenggelamkan lelaki tua itu ke dalam lumpur agar dimakan cacing. Ia makin gencar menyerang Melihat keadaan yang tidak baik seperti itu Pranaraja melompat dari punggung kuda, "Tunggu! Hentikan banyolan murah ini!" Pranaraja melompat ke pematang dan menghampiri lelaki tua. "Pak Tua, kami datang ke desa Kurawan ini mengemban titah Sang Prabu Kertanegara." "Hm, ya, ya. Lalu?..." "Kami sudah lelah karena perjalanan yang cukup jauh. Karena itu berlakulah sedikit sopan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Lelaki tua mencibir dan geleng-geleng kepala "Yang berlaku tidak sopan itu bukankah kalian sendiri? Coba, apa pantas bertanya pada orang tua dari atas punggung kuda begitu? Apa mentang-mentang kalian prajurit, lalu boleh berbuat seenak jidatmu?" Pranaraja merah padam. Dia baru sadar jika selama ini dia sendiri dan kedua anak buahnya itu sering tidak sopan Maka ia melepaskan kacak pinggangnya. Sedikit menghela napas dan mendengus. Ia lalu bertanya di mana letak rumah Mpu Hanggareksa. Masih dengan suara yang kasar, "Di mana rumah Mpu Hanggareksa?" Lelaki tua itu makin keki dan menyipitkan matanya. "Bukan begitu cara bertanya yang baik. Aku tidak akan menjawabnya." Pranaraja turut naik pitam. Ia terpaksa ambil tindakan tegas, memaksa lelaki tua agar mengikuti kehendaknya. Kedua tangannya mengisyaratkan agar anak buahnya menangkap lelaki tua itu. Jarawaha menarik pedang, dan Ganggadara sudah siap menyerang. Lelaki tua mengangkat tangan, "Baiklah! Sekarang begini saja. Karena kalian sudah mencabut pedang, tentu tidak enak kalau harus disarungkan kembali. Nah, biar aku mengalah. Aku akan menunjukkan rumah orang yang kalian cari, tapi dengan syarat." "Apa syaratnya?" bentak Jarawaha. "Kalian tentu bangga sekali dengan pedang milik kalian itu." "Ya. Sudah pasti!" tukas Ganggadara. "Kalau kau masih rewel juga, maka sebentar lagi lumpur sawah ini akan menjadi saksi kematianmu, Pak Tua!" "Hiii, mengerikan sekali. Tapi sebaiknya jangan sampai begitu. Kalau kalian memiliki pedang, nah... aku memiliki cangkul. Lihatlah!" lelaki tua mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya pada langgam punggung mata cangkulnya. "Kalau kalian bangga dengan pedang itu, maka aku pun bangga dengan cangkulku ini. Sekarang kita adu saja.Mana yang lebih ampuh, cangkulku ini atau pedang kalian itu?" "Kau jangan main-main, Pak Tua!" ancam Jarawaha. "Siapa yang main-main, anak muda? Coba saja buktikan! Kalau pedang kalian bisa melukai cangkulku, apalagi sampai membelah cangkulku ini, nah... itu tandanya aku kalah. Kalian berhak mengetahui rumah orang yang kalian cari." "Bagaimana, Adi Ganggadara?" Ganggadara jadi bingung, ia kembali melemparkan pertanyaan kakaknya pada Pranaraja yang sejak tadi sudah kesal. "Mengapa kalian jadi bodoh? Tebas saja cangkul itu menjadi dua. Bukankah pedang kalian sudah berpengalaman dalam perang?" bentak Pranaraja pada dua anak buahnya dengan mata melotot dan berkilat-kilat. Ganggadara menoleh ke Pak Tua dan tersenyum sinis, "Baik, Pak Tua! Letakkan cangkulmu itu, biar kuhancurkan!" "Hehe, tidak usah! Biar kupegang saja. Ayo, tunjukkan keampuhan pedangmu!" Pak Tua terus terkekeh dan memegang joran cangkulnya dengan tenang, tangannya yang sudah tua berhias kerutan dan kotor oleh lumpur kering tampak mencengkeram kuat bagaikan cakar rajawali mencengkeram mangsanya. Dengan tersenyum dan mengusap langgam punggung mata cangkul dengan tangan kirinya, ia meludahi punggung mata cangkulnya yang masih basah dan kotor oleh lumpur. Ganggadara tidak sabar lagi, ia ancang-ancang dan langsung menebas cangkul. Tebasan pedangnya yang sangat keras menimbulkan benturan kuat dan tampaklah percikan api dari empasan dua benda keras itu Cangkul masih utuh di tangan lelaki tua yang terkekeh dan meminta agar Ganggadara lebih keras menghempaskan pedangnya. Lelaki tua makin terkekeh ketika usaha Ganggadara siasia belaka. "Mana? Aku ingin melihat senjata kebanggaan prajurit-prajurit Singasari." Tawa lelaki tua makin terkekeh menyakitkan telinga ketiga prajurit Singasari. Jarawaha meminta Ganggadara minggir dan ia menebaskan pedangnya dengan dahsyat. Percikan api memancar dari benturan pedang dan cangkul lelaki tua "Kurang ajar! Tangkap lelaki tua itu, Jarawaha! Dia sengaja menghina kita. Ringkus tua barigka itu!" geram Pranaraja memerintahkan anak buahnya. Ia berkacak pinggang dan meraba gagang pedangnya. Lelaki tua itu kaget karena kedua prajurit Singasari menyerang dengan gebrakan panjang tanpa peringatan sebelumnya. Namun ia sigap menanggapi. Ia mundur beberapa tindak di pematang sambil memainkan cangkul yang ia kibaskan ke sana-ke mari. Gerakannya gesit dan lincah. Seolah cangkul di tangannya bagaikan mainan, bagai kitiran yang terus menangkis serangan Jarawaha dan Ganggadara. Percikan-percikan api terus memancar setiap kali terjadi benturan pedang dan cangkul. Anehnya, dua prajurit Singasari itu sedikit pun tidak mampu maju dan menyentuh lelaki tua, sedangkan lelaki tua tetap bertahan di tempatnya di atas pematang sempit. Ganggadara dan Jarawaha sudah belepotan lumpur. Melihat gelagat yang tidak sedap seperti itu Pranaraja berteriak lantang, "Mundur Jarawaha! Menepilah Ganggadara!" Jarawaha dan Ganggadara menghentikan serangan dan merunduk hormat pada Pranaraja yang tetap memandang tajam, galak dan marah pada lelaki tua. Mereka mundur dan berdiri di kanan kiri Pranaraja dengan sekali lompatan. Pranaraja makin melotot memandang lelaki tua berpakaian compang-camping yang berdiri lima tombak di depannya. Ia makin muak ketika lelaki tua menyibakkan rambut kelabunya seraya membetulkan letak caping kropaknya. "Pak Tua! Kau mau pamer kepandaian di depan kami?" bentak Pranaraja. "Huh. Apa? Aku pamer kepandaian? Teman-temanmu itulah yang sok jago. Mentang-mentang prajurit Singasari lalu main tendang, main pukul, main keroyok. Tentu sa]a aku tidak mau diperlakukan seperti itu." "Kalau kau masih berkeras tidak mau melayani kami dengan baik, aku yang akan turun tangan." "Nah, sekarang ternyata kau yang ingin pamer kepandaianmu di depanku." Pranaraja meraih sesuatu dari balik timangnya, "Pak Tua! Lihat, aku membawa tanda pengenal dari istana. Kau tahu artinya?" "Tidak." Lelaki tua itu jujur dan polos. Ia benar-benar tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan benda emas berbentuk bintang di tangan Pranaraja Pranaraja makin geram, ia menganggap lelaki tua itu tidak tahu diri, kurang ajar, dan telinganya serasa gatal. "Jawabanmu semakin memerahkan telinga!" serta merta Pranaraja memasukkan lencana dan segera mencabut pedang seraya melangkah beberapa tindak dan berteriak, "Aku sendiri yang akan menghajarmu, Pak Tuaaaaa!" Pranaraja melompat dan menyambarkan pedangnya ke arah kepala lelaki tua. Tapi sekali lagi ia terhenyak, lelaki tua itu mampu menepiskan serangannya. Cangkul lelaki tua menangkis sambaran pedangnya hingga tampaklah pancaran percikan api. Beberapa sabetan terus menghajar cangkul yang digunakan dengan baik sebagai perisai. Bahkan putaran perisai itu tidak mampu dilihat dengan baik oleh mata telanjang Pranaraja Pranaraja akhirnya melompat mundur dan berdiri di antara Jarawaha dan Ganggadara. "Hati-hati, Tuan. Orang tua itu cukup lincah dan gesit." Jarawaha berbisik "Diam kau Jarawaha!" bentak Pranaraja dengan mendengus. Makin erat ia mencengkeram gagang pedang, "Pak Tua! Kau telah melawan kami! Itu berarti kau melawan pemerintah Singasari!" "Terserah. Aku tidak merasa berbuat yang merugikan kalian. Aku bekerja di sawahku sendiri, kalian yang datang mengganggu aku dan mengajakku ribut-ribut." Pranaraja melangkah beberapa tindak ke depan dan ingin merampungkan lelaki tua agar berkubang lumpur, namun terdengar derap kuda yang berlari mendekat. Tampak pemuda gagah dan tampan melompat dari punggung kuda, lalu melompat ke pematang dan berdiri di sisi lelaki tua. "Ada apa, Paman?" "Heh, bertanyalah pada mereka!" jawab lelaki tua seraya kembali mencangkul dan tidak mempedulikan para prajurit Singasari yang dihampiri pemuda tampan dan gagah itu. "Nama saya Arya Kamandanu, ada perlu apa Tuan kemari?" Pranaraja menyarungkan pedang, demikian juga dengan Ganggadara dan Jarawaha, tidak enak hati melihat tatapan curiga pemuda di depannya. Pranaraja pun menjelaskan duduk perkaranya, mengapa mereka ada di situ sampai akhirnya salah paham dengan lelaki tua, "Kami ingin datang ke rumahMpu Hanggareksa." Arya Kamandanu tersenyum dan mengangkat wajah, "Ah, beliau adalah ayah saya.Mari ikut saya!" Pranaraja memandang ke arah lelaki tua yang sudah sibuk mencangkul seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ganggadara dan Jarawaha bertanya dengan tatapan mata, namun Pranaraja meminta agar tidak perlu berurusan lagi dengan lelaki tua. Apalagi Arya Kamandanu sudah melompat ke punggung kuda dan mengajak mereka segera mengikutinya. Setelah ketiga prajurit Singasari itu berlalu mengikuti jejak Arya Kamandanu, lelaki tua berhenti mencangkul dan mengangkat wajah memandang mereka, "Singasari... kau telah bermandikan darah.... Hyang Widhi tidak akan merelakan tingkah polah orang-orang yang ada di rahimmu, orang-orang yang angkuh dan sombong! Sesungguhnya engkau terkutuk, engkau akan rata dengan tanah karena darah yang tertumpah!" Singasari bermandikan kutukan! Di rahimnya berjubelan para pengkhianat dan penjilat. Hikmat orang miskin disiasiakan orang! Lelaki tua kembali mencangkul, air matanya menetes, jatuh di lumpur, di pangkuan Ibu Pertiwi yang terus menangis, karena kesuciannya ternodai. Tanah yang tercangkul memuncratkan air dan lumpur ke wajah lelaki tua, tapi ia membiarkan lumpur itu mengotori wajah, bahkan seluruh tubuhnya. Ia rasakan lumpur yang menempel di tubuh dan wajahnya adalah belaian lembut Ibu Pertiwi, bagai sentuhan ibunya ketika ia masih kecil dan mengharapkan belaiannya. dw Arya Kamandanu membawa para tamu ayahnya, dan mengantarkan mereka sampai di pendapa depan. Mpu Hanggareksa sangat kaget dengan kehadiran para prajurit Singasari. Ia menyambutnya dengan ramah-tamah. Namun ia terkejut ketika menyaksikan pakaian para tamunya belepotan lumpur. Ia mempersilahkan para tamunya membersihkan diri di pancuran padasan dan gentong air yang tersedia di depan rumahnya. Ia menyangka bahwa mereka melewati jalan yang salah hingga harus melalui sawah-sawah. Ia juga menyuruh Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga mengambilkan air secukupnya agar para tamunya bisa membersihkan pakaian dan tubuh mereka dari lumpur. "Inilah desa Kurawan, tuan-tuan. Masih penuh lumpur dan kotoran." Selorohnya. Lelaki tua itu kemudian membantu menambatkan kuda para tamunya di bawah pohon sawo depan rumahnya. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka dijamu dengan hangat oleh Mpu Hanggareksa. Bibi Rongkot telah menanak nasi dan memasakkan gulai ayam buat mereka. Juga ada wedang jahe gula merah yang tercium sedap dan harum aromanya. Jarawaha dan Ganggadara menyantap seluruh hidangan yang ada di depannya, karena benar-benar lapar dan lelah. Sambil menikmati jamuan, Pranaraja menyampaikan maksud kedatangannya di Kurawan, yaitu menyampaikan undangan Prabu Kertanegara, agar Mpu Hanggareksa bisa hadir di Istana Singasari untuk menerima penghargaan dan hadiah atas jasanya membuat senjata bagi pemerintah Singasari. Mpu Hanggareksa berdebar-debar mendengar berita baik itu, "Kami ikut merasa gembira dan bangga mendengar kebijaksanaan Sang Prabu Kertanegara." Pranaraja tersenyum lebar dan mengangguk "Wah, beliau itu Raja yang arif, adil dan bijak. Beliau tidak pernah melupakan budi baik seseorang, sekalipun orang itu berasal dari kalangan bawah." "Kita semua ikut menikmati hasil yang telah dicapai Pemerintah Singasari," timpal Jarawaha "Benar, Tuan." Ganggadara menyahut setelah menelan sisa makanan di mulutnya. "Dengan diresmikannya prasasti Camunda, maka siapa saja yang dianggap berjasa membantu Singasari melebarkan sayapnya, akan mendapat hadiah." Pranaraja mengangguk mengiyakan, "Dan dalam hal ini tak terkecuali Tuan Hanggareksa. Sebagai seorang ahli membuat senjata, tentulah jasa Tuan tidak dapat dianggap kecil. Bukan begitu, Jarawaha?" "Betul, Tuan. Betul sekali." Ganggadara tersenyum dan memandang lekat Mpu Hanggareksa, "Bagaimana seorang prajurit bisa berbuat banyak di medan peperangan kalau tidak dibekali senjata yang ampuh?" Jarawaha mengangkat jempol seraya tersenyum lebar, "Dan senjata buatan Tuan Hanggareksa sudah terkenal ampuh. Prajurit Madura, Bali, dan terakhir pasukan Swarnabhumi sudah membukti- . kan sendiri keampuhan senjata ciptaan Tuan." Mpu Hanggareksa tampak tidak enak menerima pujian berlebihan dari para tamunya, "Ah, tuan-tuan terlalu memuji saya. Saya sudah merasa senang dan bangga kalau bisa bekerja dan mengabdi pada pemerintah Singasari. Sungguh, Tuan. Dalam hal ini saya bekerja tanpa pamrih apa-apa." Pranaraja mengangguk-angguk lembut, "Kami percaya, Tuan. Dan Prabu Kertanegara sendiri juga sepenuhnya percaya pada kemurnian pengabdian Tuan Hanggareksa. Itulah sebabnya Tuan diharapkan hadir dalam pertemuan di bulan Badrapada nanti. Sang Prabu ingin bertatap muka dan bicara langsung dengan orang-orang yang telah membantu beliau." Mpu Hanggareksa mengangkat wajah dan memperhatikan Pranaraja dan kedua anak buahnya. "Ah, saya orang desa. Orang kecil yang tak punya arti apa-apa. Karena itu saya sangat terharu mendengar sikap Sang Prabu yang begitu mulia." Tiba-tiba Pranaraja mengerutkan dahi dan memandang Mpu Hanggareksa dengan menyipitkan mata, dahinya berkerut dan mengangguk-angguk "Oh, ya. Kami ingin menanyakan sesuatu pada Tuan." "Soal apa, Tuan Pranaraja?" "Sebelum kami bertemu dengan Arya Kamandanu, putra Tuan, kami sempat bertengkar dengan seorang petani tua yang sedang mencangkul saluran air di sawahnya." Ganggadara langsung berbinar dan matanya terbeliak, "Wah, orang tua itu benar-benar kurang ajar, Tuan. Dia sama sekali tidak takut pada kami, walaupun tahu bahwa kami membawa amanat seorangRaja." Jarawaha mengepalkan dua tangannya di depan dada, "di samping kurang ajar dia juga telah berani menghina pemerintah Singasari. Ini yang saya kira tidak bisa diampuni." Ganggadara memiringkan kepala, mencibirkan bibirnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya, "saya pikir otaknya tidak genap lagi. Apa benar begitu, Tuan?" Mpu Hanggareksa mengembuskan napas berat, "Jangan hiraukan dia, tuan-tuan. Jangan dimasukkan ke hati." Pranaraja mengangguk-angguk sampai bahunya* berayun, "Putra Tuan memanggilnya dengan sebutan paman, apakah Tuan masih tersangkut hubungan kerabat dengan orang itu?" "Tidak, Tuan. Dia bukan keluarga saya," tukas Mpu Hanggareksa cepat. Ia hela napas dan seperti mengingat sesuatu, "Kami dulu memang pernah bersahabat, tapi sekarang kami tak pernah bertemu lagi walaupun masih satu desa." Pranaraja mengangguk-angguk dan memonyongkan bibirnya, "Mungkin benar seperti yang dikatakan Ganggadara. Dia agaknya kurang beres otaknya." "Yah, mungkin saja, Tuan. Soalnya saya sudah lama sekali tidak bertemu dengannya." Mpu Hanggareksa menghapus keringat dingin di kening, pelipis dan tengkuknya yang bergidik. Ada kecemasan merayapi hatinya. Pranaraja makin lekat memperhatikan Mpu Hanggareksa, "Siapa nama orang itu, Tuan?" Mpu Hanggareksa tidak segera menjawab, ingin mengingat sesuatu, "namanya Ranubhaya." Mpu Hanggareksa tersenyum pada tamunya, "Sudahlah, Tuan! Lupakan saja. Dia barangkali tidak bermaksud sungguhsungguh. Saya jamin dia tak akan berani mengganggu tuantuan lagi." "Baiklah. Hm." Pranaraja bangkit, "maaf, Tuan Hanggareksa, kami ingin istirahat." "Ah, silahkan tuan-tuan. Ruangan sudah disediakan untuk sekadar merebahkan badan " Mpu Hanggareksa buru-buru bangkit dan ingin mengantarkan para tamunya ke tempat istirahat yang telah disiapkan Bibi Rongkot. "Maaf, beginilah keadaan rumah kami. Serba sederhana. Maklum rumah desa." "Ini sudah lebih dari nyaman, Tuan " Pandangan Pranaraja menyapu seluruh kisi-kisi ruangan kamar yang semuanya terbuat dari kayu jati. Semua masih utuh dan tanpa sentuhan terpentin damar. Tampak indah di bawah bayang temaram lampu minyak jarak yang diletakkan tepat di atas meja tengah kamar Pranaraja duduk di atas dipan yang beralaskan kasur dari kapuk pilihan, sedangkan Ganggadara dan Jarawaha langsung merebahkan diri di dipan masing-masing. Pranaraja mengerutkan dahi, menghela napas dalam-dalam mencium aroma kamar yang berbau kembang dan kemenyan kutukan. Kamar itu cukup luas, dan pada dinding-dindingnya terdapat beberapa koleksi senjata ciptaan Mpu Hanggareksa yang sengaja digantung, tapi terbungkus rapi dengan kain putih. Di sudut ruarlgan terdapat belanga yang di dalamnya terdapat air dan bunga-bunga. Di dekat belanga itu terdapat padupan tempat menyalakan kemenyan. Menurut kepercayaan Mpu Hanggareksa, bahwa air bunga dan dupa kemenyan adalah untuk keperluan menjaga dan memelihara kelestarian pusaka-pusaka ampuh yang diciptakannya, juga pusaka-pusaka lainnya yang ia dapatkan dari berbagai tempat wingit. Setelah mengantarkan para tamunya Mpu Hanggareksa menuju bilik Bibi Rongkot, beliau berpesan agar selalu siap membantu jika para tamunya memerlukan sesuatu. Setelah itu, lelaki tengah baya itu menuju tempatnya bekerja. Malam merayap dengan selimut pekatnya. Suara serangga melengkapi keheningan yang menyayat. Belalang engket makin keras memamerkan suaranya ditingkah bunyi jengkerik dan burung hantu yang sesekali menjerit di kejauhan. Kelelawar-kelelawar pun tampak saling menyahut dengan jeritan mereka setiap kali bertemu kawanannya Di tengah malam ketika para tamunya sudah istirahat, Mpu Hanggareksa kembali menemui Bibi Rongkot di biliknya, menanyakan keadaan para tamu, kedua putranya dan lain-lainnya. Bibi Rongkot dengan bersahaja menjelaskan bahwa Arya Kamandanu sedang membersihkan keris di ruang pusaka, sedangkan Arya Dwipangga sedang menulis syair-syair di atas daun tal. Mpu Hanggareksa kemudian pamit pada perempuan itu, "aku mau pergi sebentar, Bi. Kaututup saja pintunya!" "Ya, Gusti." Perempuan itu membungkuk hormat, memperhatikan tuannya membalikkan badan dan segera pergi. Mpu Hanggareksa melangkah ke samping rumah, bayangannya lenyap ditelan kegelapan. Ia berhenti di bawah pohon sawo, bersidekap, menghela napas sangat dalam. Ia rasakan pusaran mengendap di perutnya, dingin meliputi seluruh tubuhnya, dan ia. pun segera menghentakkan kakinya. Itulah aji Seipi Angin. Setelah melambari dengan aji Seipi Angin barulah ia menuju kandang kuda. Dengan kudanya ia meninggalkan rumah, belum ia tunggangi, tapi ia tuntun sampai di luar pekarangan. Binatang perkasa yang ia tuntun dengan tangan kirinya itu pun seperti mengerti, sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Ketika tali kendalinya ditarik perlahan, binatang itu setia sekali mengikuti perintah tuannya. Melangkah dan menapak sangat hati-hati, makin menjauh dari tempat tinggal tuannya. dw Di sudut desa Kurawan, di kaki bukit, tampaklah gubuk kecil yang semuanya terbuat dari bambu beratap alangalang. Tampak di depan bangunan itu duduk seorang pemuda, tubuhnya agak gemuk, wajahnya sedikit kelihatan bodoh. Sejak tadi ia menguap lebar menahan kantuk yang mendera, sedangkan gurunya melarangnya tidur sore-sore. Ia ingin berbaring, tapi teringat pesan gurunya, ia terjaga kembali dan duduk dengan baik sambil menyaksikan bintang- bintang yang berkedip di langit. Ia nikmati suara serangga yang timpal menimpali. Ada sesuatu yang ganjil dan aneh jika berada di tengah malam sendirian. Kadang rasa takut menghimpit. Bahkan ketika ia melihat daun pisang kering menggantung ia pun merinding. Ia melihatnya seperti hantu pocong. Kembali pemuda itu menguap lebar, "Guruku memang orang aneh. Susah ditebak. Sukar diketahui apa kemauannya. Tapi beliau memang guru yang hebat. Dalam hal pembuatan senjata pusaka, di seluruh negeri Singasari ini, bahkan mungkin di negeri-negeri lain, kukira belum ada yang mampu menandinginya." Ia tersenyum dan kebanggaan terpancar di wajahnya. Kembali ia semangat nglakoni. Pemuda itu tiba-tiba bangkit dan mengerutkan dahinya. Dia pandang ke arah datangnya suara derap kaki kuda. "Hmh, siapa malam-malamdatang kemari. Huh, pasti orang yang ingin memesan senjata pusaka. Huuh, dia pasti kecewa, sebab Guru sudah tidak melayani pesanan senjata pusaka lagi," pemuda itu terus menggerutu. Derap kuda pun berhenti, penunggangnya melompat, lalu mengikat kudanya di batang pohon jarak. Setelah itu, berjalan menghampiri pemuda itu, "Apakah aku bisa bertemu denganMpu Ranubhaya?" "Eh. bukankah Tuan... Tuan...." "Ya. Aku Hanggareksa, sahabatnya." Potong Mpu Hanggareksa ketika pemuda itu lupa namanya Apalagi memperhatikan dalam kegelapan malam. "Apakah kau Wirot?" "Eeh, iya, Tuan, sayaWirot." "Mana Kakang Ranubhaya? Apakah aku bisa menemuinya?" "Apakah harus sekarang, Tuan?" "Aku besok pagi harus sudah berangkat ke kota Singasari." "Kalau begitu mari ikut saya, Tuan," Wirot segera melangkah dan Mpu Hanggareksa mengikutinya dari belakang. Wirot mengajak tamu gurunya menyusuri sungai kecil. Kaki pemuda itu seolah punya mata sehingga mampu melewati tempat-tempat sulit. Apalagi dalam keadaan gelap gulita seperti malam itu. Hanya sinar bintang yang menerangi mereka Sesampai di batu ceper dia tidak menemukan gurunya di sana. "Wah, tidak ada Tuan. Biasanya guru ada di sini." "Apa yang dilakukannya malam-malam begini di sini?" "Guru memang sering berlaku aneh. Beliau punya kegemaran yang tidak jamak dimiliki orang lain. Biasanya dia duduk di sini, di atas akar pohon ini sambil memandang bulan yang berkaca di permukaan air sungai itu. Beliau kadangkala betah duduk di sini sampai menjelang pagi, Tuan." "Ah, mengapa begitu? Mestinya gurumu lebih mapan karena sekarang usianya sudah agak lanjut." "Saya hanya seorang murid, Tuan. Pengetahuan seorang murid terbatas. Paling banter sebatas pinggang gurunya." Mpu Hanggareksa memeriksa sekeliling batu ceper, tempat gelap dan remang. Bayang-bayang malam seakan mengintai setiap gerakannya. Dia jadi gamang, "Wah, kalau begitu di mana dia sekarang, Wirot? Apakah tidak ada tempat lain, yang biasa dikunjungi Kakang Ranubhaya?" Wirot tidak segera menjawab, ia lirik lelaki di sebelahnya, lalu tersenyum, "Ada, Tuan. Ada. Tapi sudah hampir satu bulan ini beliau tidak mengunjungi tempat itu." "Siapa tahu dia ada di sana?" "Baiklah, mari ikut saya, Tuan. Mudah-mudahan saja guru ada di sana." Beberapa saat lamanya mereka berjalan. Tanpa suara. Hanya daun-daun kering dan semak yang terinjak terdengar nyaring di malam pekat itu. Sampailah mereka di sebuah pekarangan tidak terlalu luas. Tampak sebuah gubuk mungil yang tertutup. Atapnya terbuat dari alang-alang. Ada obor minyak jarak yang menyala di sisi kiri gubuk diletakkan di sebuah tiang bambu setinggi manusia. Obor dari batang buluh bambu bersumbu kain tua. Nyala apinya merah Jingga tak mampu menyibak kepekatan malam. Wirot berhenti ketika melihat pintu gubuk tertutup rapat, "Sepertinya juga tidak ada, Tuan. Pintu gubuk sudah tertutup rapat." "Gubuk jerami ini milik siapa,Wirot?" "Milik beliau juga, Tuan. Saya yang membuat. Tempat ini biasa dipergunakan Guru untuk menikmati mangkok tuaknya." "Oh, begitu? Rupanya Kakang Ranubhaya sudah bergaul dengan api dalam cawan itu." "Kadangkala beliau mabok dan tertidur di atas tumpukan sabut kelapa." Mpu Hanggareksa memeriksa dan memperhatikan tempat sederhana dan mengenaskan itu, "Kasihan Kakang Ranubhaya. Mungkin akhir-akhir ini dia banyak mendapat kesulitan dalam hidup." "Hoh, rasanya tidak, Tuan." Wirot dengan cepat menukas. "Beliau biasa-biasa saja. Hidupnya sangat sederhana. Yang jelas beliau tidak pernah memusingkan persoalan-persoalan duniawi." "Kalau tidak mengapa dia minum tuak?" "Soal itu beliau pernah berkata pada saya, Tuan." Wirot lalu menghela napas dan menekuk batang lehernya, merunduk dan melirik Mpu Hanggareksa menirukan ucapan gurunya, "Wirot. Aku tahu api ini panas. Bisa membakar hangus tubuhku, juga jiwaku. Tapi aku tidak takut terbakar. Bukan karena aku putus asa. Di dalam cairan ini aku bisa menemukan Ranubhaya yang sesungguhnya. Bukankah seluruh isi dunia ini mabok? Dan bukankah mabok itu ada banyak ragamnya? Mabok kekuasaan, mabok pangkat dan harta, mabok wanita, mabok gebyar dan gemerlapnya ketenaran! Nah! Aku sengaja memilih mabok tuak saja, karena tidak berbahaya. Paling-paling aku sendiri yang akan mengalami bencana, dan bukan orang lain. Lagipula mabok tuak murah harganya. Hanya sepuluh beribil sudah bisa sampai ke tujuan." Wirot pun tertawa panjang. Mpu Hanggareksa manggut-manggut memperhatikan Wirot, "Kakang Ranubhaya berkata begitu?" "Betul, Tuan!" bahkan Wirot mengatakan jika hal seperti itu sudah disampaikan gurunya lebih dari sepuluh kali. Setiap menikmati tuak, kata-kata itu selalu meluncur dari bibirnya yang hitam mengeriput. Mpu Hanggareksa menghela napas dalam-dalam, "pendapat seperti itu tidak benar. Aku tidak setuju. Tapi ini adalah hak setiap orang." Kembali Mpu Hanggareksa menghela napas dalam-dalam. "Baiklah, sekarang ke mana lagi kita harus mencarinya, Wirot?" Wirot berpikir keras, ke mana seharusnya mencari gurunya agar bisa ditemukan. Ia lalu menunjukkan tempat angker kepada Mpu Hanggareksa. Tapi ia tidak berani mengantarkan Mpu Hanggareksa sampai ke tempat yang dimaksud.Menurutnya tempat itu penuh hantu dan terletak di belakang bukit Kurawan. Apalagi malam-malam gelap, jalanan tidak tampak dan semuanya mengerikan. Mpu Hanggareksa tidak ciut hati. Ia harus bertemu Mpu Ranubhaya malam itu juga sehingga memaksa Wirot agar menunjukkan tempat rahasia di.balik bukit Kurawan itu padanya. "Tuan terus saja menyusuri pematang sawah ini. Sampai di sebuah pohon besar dan rindang, Tuan belok ke arah selatan. Selanjutnya Tuan bisa mengikuti jalan setapak di seputar pinggang bukit." "Lalu di mana letaknya tempat yang biasa dikunjungi Kakang Ranubhaya?" "Tuan akan menemukan sebongkah batu yang sangat besar yang bentuknya menyerupai payung raksasa. Nah, di belakang sebongkah batu itulah biasanya guru saya berada. Tapi... harap Tuan berhati-hati. Saya khawatir hantu bertopeng itu akan muncul malam ini." Mpu Hanggareksa mendelik, dan mengerutkan dahi memperhatikan Wirot dengan saksama. "Hm... jadi kau takut hantu bertopeng, maka tidak mau mengantarkan aku?" "Benar, Tuan. Hantu itu, menurut cerita guru saya, sangat kejam. Apalagi bagi orang yang belum dikenalnya dan baru pertama kali melewati daerahnya." Mpu Hanggareksa tersenyum dan mengangguk-angguk lembut, "Sudahlah. Kau boleh kembali, Wirot! Biar aku temui sendiri gurumu. Sekalian aku ingin berkenalan dengan hantu yang kaukatakan itu." Mpu Hanggareksa lalu meraih obor di sudut rumah jerami. Ia bawa dan minta izin Wirot dengan mengangkat obor di tangannya itu. "Obor ini kubawa,Wirot!" Wirot menjawab dengan anggukan. Dia berdiri kaku melihat Mpu Hanggareksa membalikkan badan tanpa menghiraukannya lagi Lelaki tua itu melangkah dengan tenang dalam kegelapan di bawah cakrawala malam. Apa yang dikatakan Wirot benar adanya. Tempat yang ditunjukkan sungguh gelap sekali. Ia angkat tinggi-tinggi obor di tangan kanannya dan mencari jalan yang aman untuk melangkahkan kakinya. Tempat yang menyeramkan Gelap sekali, sekalipun membawa obor, nyala terangnya tidak cukup untuk mengalahkan kegelapan ujung malam yang benar-benar pekat di bawah kerimbunan pohon dan belukar. "Untuk apa Kakang Ranubhaya pergi ke tempat seperti ini malam-malam begini?" Ia perhatikan sekeliling tempat itu. Benar-benar gelap. Lalu ia melangkah menuju pohon besar di pinggang bukit Kurawan. Suasana makin gelap. Sesekali binatang-binatang kecil menyambar matanya hingga membuatnya makin rabun. Melampaui pohon rindang, Mpu Hanggareksa memperhatikan sebongkah batu besar menyerupai payung raksasa. Ia terpaku, obor ia angkat tinggi-tinggi. Tak ada gunanya, lalu ia matikan saja obor itu. Ia bersidekap, memanfaatkan aji Seipi Angin yang telah melambari tubuhnya. Kembali ia melangkah dan sesekali berhenti. Ia membalikkan badan dan pohon raksasa itu membuat bulu kuduknya berdiri. Ia hela napas dalam-dalam; ia melangkah lagi sampai di depan batu payung. Ia pejamkan mata dan kembali membuka mata lebar-lebar. Sungguh ia terpana, kagum menyaksikan suasana malam ganjil. Matanya seperti terbuka terang, seperti tersihir saat sejenak menyaksikan pemandangan malam di bawah dan sekeliling tempat itu. Sudut Kurawan di malam hari. Ada sesuatu berbalut misteri. Bukit Kurawan seperti gajah berbaring, diam dan bisu. Relung-relung lembah tampak sebagai cekungan-cekungan gelap dan hitam seperti sarang jin setan prayangan Tumbuh-tumbuhan besar kecil bagaikan makhluk-makhluk aneh yang diam bagai arca. Mengerikan dan menyeramkan. Akar gantung pohon besar itu menjulur di sana-sini seperti makhluk berbelalai. Kepak kelelewar dan decit burung hantu sesekali memecah kesunyian. Serangga malam juga semakin banyak menerjang wajahnya hingga berkali-kali terpaksa Mpu Hanggareksa mengusap wajahnya. Mpu Hanggareksa melangkah. Namun, kaki kanannya menggantung di udara ketika tiba-tiba ia mendengar kerosak suara ganjil. Mpu Hanggareksa memperhatikan ke dalam gelap. Ia menajamkan pandangannya dan dilihatnya kelebat bayangan hitam menyelinap ke dalam semak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia semakin waspada, jantungnya sedikit berdebar sebab ucapan Wirot untuk kesekian kalinya harus dibenarkan bahwa daerah sekitar itu angker dan mengerikan. Namun, dengan indera yang telah terlatih, akhirnya ia menggeram menahan marah. "Kurang ajar. Siapa kau!" Hening, sepi, senyap sekali. Bayangan hitam itu tidak menjawab pertanyaan Mpu Hanggareksa, bahkan sempat mengejutkannya dengan lompatan menerjang dan menyerangnya. Dengan bekal olah kanuragannya Mpu Hanggareksa terpaksa menggebrak dan merenggut bayangan hitam itu. Hanya dengan dua gebrakan ia berhasil mengunci penyerangnya, namun begitu gesit bayangan hitam itu mampu melepaskan diri dari renggutannya. "Jawab pertanyaanku. Kaukah hantu yang menunggu tempat ini, heh? Jawab!" Tak ada jawaban, bahkan bayangan hitam itu melesat dan menyerangnya lagi. Dengan sikutan ringan, bayangan hitam itu jatuh ke tanah.Mpu Hanggareksa tak membuangbuang waktu lagi. Ia menyergap hantu gadungan tersebut. Dijepitnya orang itu dengan tangan kirinya hingga terengah-engah menahan sakit. Diseretnya hantu gadungan bertopeng kulit kambing putih itu menuju tempat yang agak terang, lalu ia sibakkan topengnya. "Kurang ajar!" Mpu Hanggareksa terengah menahan amarah. Diempaskan hantu gadungan itu. "Bukankah kau Wirot?" dw Wirot tersungkur dan bersimpuh di hadapan Mpu Hanggareksa. Napasnya terengah dan terdengar rintihannya menahan sakit. Ia tak berani memandang tatapan mata Mpu Hanggareksa sekalipun dalam gelap dan hanya diterangi gemintang "Untung aku tidak bertindak terlalu keras padamu, Wirot! Apa maksudmu bermain hantu-hantuan begini?" Mpu Hanggareksa geram menahan amarah. Wirot gemetaran, bibirnya meliuk-liuk sebelum akhirnya menjawab, "Eh, maaf, Tuan, saya ditugaskan oleh Guru untuk menjaga tempat ini selama Guru berada di dalam sanggar pamujan," jawab Wirot dengan nada cemas ketakutan. "Ooo, begitu. Jadi, Kakang Ranubhaya sekarang sedang semadi? Nah, biarkan aku menemuinya!" kata Mpu Hanggareksa menurunkan nada bicaranya. Bagaimanapun juga ia memahami tingkah Wirot karena menanggung beban berat dari gurunya. Menjaga agar orang lain tidak mengganggu semadinya di sanggar pamujan. Sekalipun begitu Wirot masih gemetar dan menghaturkan sembah sambil memohon, "oh, jangan, Tuan. Beliau tidak bersedia menerima siapa pun kalau sedang semadi." "Aku ini sahabatnya.Masa dia menolak kehadiranku?" "Sungguh, Tuan. Guru berpesan agar tidak diganggu. Saya pun tidak berani memasuki sanggar kalau beliau sedang duduk bersila. Guru bisa marah sekali!" tukas Wirot dengan nada memohon. "Masa dia akan marah juga padaku,Wirot? Kami sudah lama tidak berjumpa. Kukira dia akan mau menerima kehadiranku. Sudahlah, kau pulang saja. Aku akan menemui Kakang Ranubhaya sekarang!" "Jangan, Tuan, jangan! Nanti saya yang kena marah Guru. Tunggu, Tuan. Tuan jangan pergi ke sana!" cegah Wirot ketika Mpu Hanggareksa memaksa malangkah menuju tempat pemujaan. Namun, kata-kata Wirot dianggap angin lalu saja, bahkan Wirot tak berdaya apa-apa ketika tubuh Mpu Hanggareksa lenyap begitu saja dari pandang matanya. Melesat, lenyap ditelan kegelapan malam. Burung malam sesekali menyenandungkan suaranya memecah keheningan Mpu Hanggareksa telah sampai di dekat sebuah batu payung. Berdiri termangu, menganggukangguk sambil menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya bicara seorang diri, "Hmm...rupanya inilah batu besar yang menyerupai payung raksasa, seperti yang dikatakan Wirot. Lalu di mana letak sanggar pamujan itu? Ahh, barangkali di balik batu ini." Mpu Hanggareksa lalu melangkah perlahan-lahan hatihati sekali memasuki bawah batu payung yang berupa gua batu. Terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari stalagmit langit-langit gua. "Ahh, tempat ini sungguh menyeramkan, tapi sangat cocok untuk berlatih memusatkan pikiran. Nah, itu rupanya Kakang Ranubhaya. Khidmat sekali duduknya. Baiklah. Aku akan membangunkannya dari semadinya." Mpu Hanggareksa melangkah mendekati Mpu Ranubhaya yang duduk tak jauh di depannya di lantai gua. "Kakang! Kakang Ranubhaya! Kakang! Ini aku yang datang. Hanggareksa, adik seperguruanmu." Namun, tanpa diduga sebelumnya tiba-tiba Mpu Ranubhaya melesat, melayang bagaikan terbang menerjang ke arah Mpu Hanggareksa hingga terjadilah benturan yang cukup dahsyat. "Kakang! Sabar. Ini Hanggareksa yang datang. Oh, Kakang Ranubhaya, tunggu!" Mpu Hanggareksa memohon agar Mpu Ranubhaya menghentikan serangannya. Mata Mpu Ranubhaya berapiapi. Ia menahan amarah karena semadinya terganggu oleh tamu yang tak diundangnya. "Apa kau manusia atau setan gentayangan yang suka mengganggu dan menggoda orang yang duduk bersila?" bentakMpu Ranubhaya penuh amarah. "Aku Hanggareksa, Kakang!" "Bukan nama yang kutanyakan. Tapi sikapmu yang tidak beradab itulah yang kusesalkan!" Mpu Ranubhaya menggertakkan gigi. "Ehh, maafkan aku, Kakang Ranubahaya. Aku ada keperluan yang sangat penting denganmu." "Keperluan apa?" suara Ranubhaya agak menurun. "Nanti akan kujelaskan sebaik-baiknya," jawab Mpu Hanggareksa bersabar. "Kau telah mengganggu aku, seperti setan gentayangan saja." Mpu Ranubhaya menghela napas dan menelan kekesalannya pada adik seperguruannya. Hatinya tergetar juga ketika melihat tatap mata sendu Hanggareksa di dalam gelap. Lalu ia undur beberapa langkah seraya mempersilakannya duduk. "Duduklah!" "Terima kasih, Kakang!" Hanggareksa pun duduk bersila di depan Mpu Ranubhaya yang juga bersila Tubuh mereka agak condong ke depan sambil menekan perasaan masingmasing. Suasana gelap gulita, sesekali cericit kelelawar dan kepak sayapnya memecah kesunyian di dalam gua tersebut. "Menurut pendapatku, ini kesempatan yang sangat berharga. Untukku dan juga untuk Kakang Ranubhaya. Prasasti Camunda adalah cerminan kebijaksanaan raja kita sekarang ini." Mpu Hanggareksa memulai percakapannya dengan sesekali tubuhnya dicondongkan ke depan ke arah Mpu Ranubhaya. "Maksudmu, aku kausuruh mengabdi pada Kertanegara?" tanya Mpu Ranubhaya keras hati. "Kita bekerja sama untuk membangun negeri ini, Kakang." "Tidak! Aku tidak akan berkhianat pada bisikan hati nuraniku," ucap Mpu Ranubhaya masih dengan kekerasan hati. "Pendirianmu itu tidak mempunyai dasar berpijak yang jelas, Kakang!" tukasMpu Hanggareksa. "Hanggareksa! Kalau selama ini aku mau bekerja sama membantumu menciptakan senjata pusaka, sama sekali itu bukan karena Kertanegara. Itu kulakukan hanyalah demi persaudaraan kita Kau adik seperguruanku. Dan aku ingat kata-kata Guru sebelum wafat, bahwa kita hendaknya bekerja bahu-membahu." "Amanat Guru memang patut kita pelihara dan laksanakan dalam kehidupan kita. Lalu mengapa Kakang Ranubhaya sekarang berubah?" "Karena kau pun kulihat semakin hari semakin berubah!" tukas Mpu Ranubhaya sengit dan tak mau kalah. "Ahh, tidak. Aku masih Hanggareksa yang dulu." "Wujud lahirmu memang tidak berubah. Tapi kehidupan batinmu yang mulai menyimpang, Hanggareksa. Kau mulai gila kehormatan, gila kedudukan dan harta. Kau mabuk kehidupan mewah dan serba gemerlap. Itulah sebabnya kau kelihatan gembira dan bangga mendapat undangan resmi dari Kertanegara," Mpu Ranubhaya mendengus. "Kukira kita pantas merasa bangga, jika mendapat perhatian secara khusus dari Raja," kata Mpu Hanggareksa. "Tidak semua orang!" Keras dan menyakitkan telinga ucapan Mpu Ranubhaya. Mpu Hanggareksa masih bersabar, katanya, "Ya. Barangkali mereka yang tinggi hati, tidak!" "Hanggareksa. Ada dua hal penting yang membuat aku tak mau membuat senjata pusaka untuk Kertanegara. Pertama, karena Kertanegara adalah keturunan Ken Arok. Kedua, karena aku tak ingin lagi melihat karyaku dilumuri darah ribuan manusia tak berdosa. Ingat itu baik-baik, Hanggareksa!" "Perasaanmu terlalu halus, Kakang Ranubhaya Kau pandai dan berbakat sekali menciptakan senjata pusaka Kau adalah murid paling berbakat di antara kami, tiga serangkai saudara seperguruan. Tapi sayang sekali watakmu terlalu keras dan mudah patah." "Aku tak mau dipaksa melakukan sesuatu yang tak kuinginkan," tukas Mpu Ranubhaya tinggi dan keras hati. "Sekalipun itu untuk keberhasilan, untuk mengabdi pada negara dan orang banyak?" "Hanggareksa! Ukuran keberhasilan bagi orang yang satu dan yang lain tidak sama. Demikian pula cara mengabdi pada negara dan masyarakat, masing-masing orang punya gayanya sendiri." Hening. Bisu. Keduanya terdiam. Hanya tetes-tetes air dari langit-langit gua yang menilai, berbicara dan berkhotbah pada keduanya, bahwa sunyi dan sepilah yang mampu menenggelamkan gelora hati dan jiwa manusia agar manusia lebih menguasai diri untuk mendapatkan beningnya perasaan. Pemahaman bahwa masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang tak mungkin dipungkiri. "Hmmm! Jadi, aku telah gagal datang kemari!" gumam Hanggareksa terimpit nada sesal yang tak tulus. "Kau telah gagal sebelum keluar dari pintu rumahmu, Hanggareksa!" Mpu Ranubhaya menukas. "Baiklah. Aku akan datang sendiri ke istana untuk memenuhi undangan Sang Prabu Tapi kalau misalnya Kakang Ranubhaya berubah pikiran, datanglah besok ke rumahku Kita berangkat bersama-sama ke Singasari untuk memperoleh penghargaan dari istana." "Berangkatlah sendiri saja, Hanggareksa. Jangan memikirkan diriku. Kita berbeda jalan." Mpu Ranubhaya bersiteguh dengan pendirian yang kokoh bagai batu karang. Ia tak mungkin mengkhianati hati nurani yang hakiki, tak akan mengabdi ke Singasari. Malam itu juga Mpu Hanggareksa kembali dengan hati kecewa bercampur rasa kebencian terhadap kakak seperguruannya. Mpu Hanggareksa merasa benar dan berkali-kali dalam hatinya menyalahkan Mpu Ranubhaya yang dianggapnya menyia-nyiakan kesempatan emas. Pagi hari ketika matahari belum begitu tinggi, Mpu Hanggareksa memanggil kedua putranya agar menghadap. Kedua putranya yang tampan dan gagah itu sangat dikasihinya. "Ayah memanggil kami berdua?" tanya Arya Dwipangga ketika sudah berdiri bersama Arya Kamandanu di depan ayahnya. "Dwipangga dan kau, Kamandanu, aku akan pergi ke Singasari bersama tuan-tuan ini Selama aku pergi kalian harus menjaga rumah Tak boleh ke mana-mana!" "Baik, Ayah!" jawab mereka. "Sebelum aku kembali kalian jangan pergi jauh-jauh " "Baik, Ayah,"jawab keduanya sambil saling melirik. Mpu Hanggareksa memandang ketiga utusan dari istana seraya berkata, "Bagaimana, Tuan Pranaraja ? Kita berangkat sekarang?" "Begitu lebih baik, Tuan Hanggareksa. Kita bisa segera tiba di Singasari," jawab Pranaraja. Mereka segera berkemas-kemas menyiapkan semua perbekalan yang diperlukan dalam perjalanan. Setelah menaikkan perbekalan ke atas punggung kuda, mereka pun segera naik ke atas kuda, meninggalkan desa Kurawan mengikuti jalan yang kemarin. Pranaraja yang mengendalikan kuda paling depan mengurangi kecepatan kudanya dengan menekankan kedua lututnya pada tubuh kuda serta menarik kekangnya ketika sampai di tempat mereka dihadang oleh perampok. Kudanya meringkik nyaring. Angin mendesau hingga gemerisik dedaunan terdengar riuh berderai "Nah, di sinilah kami dicegat dua perampok itu, Tuan! Lihat saja, pohon itu masih melintang di tengah jalan," kata Pranaraja. Sambil menunjuk pada dua pohon yang melintang di jalan. Kuda-kuda mereka berjalan beriringan. Pranaraja kemudian menceritakan para perampok itu dengan panjang lebar, ditimpali Jarawaha dan Ganggadara. Sepanjang perjalanan ia juga bercerita tentang usaha pemberontakan para pembesar Singasari yang dipecat dari kedudukannya, Raja Gelang-Gelang yang dicurigai Lembusora mendalangi kerusuhan, serta berbagai permasalahan negara yang bisa diatasi pemerintah Singasari dengan baik. "Kita tidak usah khawatir karena pemerintah Singasari selalu waspada," kata Pranaraja memandang Mpu Hanggareksa sambil tersenyum bangga Mpu Hanggareksa membalas dengan menganggukanggukkan kepala. Pranaraja masih tersenyum, lalu berkata, "Baiklah. Mari kita teruskan perjalanan, Tuan. Saya kira kita tak perlu menginap di Jasun Wungkal. Kita bisa terus berkuda sampai Rabut Carat dan menginap di sana." Pranaraja menyentakkan kendali kudanya hingga kuda itu pun menegakkan kepalanya lalu meringkik dan menghentakkan kakinya mendahului yang lain. Keempat ekor kuda itu berlari dahulu-mendahului. Semakin jauh dan semakin lenyap dari pandangan mata meninggalkan kepulan debu-debu beterbangan. dw Di tempat tinggal Mpu Hanggareksa, kedua putranya sedang duduk di barak-barak. Tampak Arya Dwipangga tersenyum-senyum sambil menyimak goresan-goresan syairnya yang tertera di rontal. Arya Kamandanu sedikit pun tak memperhatikan keasyikan kakaknya. Baru setelah Dwipangga merasa puas dengan apa yang diamatinya, ia mencolek lengan Kamandanu, "Tolong kausimak dan dengarkan syairku ini, Adi Kamandanu. Aku ingin membacanya." Kamandanu menoleh sebentar, memperhatikan Arya Dwipangga yang menghela napas dalam-dalam. Wajahnya kelihatan semakin serius. Bibir Dwipangga meliuk-liuk dan bergetar halus saat memulai membaca: Pelangi muncul di atas Kurawan Warnanya indah bukan buatan Seorang gadis ternganga keheranan Rambutnya tergerai jatuh ke pangkuan' Arya Dwipangga menghempaskan napas sambil tersenyum dan tetap memperhatikan bait-bait syairnya yang telah dibaca. Kemudian ia memandang adiknya seraya berkata lirih, "Unik. Kudapatkan suatu falsafah cinta di dalamnya. Bagaimana pendapatmu tentang syairku ini, Adi Kamandanu? Bagus tidak?" "Aku tidak tahu syair," jawab Kamandanu datar. "Kau bisa menilai kata-katanya." "Kalau tidak salah, syairmu tadi bicara tentang seorang wanita," ucap Kamandanu setelah menghela napas dan berpikir sejenak sambil mengingat-ingat syair Dwipangga Arya Dwipangga tersenyum seraya berkata, "Ya. Wanita.Wanita bagiku adalah sumber ilham untuk berbuat sesuatu. Tanpa wanita dunia ini akan terasa seperti samudera tanpa gelombang. Nah, aku mempunyai satu bait lagi Coba dengarkan Bulan tersembul di sela-sela rumput Terdengar rengek bocah minta susu Angin membelai daun-daunan Dan malam terasa semakin sunyi! "Syairmu yang ini agak lain, Kakang. Rintihan panjang sekali, hemmh, rintihan panjang!" komentar Kamandanu cepat ketika Arya Dwipangga membaca syair itu penuh perasaan dan dengan tekanan-tekanan kata menggetarkan jiwa. "Ya. Dan rintihan itu akan semakin panjang bila kita ditinggal pergi lama oleh kekasih yang kita cintai." Dwipangga diam sejenak, memandang Kamandanu lekatlekat seolah menyelidik. "Kau sudah pernah jatuh cinta, Adi Kamandanu?" tanyanya lirih. "Ehh, hmm... belum!" jawab Kamandanu gugup dan wajahnya kelihatan memerah. Dwipangga membuang muka, memandang cakrawala sambil menyunggingkan senyum penuh arti seraya bergumam nyaris tak terdengar oleh telinga adiknya, "Aneh!" Lalu kembali ia memandang adiknya dan berkata, "Tapi kuperhatikan sekarang kau berubah? Tidak seperti dulu. Kau banyak menyendiri dan kurang menyukai keramaian." "Ahh, itu sudah menjadi sifatku. Kakang Dwipangga saja kurang jeli, hingga baru melihat sekarang," tukas Kamandanu. "Jangan begitu. Kau takut aku merebut gadismu?" "Aku tidak punya gadis," jawab Kamandanu agak raguragu. "Kau ini aneh, Kamandanu. Sepertinya kau tidak mempunyai kegairahan apa-apa." Dwipangga melihat roman muka adiknya berubah, seolah-olah tidak suka diajak bicara mengenai seorang gadis. Ia mengalihkan pembicaraannya. "Kau punya cita-cita dalam hidup ini?" "Entahlah!" jawab Kamandanu masih datar Tak sedap didengar Dwipangga. Dwipangga mengerutkan dahinya lalu berusaha sedikit bijaksana. Ia mengangguk-angguk bersabar. "Kau harus banyak membaca buku ilmu pengetahuan. Belajarlah menekuni sastra, pasti suatu saat kau akan bangkit dan merasa alangkah indahnya hidup ini." "Aku merasa tidak punya bakat di bidang seni sastra," jawab Arya Kamandanu masih acuh tak acuh. "Almarhum Ibu adalah penulis sastra yang diakui oleh pemerintah Singasari di zaman Prabu Ranggawuni. Banyak tulisan beliau dipuji oleh kalangan istana. Bahkan Ibu pernah mendapat tanda penghargaan." Tiba-tiba Arya Kamandanu mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar kakaknya. Menimangnya sambil memandanginya penuh cinta. Ia tersenyum seraya berkata, "Bukankah pedang ini pemberian Ayah dulu, Kakang?" "Ya. Pedang hadiah Ayah pada saat ulang tahunku yang kedelapan belas dulu " "Sepertinya kau tidak pernah menyentuh pedang ini!" "Aku tidak membutuhkan benda itu, Kamandanu. Maka kubiarkan saja tergantung di sini." "Kau tidak tertarik sama sekali pada benda pusaka?" tanya Kamandanu. Kakaknya tersenyum, bahkan menahan tawa hingga kedua pundaknya bergerak-gerak. "Benda pusaka tidak bisa menaklukkan hati seorang wanita. Dengan pedang di tanganmu seperti itu, kau seperti seorang pendekar pilih tanding, Kamandanu!" kata Arya Dwipangga, sungguh-sungguh memperhatikan Arya Kamandanu yang memegang gagang pedang dengan cengkeraman yang sangat kukuh. Rahangnya menonjol penuh otot. Otot lengannya juga sangat kuat. Arya Kamandanu menghela napas, dadanya mengembang dengan indah. Lalu katanya, "Aku pun tidak tertarik pada benda semacam ini." "Kata Ayah, kau mempunyai bakat seorang pendekar." "Ayah hanya ingin membesarkan hatiku, Kakang!" jawab Kamandanu seraya menyarungkan pedang dan mengembalikan pada tempatnya semula. "Aku merasa belum menemukan apa yang kucari," sambungnya lirih. "Kamandanu, Bibi Rongkot tadi mencarimu. Sepertinya ada yang hendak dikatakannya padamu," Arya Dwipangga mengalihkan pembicaraan setelah ingat pesan Bibi Rongkot yang tadi mencari adiknya. Tetapi Kamandanu hanya tersenyum. Hambar sekali, bahkan sangat dingin tatapan pemuda itu. Tampaknya sangat resah dan penuh beban. Ada yang dipikirkannya, tetapi ia tidak terus terang. Ia tak mau persoalan pribadinya diketahui orang lain, sekalipun itu Ayah atauDwipangga kakaknya. "Kau harus menemui Bibi Rongkot, Adi Kamandanu," Dwipangga kembali mengingatkan adiknya yang linglung di depannya. "Ya, nanti aku akan menemuinya!" jawabnya enteng. "Aku tahu, apa yang sedang kaupikirkan, Adi Kamandanu!" pancing Dwipangga, ingin sekali agar Kamandanu mau berbagi rasa dengannya. "Oh, ya?" "Kau sedang jatuh cinta!" "Hemh, heheheheh. Kakang senang bergurau. Untuk apa memikirkan masalah itu. Apakah tak ada yang dipikirkan. Lagi pula aku belum memikirkan masalah yang kurang menarik," jawabnya sekenanya dan terdengar dimantapmantapkan. "Kakakmu, waktu jatuh cinta pertama kali, juga seperti kau saat ini. Suka menyepi, menyendiri, dan cengar-cengir sendiri. Tidak memperhatikan orang yang mengajaknya bicara. Bahkan bicara pun tak terkontrol. Berbuat ini salah, berbuat itu salah, dan memang serba salah. Pura-pura meyakinkan orang lain dengan membohongi hati dan diri sendiri." "Kakang saja beranggapan begitu. Apakah Kakang tidak pernah memperhatikan diriku sebelum ini? Heh, lucu! Sejak kecil memang aku pendiam. Lebih-lebih setelah Ibu tiada." "Bukan, bukan itu... masalahnya lain, Adi Kamandanu. Pendiam karena sifatmu, dibandingkan dengan diam, berdiam diri oleh sesuatu hal jelas bedanya. Dan kau tentu perlu ingat, bahwa aku telah mengalaminya lebih dulu!" "Kakang Dwipangga tak usah menebak-nebak. Kalau betul sih tak masalah, kalau kurang tepat?" tangkis Kamandanu. "Seorang pecinta kata-kata akan lebih jeli pandangan serta perasaannya. Ia dikaruniai Hyang Widhi kepekaan yang luar biasa. Darah dan bakat Ibu amat kuat merasuk dalam hidupku, Adi Kamandanu. Boleh kau menutup diri padaku, tetapi ada sebuah sajak yang pernah kubaca dan aku tak melupakannya. Begini syair itu, Jika kau jatuh cinta, ikutilah ke mana hatimu pergi, agar cintamu mengalir bagaikan air kali. Arya Kamandanu acuh tak acuh lalu meninggalkan kakaknya yang terkekeh sendiri karena menganggap ulah adiknya kekanak-kanakan. dw Arya Kamandanu segera menemui Bibi Rongkot, perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil. Bibi Rongkot menyampaikan salam dari seorang gadis desa Manguntur. Ia harus menemui gadis itu di suatu tempat. Dengan acuh tak acuh Kamandanu menerima salam itu, lalu ia pergi tanpa pamit pada Bibi Rongkot yang menggeleng- gelengkan kepala, menatap keper-giannya. "Huuh, anak muda di mana-mana sama. Kalau sedang jatuh cinta menjadi kalang kabut dan lupa segalanya," gerutunya sambil mengurut dada. Arya Kamandanu terus melangkah menyusuri tepian desa Kurawan, melintasi semak-semak belukar, lalu melangkah di jalan setapak yang biasa dilaluinya jika ingin bertemu dengan pujaan hatinya. Angin mendesau menerpa wajahnya. Ia berdiri tegak sambil melayangkan pandang ke segala penjuru. Lalu melangkah lagi sampai akhirnya tiba di padang ilalang yang putih lembut tampak indah berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari senja. Bergerak-gerak, menari-nari seiring irama hembusan angin. Tebaran bau harum menyapa penciuman Arya Kamandanu yang linglung seorang diri karena tak mendapatkan pujaan hatinya di tempat itu. "Ohh, Bibi telah menipu aku." Arya Kamandanu menghela napas. Tatap matanya tajam menyapu permukaan padang ilalang. Di kejauhan tampak Candi Walandit berdiri dengan megahnya bermahkotakan matahari senja yang kuning keemasan di langit perak tembaga. Awan-awan bergelombang tampak warna-warni. Berkali-kali Arya Kamandanu menghela napas. Resah dan gelisah. Ia tersenyum sendiri, kemudian melangkah lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya bergumam, "Nari Ratih. Putri Rekyan Wuru itu memang cantik sekali. Sudah tiga purnama lamanya kami bergaul dan bertemu di tepi padang ilalang ini. Tapi, entahlah, mungkinkah dia mencintaiku?" Arya Kamandanu menghempaskan napasnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Tersenyum sendiri. Di cakrawala langit, di pucuk bunga ilalang, di bingkai matahari, seiring desau angin senja, semuanya seolah-olah menyenandungkan nama indah itu, menyapa dan berbisik di telinga sanubarinya. Ia selalu membayangkan gadis itu. "Ahh, masa Bibi Rongkot berdusta. Dia tidak pernah mendustaiku " Arya Kamandanu terkejut ketika melihat sesuatu benda di dekat kakinya. "Hei? Apa ini?" pekiknya seiring jantung yang membuncah dalam rongga dadanya. Ia membungkuk memungut sesuatu. Diamatinya benda itu dengan dahi beranyam kerutan. Diciumnya benda itu. Harum. Bau minyak gaharu. "Sepertinya aku kenal benda ini. Tusuk konde yang biasa dikenakan Nari Ratih, untuk mengancing konde rambutnya yang hitam dan panjang. Tapi mengapa tusuk konde ini tergeletak di sela-sela rumpun ilalang? Ahh, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas diri gadis itu!" Arya Kamandanu bertanya-tanya dalam hatinya. Jantungnya semakin berdebar-debar tak karuan Rasa cemas, khawatir, risau menyelimuti ujung-ujung sarafnya. Dadanya turun-naik. Napasnya kian memburu. Ia pun menajamkan panca inderanya. Kemudian menimang-nimang tusuk konde itu. "Hemhh, aku harus mencarinya!" gumannya seraya melangkah mengikuti belukar ilalang rebah. "Semak belukar ini kusut, seperti bekas dilewati orang dengan semena-mena. Ohh, ada seuntai kembang melati berserakan di sini. Nari Ratih juga sering mengenakan kembang melati untuk menghias rambutnya." Arya Kamandanu tak henti berpikir. Pandangannya terangkat dengan dengusan napas seolah sesak dan amat berat. Kemudian ia layangkan pandangan matanya jauh ke depan. "Hemhh? Kalau tidak salah, di depan itu ada bangunan kuno, Candi Walandit. Jangan-jangan Nari Ratih ada di sana!" gumamnya tanpa melepaskan pandangannya ke Candi Walandit yang telah disapa temaram senja. Arya Kamandanu segera melangkah menuju bangunan kuno itu. Senja itu, suasana sangat sunyi di sekitar Candi Walandit.Belum lagi Kamandanu menginjakkan kakinya di halaman Candi Walandit, sayup-sayup sampai terdengar isak tangis seorang perempuan Ia pun berjingkat, hati-hati mendekati halaman candi. Sementara itu di dalam candi, seorang gadis cantik terduduk dengan bersimbah air mata. Kain gadis itu sedikit tersingkap hingga tampak betisnya yang kuning langsat. Di depannya berdiri seorang pemuda gagah yang hanya kelihatan punggungnya, sedang memegang pergelangan tangan kiri gadis itu. "Aku ingin membahagiakanmu, Ratih," kata pemuda itu gemetar menahan emosi. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat seolah ingin menerkamnya. Di sela isak tangisnya, gadis itu berusaha menyadarkan si pemuda. "Bagaimana kau bisa membahagiakan aku?" "Aku, Dangdi, anak Kepala Desa Manguntur. Aku punya harapan hidup serba kecukupan, karena orang tuaku cukup kaya. Kalau kau mau menjadi istriku, kau akan senang dan bahagia." "Tidak, aku tidak mau." "Ratih. Banyak gadis lain yang mendambakan menjadi istriku. Mereka juga cantik dan bahkan ada yang anak orang terpandang. Akil bisa memilih salah satu di antara mereka " "Kalau begitu pilih saja. Apa susahnya? Mengapa kau masih mengganggu aku?" "Yah, itulah. Walaupun gadis-gadis itu cantik, tapi Nari Ratih, anak Rekyan Wuru, jauh lebih cantik. Karena itu aku memilih kau, Ratih. Aku berjanji akan menjadi seorang suami yang baik, kau tidak akan menyesal. Percayalah." "Dangdi, kau tidak perlu berjanji apa-apa, karena aku tidak bersedia menjadi istrimu." "Ratih! Kau jangan membuat hatiku panas." "Tentu saja hatimu panas, karena kau menginginkan yang tidak-tidak." "Ratih, aku sudah lama sekali mengenalmu. Sejak kau masih kecil sampai sekarang menjadi kembang desa Manguntur. Apa kau tidak pernah merasakan getaran perasaanku, Ratih?" nada suara Dangdi menurun dan mencoba bersabar. "Dangdi. Sejak dulu kita bersahabat Dan sampai sekarang pun masih tetap bersahabat. Jangan kaukotori persahabatan kita dengan perbuatanmu seperti ini!" "Aku ingin hubungan kita lebih dari sekadar persahabatan." "Tidak bisa. Aku tidak bisa meluluskan permintaanmu itu, Dangdi. Lebih baik kau segera berpaling pada gadis lain," kukuh dan ketus sekali gadis itu menjawab desakan pemuda yang semakin tak sabar itu. Dalam hatinya Dangdi semakin menggelegak perasaan kesal dan cemburu. Giginya gemeretak. Rahangnya tampak menonjol kukuh. Tatap matanya getir dan bola matanya berkaca-kaca, membuat pandangannya sedikit berkunangkunang. Wajah cantik yang memberengut di depannya semakin memudar, pegangan tangannya semakin mengendur hingga kesempatan bagus itu tak disia-siakan oleh gadis itu. Ia tepiskan tangan pemuda itu, bangkit dan berusaha melepaskan diri dari kurungan tangan pemuda itu dengan dinding candi. Namun, tindakannya itu membuat pemuda itu bertambah nekat. Direngkuhnya tubuh gadis itu. Pinggangnya dikunci dengan kedua tangannya Tatapan mata pemuda itu berapi-api, detak jantungnya menggemuruh antara marah, cinta, benci, sayang, dan menggelegaknya hawa nafsu. Gadis itu meronta dan berusaha keras melepaskan diri sambil memukul-mukul perut dan dada pemuda itu. Namun, pemuda itu tetap berdiri kukuh. Tersenyum penuh kemenangan sambil memperkuat jalinan jemari kedua tangannya yang mengunci dan memeluk pinggang ramping gadis itu. Semakin gencar gadis itu memukuli dada pemuda itu dengan kedua tangannya. Tetapi ia tak mungkin dilepaskan oleh pemuda tampan yang merasa kecewa sebab ditolak cintanya. Pemuda gagah berotot itu mencibir dan tersenyum sinis pada gadis di depannya. Gadis itu melengos. "Bwaahh! Semua menjadi rusak gara-gara anak tukang membuat senjata itu. Sejak kehadiran Kamandanu sikapmu padaku berubah," rutuknya setelah gadis jelita dalam dekapannya kehabisan tenaga memukulinya. "Arya Kamandanu seorang pemuda yang baik. Aku akan menerima dan bersahabat dengan siapa saja yang hatinya mulia," tukas gadis itu tanpa memandang wajah pemuda yang berwatak kasar itu Pemuda itu bisa merasakan hangat dengus dan desah napas gadis di depannya. Perasaannya sudah tak karuan. "Jadi, kau mencintainya, Ratih?" "Itu rahasia pribadiku Kau tidak berhak mengetahuinya. Kau tak perlu ikut campur " "Huuh. Apa kelebihan Kamandanu? Aku yakin, kau tidak akan bahagia hidup bersamanya. Kamandanu hanya anak seorang tukang besi." "Dangdi, mengapa kau ikut campur urusan kebahagiaan seseorang? Harta benda, pangkat, dan kedudukan seseorang tidak menjamin kebahagiaan." "Rupanya kau sudah termakan rayuan pemuda Kurawan itu, ya?" "Itu pun bukan urusanmu!" tukas gadis itu cepat. Ia berusaha melepaskan diri dengan mencakar lengan pemuda yang merengkuhnya Namun hal itu tak membuat jera pemuda nekat yang sudah tergila-gila itu. "Jadi, kau tetap menolak cintaku, Ratih?" "Dengan cara halus pun kau tak bisa menarik hatiku, apalagi dengan cara kasar" Dangdi semakin geram, nyaris lenyap kesadarannya hingga suaranya terdengar parau. Matanya membara, penuh ancaman pada gadis jelita yang makin tak berkutik dalam rengkuhan-nya. "Dengar, Nari Ratih. Tak ada seorang pun di bangunan tua ini kecuali kita berdua. Kalau sampai aku berbuat kasar padamu, tak akan ada yang tahu." "Dangdi, tak kuduga anak seorang kepala desa sekotor itu perangainya. Ingat, kau harus membawa nama baik orang tuamu." Ada nada ketakutan tercekat di tenggorokan gadis itu. "Persetan! Kau jangan menasihati aku. Lebih baik kau menerima ajakanku ini dengan sukarela. Sebab kalau tidak...!" Pemuda itu tak melanjutkan kata-katanya. Tatap matanya kotor pada gadis cantik yang tak berkutik bagai kelinci dalam cengkeraman serigala. Gadis itu bertambah ketakutan. Sesekali ia mencuri pandang kemudian melengos kembali karena pemuda itu terus menatapnya dengan menjijikkan. Bahkan rengkuhannya semakin ketat. Gadis itu gemetaran. Jemari kedua tangan pemuda itu mulai berbicara. Merayap dan mengelus bagian belakang pinggangnya. Terus mengusapnya sekalipun ia meronta dan berusaha melepaskan diri. Gadis itu semakin cemas. Suaranya tertahan ketika hendak menjerit, "Dangdi... lepaskan... kau hina... kau kotor... kau tak pantas jadi anak kepala desa!" gadis itu merasa sudah berteriak lantang, namun kenyataannya suara itu tersekat di tenggorokannya. Pemuda tinggi besar itu tersenyum nakal. Diam membisu seribu bahasa. Hanya jemarinya yang bicara semakin gencar, terus menyerang gadis dalam rengkuhannya dengan mengusap, membelai, meraba, meremas, merayap bagai cicak. "Lepaskan!" pekik gadis yang semakin terperangkap dalam dekapan anak kepala desa Manguntur itu. Napas pemuda yang mendekapnya pun semakin memburu. Kedua wajah insan beda jenis kelamin itu nyaris bersentuhan, hanya napas sebagai pembatasnya Pemuda yang dimabuk cinta itu semakin kerasukan setan. Tak sabar tangan kirinya meremas ujung kain yang dikenakan kembang desa itu. Ditarik dan dihempaskannya kuat-kuat. Terdengarlah kain robek seiring jeritan gadis itu. "Biadab, binatang!" pekik gadis itu sambil terus merontaronta mengerahkan seluruh sisa tenaganya. Ia sangat lemas, tak mampu berbuat apa-apa dalam rengkuhan pemuda beringas yang benar-benar ingin memaksanya. "Ayoh, suruh datang Kamandanu ke tempat ini. Panggillah dia. Biar melihat gadisnya kubikin malu." "Bunuhlah aku, Dangdi. Ohhh... tolong... ehh... tolong!" jerit gadis itu ketika pemuda Manguntur itu semakin buas bagai binatang. Plak! Sekali tamparan mendarat di pipi gadis jelita itu. Pada saat itulah ia sadar dan merapatkan bibirnya ke lengan pemuda yang merengkuhnya. Ia gigit sekuat-kuatnya hingga pemuda itu terkejut "Aduuh... adduuhh... kurang ajar! Setan betina. Kubunuh kau!" Pemuda itu tidak jadi memukul, tetapi semakin erat memeluk, lalu merapatkan tubuhnya, merunduk, bibirnya menjelajahi leher jenjang kuning langsat gadis itu. Tangannya semakin nakal. Ia tak peduli dengan amukan gadis dalam rengkuhannya yang makin melemah. Napasnya memburu birahi. Tubuh gadis itu makin menggigil, wajahnya memucat seperti langit senja yang ditinggalkan matahari. Di bangunan kuno, pada sudut CandiWalandit, gadis itu benar-benar di ambang kritis, tak mampu memberikan perlawanan berarti. Gadis itu memejamkan matanya, napasnya terengah-engah. Ia melawan dengan sisa-sisa tenaganya. Terasa asin dan amis tatkala kulit lengan pemuda itu mengelupas akibat gigitannya. Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan tanpa disadari oleh pemuda beringas itu. Bayangan itu langsung mencecarnya dengan gebrakan dahsyat hingga rengkuhannya terlepas. Mata pemuda itu jelalatan Merah karena marah sebab tak mampu merenggut gadis yang sudah luluh dalam pelukannya. Sekali tendang lawan yang tak diundang itu membuatnya terpelanting dan membentur dinding Candi Walandit. Pelipisnya terasa perih, berdarah. Kemudian ia mundur beberapa langkah sambil memasang kuda-kuda. Mencoba menenangkan hati dan pikiran serta berkonsentrasi penuh. Duel seru kedua pemuda itu tak bisa dihindari lagi.Mereka saling mendelikkan matanya. "Oh, Kakang. Untung kau segera datang!" bisik gadis itu mencari perlindungan di balik punggung pahlawannya. "Kau tidak apa-apa, Ratih?" "Dia... bermaksud tidak senonoh padaku, Kakang." Gadis itu berlindung dan memegang lengan kekasih hatinya. Dangdi semakin beringas. Bibirnya mencibir melangkah mendekati pelindung gadis yang sangat diinginkannya itu. "Kebetulan sekali kau datang, Kamandanu. Mari kita selesaikan persoalan ini secara jantan," tantang Dangdi dengan gigi gemeretuk. Kedua tangannya mengepal menahan amarah yang memuncak sampai ke ubunubunnya. Dengus napasnya seperti babi hutan terluka. Arya Kamandanu tersenyum dan mencoba bersabar "Tidak perlu," jawabnya lirih. "Mengapa, kau takut?" bentak Dangdi kasar dan parau. "Kalau takut aku tidak datang ke tempat ini, Dangdi." "Nah, kalau begitu mari kita bertempur untuk memperebutkan gadis itu. Kita sama-sama lelaki. Kita selesaikan secara ksatria." "Bagaimana kau bisa bersikap ksatria kalau kau membawa lari seorang gadis, dan bermaksud tidak senonoh di tempat sepi begini?" jawab Arya Kamandanu sambil memegang jemari Nari Ratih yang masih menggigil gemetaran. "Cukup. Tutup sajalah mulutmu. Kalau kau takut melawan Dangdi, pulanglah. Dan biarkan Nari Ratih bersamaku di sini," penuh ejekan Dangdi menghardik Arya Kamandanu. "Dan membiarkan kau merusak kehormatannya, menodai kesuciannya?" "Jangan merasa dirimu paling bersih, Kamandanu!" "Setidak-tidaknya aku tifiak sekotor Dangdi, anak kepala desa Manguntur," ucap Arya Kamandanu tenang, tetapi sangat pedas di telingaDangdi. Serta merta pemuda itu habis kesabarannya. Ia melompat dan menerjang Arya Kamandanu. Arya Kamandanu berkelit menghindar hingga kakinya membentur dinding candi. Nari Ratih menepi dengan wajah pucat pasi. Dangdi semakin tak sabar. Emosinya memuncak karena serangannya meleset. Arya Kamandanu tersenyum, tetapi waspada menjaga segala kemungkinan. Mereka saling pandang. Saling menghardik. Keduanya memasang kuda-kuda. Sama-sama menunggu. Dangdi ragu-ragu melihat Arya Kamandanu tampak lebih mantap. "Kamandanu! Mari kita mencari tempat yang lapang untuk berlaga," tantang Dangdi untuk menyembunyikan keragu-raguannya. Ia menarik kaki kanannya. Berdiri tegak dengan tatap mata bengis, marah dan berpijar. "Aku lebih senang menyelesaikan persoalan ini secara baik, bukan dengan kekerasan. Kau anak kepala desa. Tentunya kau lebih memahami tata krama yang berlaku dalam masyarakat. Jangan berbuat liar seperti kambing hutan," ledek Arya Kamandanu. Diejek seperti itu Dangdi mendengus kasar. Maju selangkah dengan kedua tangannya yang berotot itu mengepal keras. Bibirnya bergetar hebat meredam marah. "Tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini selain berkelahi. Nah, aku menantangmu, Kamandanu. Ayo, keluar, di halaman candi ini lebih leluasa untuk saling menghantam," tantang Dangdi dengan wajah semakin bengis. "Kalau itu kemauanmu, akan kulayani tentanganmu, Dangdi!" Kedua pemuda itu akhirnya melangkah menuju halaman Candi Walandit yang cukup luas. Keduanya saling meremehkan dan saling meredam darah muda. Nari Ratih gemetaran lalu berlari kecil menghampiri Arya Kamandanu. Ia berbisik pada kekasihnya, "Ohh, hatihati, Kakang. Dia licik. Curang!" "Kau melihat dari kejauhan saja, Ratih. Jangan mendekat!" pinta Arya Kamandanu lembut dan menepuk pundak gadis itu. Gadis itu mengangguk. Lalu ia menyingkir, berdiri di dekat dinding candi dengan hati berdebar-debar melihat wajah Dangdi berapi-api, yang terlihat semakin galak ditimpa matahari senja yang merah darah. Matahari di ufuk barat pun seolah-olah tak berani melihat mereka. Ia bersembunyi di antara gumpalan awan yang lamban sekali didera angin. Cuaca di cakrawala langit tampak semakin muram. Arya Kamandanu maupun Dangdi sudah siap untuk berlaga.Mereka siap bertarung. "Nah, Kamandanu. Bersiaplah. Kau akan segera merasakan kepalan tanganku ini. Hiiiiiaaaaa....!" .Dangdi menggebrak dengan sekali serangan. Tangannya mengepal dan dijotoskan kuat-kuat ke dagu Arya Kamandanu. Kakinya menyepak perut Tetapi begitu lincah Arya Kamandanu menghindar dan berkelit. Hanya dengan mencondongkan tubuhnya ke samping kiri ia bisa terhindar dari gebrakan sambal Dangdi yang kurang perhitungan. Dangdi meringis dan semakin penasaran. Membabi buta ia menyerang Arya Kamandanu. Pukulan yang semrawut, asal tendang, asal tonjok, tak pernah mengenai lawannya. Sementara Arya Kamandanu berusaha melayani dengan baik sambil sesekali memberikan serangan balasan. Halaman Candi Walandit, yang kanan kirinya banyak ditumbuhi tanaman liar itu menjadi arena pertarungan dua anak muda. Sementara di undak-undakan, di tangga Candi Walandit, seorang gadis melihat jalannya pertarungan sambil sekali waktu menggigit bibirnya yang merah jambu. Mulutnya ternganga ketika melihat Dangdi melompat mundur dengan berkacak pinggang sementara napasnya ngos-ngosan. Jengkel sekali melihat Arya Kamandanu yang belum sungguh-sungguh menghadapinya. "Ayo, Kamandanu. Kau ganti menyerang! Jangan hanya bermain loncat-loncatan seperti bajing kurang makan!" "Baiklah. Akan kuturuti permintaanmu, Dangdi." Arya Kamandanu, sekalipun tidak bisa dikatakan pendekar, tapi paling sedikit pernah belajar ilmu kanuragan dari Mpu Hanggareksa. Ia benar-benar menyerang dengan gebrakan yang tidak diduga oleh Dangdi. Seranganserangan berbahaya harus dihadapi Dangdi. Hantaman keras dari tangan mengepal kembali merobek pelipisnya hingga darah segar mengalir deras di wajah Dangdi. Dangdi melompat mundur beberapa tindak, sedangkan Arya Kamandanu hanya tersenyum tidak meneruskan gempurannya. Tangan kanan Dangdi meraba pipi dan pelipisnya lalu dipandanginya telapak tangannya penuh darah. "Ehhh, kau telah memukul pelipisku, Kamandanu. Ehh...." Napasnya memburu, pandangan matanya makin liar dan geram. "Sudahlah, Dangdi. Kita akhiri saja percekcokan kita hingga di sini," rendah hati Arya Kamandanu memberi saran pada lawannya yang tak menyadari kelemahannya. Tetapi Dangdi tak mau menyerah begitu saja. Ia tak mau dibuat malu di depan mata Nari Ratih yang tetap mengikuti jalannya pertarungan dari tangga candi. "Tidak. Kau sudah melukai aku, Kamandanu. Aku harus mengadakan pembalasan!" Sebelum mengakhiri ucapannya, tangan kanan Dangdi meraba gagang pedang yang terselip di pinggang. Dengan kasar ia cabut pedang dari sarungnya hingga menimbulkan suara berdencing. Ia tersenyum menyeringai pada Arya Kamandanu yang mundur beberapa tindak. "Sarungkan kembali pedangmu. Mengapa kau sampai menghunus senjata tajam? Ingat. Senjata tajam bisa menumpahkan darah," Arya Kamandanu masih memberikan peringatan pada Dangdi yang tampak semakin kalap dan tak bisa mengendalikan diri lagi. "Aku tidak peduli. Darahku atau darahmu akan segera tumpah untuk menjadi saksi peristiwa ini " "Dangdi Jangan memaksaku bertindak terlalu jauh." "Kau pengecut. Penakut! Hiaaaaaa... hiaaa....!" Dangdi tak sabar, menerjang sambil menebaskan pedangnya yang sangat tajam berkilat-kilat. Ia ingin merobek-robek Arya Kamandanu yang lincah berkelit, melompat dan menangkis. Nyaris ujung pedang menyabet leher Kamandanu jika pemuda itu tidak menarik sedikit ke belakang. Satu tendangan bersarang pada tubuh Kamandanu Bahkan sabetan pedang Dangdi yang amat kuat dan tak terarah, sempat membuat pakaian Arya Kamandanu koyak. Sambil melompat menghindar Arya Kamandanu membentak, "Dangdi! Kalau kau masih nekat menyerang, jangan salahkan aku bila kau cedera!" "Hentikan! Mengapa kalian mau saling membunuh begini?" keluh Nari Ratih setengah merintih dan menjerit. "Apakah kalian tidak malu pada orang-orang? Dangdi, apakah kau tidak kasihan melihat orang tuamu? Dia seorang kepala desa yang dihormati. Dia tentu akan terpukul sekali kalau sampai anaknya berbuat onar!" Nari Ratih tidak bisa tinggal diam. Ia semakin benci melihat tampang Dangdi yang tak tahu aturan. Dengan kesal Dangdi menyarungkan pedangnya kembali, memandang Nari Ratih tajam sekali, lalu beralih pada Arya Kamandanu. Sebal sekali ia pada Arya Kamandanu yang merampas pujaan hatinya. Lebih-lebih Nari Ratih tampak sangat mencintai Arya Kamandanu Gadis itu berpegangan pada lengan Arya Kamandanu begitu mesranya sambil memandangnya lalu melengos sebal. Dangdi geram. Gerahamnya mengeras dan terdengar giginya gemeretuk memendam amarah yang kian memuncak. Benih dendam menjalar dalam lubuk hatinya, penuh amarah dan kebencian ia menghardik Arya Kamandanu. "Huuuhh. Aku tidak akan melupakannya, Kamandanu. Luka di pelipisku ini harus kaubayar kembali. Harus kaubayar lebih mahal." Dangdi segera membalikkan tubuh dan melangkah pergi berlalu dari hadapan Arya Kamandanu dan Nari Ratih. Kedua muda-mudi itu sejenak saling pandang. Lalu kembali mengawasi Dangdi yang telah lenyap di semaksemak dan rerungkutan Jantung mereka semakin berdetak memburu, cemas dan khawatir menyusup di hati dan pikiran mereka. Nari Ratih kembali mengamati Arya Kamandanu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ada luka memar, ada bekas sabetan pada kain yang koyak. Keringat Arya Kamandanu berleleran membasahi seluruh tubuhnya. "Kau tak apa-apa, Kakang?" ada nada cemas meluncur dari bibir mungil itu, ada rasa kasih, ada rasa cinta yang menggeletar hebat Arya Kamandanu tersenyum lembut, membalas tatapan kekasih hatinya. "Tidak, Ratih. Aku tidak apa-apa," jawabnya lirih. Bangga. "Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang. 96 Kalau Kakang tidak segera datang, entahlah apa yang akan terjadi atas diriku ini Dangdi mengerikan sekali." "Sudahlah. Lupakan saja. Dangdi sudah pergi dan tak akan mengganggumu lagi," hibur Kamandanu. Tetap tersenyum dan tatap matanya menyembunyikan pijar asmara yang membara di dada. Nari Ratih menghindari tatapan itu dengan senyuman malu-malu. Pipinya memerah dan ada sungging senyum di bibirnya. Ia memandang cakrawala langit yang kian meredup, lalu berusaha mengalihkan perhatian kekasih hatinya. "Dari mana Kakang tahu aku ada di Candi Walandit ini?" tanyanya lirih sambil terus memandangi langit senja temaram. "Kau mengirim pesan melalui Bibi Rongkot?" tanya Arya Kamandanu sambil melangkah mendekati Ratih yang membelakanginya. "Oh, ya, aku menitipkan salam pada pembantumu itu. Aku menunggu di tepi padang ilalang. Baru saja duduk, tiba-tiba Dangdi datang menggodaku, lalu memaksaku pergi ke tempat ini," tutur Nari Ratih dengan sedih. Matanya berkaca-kaca karena takut Arya Kamandanu tidak percaya dengan penuturan dan ceritanya. Arya Kamandanu tersenyum. Berusaha bijaksana menghadapi orang yang menjadi tambatan hatinya selama ini. "Aku juga datang ke tepi padang ilalang. Mendadak aku menemukan tusuk konde ini." Arya Kamandanu mencabut tusuk konde itu dari timangnya, dan menyerahkan pada Nari Ratih yang menyambutnya dengan tangan gemetaran. "Ahh, ini tusuk kondeku, Kakang. Mungkin terjatuh waktu Dangdi mengejar aku." Langit kian redup dibalut senja. Tirai gerimis meluncur dari langit, titik-titik airnya menerpa kulit kedua mudamudi itu.Mereka serentak memandang langit. "Ohh, celaka. Rupanya gerimis sudah turun, Ratih!" "Ya, Kakang. Mendung tebal sekali di angkasa " "Mari, kita masuk ke ruangan candi. Gerimis makin deras dan angin bertiup kencang." Arya Kamandanu minta agar Nari Ratih berjalan agak cepat.Mereka menuju dalam bangunan candi dan berteduh di sana dari guyuran air hujan yang semakin deras. Kilat berkali-kali menjilat langit. Lidah-lidahnya terjulur dari langit barat sampai langit timur diiringi pekikan petir menggelegar dan sambar menyambar. Nari Ratih menggigil kedinginan lalu ia melirik ke arah Arya Kamandanu yang masih ragu-ragu meraihnya. Mereka hanya sedikit menggeser posisi berdiri hingga agak merapat. Dengan demikian, mereka bisa sedikit mendapatkan kehangatan. Arya Kamandanu sebetulnya memperhatikan Nari Ratih dari ujung kaki sampai ke ujung rambut sekalipun tidak terang-terangan. Matanya sedikit terbeliak ketika melihat sesuatu yang tidak beres pada Nari Ratih, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. "Pakaianmu terkoyak, Ratih?" Nari Ratih tersentak dan wajahnya merona merah karena malu "Ehh, iya, Kakang. Dangdi... Dangdi sungguh kurang ajar. Dia mau membuatku malu," jawabnya terbata dan merasa tak enak hati. Ia berusaha membetulkan kainnya yang terkoyak dan sedikit tersingkap, menutupinya dengan telapak tangan kirinya lalu mencuri-curi pandang pada Arya Kamandanu yang enggan melihatnya. "Kelihatannya dia tergila-gila padamu. Dan karena kau tidak menanggapinya, dia nekat," tutur Kamandanu tanpa memandang Nari Ratih sekalipun ia sangat perhatian pada gadis yang selama ini menghiasi hari-hari dalam hidupnya. Dipandangnya derai air hujan yang bening mengucur dari wajah langit yang masih dihiasi oleh awan-awan kelabu. "Aku benci melihat laki-laki seperti Dangdi. Dia sok kaya dan sok berani. Buktinya dia tidak mampu menandingi Kakang Kamandanu!" Entah mengapa Nari Ratih tak melanjutkan bicaranya. Sebaliknya ia mengerutkan dahi. Memandang ke cakrawala langit. Lama sekali. Ia hela napas dalam-dalam, lalu bibirnya mendesahkan suatu makna kekaguman dari kisikisi hati seorang dara yang sedang mekar. "Ohh... Kakang Kamandanu Lihatlah di sana, Kakang...." "Hemhh!" Arya Kamandanu tersenyum dan melirik Nari Ratih yang menepuk lengannya. "Ada pelangi di sebelah sana!" "Aku sudah melihatnya sejak tadi, Ratih." "Mengapa Kakang diam saja? Mengapa tidak memberi tahu aku? Ahh, aku tahu. Kakang Kamandanu sudah bosan melihat pelangi bukan?" Nari Ratih memandang Arya Kamandanu, lalu beralih pada cakrawala langit yang berhiaskan dewangga busur Sang Pencipta. Warna-warni hiasan langit. Warna pelangi yang menyentuh hati setiap insan yang melihatnya. Untuk kemudian mengucapkan puji syukur ke hadirat Sang Maha Esa. Mereka diam. Hening. Hanya rinai gerimis yang terdengar bagai alunan kidung buana raya. Merdu, menjentik-jentik telinga, menyentil-nyentil sanubari, lalu menyusup ke sukma kedua muda-mudi itu. Tangan Kamandanu terulur, tanpa memandang Nari Ratih, ia remas dengan lembut jemari gadis itu, lalu ia berbisik seperti pada dirinya sendiri, "Pelangi itu indah sekali, Ratih. Tapi...," "Tapi apa, Kakang?" tukas Nari Ratih ingin segera tahu apa yang ingin dikatakan Kamandanu Arya Kamandanu mengetahui keresahan gadisnya, mungkin seresah hatinya. Ia hela napas sedalam-dalamnya lalu memandang mata sayu dara di sisinya. "Pelangi itu indah sekali, tapi aku dibuatnya kesal Aku benci," rutuk Kamandanu sangat dalam. "Mengapa?" "Karena aku tak mungkin menggenggamnya. Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan saja," jelas Kamandanu lirih seraya mempererat jalinan jemarinya pada jemari Nari Ratih yang dirasakannya sangat lembut dan halus. Mer«£ - tarkan hati nuraninya yang makin terkulai dalam dekapan dewa asmara. "Kalau Kakang ingin menggenggam pelangi, Kakang harus dapat menjerat leher burung garuda. Nah, Kakang lalu naik di punggung burung raksasa itu, terbang ke angkasa!" "Itu mustahil." "Bisa saja. Kakang jangan putus asa," tukas Nari Ratih meyakinkan Arya Kamandanu yang makin terperosok pada lubang-lubang cinta yang tak dimengertinya. Sementara Nari Ratih pun masih meraba-raba sejauh mana pemuda gagah dan tampan di dekatnya itu mengetahui perasaannya. Arya Kamandanu menghela napas, lalu melangkah setindak, berpaling pada Nari Ratih dan kembali memandang pelangi di batas cakrawala. "Tidak, Ratih. Pelangi itu terlampau jauh Terlampau indah tapi mustahil kumiliki untuk selamanya. Kau tidak percaya? Sebentar lagi dia lenyap. Akan lenyap begitu saja." "Kakang cepat berputus asa. Kasihan nasib pelangi itu kalau sampai harus lenyap begitu saja. Seharusnya Kakang berusaha untuk menggenggamnya dalam tanganmu yang perkasa itu," cepat dan lugas Nari Ratih menukas dengan kalimat panjang Jemari mereka berurai. Jatuh menggelantung di udara. Sekalipun permukaan kulit keduanya sangat dingin, namun sebenarnya di dalamnya menggelegak bagai kawah Candradimuka yang panas bergejolak oleh amukan bara cinta. Sejenak mereka diam. Arya Kamandanu mendenguskan napasnya dan sejenak melirik Nari Ratih yang berharapharap cemas tentang apa yang hendak dikatakan pemuda di dekatnya. "Sudahlah, mengapa bicara kita jadi ngelantur ke sana kemari?" Arya Kamandanu mengalihkan perhatiannya. Angin berdesir, menyapa kulit, mencubit tulang dan menjilat sungsum. Nari Ratih bersidekap karena merinding oleh udara senja yang makin dingin, sementara di langit bias pelangi pelan-pelan memudar dan menipis. Gigi gadis itu gemeretuk lalu bibirnya gemetar mendesis-desis menahan dingin. "Kakang, aku kedinginan sekali," bisiknya mesra keluar dari bibir mungil yang kini tampak pucat dan mengusut oleh dinginnya udara. "Di sini banyak angin. Yuk, pindah ke sebelah sana, merapat ke dinding batu," jawab Arya Kamandanu sambil menggiring Nari Ratih. Tetapi gadis itu tak bergeming. Sebaliknya, hendak duduk di dekat Kamandanu. "Ahh, aku mau duduk di sini saja. Dekat denganmu supaya hangat. Kau juga dingin, Kakang?" "Aku sudah terbiasa melawan udara dingin, Ratih," dingin sekali jawaban itu. Sedingin udara senja itu. Nari Ratih tersentak dan di dadanya menggeletar perasaan cemas, takut jika pemuda di dekatnya tak menaruh hati padanya. Tidak sungguh-sungguh memperhatikannya, sekalipun mereka selalu mengadakan pertemuan di padang ilalang untuk menikmati indahnya panorama alam di Kurawan. Mereka selalu bersama, namun tak pernah menyinggung masalah yang amat manis tapi rumit. "Kakang Kamandanu, apakah kau tidak tahu bahwa aku mencintaimu? Mengapa kau tidak bisa membaca isi hatiku?" bisik Nari Ratih. "Nari Ratih. Aku mencintaimu. Tapi aku ragu-ragu. Aku bimbang. Jangan-jangan aku bertepuk sebelah tangan?" bisik hati Arya Kamandanu. Mereka sama-sama diam, hanya bahasa hati yang berkata-kata tentang suatu rasa, rasa yang menyusup dalam hati nurani paling dalam bagi insan yang telah tertusuk duri-duri cinta. Mereka duduk mendekap lutut masing-masing sibuk dengan ucapan khayal dengan memandangi pelangi yang hampir memudar di cakrawala Lama mereka saling menunggu. "Bagaimana perasaanmu, Kakang?" pancing Nari Ratih. Arya Kamandanu terkejut dan tidak siap mendengar pertanyaan gadis di dekatnya. "Hemh, apa maksudmu, Ratih?" gagap dan gugup. Pernyataan bodoh itu terlontar begitu saja dari kerongkongannya Arya Kamandanu menghela napas dan memandang Nari Ratih lalu membuang muka, takut perasaannya diketahui gadis itu. "Kau senang kita berada di tempat seperti ini?" "Hemh... yaa! Tapi kita tidak boleh terlalu lama berada di sini. Nanti kau ditunggu-tunggu orang tuamu." Mendengar jawaban pemuda tampan di sampingnya, Nari Ratih terhenyak, nyaris tak percaya dengan apa yang dikatakan Arya Kamandanu "Kakang Kamandanu, mengapa kau tidak mau berterus terang padaku? Katakanlah bahwa kau mencintai Nari Ratih, dan diriku ini akan menjadi milikmu selamanya," bisik hati gadis itu. "Ratih. Aku memang pengecut. Entahlah mengapa aku pengecut seperti ini. Apakah aku terlalu tinggi hati?" bisik hati Kamandanu. Kembali keduanya menyelusup dalam jurang-jurang diam. Membisu beberapa saat lamanya. Hening. Hanya desau angin senja. Hanya sisa-sisa gerimis yang merinai. Seiring dengan hening dan sunyinya suasana di dalam Candi Walandit tersebut, tangan Nari Ratih merayap perlahan. Lembut bagai air yang merembes pada dinding kapur. Ingin sekali kembali berjalinan tangan dengan pemuda yang sangat dikasihinya. Ia melirik kemudian menatap malu-malu kucing dan lirih sekali berbisik, "Coba genggamlah tanganku ini, Kakang. Bukankah dingin sekali seperti air telaga di puncak gunung? Ayo Kakang, genggamlah tanganku. Apakah bibirku membiru karena dingin? Katakanlah, Kakang." Arya Kamandanu berdebar-debar, jantungnya seperti mau lepas. Perasaannya sungguh tak menentu sebab pada suasana seperti itu bukannya keyakinan, tetapi keraguan lebih kuat meng- , hempaskan keinginan hatinya pada sudut-sudut gelap rindunya. "Ohh, aku gemetar. Aku menggigil bukan karena udara dingin. Tangan Nari Ratih sangat halus. Seperti tangan Dewi Supraba dari kayangan. Dan pandangan matanya sangat lembut," bisik hati Arya Kamandanu. "Kakang, mengapa kau tidak mau duduk merapat padaku?" Terlalu lemah bisikan Nari Ratih sehingga Arya Kamandanu kurang memperhatikannya. Bahkan ia semakin merenggangkan duduknya. "Nari Ratih, kau pasti hanya akan mempermainkan aku. Kau cantik. Banyak pemuda yang mengincarmu untuk dijadikan istri," bisik hati keraguan pemuda itu makin kuat hingga ia tenggelam dalam lamunan panjang. Semakin tak mempeduli-kan gadis cantik jelita yang meremas jemarinya. "Mengapa kau malah menggeser, Kakang? Kau tidak senang duduk bersamaku?" tanya Nari Ratih penasaran. Tetapi yang ditanya tetap memandang ke cakrawala langit yang berhias pelangi pudar. "Kau seperti pelangi itu, Ratih. Indah dan rupawan. Tapi bagiku hanya bisa dinikmati dari kejauhan," bisik hati Arya Kamandanu. Nari Ratih menjadi kesal hatinya. Dahinya berkerut dan memandang sekilas pemuda di sisinya yang tak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan-nya. Dengan risau hati, menahan malu, ia buru-buru bangkit tanpa mau memandang Arya Kamandanu yang tersentak dari lamunannya "Baiklah. Mungkin kau tidak senang padaku. Atau bahkan kau membenci aku. Kalau begitu aku pergi saja," katanya menahan isak dan melangkah pergi. "Ratih!" "Aku mau pulang." Arya Kamandanu terkejut begitu Nari Ratih mengibaskan tangannya. Dan dia lebih terkejut lagi ketika melihat gadis itu melompat ke dalam rinai hujan. Sebentar kemudian mereka berdua sudah kejar-kejaran dalam cucuran air hujan. Nari Ratih tidak mempedulikan panggilan Arya Kamandanu yang terus mengejar dan ketinggalan jauh di belakang. Nari Ratih menerjang dan menghempas padang ilalang. Sesekali timbul dan tenggelam lagi di tengah semak. Arya Kamandanu cemas sekali. Ia terus mengejarnya sambil sesekali mendongakkan kepalanya agar bisa mengetahui lewat mana Nari Ratih menembus padang ilalang dan rinai hujan. Napas Nari Ratih sudah terengah-engah. Hatinya hancur berkeping-keping karena merasa diremehkan oleh pemuda yang selama ini dimimpikannya. Dingin dan menyebalkan. Arya Kamandanu menganggap dirinya murahan. Tak lebih dari Dangdi. Ia berlari, terus berlari tanpa mau menoleh ke belakang. Di kejauhan Arya Kamandanu semakin memperkencang larinya agar bisa menyusulnya. Hatinya berdebar-debar. Ketakutan, cemas, terhina, atau entah perasaan apalagi berbaur menjadi satu dalam hatinya.

Bersambung……….


TUTUR TINULAR 2 Cinta Yang Terkoyak Hak Cipta © Buanergis Muryono & S.Tidjab Di tulis ulang oleh : Awy Doank

Karena merasa kurang diperhatikan Nari Ratih menjadi tersinggung- Dia kesal dan kecewa. Dia berharap Arya Kamandanu mencurahkan isi hatinya, namun harapannya itu tak pernah menjadi kenyataan. Arya Kamandanu yang pemalu dan peragu bahkan berusaha menghindari kata-kata cinta. Akhirnya, Nari Ratih mengibaskan tangannya dan melompat ke halaman candi. "Ratih! Ratih! Mau ke mana kau Ratih?" seru Arya Kamandanu terhenyak ketika melihat Nari Ratih berlari menembus deras air hujan. "Pulang!" "Tunggu! Apa salahku, Ratih? Apa salahku?" "Tanya pada dirimu sendiri, Kakang!" "Ratiiihh! Tunggu! Tungguuu, Ratih! Jangan tinggalkan aku!" Mereka kejar-kejaran menembus padang ilalang di bawah guyuran air hujan. Napas Nari Ratih terengahengah. Sesekali menoleh ke belakang takut Arya Kamandanu dapat menyusul dan menangkapnya. Ia tidak peduli kakinya yang mulus tergores rumpun ilalang yang cukup tajam. Sementara Arya Kamandanu seperti bangun dari lamunan, kesetanan mengejar dara jelita itu Dalam hatinya ada rasa penyesalan karena meragukan cinta gadis itu. Nari Ratih terus berlari sambil menutup kedua telinganya ketika suara petir menggelegar dan menyambar pohon kelapa. Kilat pun menjilat-jilat mengerikan di langit yang kian menghitam. Karena langkah Arya Kamandanu jauh lebih lebar dan cepat, akhirnya ia berhasil menyusul Nari Ratih, ia tangkap pundak gadis itu dan ia hadang di depannya. Dengan napas terengah ia coba menahan gadis pujaan hatinya,"Ratih!" Nari Ratih menghindar dan mendera Arya Kamandanu sambil berusaha meninggalkan pemuda itu,"Jangan mengikuti aku. Aku bisa pulang sendiri, Kakang!" Arya kamandanu tak mau kalah, ia tetap menghalangi Nari Ratih agar tidak berlari lagi. Apalagi di sisi kanan Nari Ratih terdapat jurang yang dalam, sedangkan padang ilalang di sisi kiri Nari Ratih tidak mungkin ia terabas karena terlalu lebat. Napas keduanya terengah-engah "Apa salahku? Mengapa tiba-tiba kau membenci aku, Ratih?" "Aku tidak membenci siapa-siapa. Aku membenci diriku sendiri." "Marilah kita berteduh! Jangan hujan-hujanan, nanti kau sakit, Ratih!" "Biar saja sakit " "Jangan begitu Ratih. Kukira kita hanya salah paham. Baiklah aku minta maaf kalau memang kau anggap ada sikapku yang telah menyakiti hatimu." "Sudahlah, Kakang! Lupakan saja. Sebaiknya Kakang pulang saja, jangan ikuti aku lagi " "Ratih! Lihatlah, pelangi itu masih ada di sana." "Pelangi itu sebentar lagi akan lenyap." "Tapi besok pelangi itu akan muncul lagi, kita masih bisa menikmatinya berulang kali " "Aku tidak tertarik lagi melihat pelangi. Kalau kau masih terpesona padanya, lihat saja sendiri Bagiku pelangi itu membosankan, tidak indah lagi seperti dulu. Nah, aku pergi, Kakang!" "Tunggu, Ratih!" "Awas, Kakang! Kalau Kakang mendekati aku, maka aku akan melompat ke dalam jurang " Ancaman Nari Ratih tidak sembarangan. dengan berkata demikian ia melangkah beberapa tindak ke samping kanan mendekati bibir jurang Arya Kamandanu terperangah dengan kenekatan Nari Ratih. Gadis itu tidak main-main Kini ia berusaha menahan diri dan mengalah. Ia biarkan Nari Ratih meninggalkannya. Gadis itu langsung berlari begitu mendapat jalan Arya Kamandanu baru berjalan dan berlari kecil jauh di belakang Nari Ratih, ia memperlambat kejarannya, kemudian berhenti agak jauh dari Nari Ratih yang menghentikan langkahnya di tepi jurang ketika tahu Arya Kamandanu terus membuntuti Napas mereka terengah-engah. Arya Kamandanu sangat cemas. Hatinya berdebar-debar, khawatir sekali jika Nari Ratih benar-benar nekad. Untuk itu ia hanya bisa memandanginya dengan wajah sendu. Sedih sekali penuh penyesalan. Dalam hatinya ia berbisik, "Ratih, mengapa jadi begini? Rupanya kau benar-benar tersinggung. Kau marah dan membenci aku. Baiklah! Aku memang pantas kaubenci. Aku sama sekali tak berharga di depanmu." Melihat Arya Kamandanu bengong dan hanya menatapnya dari jauh serta tidak berusaha mengejarnya lagi, maka Nari Ratih berseru, "Kita berpisah sampai di sini, Kakang! Selamat tinggal! Kau jangan menemui aku lagi!" selanjutnya gadis jelita itu terus berlari menyusuri bibir tebing. Rambutnya yang basah terurai panjang melekat pada kulitnya yang kuning langsat. Ia terus berlari sambil memegangi kainnya yang terkoyak. Arya Kamandanu hanya dapat memandangi kepergian gadis itu yang semakin jauh dan akhirnya hilang di balik semak. Dalam hatinya merutuk seiring getar bibirnya yang makin biru karena kedinginan diguyur air hujan, "Ohh, mengapa pengalamanku seperti bait syair yang ditulis Kakang Dwipangga? Sakit sekali rasanya. Suatu derita panjang di malam yang dingin dan kelam. Arya Kamandanu mengepalkan kedua tangannya, menghela napas dalam-dalam untuk memerangi rasa dingin yang menggigit. Ia terhenyak dan tergagap teringat kekasihnya, "Ratih! Di mana Ratih? Ohh, dia sudah pergi. Kasihan Nari Ratih Aku akan mengikutinya dari kejauhan. Aku takut sesuatu akan menimpa gadis itu di jalan." Baru selesai bergumam terdengar guntur menghajar langit hitam. Arya Kamandanu merunduk sambil menutupi kedua telinganya, baru kemudian ia melompat menyusul ke arah perginya Nari Ratih yang sudah jauh dari pandang matanya. Bahkan ia tidak melihat bayangan gadis itu lagi karena cuaca semakin buruk. Hujan bertambah deras. Arya Kamandanu terus berlari menyusuri bibir tebing yang makin licin. Kakinya sudah kotor oleh lumpur. Arya Kamandanu meraup wajahnya yang kuyu, mengerjap-ngerjapkan matanya yang perih kemasukan air hujan. Ia berhenti sambil berusaha memandang Nari Ratih yang sudah jauh dari hadapannya. Seperti bola hitam tersembul dan tenggelam dipermainmainkan gelombang. Demikianlah Nari Ratih kadang muncul kadang lenyap dari pandangan Arya Kamandanu. "Nekad sekali gadis itu. Dia terus berlari dalam hujan. Tapi untung tidak terjadi apa-apa. Aku khawatir dia tibatiba sakit dan jatuh pingsan. Akh, mengapa aku berhenti di sini? Aku harus mengikuti Nari Ratih* Aku harus melihat dia tiba dengan selamat di rumahnya." Tersadar dari bengongnya Arya Kamandanu kembali melompat, berlari sekencang-kencangnya mengejar gadis cantik pujaan hatinya. Setelah beberapa saat lamanya kejar-kejaran dalam cucuran air hujan, akhirnya dua insan itu pun menghentikan langkahnya. Nari Ratih menengok ke belakang sekilas sebelum memasuki pekarangan rumahnya. Arya Kamandanu buru-buru menyembunyikan wajahnya di balik daun-daun talas di seberang jalan. Pemuda desa Kurawan itu menarik napas panjang setelah melihat gadis yang dicintainya masuk ke rumah. "Syukurlah. Dia selamat sampai di rumahnya. Ohh, Ratih. Mengapa kau mengajakku berkejar-kejaran dalam hujan lebat?" Arya Kamandanu geleng-geleng kepala lalu memukul jidatnya dengan tangan kanannya. Ia tertawa sekalipun perih. Tawa masghul lelaki yang kecewa. Kembali ia pandangi rumah Nari Ratih yang telah tertutup, "Apakah perangai setiap gadis memang begitu? Kadangkala sukar dimengerti. Atau barangkali aku yang terlalu bodoh memahami perasaan seorang wanita?" Arya Kamandanu bingung, ragu-ragu dengan apa yang hendak dilakukannya. Pemuda tampan itu memandang langit. Masih berhias awan-awan kelabu. Kedua tangannya mengembang menadah ke langit sambil tersenyum sendiri di antara tanaman talas, "Ahh, hujan sudah berhenti. Aku harus segera pulang." * Arya Kamandanu segera melangkah, masih menoleh ke pintu rumah Nari Ratih yang terkunci rapat. Dengan gontai ia berjalan menuju desa Kurawan. Sekali-sekali dia terpaksa melompati genangan air di sepanjang jalan. Suatu saat ia berhenti, lalu wajahnya tengadah ke angkasa yang masih diselimuti mendung kian menebal. "Pelangi itu sudah lenyap. Hanya tinggal kehampaan menghitam di langit. Ke manakah perginya pelangi itu? Ke manakah harus kucari keindahan dalam hidup ini?" gumamnya seraya melanjutkan langkahnya meninggalkan perbatasan desa Manguntur. Mendadak di sebuah tikungan jalan muncul tiga orang pemuda menghadangnya. "Hemmhh, pemuda-pemuda brengsek!" gumamnya geram sambil bersiaga menghadapi segala kemungkinan buruk. "Nah, kita bertemu lagi, Kamandanu!" "Kau jangan mengajakku ribut lagi, Dangdi." Anak kepala desa Manguntur itu semakin mendekati Arya Kamandanu dengan senyuman sinis. Kedua tangannya bertolak-pinggang "Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan membalas pukulanmu di pelipis kiriku ini?" "Dan untuk itu kau merasa perlu membawa dua orang temanmu itu?" hardik Arya Kamandanu. "Kau ingin berkenalan dengan mereka?" Dangdi makin sinis dan menjelaskan pada Arya Kamandanu dengan gerakan dagunya,"Yang berdiri di samping kananku ini Jaruju, anak desa Manguntur Selatan. Sedang di sebelah kiriku, Balawi, anak desa Tumangkar." "Diakah yang kaukatakan itu, Dangdi?" tanya pemuda di samping kanan Dangdi. Nada suaranya meremehkan Arya Kamandanu. Dangdi mengangguk dengan mantap dengan senyuman sinisnya. "Jadi, kau yang bernama Arya Kamandanu, anak desa Kurawan?" geramsekali Balawi menyambung. "Benar, aku Kamandanu." "Kau jangan sombong, Kamandanu. Mentang-mentang ayahmu seorang ahli senjata pusaka, lalu kau berani sok jago," Jaruju dengan suara parau mencoba menyudutkan Arya Kamandanu. "Kalian berdua disuruh oleh anak Kepala Desa Manguntur itu?" tanya Arya Kamandanu dengan datar tetapi mantap. Hal itu membuat Balawi mendelik dan menghardik, "Kurang ajar! Lidahmu tajam! Pantas Dangdi menaruh dendam padamu." "Kami disuruh apa oleh Dangdi, bukan urusanmu. Kau sudah menyakiti orang, dan sekarang kau akan disakiti pula oleh orang lain!" tukas Jaruju dengan suara semakin parau. "Aku tahu kalian bertiga sengaja menghadang aku untuk membuat keributan baru Kalian mau mengeroyok aku." "Jika sudah tahu apa kau bermaksud melarikan diri?" cemooh Balawi sambil bertolak pinggang dan giginya gemeretuk. Cercaan itu disambut dengan tawa panjang Dangdi seraya melangkah lebih dekat pada Arya Kamandanu yang berdiri tegak setengah memasang kudakuda mengingat ketiga pemuda itu ingin mengeroyoknya. Dangdi menyipitkan matanya, memoncongkan bibir seraya mengejek Arya Kamandanu, "Hahahah, kau boleh berlari, tapi sebelumnya kami bertiga akan membuatmu babak-belur lebih dahulu. Ayo Jaruju, Balawi, kita mulai! Hiaaaattt!" Mereka bertiga langsung saja menerjang dan menendang. Kaki mereka menghajar Arya Kamandanu tanpa ampun. Dalam gebrakan pertama Arya Kamandanu terjengkang dan jatuh terhempas di lumpur. Pakaiannya yang masih basah bertambah belepotan. Ia menyangga tubuhnya dengan kedua sikunya. Napasnya turun naik menahan emosi. "Kau licik, Dangdi!" Kamandanu menyeka lumpur yang mengotori sebagian wajahnya. "Hahahahaha." Dangdi dan kedua kawannya terbahak panjang, "Ayo bangkitlah anak pande besi! Atau kau lebih senang berkubang dalam lumpur itu?" "Kau licik, hanya berani main keroyok!" tukas Arya Kamandanu berusaha bangkit. "Diam kau tikus comberan! Kami tidak akan berhenti sampai di sini. Bukankah sudah kukatakan bahwa luka di pelipisku ini harus kaubayar lebih mahal! Ayo, Jaruju, Balawi, kita mulai lagi!" Kembali mereka menghajar Arya Kamandanu tanpa ampun sebelum dia bangkit dari lumpur. Beberapa pukulan dan tendangan telah menghantam tubuh Kamandanu sekalipun ia berusaha mengelak. "Ouhh, aku akan membalas perbuatan kalian ini! Oukhhhh!" ancamnya masih terduduk di lumpur. "Hahahahah! Apa yang dia katakan itu, Jaruju?" "Katanya dia mau membalas." "Kalau mau membalas cepat bangun dan hadapilah kami bertiga! Hahahahahah..." Balawi menyahut disambung dengan tawa cemooh Mulutnya terbuka lebar dan matanya jelalatan. Tanpa diduga oleh mereka bertiga, Arya Kamandanu bangkit dan melompat memberikan suatu perlawanan. Ia menerjang, menendang dan menjotos Balawi, lalu Jaruju juga mendapat bagian, sedangkan Dangdi berusaha berlindung di balik kedua temannya. Arya Kamandanu membabi-buta. Perkelahian semakin sengit. Baku hantam yang kurang terkontrol membuat para pemuda itu harus menanggung risiko babak belur. Arya Kamandanu wajahnya memar-memar, bengkak membiru karena pukulan Balawi yang amat keras. Balawi pelipisnya robek, hidungnya mengeluarkan darah oleh sapuan tendangan Arya Kamandanu. Demikian juga Jaruju, matanya sebelah kanan memerah dan membengkak bahkan mulai kelihatan biru keunguan oleh jotosan mentah Arya Kamandanu. Dangdi sendiri bibirnya belepotan darah dan retak. Pelipisnya pun kembali mengucurkan darah karena terkena tendangan ulang Arya Kamandanu. Sekalipun langit makin gelap, mereka masih saling menantang. Tapi Dangdi menarik kedua kawannya, mereka meninggalkan Arya Kamandanu sendirian dengan wajah penuh lebam. Malam merayap dan berkabut akibat hujan masih merinai. Arya Kamandanu meninggalkan tempat perkelahian dengan sempoyongan. Perih, pedih, pegal-linu di sekujur tubuhnya. Tiba-tiba ia merasakan dingin dan menggigil. Tidak lama setelah ketiga musuhnya berlalu ia terhuyung dan pingsan di pinggir jalan.Matanya berkunang dan suasana makin gelap. Pada malam itu, hanya nyanyian serangga malam terdengar di sana-sini. Kesunyian yang makin mencekam menyelimuti kediaman Rekyan Wuru. Terdengar suara batuk-batuk seorang perempuan muda. Perempuan cantik itu duduk di balai-balai dengan menahan dadanya dengan tangan kirinya. Matanya berair dan memerah, sedangkan hidungnya kembang kempis. Ia menahan tangis. Seorang lelaki setengah baya menghampirinya dengan mengerutkan dahi, "Apa kataku, Ratih. Kalau kau hujan-hujanan, batukmu pasti kambuh. Kau sudah besar. Sudah perawan. Seharusnya bisa menjaga kesehatanmu sendiri." "Air asemnya masih, Ayah? Terasa gatal sekali kerongkonganku." Lelaki setengah baya itu membalikkan tubuhnya dan meraih sebuah mangkuk, kemudian mengaduk-aduk air dalam mangkuk tersebut hingga terdengar kelutik-kelutik. Ia ulurkan mangkuk berisi air asem garam kepada putrinya, "Dari mana saja kau tadi siang? Palastri, temanmu itu sampai dua kali ke rumah mencarimu," ucapnya lirih setelah gadis cantik itu menerima mangkuk dan menyeruput sekali tenggak hingga tinggal ampasnya saja pada dasar mangkuk di tangannya. "Saya mencari daun untuk obat pemerah kuku, Ayah." "Ke mana kau mencarinya?" "Ke Kurawan." "Jauh sekali? Daun seperti itu kan banyak di rumah Kepala Desa?Minta saja sama anaknya." "Ahh, tidak, Ayah. Aku tidak senang bertemu anak Kepala Desa itu." "Mengapa? Apa dia masih suka menggodamu?" "Dia selalu menggodaku setiap bertemu. Kadangkala dia keterlaluan sekali, sampai aku malu." Rekyan Wuru tersenyum seraya meraih mangkuk dari tangan putrinya, lalu katanya, "Itu biasa, Ratih. Kau sudah perawan. Dan wajahmu cantik. Karena itu tidak heran banyak yang menggodamu. Tapi kau harus berhati-hati. Kalau tidak senang pada seseorang, jangan terlalu menyakiti hatinya." "Ya, Ayah." Kembali Nari Ratih terbatuk-batuk dan menahan dadanya, kemudian meraba lehernya yang jenjang dan kuning langsat itu dengan tangan kirinya. "Sudahlah. Tidur saja. Kalau kau membutuhkan sesuatu panggil Ayah di ruang tamu." Lelaki setengah baya itu segera melangkah pergi dan hati-hati sekali menutup pintu bilik putri-nya.Terdengar derit pintu seperti meringis memecah kesunyian. Diam seorang diri membuat gadis ayu itu kembali teringat pada seraut wajah tampan, dengan senyumannya yang polos. Pemalu dan peragu tetapi jantan. Kadang sorot mata pemuda itu terlalu aneh di depan matanya. "Kakang Kamandanu mengapa sikapnya aneh begitu? Ia sangat dingin padaku. Apakah dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Aku seorang wanita. Bagi seorang wanita pantang untuk mengutarakan cinta lebih dahulu. Tapi mengapa Kakang Kamandanu masih berdiam diri saat bersamaku, aku di depannya. Bahkan...? Ahh, jangan-jangan dia sudah mempunyai pilihan gadis yang lain. Ohh, betapa malunya. Betapa hinanya kalau ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Lebih baik aku bunuh diri daripada harus menanggung malu seperti itu." Kembali Nari Ratih terbatuk-batuk. Dara jelita itu wajahnya bertambah kusut ketika butir-butir bening meluncur di kedua pipinya. Tampak meluncur indah, perak keemasan butiran air mata itu memantulkan cahaya lampu minyak di kamarnya yang temaram. Ia gigit bibirnya yang merah jambu memucat. Perih, seperih luka hatinya yang tergores oleh pisau cinta. Jeritan serangga malam seolah-olah menyenandungkan balada dukanya. Malam kian merayap dan berselimut kepekatan. Langit berawan kian tebal dan menghitam membungkus pelitapelita angkasa. Dalam kesunyian itu terdengar lengkingan buluh perindu yang ditiup seseorang. Melengking merayap ke langit dan meraba buana sukma. Sementara itu, di wisma Mpu Hanggareksa seorang perempuan tua tampak duduk gelisah di biliknya. Sudah beberapa saat lamanya tembakau susurnya dibiarkan terselip di antara kedua bibir keriputnya tanpa bergerak. Tatap matanya menerawang kosong. Seorang pemuda tinggi besar dan tampan perlahan-lahan menghampirinya dari samping dan menyapanya,"Ada apa kau ini, Bi Rongkot? Dari tadi kuperhatikan Bibi tampak gelisah." "Angger Kamandanu!" "Kenapa dia?" "Belum pulang juga. Ini kan sudah malam, Ngger?" "Dia bukan anak kecil lagi, Bi. Dia bisa menjaga diri!" "Soalnya tidak biasa Angger Kamandanu pulang larut malam begini." "Nanti juga dia pulang. Barangkali berkunjung ke rumah teman karibnya." Dwipangga begitu enteng menanggapi kegelisahan Bi Rongkot. Baru selesai berkata, mereka mendengar suara pintu digaruk-garuk dari luar. Bibi Rongkot dan Arya Dwipangga saling berpandangan penuh tanda Tanya. "Suara apa itu, Ngger Dwipangga?" bisik Bi Rongkot ketakutan. "Coba kaulihat, Bi! Sekarang banyak anjing liar berkeliaran masuk ke desa Kurawan. Kadang-kala mereka mencuri ayam atau anak kambing. Coba lihat, Bi!" suruh Arya Dwipangga pada perempuan itu, dia sendiri bersiaga dengan meraih sepotong kayu di dekatnya. "Baik, Ngger." Perempuan tua itu lalu menuju pintu yang masih digaruk-garuk dari luar Hati-hati sekali perempuan tua itu membuka palang pintu. Sementara Arya Dwipangga makin siaga penuh dengan tongkatnya. Pada saat pintu dilepas palangnya, perempuan tua itu setengah melompat dan terpekik suaranya Ia sangat terkejut ketika melihat apa yang terhempas di depannya. "Ohh, Ngger! Angger Dwipangga! Kemari cepat, Ngger. Aduuuh, bagaimana ini?" Bibi Rongkot mencoba memberikan pertolongan pada tubuh yang terkulai di kakinya. Arya Dwipangga membuang tongkat dan menghampiri perempuan tua itu sambil mengerutkan dahi setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Haaah?" mata Arya Dwipangga terbeliak ketika memperhatikan tubuh adiknya seperti babi hutan habis berkubang di lumpur. Dari kaki sampai rambutnya tidak ada yang bersih, semua berbalut Lumpur. "Angger Kamandanu... ohh, hidungmu berdarah, matamu bengkak membiru " Bibi Rongkot meratap. "Agaknya ia baru saja berkelahi dengan seseorang. Ayo, Bi, kita angkat ke dalam." "Ayo, Ngger, hati-hati, pelan-pelan saja." Bibi Rongkot dan Arya Dwipangga menggotong tubuh Arya Kamandanu yang sudah tak berdaya. Tubuh Arya Kamandanu belepotan lumpur dalam kondisi memprihatinkan. Napasnya satu-satu dan menggeram terus menerus seperti orang kesurupan. Mereka membaringkan tubuh lunglai itu pada balai-balai yang terbuat dari kayu jati, bergala-gala bambu yang dilapukkan, beralaskan tikar pandan Bibi Rongkot dengan cekatan mengelap tubuh Arya Kamandanu dengan lap yang sebelumnya dibasahi dengan air bersih. Malam kian merayap. Di kejauhan terdengar lolong anjing hutan yang berkeliaran. Di wajah perempuan tua itu tergambar rasa duka yang amat dalam memperhatikan jejaka yang terbaring dengan tangan terlipat di dada dan terus menggigil. Tiga lembar kain selimut penutup tubuhnya tidak mampu mengatasi demam yang melanda dirinya. Mata pemuda itu terpejam, bengkak sekepal tangan, memar dan makin menghitam akibat pukulan keras. Bibirnya ungu kebiruan, menebal dan retak-retak. Dengan punggung tangan kanannya perempuan tua itu meraba dahi pemuda itu. "Panas sekali," gumamnya seraya membetulkan letak selimut. Ia pun duduk di tepi pembaringan sambil memijat-mijat kaki pemuda yang tak berdaya itu. Tubuh Arya Kamandanu makin gemetaran. Bibirnya bergetar mendesiskan sesuatu yang kurang jelas di telinga perempuan tua yang sangat setia menungguinya. "Hhhhh, hhh. Nari Ratih..., Nari Ratih... Hhhh, Nari Ratih. Angin bertiup kencang... masuklah ke dalam candi, Ratih. Nanti kau sakit... Hhhhhh...." "Ngger! Angger Kamandanu!" "Hhhh, dingin sekali " Tanpa terasa butiran bening menggelincir di kedua pipi keriput perempuan itu. Hidungnya kembang-kempis. Lalu dengan tangan kirinya ia menyeka air mata dan ingus yang keluar. Dalam hatinya ia meratap, "Kasihan sekali, Angger Kamandanu. Agaknya ia sedang mengalami derita asmara yang cukup parah. Dia menyebut-nyebut Nari Ratih. Apa sebenarnya yang telah terjadi di antara mereka? Apakah Nari Ratih telah mengecewakannya?" "Bagaimana, Bi?" tanya Arya Dwipangga setelah membersihkan diri sendiri akibat terkena lumpur dari tubuh dan pakaian Arya Kamandanu "Dia sudah sadar kembali, Ngger." "Bagaimana dengan luka-lukanya?" "Lukanya sebenarnya tidak terlalu parah, Ngger. Hanya sepertinya dia mengalami guncangan batin yang berat. Itulah yang membuat luka-lukanya terasa agak parah." "Pelipisnya, dekat mata kirinya itu seperti hangus. Seperti bekas kena pukulan yang keras sekali." "Sudah saya boreh dengan param, Ngger. Besok pagi tentu akan berkurang rasa sakitnya." Perempuan tua itu bangkit, kemudian memberikan tempat pada pemuda tampan yang ingin duduk di sisi pembaringan adiknya. "Adi Kamandanu? Bagaimana rasanya?" "Dangdi? Kau Dangdi? Mau apa kau datang kemari? Kalau kau menginginkan Nari Ratih, pergilah ke rumahnya. Nari Ratih tidak bersamaku lagi. Hubungan kami sudah terputus." "Adi Kamandanu? Aku bukanDangdi." "Ya, Ngger. Ini Angger Dwipangga." "Kau Dangdi! Anak Kepala Desa Manguntur. Kaulah yang ingin merebut Nari Ratih dari tanganku. Ayo... rebutlah! Ambillah dari tanganku yang perkasa ini!" "Sudah, Ngger; sudah! Lebih baik Angger Dwipangga jangan di sini. Angger Kamandanu belum pulih kesadarannya." "Baiklah. Nanti kalau ada apa-apa panggillah aku, Bi!" "Ya, Ngger!" Arya Dwipangga mundur beberapa langkah, matanya masih memperhatikan adiknya yang terbaring di pembaringan dengan tangan menggapai-gapai. Bahkan mengepalkan tangan sekalipun matanya masih terpejam. Bibirnya menggumamkan suara yang tidak jelas. Mendesis. Menggeram, melenguh, sehingga perempuan tua yang menungguinya semakin sedih dan cemas. "Ngger! Angger Kamandanu!" "Hhhhhh Aaaaahhhh!" bersama pekikan terlepas, pemuda itu kembali tak sadarkan diri. Tubuhnya lemas dan menggigil sekalipun suhu badannya sangat panas. Perempuan tua itu mengulurkan tangan kanannya, mengusap lembut kening Arya Kamandanu dengan bibir meliuk-liuk dan hidung kembang kempis. Matanya terasa panas karena tidak mampu membendung air mata yang meluncur di kedua pipinya yang mengisut. "Ohh, Ngger Kamandanu. Mengapa begini? Angger seorang laki-laki, tidak boleh berjiwa lemah. Angger harus tabah menghadapi peristiwa yang seperti apa pun pahitnya." Perempuan itu sangat sayang kepada Arya Kamandanu seperti anaknya sendiri. Semalam suntuk ia meringkuk di sisi Arya Kamandanu Tidak bisa tidur sebab pemuda itu setiap saat merintih dan mengigau tak menentu seperti burung cocak hijau yang terus berkicau sekalipun kepalanya bersembunyi di balik bulu-bulunya yang lembut. Di ufuk timur sang surya merekah dengan tebaran cahaya dewangga menebar di cakrawala langit. Kabutkabut masih menghiasi pucuk-pucuk pepohonan. Kicauan burung dan jeritan unggas liar menyongsong sang pagi Kepak sayapnya meruntuhkan butir-butir embun dan dedaunan. Air sungai nan bening mengalir menyusuri lekuk-liku dan relung-relungnya. Gemericik suaranya menerjang batu-batu hitam besar, kecil yang menghiasi sungaiManguntur. Dua orang perawan berkain kebaya sedang merendam diri sambil mengucek-ucek pakaian di atas sebuah batu hitam. Sesaat mereka hanya diam sambil menikmati gemericik air, desau angin dan kicauan unggas liar yang berloncatan dan beterbangan di pepohonan kanan kiri sungai Manguntur. Salah seorang perawan itu melirik sahabatnya dengan dahi berkerut. "Ratih, matamu kok merah sekali? Kau habis menangis?" "Tidak, Palastri. Semalam aku kurang tidur," jawab gadis cantik bermata sembab tanpa menoleh pada sahabatnya. "Kenapa?" "Tidak apa-apa. Aku memang biasa begitu kok." "Akh, kau bohong. Aku kan sahabat karibmu, Ratih. Mengapa masih kaubohongi juga?" "Sudahlah, jangan bicara soal itu lagi, Palastri." "Ada apa dengan pemuda Kurawan itu?" "Tidak ada apa-apa. Kau ini kok mendesak terus?" "Katakan saja, Ratih! Terus terang saja. Siapa tahu aku bisa meringankan beban batinmu? Kata orang, sahabat yang baik bisa membuat hati kita tenang dan gembira. Ayolah, Ratih! Katakan saja kalau kau mengalami sesuatu." "Tidak, Palastri. Aku tidak mengalami apa-apa kok." "Kau masih sering bertemu dengan pemuda itu?" "Masih." "Apakah dia telah menyakiti hatimu?" "Tidak. Tidak pernah. Arya Kamandanu orangnya baik. Dia tidak pernah menyakiti hatiku Sudahlah, Palastri. Aku harus segera pulang." "Tunggu, Ratih! Tunggu!" teriak Palastri. Namun, Nari Ratih tidak menghiraukan Palastri lagi. Gadis cantik itu segera memasukkan pakaian yang telah dicuci ke dalam tenggok*). Ia segera bangkit dan menggendong tenggok itu meninggalkan sahabatnya yang terpaku dibuatnya. Palastri menggeleng-gelengkan kepala sambil memandangi Nari Ratih yang berlalu. Kainnya melekat pada tubuh yang sangat indah itu. Kedua pinggulnya bergoyang-goyang bagaikan dua bola beradu.

  • )tenggok adalah sebuah keranjang yang terbuat dari

bambu dengan anyaman rapat. Palastri menghela napas, kemudian kembali mengucek pakaiannya yang penghabisan sambil menggumam, "Aneh sekali. Pasti telah terjadi sesuatu dengan Kamandanu. Aku harus menolong Nari Ratih." Buru-buru sekali ia menyelesaikan pekerjaannya dan segera mengangkat tenggoknya tanpa mempedulikan kainnya yang melekat tersingkap hingga pahanya yang mulus kelihatan. Pakaian yang basah memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang sempurna dengan lekuk-lekuknya. Dadanya padat berisi bergerak turun naik di saat ia mempercepat langkahnya. Bibirnya yang mungil tampak sedikit memucat karena terlalu lama berendam di air. Rambutnya disanggul asalasalan. Beberapa helai jatuh di dahinya bagai bulan separoh. Matanya berbinar-binar berhias bulu-bulu lentik. Hidungnya bangir sesuai dengan bibirnya yang mungil. Perawan Manguntur itu terus melangkah, ingin mengejar sahabatnya.

Luka-luka Arya Kamandanu sudah agak sembuh karena perawatan Bibi Rongkot yang tekun dan cermat.Wanita tua yang sabar itu telah mengobatinya dengan ramuan daunan yang ditumbuk halus, lalu diborehkan ke atas luka. Pagi itu Arya Kamandanu sudah bangun dan tampak lebih segar. Baru saja dia menyelesaikan sarapan bubur santan, Arya Dwipangga menghampirinya dan duduk di sebelahnya dengan sikap hati-hati. "Adi Kamandanu, kelihatannya gadis Manguntur itu amat berkesan di hatimu." "Bagaimana kau tahu?" "Tentu saja aku tahu. Bi Rongkot juga mendengar ketika kau mengigau, memanggil-manggil nama gadis itu." Arya Kamandanu tidak segera menjawab. Ia lirik kakaknya dengan kesal. Ia hirup udara serasa berat sekalipun pagi itu angin semilir membawa bau harum kembang-kembang hutan. Arya Kamandanu mendesah, kesal sekali, "Sudahlah, Kakang Dwipangga. Jangan mengajakku bicara soal itu." "Kau mencintainya, bukan?" "Kakang Dwipangga. Aku tidak mau bicara soal itu!" tajam dan keras sekali Arya Kamandanu setengah membentak. Arya Dwipangga tersenyum sambil melangkah beberapa tindak kemudian memandang adiknya. "Adi Kamandanu. Aku bermaksud baik. Mengapa kau tidak bersikap terbuka padaku?" "Itu persoalan pribadiku. Untuk apa Kakang ikut campur?" Arya Dwipangga mengerutkan dahinya dan makin saksama memperhatikan adiknya yang wajahnya masih berhias lebam-lebam ungu, biru kehitaman. "Jadi, kau tidak percaya pada saudara tuamu sendiri?" "Aku bisa menyelesaikannya sendiri." "Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tapi ketahuilah, persoalan wanita sangat rumit. Bagi yang belum pengalaman, menghadapi wanita sama halnya menghadapi fatamorgana, menghadapi suatu misteri kehidupan yang penuh kabut rahasia Kau bisa melihatnya tapi tidak bakal menjamahnya. Dia seperti duduk di balik kaca yang bening. Dia tersenyum padamu, tapi ketika kau berusaha memeluknya maka kau akan membentur kaca itu." "Aku memang tidak mempunyai pengalaman soal wanita." "Nah, untuk memecahkan persoalanmu itu kau membutuhkan seorang yang mengerti tentang wanita. Kecuali kau ingin Nari Ratih pergi dari sisimu untuk selama-lamanya." "Aku malu, Kakang. Mengapa menghadapi persoalan remeh ini harus minta tolong pada orang lain? Mengapa tidak bisa mengatasi sendiri?" "Adi Kamandanu. Kau keliru. Persoalan wanita bukan persoalan yang remeh." Arya Dwipangga menghentikan nasihatnya, kemudian beringsut lebih dekat duduk di sisi adiknya. "Baiklah. Dengar, aku akan bacakan satu bait syair yang ikut mengubah jalannya sejarah pemerintahan di Tumapel." Arya Dwipangga bangkit. Ia keluarkan sepotong rontal dan kantong ikat pinggangnya kemudian membaca syair itu dengan penuh perasaan. Kerling matamu lebih dahsyat dari gelombang tujuh samudera Dan senyummu sanggup menggetarkan seluruh isi dunia Apa artinya si Arok anak desa? Arya Dwipangga tersenyum dan kembali duduk di samping adiknya "Kau tahu, Adi Kamandanu? Syair itu akhirnya dapat menjadi awal dari sejarah perjuangan Ken Arok, anak dari desa Pangkur. Ken Arok menjadi besar karena wanita. Nah, ada satu lagi bait syair yang senada. Syair ini pun ikut mengubah jalannya sejarah pemerintahan di Kediri pada tahun 1222. Syair ini diucapkan oleh Prabu Kertajaya atau Dandang Gendis yang waktu itu sedang tergila-gila oleh kecantikan seorang wanita bernama Dewi Amisani. Dengarkan baik-baik, Amisani! Kau adalah matahari pagi yang selalu menghangatkan ranjangku Kediri akan membeku jika kau berpaling dariku. Lagi-lagi penyair muda itu tersenyum puas ketika tahu adiknya mendengarkannya dengan serius, bahkan ada sorot kekaguman dilihat dari pandangan matanya. "Sebuah syair yang sederhana, bukan? Tapi ingat, karena syair itulah maka para pendeta, para pemuka kerajaan lalu bergabung dengan Tumapel. Kertajaya dan balatentaranya akhirnya hancur di desa Ganter oleh serbuan tentara Tumapel. Dengan demikian, Dandang Gendis menjadi korban tali asmaranya bersama Dewi Amisani. Nah, apa sekarang kau masih menganggap bahwa persoalan wanita adalah persoalan yang remeh? Ingat, Adi Kamandanu. Separoh dari bagian dunia ini menjadi milik wanita." "Baiklah, Kakang Dwipangga. Aku percaya padamu. Aku akan menceritakan persoalan yang kuhadapi dengan Nari Ratih." Arya Dwipangga tersenyum, adiknya kini luluh. Arya Kamandanu lalu menceritakan dari awal apa saja yang dialami bersama Nari Ratih. Sementara Arya Dwipangga mendengarkan dengan saksama. Setelah Arya Kamandanu selesai bercerita, Arya Dwipangga tersenyum, kemudian duduk di bibir pembaringan dan membetulkan posisi kakinya Kembali ia memperhatikan adiknya yang penasaran dipandang terlalu miskin pengalaman. "Kau memang terlalu, Adi Kamandanu." "Terlalu bagaimana, Kakang?" "Kau tidak mempunyai perasaan terhadap seorang wanita. Kasihan sekali gadis itu Dia harus menderita karena kekasihnya kurang tanggap terhadap isyarat-isyarat yang sudah berulangkah diberikan." "Jadi menurut pendapatmu dia juga mencintaiku?" "Hari-hari kemarin jelas. Tapi entahlah sekarang ini. Hati seorang gadis kalau sudah dikecewakan bisa menutup rapat sekali " "Aku hanya ingin mendapat kepastian. Aku tidak tenang sebelum kepastian itu datang" Sejenak mereka terdiam Saling memandang penuh arti. Arya Dwipangga bangkit dari duduknya, menghela napas dan memandang serius pada adiknya seraya berkata, "Ada satu cara mungkin bisa menjernihkan kembali hubungan kalian." "Cara apa, Kakang?" "Minta maaf padanya." "Aku sudah melakukannya, tapi dia tidak mau mendengar. Dia bahkan terus berlari meninggalkan aku." "Minta maaf tidak cukup sekali, Adi Kamandanu Harus kau coba lagi." "Berapa kali aku harus mencobanya?" "Yah, sampai dia memberi maaf tentu saja " "Oh, aku tidak sanggup melakukannya. Aku belum tahu apa kesalahanku. Bagaimana aku harus minta maaf sampai berkali-kali?" Ada nada letih terdengar dari bibir Arya Kamandanu. Ia tidak berdaya, tubuhnya lunglai oleh sengatan pedih hatinya. Arya Dwipangga beberapa kali melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya setelah mendapatkan sesuatu dalam benaknya sambil memandang Arya Kamandanu. "Dengar, Adi Kamandanu. Kau perlu mengambil hatinya." "Tapi aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku." "Kau mencintainya atau tidak?" "Aku mencintainya." "Kau ingin hubungan kalian jadi selaras lagi?" "Ya, tapi kau jangan menyuruhku melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku. Aku tidak bisa, Kakang." "Kau tinggi hati." "Yah. Barangkali kau benar, Kakang. Aku tinggi hati. Tapi aku tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa terhadapnya." "Dengar, Adi Kamandanu. Kalau kau meninggikan hatimu setinggi Gunung Welirang, maka dia pun akan meninggikan hatinya setinggi Gunung Mahameru. Kau bisa melawannya dengan cara apa?" "Yah, barangkali memang tidak ada cara yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan ini. Maka biarkan semuanya berlalu seperti apa adanya." "Mengapa kau terlalu keras kepala, Adi Kamandanu?" "Aku tidak mau menjadi pengemis cinta." "Tapi sering kali kita dipaksa oleh keadaan untuk menjadi pengemis cinta." "Bagiku itu bukan watak seorang ksatria." "Ingat, Kamandanu. Dalam hal satu ini, kita harus berani menyampingkan sisi-sisi lain dalam tujuan hidup kita. Kau tidak mungkin mendapatkan dua hal sekaligus. Cinta dan watak satria. Kau harus memilih salah satu, Adi Kamandanu." "Kalau harus memilih, aku akan memilih yang kedua." "Jadi kau merelakan Nari Ratih menjadi milik orang lain?" "Kakang Dwipangga. Bagiku watak ksatria dan kebutuhan akan cinta bukanlah dua kutub yang berlainan. Seseorang kalau memang ia benar-benar mencintai dan ingin mendapatkan cintanya itu harus diperoleh dengan cara yang jujur dan tidak lepas dari watak ksatria. Kalau tidak, lebih baik orang itu kehilangan cintanya, dan itulah korban yang paling mulia.” Arya Kamandanu menghela napas. Berat sekali. Ia memalingkan muka dari tikaman pandangan mata kakaknya yang sinis dan amat tajam ”Aku bukan Ken Arok,” lanjutnya lirih dan hati-hati, bagai dilanda duka yang paling dalam, bahwa suara hatinya tidak akan pernah didengarkan siapa pun ”aku juga bukan Prabu Kertajaya atau Dandang Gendis yang mau berbuat apa saja demi memperoleh kesenangan dari cinta Aku adalah Arya Kamandanu, seorang pemuda biasa yang memiliki banyak kekurangan.” Karena adiknya bersikeras dengan keinginan hatinya, maka Arya Dwipangga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tinggalkan adiknya dengan geleng-geleng kepala. Menghela napas jengah, lelah. Ia melenggang pergi, tersenyum seraya menunjuk dengan tangan kanan yang loyo isyarat tak mengerti apa yang diinginkan adik kandungnya. Arya Kamandanu sendiri mengeraskan rahangnya. Kedua tangannya mencengkeram alas tempat tidurnya.

Pagi itu langit tampak cerah. Arya Dwipangga baru saja mengeluarkan kudanya dari kandang. Bau kotoran kuda, katul dan rumput berbaur jadi satu. Sisa-sisa makanan binatang perkasa itu berhamburan di sekeliling kandangnya. Pemuda itu berusaha menahan diri tanpa bernapas. Baru kemudian setelah sampai di depan kandang ia berani menghirup udara. Seorang perempuan tua berkebaya menghampirinya. "Mau ke mana, Ngger?" "Aku mau pergi sebentar, Bi Rongkot." "Hmm, anu, Ngger, itu, ada orang menunggu Angger Dwipangga." "Siapa, Bi?" tanya Dwipangga sambil mengerutkan dahinya. "Bibi tidak tahu namanya Tapi jelas bukan orang Kurawan. Sebaiknya Angger temui dulu di ruangan depan. Sudah sejak tadi dia menunggu." "Ah, biar saja, Bi. Aku mau pergi." "Tapi, Ngger..." "Katakan saja aku pergi. Kalau memang dia ada keperluan, suruh saja kembali nanti sore," tanpa menghiraukan perempuan tua di depannya, pemuda tampan itu segera melompat ke atas punggung kuda dan menarik tali kekangnya. Kuda coklat itu meringkik dan melompat. Berlari makin cepat dengan meninggalkan kepulan debu yang terhempas oleh kakinya. Bibi Rongkot hanya bisa mengurus dada sambil berdecak lidah dan menggeleng-gelengkan kepala. Sementara itu di ruang depan rumah Mpu Hanggareksa, duduklah dua orang tamu. Yang seorang adalah gadis cantik berambut panjang dikepang dua. Wajahnya murung. Di sebelahnya duduk seorang lelaki agak tua, kepalanya sudah berhias uban. Kumisnya tebal, dan badannya kekar sebagai layaknya petani desa yang terbiasa kerja keras. Dengan tidak tenang mereka sekali-sekali melongokkan kepalanya ke ruangan dalam. Untuk kedua kalinya yang muncul menemui mereka adalah perempuan tua yang bibirnya keriput dan kering berwarna getah daun sirih. Belum lagi perempuan tua itu duduk, lelaki itu berdiri menyongsongnya dengan tidak sabar. "Ke mana perginya?" agak parau suara lelaki "Saya tidak tahu. Angger Dwipangga berpesan kalau memang Tuan ada keperluan penting disuruh kembali nanti sore." Lelaki itu melotot. Wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar menahan marah. "Enak saja. Rumahku di Tumangkar. Jauh dari sini. Aku tidak bisa mondar-mandir ke Kurawan seperti pergi ke sumur di belakang rumahku." "Eh, maaf, Tuan. Sebenarnya ada persoalan apa dengan Angger Dwipangga?" tanya perempuan tua itu dengan nada cemas. "Dengar baik-baik. Namaku Dipangkaradasa, ini anakku; namanya Parwati. Aku ke sini demi membela anakku ini," jelas lelaki yang mengaku bernama Dipangkaradasa sambil sesekali menuding pada gadis cantik yang wajahnya murung di sampingnya dan terus menundukkan. "Lalu ada persoalan apa, Tuan?" "Ketahuilah, anak majikanmu itu, si Dwipangga itu sudah berani mempermainkan Parwati, anakku. Maka aku akan memberinya pelajaran yang berharga untuknya. Kalau saja aku tidak ingat bahwa Mpu Hanggareksa adalah orang terpandang di Kurawan ini, hooo... anak begajulan itu sudah kuremas-remas. Sudah kubuat babak belur." "Oh, jangan, Ayah. Jangan!" gadis cantik itu bangkit dan memegang lengan ayahnya. "Haaaa? Kok jangan? Jangan bagaimana? Bukankah anak itu sudah berani kurang ajar padamu?" "Tapi, tapi Kakang Dwipangga jangan diapa-apakan. Kasihan dia," rengek gadis cantik itu memegangi lengan ayahnya makin kencang "Parwati, kau jangan berlaku bodoh! Kau jangan mempermainkan ayahmu. Kita jauh-jauh datang dari Tumangkar untuk menyelesaikan urusanmu dengan pemuda berandalan itu." "Sudahlah, kita pulang saja, ayah." "Lalu bagaimana dengan si Dwipangga itu?" "Biarkan saja dia. Kita mengalah saja." "Hoh, tidak. Kita tidak boleh mengalah begitu saja. Baik! Kita pulang sekarang. Tapi bukan berarti kita sudi mengalah. Aku akan mengurus perkara ini sampai tuntas." Ki Dipangkaradasa lalu berpaling pada Bi Rongkot yang gemetaran berdiri enam langkah di depannya, "Heee, katakan pada anak majikanmu itu! Aku akan kembali lagi," kata lelaki tinggi besar berjambang lebat bernada mengancam pada Bi Rongkot. Bibi Rongkot mengkeret, gugup sekali menghadapi lelaki tua yang berangasan itu. "Ehh, ya, ya, Tuan. Nanti saya sampaikan pada Angger Dwipangga," jawabnya sambil mencuri-curi pandang pada tamunya yang kini sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah majikannya. "Ayo, Parwati! Kita pulang! Huh, pemuda brengsek." Perempuan tua itu memperhatikan kepergian kedua tamunya dengan mengurut dada. Menelan ludah pahit merasakan anak majikannya yang suka main perempuan. Dalam hatinya ia ingin memakimaki pada anak muda yang tidak tahu diri itu. "Keterlaluan, dulu ada janda kembang dari Mameling, datang mengamuk-ngamuk minta dikawin. Lalu ada gadis mencoba bunuh diri di jurang Kurawan juga gara-gara Dwipangga terlalu mengobral rayuan. Sekarang ada lagi. Hehh, Angger Dwipangga itu kok senang-senangnya bercanda dengan wanita. Apa ia tidak tahu, bahwa bermain api dengan wanita bisa hangus terbakar hatinya?" keluhan hati perempuan tua itu seolah-olah didengar derit pintu papan jati yang ditutupnya perlahan hingga deritnya menyayat mengiris sukmanya. Sangat dalam ia menghela napas sambil menyandarkan tubuh rentanya di balik daun pintu. Pandang matanya berkunang-kunang, kedua tangannya meraba palang pintu dan bibir keriput itu membisikkan sebuah kata,"Jagad Dewa Batara! Ampuni umat-Mu!" pedih dan perih suara perempuan tua itu terdengar. Batinnya benar-benar merintih pilu.

Di pagi itu seperti biasa dua gadis Manguntur yang saling bersahabat sedang bermain-main air sungai sebelum menyelesaikan pekerjaannya. Mereka duduk di atas batu hitam sambil menggoyang-goyangkan kaki-kaki mungil hingga menimbulkan kecipak di antara gemercik air. Riakriaknya segera lenyap ditelan arus air Sungai Manguntur yang sangat deras. Mereka tidak lebih bagaikan kembang sepasang yang sedang mekar. Salah seorang gadis itu menyimak goresan-goresan yang tertera pada lembaran rontal. Tersenyum manis lalu meluncurlah suara merdu membacakan kata demi kata penuh perasaan, Kubuka daun jendela dan terbentang malam yang indah dihiasi Candra Kartika Di bulan Waisya ini sepuluh kali aku melewati pintu rumahmu yang masih rapat terkancing dari dalam. Kapan kaubuka, wahai sang Dewi Puspa? Gadis cantik itu tersenyum makin lebar memamerkan giginya yang berderet putih bagai mutiara, sebelum akhirnya berkomentar tentang sebait syair yang dibacanya. "Indah sekali bunyi syair ini, Ratih." "Aku juga tidak menduga bahwa Kakang Kamandanu bisa menulis syair seindah ini." "Kau sudah membalasnya?" "Belum." "Kau harus segera membalas atau menanggapinya, Ratih. Terlihat jelas bahwa dia sangat menyesal dan ingin menyambung kembali tali asmara denganmu." "Ah, Palastri. Aku masih sakit hati." "Kau tidak ingin burung gagak itu berpaling pada daging lain yang lebih empuk dan lezat? Jangan tinggi hati, Ratih. Ada pepatah mengatakan, bahwa wanita itu berdiri di antara dua bibir sumur Kalau dia bertahan tak mau menundukkan wajah, dia tak bakal melihat air Tapi kalau dia terus-menerus menundukkan wajah, dia bisa terjerumus ke dalam sumur itu. Nah, jadilah wanita yang bijaksana. Jangan tinggi hati, tapi juga jangan terlalu merendah di depan laki-laki." Palastri mengulurkan lembaran rontal itu kepada pemiliknya lalu turun ke sungai. Menceburkan tubuhnya yang hanya berbalut kain sampai sebatas dadanya yang montok. Beberapa saat ia berendam dalam air sambil memandang sahabatnya yang memperhatikan lembaran rontal di tangannya sebelum akhirnya menaruh rontal itu ke tenggok yang sudah dikosongkan. Gemericik air, kecipak tangan dan kaki mereka memecah keheningan di sungai itu. Angin sejuk menyapa permukaan kulit mereka hingga merinding. Keduanya mengangkat bahu sambil menggosokgosokkan tangannya pada tubuh yang padat berisi.

Siang itu angin semilir menggoyangkan dedaunan. Desaunya mengiringi derap kuda yang ditunggangi pemuda tampan dan gagah yang melakukan perjalanan menuju suatu tempat. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba pemuda itu mengendalikan kudanya. Langkah kuda semakin perlahan dan akhirnya berhenti. Terdengar ringkiknya seolah bertanya pada tuannya yang melompat turun dan punggungnya. Pemuda itu menuntun kuda dan menambatkannya pada sebatang pohon. Kemudian ia merunduk dan melangkah sambil berjingkat menghampiri seorang gadis yang duduk merenung tanpa memperdulikan kehadirannya. Pemuda itu salah tingkah ketika tahu siapa gadis cantik berambut panjang dikepang dua itu. Ia menghela napas seraya meraba dadanya menenangkan hati. "He, gadis cantik, kembang ayu desa Tumangkar!" gadis itu tidak mau menoleh. Tetap memandang jauh pada puncak Gunung Lejar yang disaput kabut seperti hatinya. Pemuda itu semakin mendekat dan meliriknya dengan nakal sekali. "Apa pedulimu, Kakang Dwipangga?" ketus sekali suaranya. Ia melirik dan melengos pada pemuda yang menghampirinya. "Air mata di kedua pipimu belum kering, tentu ada sebab-sebabnya," lirih pemuda itu berkata. Hatinya berdebar. "Aku sedang mencari tempat untuk menghilangkan nyawaku." "Ha, mengapa begitu, Parwati? Mengapa jalan pikiranmu menjadi sempit seperti katak dalam tempurung? Kau adalah gadis cantik. Masa depanmu yang cerah dan bahagia menunggu di seberang sana. Mengapa harus berputus asa?" "Sekarang ganti aku yang bertanya Mengapa Kakang melupakan aku setelah kau dapatkan segalanya dariku? Kau tidak pernah datang lagi ke Tumangkar, bahkan kau menolak kehadiranku bersama orang tuaku ketika ke rumahmu?" Pemuda itu terhenyak, tidak menduga dengan berbagai pertanyaan yang meluncur dari bibir mungil yang pernah memberikan sejuknya air cinta asmara padanya. Lalu ia semakin mendekat, menggapai pundak gadis itu, tetapi dengan kasar tangannya dihempaskan. "Dengarkan Parwati, aku ada syair indah yang pantas kaudengarkan dengan saksama, Sekuntum Cempaka sedang mekar di taman sari desa Tumangkar kelopaknya indah tersenyum segar Kan kupetik Cempaka itu untuk kubawa tidur malam nanti. "Dusta! Kau dusta." Parwati setengah menjerit menimpali rayuan pemuda yang telah meracuni hidupnya dengan syair-syair hingga ia terperangkap dalam jeratnya. Hidung gadis itu kembang kempis. Dengan kesal ia gigit bibirnya sendiri. Pemuda gagah itu mengerutkan dahinya lalu meraih jemari gadis cantik di sisinya, namun untuk kedua kalinya tangan lembut itu menepiskan tangannya yang kukuh. "Parwati?" "Siapa yang kau maksudkan Cempaka itu?" "Kaulah Cempaka itu." "Aku tidak percaya." "Bagaimana aku harus membuatmu percaya, Parwati? Kau tak sudi memberi kesempatan padaku untuk memetik kembang Cempaka itu?" "Hmm. Apa Kakang Dwipangga benar-benar ingin memetik Cempaka itu?" "Dengar, Parwati. Aku tak akan membiarkan Cempaka itu mekar sia-sia dan akhirnya gugur ke bumi." "Biarkan saja dia gugur ke bumi. Apa pedulimu!" "Akh, aku bukanlah orang yang kejam seperti itu. Aku bisa menghargai keindahan. Hanya mereka yang berhati batu sampai hati berbuat seperti itu. Kau tak perlu raguragu, Parwati. Kalau selama ini aku tidak pernah singgah di rumahmu, itu hanya karena kesibukan yang tak bisa kutinggalkan." "Sayang sekali, Kakang. Kakang Dwipangga sekarang tak mungkin memetik Cempaka itu. Sudah terlambat." "Mengapa? Apa maksudmu, Parwati?" desak Arya Dwipangga terkejut. Dengan seksama ia perhatikan rona wajah Parwati yang kini tampak kurang ramah padanya. Mereka diam sejenak Parwati memandang sekilas pada pemuda di dekatnya kemudian membuang muka dengan perasaan kesal, benci dan marah. "Dengar, Kakang Dwipangga! Cempaka yang akan kaupetik itu sekarang sudah ditumbuhi duri-duri tajam seperti tajamnya pisau ini. Hiaaaaa....." Pemuda itu terkejut dan melompat menghindari tikaman cundrik tajam yang dihunus gadis itu dari balik stagennya. Gadis itu membabi-buta menyerang Arya Dwipangga yang berkelit ke sana ke mari tidak siap menerima serangan mendadak dari gadis lembut yang pernah dikaguminya bahkan telah terampas cintanya. Suatu saat ketika pemuda itu terlengah. "Ohh, Parwati..." darah muncrat membasahi pakaian Arya Dwipangga. Ia mendelik setengah tidak percaya pada apa yang dialaminya. Sebaliknya gadis itu menjadi terkejut. Mulutnya setengah menganga. Tubuhnya gemetaran hingga jemarinya terasa lemah tak mampu memegang pisau yang telah melukai pemuda itu. "Kakang? Kau terluka, Kakang? Ohh, maafkan aku." Gadis cantik itu menghampiri kekasih hatinya yang terengah sambil memegangi pundaknya yang terluka oleh tikaman cundriknya. Parwati ketakutan merasa menyesal dengan apa yang dilakukannya. "Jika ujung cundrik itu menembus jantungku, tak akan ada Arya Dwipangga sekarang ini." "Maafkan aku, Kakang. Maafkan aku. Aku kesal. Aku benci sekali padamu. Tapi bukan maksudku membuatmu terluka begini. Ohh, maafkan aku, Kakang." Sejenak mereka terdiam Hanya desah napas mereka yang terdengar memburu dicekam perasaan masing-masing. Parwati mencoba menabahkan hati. Berusaha meneguhkan kembali apa yang telah menjadi keputusannya. Ia tidak mempedulikan pemuda yang pundaknya kini terluka oleh tindakannya. Ia tersenyum sinis dan mundur beberapa tindak sambil berkata, "Mulai sekarang jangan lagi datang ke rumahku." "Mengapa? Parwati... tunggu!" Gadis itu tidak menghiraukan lagi pemuda yang terus memanggil namanya. Ia berlari. Tetapi berhenti sejenak dan memandang sekilas pada Arya Dwipangga seraya berseru, "Kau jangan ke rumahku lagi, aku tidak ingin ayahku mencabut pedangnya dan membunuhmu." Untuk kesekian kalinya Arya Dwipangga terkejut, sebab ayah Parwati telah mengetahui masalah mereka. Sambil memegang lukanya ia melangkah menuju kudanya. Kemudian ia naik ke punggung kuda dan menyusul Parwati ke desa Tumangkar.

Gadis desa Tumangkar itu terus mencoba untuk lari dengan mengambil jalan pintas. Napasnya terengah-engah. Ia tidak mempedulikan lagi pemuda Kurawan yang mengejarnya dengan menunggang kuda. Pemuda itu memperhatikan gadisnya telah memasuki rumahnya sehingga tidak berani melanjutkan tujuannya. Ia khawatir jika terjadi keributan bila ia menemui gadis yang telah dikecewakan itu. Lebih-lebih jika ayahnya yang sangat galak itu ikut campur dalam persoalan tersebut. Dengan ragu-ragu ia memperlambat lari kudanya kemudian mengambil keputusan untuk kembali ke Kurawan Baru saja ia akan memutar kudanya mendadak muncul seorang lelaki tinggi besar berjambang lebat dan berpakaian komprang serba hitam. Lelaki itu melintir jambangnya dan tersenyum sinis pada Arya Dwipangga "Hee, turun dari kudamu!" bentaknya sambil melangkah dan memasang kuda-kuda. Matanya berkilat, merah. Mengerling galak setelah membanting cerutunya. Kuda Arya Dwipangga meringkik ketakutan Tuannya melompat turun dengan hati berdebar-debar. "Pembantuku bilang, bahwa kau yang bernama Arya Dwipangga. Apa benar?" "Benar. Saya Arya Dwipangga." "Nah, rasakan kepalan tanganku ini anak berandalan! Hiaaah, hiaaaaah, hiaaaaaaatt!" lelaki itu melompat dan menerjang Arya Dwipangga. "Tunggu, tunggu, apa salahku!" Lelaki tinggi besar berjambang lebat itu terus menghajar pemuda Kurawan yang tidak memiliki kepandaian berkelahi. Beberapa kali jotosannya mendarat di perut, dahi, punggung, kaki, dan lengan Arya Dwipangga. Ia tidak memberi ampun lagi, bahkan teriakan-teriakan dan rintihan kesakitan pemuda yang dihajarnya itu sedikit pun tak menyentuh rasa iba hatinya. Orang-orang semakin banyak berkerumun menyaksikan tontonan di siang bolong. Ketika wajah pemuda itu telah memar-memar hitam kebiruan, napas dan rintihnya tersengal seraya terduduk sambil mendekap perut, barulah lelaki tinggi besar itu menghentikan amukannya. Dengan beringas dan jijik ia menghardik pemuda yang tidak memberikan perlawanan berarti. Sambil menendang lutut Arya Dwipangga lelaki itu mendenguskan napas kemarahannya. Masih geregetan juga tampaknya hingga ia menyambar kepala pemuda Kurawan itu dengan sekali tamparan. Kemudian menjambak rambut Arya Dwipangga kuat-kuat. "Kau sudah mempermainkan Parwati, anak gadisku. Dasar pemuda akal bulus! Tak tahu diri! Tak tahu malu! Apa yang telah kaulakukan terhadap anakku, hemmh?" suaranya menggeram bagai harimau menerkam mangsanya. Tangannya semakin erat mencengkeram rambut Arya Dwipangga. Arya Dwipangga meringis menahan sakit tak terkira. Seluruh badannya terasa sakit dan ngilu oleh hajaran ayah Parwati. Pemuda itu tak berkutik hingga tidak tahu harus berkata apa. "Saya tidak melakukan apa-apa. Kami sebagai anak-anak muda tentu sudah wajar kalau berjalan dan ngobrol bersama-sama " "Kau jangan mungkir, anak muda! Semalam Parwati menangis. Setelah kutanya sebabnya dia mengatakan kau telah mempermainkannya." "Ki Dipangkaradasa! Saya kira ini hanya kesalahpahaman biasa. Parwati pasti belum menjelaskan duduk perkaranya." "Duduk perkara apa?" bentak Ki Dipangkaradasa sambil menghempaskan kepala Arya Dwipangga hingga pemuda itu terjengkang. Pemuda Kurawan itu gugup. Tidak berani membalas tatapan mata lelaki tinggi besar yang masih melotot padanya. "Dia marah dan kesal karena sudah lama saya tidak datang di Tumangkar." "Dia tidak akan menangis begitu menyedihkan kalau kau tidak membuatnya sakit hati." "Saya sudah berusaha minta maaf dan saya telah mengakui kesalahan saya." "Bwahhh, aku sebal melihat kelakuan pemuda sepertimu. Kau bergajul! Tukang melet perempuan! Dan setelah mencicipi madunya kautinggalkan begitu saja! Bukankah begitu yang telah kaulakukan pada anakku?" "Tidak! Saya tidak berbuat serendah itu." "Pencuri tidak pernah mengakui kesalahannya. Mana bisa aku percaya?" "Apalagi yang Ki Dipangkaradasa inginkan dari saya7" "Hee, dengar! Aku tidak sudi melihat mukamu lagi di desa Tumangkar ini! Kalau sampai kau berani masuk lagi ke desa ini dan menemui anakku, awas! Akan kubuat tubuhmu cacat!" "Baiklah. Kalau memang begitu kemauan Ki Dipangkaradasa, saya tak bisa berbuat lain. Mulai hari ini saya tak akan masuk ke desa Tumangkar " Arya Dwipangga perlahan bangkit tanpa berani memandang pandangan yang penuh ancaman dari lelaki kekar tinggi besar di hadapannya Ia raba wajahnya yang terasa nyeri akibat tendangan dan pukulan lelaki itu. Pelanpelan ia menghampiri kudanya. Ki Dipangkaradasa terus memandangnya dengan rasa muak dan marah. Gerahamnya mengeras hingga tulang pipinya menonjol. Orang-orang desa juga terus menatap Arya Dwipangga yang sudah di atas punggung kuda dengan pandangan mengejek. Kuda cokelat perkasa itu meringkik tatkala dengan lembut tali kendali dihentakkan. Arya Dwipangga mencuri pandang ke arah Ki Dipangkaradasa yang bertolak pinggang sambil meludah. "Cepat tinggalkan desa ini!" bentaknya dengan murka. "Jangan sekali-kali menginjakkan kaki di daerah ini! Pergi!" Tanpa menoleh lagi pemuda Kurawan itu menyentakkan lebih keras lagi kekang kudanya hingga kuda tunggangannya melonjak dan meringkik menghentakkan kaki-kakinya. Berlari semakin kencang dengan meninggalkan kepulan debu-debu di belakangnya. Seorang gadis cantik berambut panjang dikepang dua berlari kecil menghampiri lelaki tinggi besar yang masih berdiri sambil memelintir kumisnya; memandang dingin pada Arya Dwipangga yang semakin menjauh, kecil dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Angin gemerisik mendera dedaunan seiring gumam orang-orang yang masih ingin mengetahui cerita tentang gadis Tumangkar korban cinta pemuda Kurawan. Di wajah gadis itu masih jelas tergambar kemurungan. Bahkan matanya tampak merah dan sembab. Beberapa helai rambutnya yang basah menghiasi keningnya. "Ayah! Ayah telah mengusirnya?" "Ya. Aku telah mengusirnya. Kenapa?" "Tidak apa-apa. Memang sebaiknya setiap gadis di desa Tumangkar ini tidak usah bertemu dengannya." "Mulut orang seperti itu sangat manis, tapi tak bisa dipegang kata-katanya. Lidahnya berbisa Sudahlah, ayo, kembali ke rumah. Perkaramu dengan anak Kurawan itu sudah selesai." Ketika bapak dan anak itu kembali melangkah meninggalkan tempat itu, orang-orang yang menonton pun ikut bubar dengan menggumamdan berbisik-bisik.

Malam kian merayap menebarkan sayap-sayap gelapnya. Pekat dan hitam. Sepekat dan sehitam hati dan pikiran seorang gadis yang dirundung lara oleh tikaman asmara Ia berbaring di atas dipan beralaskan tikar pandan. Ketika ia bergerak, terdengarlah derit dan gemeretak gala-gala yang terbuat dari bambu Ia tidak bisa tidur Matanya mengerdip-ngerdip bagai dian minyak kelapa yang diletakkan di atas meja di sudut kamarnya. Berkedip-kedip ditiup angin yang menerobos di antara sela dinding papan jati. Mata itu bening, indah tetapi menyimpan sejuta misteri. Pada jemari lembutnya memegang empat potong daun tal yang terkait jadi satu. Masing-masing daun tal itu telah dilubangi ujungnya lalu dikaitkan dengan tali rotan yang telah dihaluskan. Ia simak dengan teliti goresan-goresan yang tertera pada sisa potongan-potongan rontal tersebut. Suaranya lembut, merdu sekali ketika membaca kata demi kata, Pelangi itu muncul lagi membuat garis melengkung ke langit tinggi. Daun ilalang diterpa angin gemerisik membangunkan tidurku dari mimpi buruk. Di batas tugu yang perkasa ini kupahatkan dengan bermandikan keringat kasih. Kalau kau tatap mega yang berbunga-bunga Di sanalah aku duduk menunggu pintu maafmu terbuka. Yang bergema dalam telinga hati dan batinnya adalah suara pemuda pujaan hatinya. Ia cium rontal itu. Penuh kasih sayang dengan desah seutuh jiwa. Detak-detak jantungnya menderu bagaikan gelombang ombak samudera yang menggulunggulung sebelum akhirnya menghempas batu karang.Menggemuruh dan menghempaskan buih-buih cintanya. "Oh, halus sekali perasaan yang terkandung dalam bait-bait syair ini Tidak kusangka Kakang Kamandanu begitu pandai merangkai kata. Oh, apa yang harus kulakukan? Tidak! Tidak mungkin!" sejenak Nari Ratih terdiam. Tatap matanya masih menerawang, kadang mencuri pandang di antara sela bulu matanya nyala dian yang kuning keemasan Kadang tenang kadang bergoyang jika ada hembusan angin. "Mungkinkah aku bertahan untuk tidak memaafkannya? Ohhh, syair ini semakin mengganggu ketenanganku, sering terbawa dalam mimpi-mimpiku. Kakang Kamandanu. Baiklah, aku akan menemuimu besok di tempat seperti biasa. Aku tidak akan membiarkanmu meratapi penyesalanmu, Kakang.Maafkan Nari Ratih yang telah berbuat kejam.Maafkan aku." Rontal itu diletakkan di bawah alas tidurnya. Kemudian ia berbaring menatap langit-langit kamar yang penuh dengan bayang-bayang wajah kekasih hatinya. Gadis itu berbantal kedua tangannya. Tidur tanpa selimut-hingga tubuhnya yang indah tampak jelas lekuk-lekuknya. Dua gugusan bukit dadanya bergerak naik turun seiring napasnya yang lembut dan sesekali mendesah. Kedua pahanya terangkat ketika ia menekuk lututnya hingga kulitnya yang kuning langsat tampak indah memantulkan cahaya dian nan temaram Ayu, seindah dan semolek bidadari dari kayangan yang membaringkan tubuhnya setelah letih seharian bertamasya mengarungi mayapada. Tubuh indah itu sangat sempurna. Rambutnya yang hitam bergelombang terurai menutupi leher jenjangnya, payudara dan perutnya yang memiliki mangkuk pusar begitu indah. Dara jelita itu tersenyum. Mengurai kedua tangannya dari kepalanya. Lalu meraba kedua pipi yang montok, ke dagu yang indah bagai lebah menggantung, terus merayap ke lehernya yang jenjang, kemudian ke gundukan bukit dadanya yang padat berisi. Ia masih tersenyum, mendesah penuh gairah. Lalu kedua tangan halus itu merayap ke perutnya dan akhirnya memeluk kedua lututnya. Kembali ia menyelonjorkan kedua kakinya. Memiringkan tubuhnya hingga terdengar derit tempat tidurnya. Kembali ia tidur telentang dengan berusaha keras memejamkan mata sambil tetap tersenyum. Dari bibirnya yang mungil berwarna merah jambu terdengar sebuah desah memanggil penuh kasih cinta, merdu menyayat kalbu, "Kakang Arya Kamandanu!" Gadis itu semakin dalam menghirup udara malam, menajamkan pendengarannya dan di kejauhan ia mendengar sayup-sayup seruling bambu. Merdu sekali. Menyayat-nyayat mengiris hatinya. Dalam pejam matanya ia melihat angkasa biru, melihat bunga-bunga yang berkembang dan bermekaran dengan tebaran aroma mewangi Kemudian ia melihat dari kejauhan sesosok bayangan, seorang pemuda yang melangkah menghampirinya. Semakin jelas Semakin dekat. Semakin sempurna. "Arya Kamandanu! Kakang..., ohhhh!" Pemuda tampan itu mengembangkan kedua tangan dan tersenyum penuh kasih cinta. Langkahnya makin cepat, setengah berlari, berlari dan akhirnya merengkuhnya dalam pelukan hangatnya. Ketika terjaga dari lelapnya, gadis cantik itu mengusapusap matanya dengan punggung tangannya. Tidak ada siapa-siapa. Jeritan unggas liar Suara ternak menuju sawah semakin menyadarkan ingatannya bahwa hari telah pagi. Ia harus segera bangun. Perlahan ia bangkit sambil meraup pakaiannya yang awut-awutan di pembaringan. Ia kenakan alakadarnya dan segera menuju ke ruangan belakang. Di bagian belakang rumahnya ia mengambil tenggok yang berisi pakaian kotor untuk dibawanya ke Sungai Manguntur. Sambil berjalan menggendong tenggok berisi pakaian kotor ia berpikir, bagaimana caranya untuk menemui Kamandanu. Padahal sudah beberapa kali ia ke pinggir padang ilalang hingga petang hari. Tidak menjumpai siapa pun. Ia sangat resah. Ketika langkahnya sampai di pinggir sungai Manguntur gadis cantik itu melihat sahabatnya sedang sibuk mencuci. Ia berpaling ke timur.Matahari ternyata telah tinggi. Berarti ia terlambat bangun. Ia letakkan tenggoknya di atas batu sebesar kerbau lalu melangkah menghampiri sahabatnya yang menyambutnya dengan senyuman "Maaf Ratih, aku tidak berani membangunkan-mu. Takut mengganggu tidurmu." "Aku terlalu lelah, Palastri." Mereka saling pandang sejenak. Diam. Membiarkan suara gemericik air mengalunkan senandungnya. Palastri menghentikan pekerjaannya lalu duduk di sisi Nari Ratih yang tampak lesu. Dari balik stagennya ia keluarkan beberapa lembar rontal. "Coba bacalah syair ini, Palastri! Aku semakin tak mengerti. Di mana letak kekeliruannya?" Palastri menerima rontal itu dari tangan Nari Ratih. Menyimaknya sejenak. "Kau terima dari siapa?" "Dari seorang bocah. Entah siapa dia. Aku tak begitu mengenalnya. Dia buru-buru lari ketika aku mau bertanya. Coba kaubaca, Palastri! Setelah itu, aku ingin mendengar pendapatmu " Kemudian Palastri segera membaca syair itu, Pelangi senja mengantarkan burung- burung pulang ke sarangnya. Domba-domba pulang ke kandangnya. Tapi aku hendak ke mana? Apa yang kulakukan menjadi tak berharga selama senyummu masih kausembunyikan di balik keangkuhan hatimu. "Bagaimana pendapatmu?" "Jadi, ini sudah yang ketiga kalinya?" "Ya. Yang ketiga kalinya. Kemarin lusa aku mencoba datang ke tepi padang ilalang." "Hmm, lalu?" "Tak kutemui seorang pun di sana. Aku kesal Akhirnya aku pulang lagi." "Mengapa kau tidak langsung ke rumahnya?" "Akh, mengapa harus ke rumahnya, Palastri? Aku malu " "Kau datang saja secara baik-baik untuk menjernihkan persoalan kalian." "Tapi itu sudah keterlaluan, Palastri. Aku seorang wanita. Bagaimana aku harus datang ke rumah laki-laki untuk urusan cinta? Bagaimana kalau orang-orang sampai mendengar hal ini? Tentu seluruh Manguntur menjadi geger." "Tapi aku tak menemukan cara lain lagi, Ratih." "Atau begini saja. Bagaimana kalau aku titip pesan pada Nyai Rongkot seperti biasanya?" "Nah, begitu juga baik. Yang penting kau harus segera menemuinya." Sejenak mereka hanya terdiam, kemudian melanjutkan pekerjaan masing-masing. Nari Ratih tersenyum pada Palastri yang mengucek-ucek pakaiannya. Tanpa diduga sebelumnya Nari Ratih terpekik dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika sahabatnya dengan nakal sekali menciprat-cipratkan air dengan kedua tangan. Palastri tertawa cekikikan melihat sahabatnya kewalahan, bahkan akhirnya terjun ke air dan ganti membalas. Mereka bermain air seperti dua anak kecil yang dilepaskan embannya. Bercanda dengan menyibak dan menghempaskan air hingga keduanya basah kuyub.

Di rumah Mpu Hanggareksa seorang perempuan tua baru saja keluar dari bilik Arya Kamandanu. Perempuan tua itu berdiri terpaku di ambang pintu dan bersandar pada daun pintu yang terbuat dari papan kayu jati tersebut. "Ada apa, Bi Rongkot?" tanya Arya Dwipangga yang kebetulan melintas di depannya sambil memperhatikan dengan mengerutkan dahinya. "Ehh, tidak ada apa-apa, Ngger Bibi baru saja melihat Angger Kamandanu." "Bagaimana keadaannya sekarang?" "Sudah jauh lebih baik. Sekarang Angger Kamandanu tidur pulas sekali. Memang seharusnya dia banyak istirahat Tidak boleh pergi ke mana-mana dulu " "Lho, memang dia mau ke mana, Bi Rongkot?" "Bukan, Ngger. Gadis itu mengirimkan pesan lagi. Maksud Bibi anak Rekyan Wuru itu menitip pesan pada Bibi. Dia ingin menemui Angger Kamandanu. Tidak mungkin kan, Ngger Dwipangga? Kecuali Angger Kamandanu sudah sembuh benar." "Sudahlah, Bi, jangan pikirkan persoalan Adi Kamandanu dengan Nari Ratih itu. Nanti juga akan beres. Aku yakin mereka akan kembali akrab seperti semula." "Kalau persoalan Angger sendiri bagaimana?" "Persoalanku malah sudah lebih dulu beres, Bi." "Maksud Angger Dwipangga, beres bagaimana?" "Yah aku tidak akan datang lagi menemui gadis itu. Soalnya, ayahnya melarangku ke sana. Lihat dahi dan wajahku! Juga badanku yang nyeri-nyeri ini. Semuanya telah kuterima." Sejenak mereka terdiam. Bibi Rongkot memperhatikan anak majikannya dengan sedikit kurang senang. Ia hela napas terasa berat sekali sebelum kata-kata yang sangat pedas dan tajam begitu cepat diucapkannya meluncur dari bibirnya yang keriput. "Angger Dwipangga jangan suka mempermainkan anak gadis orang. Nanti kalau kena batunya bisa celaka, lho. Kalau orang tuanya tidak terima dan marah, kan bisa membuat keributan besar. Apa Angger Dwipangga tidak malu?" "Aku tidak salah, Bi. Parwati kan hanya salah satu gadis yang kukenal." "Tapi Angger Dwipangga pasti sudah mengobral janji padanya hingga dia sangat mengharapkan kesungguhan Angger. Iya, kan? Ikhhh, Bibi paling benci kalau melihat laki-laki tukang obral janji. Kasihan anak gadis orang yang menjadi korban, Ngger. Sungguh." Dinasihati seperti itu pemuda yang wajahnya masih memar dan membiru itu hanya tertawa. Lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu jati. "Bi Rongkot tentu saja membela mereka karena Bibi seorang wanita." "Bukan begitu, Ngger. Jadi pemuda itu seperti Angger Kamandanu. Tenang, berwibawa, bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dikatakannya." "Bi Rongkot. Arya Dwipangga bukan Arya Kamandanu dan Bibi tidak mengetahui kekurangan adikku, bukan? Dia masih tergolong belum berpengalaman hingga untuk menyelesaikan persoalan sendiri saja tidak mampu. Dan akhirnya aku juga harus turun tangan. Dia pikir hati wanita bisa dipikat dengan berdiam diri dan tidur di pembaringan." "Ekh, apa maksud Angger Dwipangga?" Bibi Rongkot tampak terkejut dan dahinya kian beranyam kerutan memperhatikan Arya Dwipangga yang tersenyum-senyum seraya bangkit. "Nanti Bibi Rongkot akan tahu sendiri." Pemuda itu segera berlalu dari hadapan perempuan tua yang menggeleng-gelengkan kepala dan mengurut dadanya. Pemuda gagah yang memiliki sifat aneh itu selalu keras hati. Menghentikan langkahnya dan menoleh pada perempuan tua itu sambil mengerlingkan matanya menggoda.

Siang itu sepulang dari pasar seorang gadis cantik mampir ke rumah sahabatnya. Gadis itu menghentikan langkahnya ketika sampai di depan pintu sambil melongokkan kepalanya ke dalam. Ia tersenyum karena melihat sahabatnya sedang menganyam tikar pandan di ruang teras depan. "Kau Palastri, masuklah," Nari Ratih berseru ketika ia melihat bayangan sahabatnya berjalan berjingkat dan tersenyum ingin mengagetkannya. "Bagaimana hasilnya, Ratih?" Wajah Nari Ratih langsung merah padam ditodong pertanyaan seperti itu. Ia sendiri telah berjuang keras untuk mendengarkan suara hatinya dengan jernih. "Sudahlah! Aku tak mau bicara soal itu lagi. Aku akan berusaha melupakan Kakang Kamandanu." "Mengapa begitu?" "Karena dia pun agaknya sudah melupakan diriku." "Ah, kau terlalu cepat mengambil kesimpulan." "Tidak, Palastri. Aku malu kalau harus menitip pesan pada pembantunya lagi dan ternyata Kamandanu tidak sudi menemuiku." "Kau tidak usah malu. " "Palastri. Aku mau mengakhiri persoalan ini sampai di sini. Aku tidak ingin sakit hati untuk kesekian kalinya." "Dengar dulu, Ratih." "Tidak. Kau jangan membujukku lagi! Biarlah kalau memang aku harus kehilangan dia. Mungkin bukan jodohku, Palastri." "Dengar dulu! Aku boleh bicara apa tidak, Ratih?" "Bicaralah, tetapi jangan membujukku lagi." "Kau sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Buat apa aku membujukmu? Tapi dengarlah keteranganku ini. Kau jadi menitip pesan pada pembantunya?" "Jadi. Dia berjanji akan menyampaikan pesannya itu." "Dan kau jadi datang ke tepi padang ilalang?" "Cukup lama aku duduk menunggu di sana. Sampai leherku pegal karena harus menengok ke arah biasanya dia datang " "Apa kau belum tahu, Ratih?" "Tahu tentang apa?" "Bahwa Arya Kamandanu sekarang ini sedang sakit?" Nari Ratih terkejut. Sehelai potongan pandan di jemarinya sampai terlepas. Ia membelalakkan matanya dan memandang sahabatnya sangat lekat Ia menghela napas, jantungnya makin menggemuruh. "Sakit?" tanyanya seperti tidak percaya pada berita itu. "Ya. Sudah beberapa hari dia terbaring di kamarnya. Sakitnya cukup berat." "Kau tahu dari mana, Palastri?" "Kemarin aku disuruh ayahku memanggil dukun urut ke Kurawan. Aku melewati jalan dekat rumah Arya Kamandanu dan aku mendengar anak-anak muda sibuk membicarakan pacarmu itu. Katanya, Kamandanu itu sakit gara-gara jatuh cinta pada gadis Manguntur." "Ah, apa benar mereka berkata begitu, Palastri?" "Untuk apa aku berdusta, Ratih? Tentu saja apa yang aku sampaikan ini benar." Palastri memandang dengan sedikit cemberut, apalagi Nari Ratih masih menatapnya dengan tajam ingin penjelasan lebih jauh. Palastri melepas napas jengah sebelum melanjutkan ucapannya. "Nah, sekarang tinggal bagaimana kau sendiri." "Hemhh. Kalau dia sakit, benar-benar sakit, tentu dia tidak bisa datang ke tepi padang ilalang." "Mungkin juga pesanmu itu tidak disampaikan padanya." "Mungkin juga begitu," suara Nari ratih agak serak menahan perasaan yang tidak menentu. Wajahnya kian mengiba. "Sekarang bagaimana? Apa kau sampai hati membiarkan Kamandanu terbaring kesepian di kamarnya?" "Soalnya, aku tidak tahu kalau dia sakit." "Sudahlah, Ratih. Kau datang saja ke rumahnya. Kau tengok dia, kau besarkan hatinya, sekalian menyelesaikan persoalan kailan." "Baiklah. Sekarang aku tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak datang ke rumahnya." Palastri turut senang bisa memberikan jalan keluar terbaik buat sahabatnya Ia pun memeluk Nari Ratih dan menciumnya. Ia pamit dengan sedikit lega. Ketika Palastri meninggalkan rumah Nari Ratih, putri Rekyan Wuru itu segera berkemas. Ia bertekad untuk menengok Arya Kamandanu. Dikenakannya pakaian yang paling pantas. Hatinya berdebar-debar tak menentu. Gelisah, resah, cemas, dan dirajam pedang-pedang cinta tanpa ampun. Saat Nari Ratih tiba di rumah Mpu Hanggareksa ia disambut ramah sekali oleh perempuan tua. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk-angguk senang. Ia menepuknepuk pundak dara jelita yang mau datang ke tempat tinggal majikannya. Nari Ratih masih sungkan-sungkan Wajahnya merona merah karena menyimpan rasa malu. Apalagi perempuan tua itu lekat-lekat memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Nah, akhirnya kau mau datang juga ke Kurawan." "Apakah aku bisa menemui Kakang Kamandanu, Bi?" katanya dengan bibir bergetar. Jantungnya makin cepat berdetak dan mengguruh. Perempuan tua itu tersenyum lembut, "Tentu saja bisa. Tapi sebelumnya Bibi minta maaf, ya. Pesan yang Nini Ratih sampaikan lewat Bibi terpaksa tidak Bibi sampaikan pada Angger Kamandanu." "Ratih mengerti kok, Bi. Tidak apa." "Ayo, Nini Ratih! Masuk saja. Silakan bertemu dengan Angger Kamandanu di kamarnya." "Terima kasih, Bi." Perempuan tua itu membimbing Nari Ratih menuju kamar Arya Kamandanu. Ketika sudah sampai di dekat kamar, perempuan tua itu menghentikan langkahnya seraya menunjukkan tempat berbaring Arya Kamandanu dengan menudingkan telunjuk tangan kanannya. Tersenyum menggoda sambil mengerling kemudian membalikkan tubuhnya. Perempuaa tua itu bukannya pergi, tetapi mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia merasa geli menyaksikan gadis kekasih hati putra majikannya itu ragu-ragu hendak memasuki kamar. Menelan ludah. Meremas-remas tangannya sendiri. Menggigit bibir lalu menoleh ke kiri dan ke kanan, takut jika ada yang mengetahuinya. Dengan langkah gemetar ia mendorong daun pintu yang tidak terkunci Ia menahan rasa terkejutnya tatkala bersitatap pandang dengan Arya Kamandanu yang berbaring di pembaringan. "Ohh, Nari Ratih." Pekik Arya Kamandanu. Ia berusaha bangkit, tapi badannya masih terasa lemas, hingga Nari Ratih melarangnya dengan menyentuh tangannya agar ia tetap berbaring. Betapa ngilu badan dan hatinya, tetapi bahagia tiada terkira menerima kehadiran perempuan yang dipuja-puja selama ini. Nari Ratih gemetaran menyaksikan keadaan Arya Kamandanu yang sangat memprihatinkan "Aku datang menengokmu, Kakang. Bagaimana, mengapa Kakang bisa mengalami luka-luka begini?" tanyanya cemas "Aku, tidak apa-apa, Ratih. Hanya luka-luka ringan. Sekarang mulai sembuh." Mata Arya Kamandanu berkacakaca. Ada rasa keharuan mencekam nuraninya, betapa bahagia apabila tidak berdaya tapi ada yang memperhatikannya, ada yang menemaninya. Di sisi lain ada perasaan malu karena gelora asmara telah merajam jiwanya hingga ia sering berpikir buram. Untuk mengatasi perasaan gundah-gulana yang bercampur-aduk itu ia menggigit bibirnya dan tidak berani membalas tatapan sendu Nari Ratih. "Kau berkelahi dengan seseorang ya, Kakang?" "Tidak. Untuk apa aku berkelahi?" "Pelipis kirimu memar, dan bibirmu masih membengkak. Kau jangan bohong padaku, Kakang. Siapa yang telah melakukannya, Kakang?" "Sudahlah. Jangan bicarakan soal sakitku ini. Tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita bicara soal lain. Bagaimana keadaanmu?" "Aku baik-baik saja. Seorang kawan memberi tahu aku bahwa Kakang Kamandanu sakit, maka buru-buru aku datang kemari." "Terima kasih atas kunjunganmu ini, Ratih." "Semula aku tidak mau datang, Kakang." "Kalau kau sibuk dan tidak mempunyai waktu, kau tidak usah memaksakan diri, Ratih." "Bukan soal itu. Aku tidak datang karena kesal!" "Kesal pada siapa?" "Pada Kakang." "Apa aku telah berbuat kesalahan, Ratih?" "Ternyata bukan kau yang bersalah, Kakang. Tapi bibimu itu. Nyai Rongkot yang salah." "Bi Rongkot? Aku belum begitu mengerti, Ratih." "Bukankah selama ini sudah tiga kali kau menulis syair untukku?" Arya Kamandanu mengerutkan dahi hingga lebam di dahinya terasa nyeri dan ia memekik kecil, lalu menggigit bibir. Nari Ratih untungnya kurang memperhatikan reaksinya, hingga ia melanjutkan kisi-kisi hatinya yang ingin ia ungkapkan di depan orang yang dicintainya, "Syair itu sangat indah. Hatiku tersentuh. Akhirnya aku sadar, bahwa tidak pada tempatnya aku berkeras hati." "Tunggu, Ratih! Syair? Aku menulis syair?" Arya Kamandanu memaksakan diri bangun dan duduk di pembaringan dengan tatap aneh, ia duduk bertumpu pada dua tangannya. Ia memperhatikan gadisnya yang mengerjap-ngerjapkan mata tidak berani membalas tatapan matanya. "Syair?" "Iya. Syair. Tiga kali kau menulis syair padaku." "Sebentar, Ratih! Ini ada kekeliruan. Sebab aku tidak pernah menulis syair padamu." Nari Ratih tersentak. Wajah gadis remaja itu mendadak menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali sementara Arya Kamandanu tampak berpikir, meraba apa yang telah terjadi. Gadis remaja yang sangat cantik itu menundukkan wajahnya. Menggigit bibirnya sendiri yang merah jambu. Semakin menunduk dan butiran bening menggelincir di kedua pipinya ketika ia mendesah seperti tercekat di tenggorokan. "Oh, jadi.....jadi Kakang tidak pernah menulis syair untukku?" "Tidak, Ratih. Selama ini aku sakit, bagaimana aku bisa menulis syair?" "Jadi, semua ini bukan kau yang menulis, Kakang?" Nari Ratih menyerahkan rontal-rontal itu kepada Arya Kamandanu dengan tangan gemetar. Arya Kamandanu mengerutkan dahinya dengan napas memburu memendam amarah. "Bukan. Bukan aku yang menulis syair-syair ini. Aku tidak bisa dan tidak berbakat menulis syair." "Kalau begitu, aku telah salah menganggapmu Kakang. Aku tidak bisa lama-lama di sini Maafkan aku telah mengganggu ketenanganmu." "Ratih..." Gadis cantik itu segera berbalik dan menghempaskan pintu kamar Arya Kamandanu. Ia tidak perduli dengan pemuda yang sangat dingin itu. Tanpa pamit pada penghuni rumah lainnya gadis itu berlari secepat-cepatnya. Sementara Arya Kamandanu yang ditinggalkannya duduk terpaku. Perlahan bangkit dengan meringis menahan rasa nyeri dan sakit karena luka-lukanya yang belum sembuh benar. Pada saat ia bangkit dan melangkah menghampiri pintu nyaris bertabrakan dengan Bibi Rongkot yang ternyata ingin menjenguknya. "Oh, kau, Bi." "Mana Nini Ratih?" "Dia sudah pulang, Bi." "Kok buru-buru sekali dia pulang? Ada apa, Ngger?" "Tidak ada apa-apa. Bibi tahu, di mana Kakang Dwipangga?" "Sedang menjemur daun tal di atas atap kamarnya." "Aku mau menemuinya." "Ada apa, Ngger? Kok sepertinya...?" "Minggir, Bi. Jangan menghalangi jalan. Aku harus menemui Kakang Dwipangga sekarang juga!" Dengan kasar sekali Arya Kamandanu menghela perempuan tua di hadapannya yang menghalangi langkahnya. Tidak peduli rasa nyeri dan sakit di tubuhnya. Ia segera menuju kamar Arya Dwipangga. Ketika sampai di depan pintu kamar kakaknya dengan menahan amarah yang memuncak dan menggemuruh di dada bahkan sampai di ubun-ubunnya ia tendang pintu kamar kakaknya hingga terdengar suara gedobrak dan berderak Arya Dwipangga terperangah melihat kehadiran adiknya dengan wajah tidak bersahabat. "Adi Kamandanu, ada apa? Mengapa kau rusak pintu kamarku?" "Huuh! Apa yang sedang kaulakukan itu?" "Apa urusanmu? Aku sedang menulis syair." "Rupanya kau bangga sekali dengan syair-syairmu itu, Kakang?" "Tentu saja. Kenapa? Apa karena aku sedang menulis syair lalu kau tidak senang dan merusak pintu kamarku?" "Jawab dulu pertanyaanku, Kakang! Mengapa kau mengirim syair-syair itu pada Nari Ratih? Apa maksudmu?" "Oooo, jadi kau sudah tahu? Baiklah Aku akan mengatakan alasanku." "Jangan membuat alasan, aku ingin tahu yang sebenarnya." "Ya, ya, Adi Kamandanu. Sabar dulu."Arya Dwipangga bangkit dan meletakkan alat tulisnya di atas meja kecil dan melangkah mendekati adiknya yang berpaling, membuang muka dengan perasaan kesal bercampur muak. "Adi Kamandanu! Aku ingin berbuat baik padamu. Aku ingin membuat hubunganmu dengan Nari Ratih pulih kembali " "Kakang! Persoalan Nari Ratih adalah persoalan pribadiku. Kau jangan ikut campur." "Dengar Hubungan kalian tak mungkin bisa dipulihkan kalau aku tidak turun tangan." "Apa pun yang akan terjadi di antara kami, Kakang tidak perlu ikut campur! Urusi sendiri persoalanmu!Mengapa Kakang terlalu usil?" "Jadi, kau tidak menganggapku lagi sebagai saudara tuamu?" "Kau tetap Kakang Dwipangga saudara tuaku, tapi bukan berarti kau boleh ikut campur urusan pribadiku sampai sekecil-kecilnya." "Aku kan bermaksud baik?" "Aku tidak membutuhkan jasa baikmu. Aku tidak butuh pertolongan siapa pun sekalipun ayahanda sendiri." "Kau sombong sekali, Kamandanu!" "Terserah apa yang akan kau katakan. Tapi begitulah pendirianku. Aku tak ingin melihat orang lain ikut campur urusan pribadiku." "Kalau begitu baiklah, Aku tak akan ikut campur lagi. Uruslah sendiri persoalanmu dengan Nari Ratih." "Tidak bisa, Kakang. Kau telah berbuat kesalahan dengan mengirim syair-syair itu. Sekarang Nari Ratih bertambah kesal padaku. Hubungan kami semakin suram." "Lalu bagaimana? Aku harus bagaimana?" "Aku tidak tahu kau harus bagaimana. Tapi yang jelas, Kakang telah membuatku kecewa Kakang telah menyakiti hatiku dan aku tidak mudah melupakannya." "Terserah kalau begitu." "Mulai sekarang kita saling menjaga diri. Aku tak akan mencampuri urusanmu, tapi Kakang jangan coba-coba ikut campur urusanku sekalipun dengan dalil ingin berbuat baik." "Baik kalau memang begitu kemauanmu." "Mengenai Nari Ratih, aku bisa menyelesaikan sendiri persoalan kami tanpa harus mengikutsertakan syair-syairmu itu. Buatlah syair untuk dirimu sendiri karena belum tentu orang lain senang mendengarnya." "Bagus, bagus! Tetapi bagaimana dengan pintu kamarku yang rusak itu?" "Jangan khawatir! Aku akan membetulkannya. Tapi setelah itu pintu itu harus kaututup rapat, jangan sampai gema syairmu terdengar dari kamar tidurku." Selesai berkata demikian, Arya Kamandanu segera meninggalkan kakaknya yang tersenyum getir. Beberapa saat lamanya ia berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Arya Kamandanu yang menghempaskan daun pintu kamarnya kuat-kuat sehingga menimbulkan suara kegaduhan. Perempuan tua itu menghela napas dalam-dalam kemudian melangkah menghampiri Arya Dwipangga yang masih berdiri di ambang pintu dengan hati resah. "Dalam hal ini, menurut pendapat Bibi, Angger Dwipangga juga yang bersalah." "Aku kan bermaksud baik, Bi." "Iya, tapi maksud baik Angger justru akan membuat Angger Kamandanu tersinggung. Seorang laki-laki tentu akan terusik harga dirinya jika urusan mengenai kekasih hatinya dicampuri laki-laki lain." "Aku jadi serba salah, Bi." "Maka sebaiknya Angger Dwipangga memperbaiki keadaan ini." "Bagaimana caranya, Bi?" Beberapa saat lamanya Bibi Rongkot terdiam, memperhatikan momongannya, lalu sesekali melongok ke arah kamar Arya Kamandanu. "Angger Kamandanu sangat kesal karena begitu tahu bahwa syair itu bukan dia yang menulis, gadis Manguntur itu lalu buru-buru pulang. Angger Kamandanu berusaha menahan, tapi agaknya gadis itu sudah sangat malu dan tersinggung harkat kewanitaannya." "Kalau begitu aku harus minta maaf pada Nari ratih. Aku akan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya." "Memang sebaiknya begitu. Tapi apakah Angger Kamandanu akan setuju?" "Dia tidak akan setuju, Bi. Dia sudah menutup diri untuk semua maksud baikku." "Kalau begitu cari cara lain saja, Ngger. Peliharalah perasaan adikmu. Kasihan dia." "Tidak, Bi. Aku akan minta maaf pada Nari Ratih bukan untuk Adi Kamandanu lagi, tapi untukku sendiri. Aku sudah melakukan kesalahan yang membuat gadis itu menderita batinnya dan tidak seorang pun berhak mencegah niatku ini." Hari itu juga Arya Dwipangga memacu kudanya menuju desa Manguntur. Bibi Rongkot tidak berhasil mencegah keinginan anak muda itu. Kepalanya pusing memikirkan dua momongannya yang berkemauan keras. Tidak ada yang mau mengalah. Ia mengambil sikap untuk diam. Dihempaskannya napas kesal kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Di pinggir desa Manguntur siang itu cuaca cukup cerah. Langit berhias awan-awan sirus hingga cakrawala biru tampak elok, menyejukkan mata. Matahari tidak terlalu terik, angin semilir mengayunkan dedaunan. Rumpun daun-daun pandan sesekali gemerisik bergesekan, suaranya kadang menakutkan. Dari kejauhan tampak seorang penunggang kuda. Derap kuda itu makin lama makin keras dan makin dekat. Seorang gadis yang sedang memetik daun pandan berhenti sejenak memperhatikan pemuda yang menghentikan kuda di dekat tegalannya. Pemuda itu melompat turun dari punggung kuda hingga binatang perkasa cokelat tua itu meringkik. Gadis cantik itu pura-pura tidak mengetahui kedatangan pemuda yang melangkah menghampirinya. Ia makin menyibukkan diri memotong daun-daun pandan yang dianggap sudah cukup tua. "Ah, gadis Menguntur memang rajin-rajin. Sepagi ini sudah turun ke tegalan untuk memetik daun pandan," sapa pemuda itu hingga mau tidak mau gadis cantik di depannya menghentikan pekerjaannya dan memandangnya sekilas dengan sedikit curiga. "Siapakah Tuan dan apa maksud Tuan datang kemari?" "Aku Arya Dwipangga dari desa Kurawan." "Apakah Tuan masih saudara dengan Arya Kamandanu?" "Dia adikku." "O, kalau begitu pasti Tuan bermaksud menemui sahabatku, Nari Ratih." "Aku gembira sekali kalau kau sudi menolong aku " "Menolong bagaimana yang Tuan maksudkan?" "Antarkan aku menemui Nari Ratih " "Saya tidak keberatan mengantarkan Tuan. Rumah sahabatku tidak jauh dari sini." Beberapa saat lamanya gadis itu seperti berpikir, lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Tapi apakah dia mau menerima Tuan, itulah soalnya." "Aku datang dengan maksud baik Mengapa dia tidak mau menerimaku?" "Sahabatku itu sekarang mengurung di kamarnya terus menerus. Tidak mau berbicara dengan siapa pun." "Ah, kasihan sekali sahabatmu itu. Aku ikut prihatin atas kesedihan yang baru dideritanya." "Dari mana Tuan tahu dia sedang bersedih hati?" "Akulah yang membuatnya bersedih. Akulah yang bersalah, karena itu aku datang untuk minta maaf padanya." "Hemh, baiklah. Tinggalkan saja kuda Tuan di tegalan ini Mari ikut saya." Gadis cantik itu meletakkan potongan daun pandan, menjemurnya, mengebas-ngebaskan tangannya yang kotor lalu melangkah mendahului Arya Dwipangga. Arya Dwipangga menambatkan kudanya pada sebuah batang pohon kelor. Kemudian ia mengikuti langkah gadis cantik itu pada jalan setapak di sisi tegalan sambil memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat tumit gadis cantik itu sedikit pecah-pecah, kasar dan cokelat. Sementara di selasela tumit retak itu ada garis-garis hitam. Jemari kakinya agak melebar. Lincah dan trengginas langkah gadis di depannya itu hingga tidak lama kemudian sampailah mereka pada sebuah rumah yang terbuat dari papan kayu jati dan beratap sirap. Cukup besar juga rumah Rekyan Wuru itu. Memiliki pekarangan yang luas ditanami dengan berbagai umbi-umbian. Ada talas, ketela, ganyong, klerot, serta berbagai macam pohon buah-buahan. Gadis cantik itu mengetuk pintu, sedangkan Arya Dwipangga menunggu agak ke samping depan dengan hati berdebar-debar. "Ratih! Ratih..., buka pintunya, Ratih! Ratih, ini aku, Palastri yang datang!" Terdengar dari langkah di dalam, dan palang kancing pintu yang dibuka dengan agak malas Tidak lama kemudian, daun pintu segera terbuka dengan suara gemeretak dan derit cukup panjang. Arya Dwipangga terbelalak matanya sambil menelan ludah. Ia sangat terpesona dengan kecantikan seorang gadis yang membukakan pintu. Alangkah sempurna gadis itu, wajahnya bercahaya ketika ia keluar dari gelap, dan pias cahaya matahari membias di wajahnya yang bersih. Rambutnya tergerai, kulitnya bersih terbungkus kain cokelat kembang-kembang. Kakinya juga sangat bersih menapak di lantai kayu rumahnya yang serba cokelat seperti baju yang dikenakannya. Bibirnya mungil di bawah hidungnya yang bangir. Kerjap matanya yang indah dengan bulu mata nan lentik, ditambah alis mata yang sangat rapi dan indah bak bulan sabit. "Ada apa, Palastri? Siapa yang kaubawa kemari ini?" duh suaranya juga merdu dan menggemaskan. Setiap kata selalu diikuti desah dan decak napas nan halus. "Dia saudara tua Arya Kamandanu. Dia ada keperluan denganmu, Ratih." Palastri membalikkan tubuh dan mengangguk pada Arya Dwipangga "Tuan! Tuan? Apa yang Tuan lihat?" Arya Dwipangga gelagapan karena terlalu asyik dengan pemandangan barunya, "Ekh, tidak... Aku, aku.... Apakah gadis di depanku ini yang bernama Nari Ratih, puteri tunggalRekyanWuru?" "Inilah sahabatku itu, yang Tuan cari." Nari Ratih dengan dingin memandang Arya Dwipangga. "Saya tahu Tuan datang kemari pasti ada hubungannya dengan Kakang Kamandanu. Saya sudah berjanji dalam hati tidak akan menyentuh persoalan itu lagi. Silakan Tuan pergi." Nari Ratih mundur selangkah kemudian tangan kanannya menarik daun pintu. "Ratih! Ratih!" Palastri berusaha mencegah sahabatnya, namun Nari Ratih dengan wajah tidak senang segera menutup pintu agak kasar. Palastri mengangkat bahu dan tidak berani memandang ke arah Arya Dwipangga yang tampak gugup dan kebingungan. "Bagaimana, Tuan Dwipangga? Nari Ratih sudah menutup lagi pintunya." "Kalau begitu tidak ada pilihan lagi. Aku harus kembali ke Kurawan." Mereka segera meninggalkan rumah Rekyan Wuru tanpa sepatah kata pun. Mereka disibukkan oleh bisikan hati dan pikiran masing-masing Arya Dwipangga segera kembali ke Kurawan dengan bayangan wajah Nari Ratih terus melekat di dalam ingatannya. Menurut penilaiannya Nari Ratih adalah gadis paling cantik, paling sempurna yang. pernah dijumpainya selama ini. Karena itu diam-diam Arya Dwipangga bermaksud memikat hati gadis Manguntur itu. Maka bermunculanlah bait-bait syair yang indah, yang tidak lagi mewakili adiknya melainkan dikirim atas namanya sendiri. Suasana malam kian mencekam. Keheningan menyelimuti desa Kurawan yang telah berhias kabut tipis. Dingin menyusup dan menggigit. Terdengar alunan seruling bambu mendayu-dayu. Seorang pemuda gagah dan tampan sangat gelisah di pembaringan dengan berbantal kedua tangannya. Dari bibirnya menggetarkan sesuatu yang hanya ia ketahui sendiri. Sekalipun aku tahu pintu rumahmu terkunci Aku ingin mengetuknya berulangkah Angin yang menghembus bumi menjadi saksi Penyesalan Dwipangga menyentuh ke dasar hati Mendapatkan ilham yang sangat indah ia segera bangkit kemudian menuangkan dalam goresan-goresan di atas rontal Tidak lama kemudian, ide-idenya itu sudah berwujud sebuah bait syair. Ia tersenyum dan membacanya berulangulang. Beberapa hari kemudian syair-syair itu telah berpindah Tangan. Rontal-rontal itu telah dibaca oleh seorang dara jelita dalam kamarnya. Sambil berbaring dan mengingatingat keras tentang siapa pengirim syair-syair itu. Nari Ratih! Kau adalah sebongkah batu karang Tapi aku adalah angin yang sabar dan setia Sampai langit di atas terbelah dua Aku akan membelai namamu bagaikan bunga Pada malam yang lain dara jelita itu juga menyimak syair lainnya. Ia perhatikan dengan jantung berdetak menggemuruh dan hati berdebar-debar. Tangannya pun gemetaran memegang rontal itu Hujan sore itu turun dengan sedihnya Tanpa angin tanpa pelangi Apakah itu pertanda harapanku akan sia-sia9 Kulewati malam yang dingin ini dengan gemetar sambil terus mengenang wajahmu. Gadis cantik itu menghela napas. Meletakkan rontal itu di sisinya kemudian memiringkan tubuhnya seraya mendesah sendu. "Ohh, Arya Dwipangga. Apa maksudmu mengirim syair-syair begini padaku? Syairmu membuatku gelisah sepanjang malam. Apakah kau sengaja melakukannya untuk menyiksaku?" Sejak syair-syair itu datang dan terus mengalir bagai air SungaiManguntur yang bening, dara jelita itu seperti hidup tanpa gairah. Pada pagi itu seperti biasa ia pergi ke sungai bersama sahabat setianya. Kepedihan hatinya turut membuat sahabatnya prihatin. "Kau pasti kurang tidur, Ratih Matamu agak merah." "Dia tidak mengirimkan daun rontal lagi, Palastri?" "Aih, aih. Kau ketagihan rupanya." "Jangan begitu, Palastri. Aku bersungguh- • sungguh." "Huu, siapa berkata kau tidak bersungguh-sungguh?" "Aku mulai tertarik membaca bait-bait syairnya." "Sayang sekali. Sudah dua hari dia tidak datang. Jadi, y a h... terpaksa kau harus sabar menunggu, Ratih." "Palastri! Bagaimana kalau aku menemuinya?" "Hee! Jangan terburu nafsu begitu, Ratih. Nanti bisa kecebur lebih dalam kau bisa celaka." "Kau bilang dia sering duduk sendiri di tepi padang ilalang itu?" "Dia yang berkata begitu. Entah benar, entah tidak." "Palastri, aku akan minta tolong padamu, yah?" "Huuus. Jangan minta aku mengantarmu ke sana." "Bukan. Aku akan pergi sendiri ke sana Tapi kalau misalnya ayahku mencariku, tolong katakan bahwa aku sedang pergi mengunjungi seorang kawan." "Aduh. Sekarang orang tua menjadi sasaran dusta. Ini bisa gawat, Ratih. Apa kau sudah berpikir masak-masak?" "Kaukira aku pergi menemuinya untuk apa? Aku hanya akan menemuinya untuk memaafkannya. Dengan begitu, dia tidak lagi mengirimkan syair-syairnya padaku." Sejenak keduanya terdiam. Menikmati gemericik air Sungai Manguntur yang membual-bual menuju lembah. Percikan-percikannya tampak melompat-lompat saat mendera bebatuan. Angin lembut mendesau mengelus kulit mereka yang kuning langsat. Rambut mereka yang tergerai melambai-lambai Sesekali keduanya membetulkan rambut yang tersibak angin dan jatuh pada dahi mereka. Bau kembang rumput dan bunga-bunga hutan kadangkala sampai pada penciuman mereka. Dalam kebisuan itu mereka berusaha menikmati alunan merdu kidung bumi pertiwi yang selalu mengalunkan nyanyiannya. Pada senja itu di langit sebelah barat tampak kuning Jingga kemerahan. Awan-awan yang bergumpal-gumpal bagaikan emas perak. Bertebaran memenuhi cakrawala. Padang ilalang tampak bagaikan lautan emas. Bunga-bunga ilalang yang putih bersih berubah menjadi emas kemilau oleh pantulan cahaya senja. Jika angin bertiup maka gelombang bunga itu tampak indah sekali. Makin mempesona tatkala bunyi berisik berangkai-rangkai bagaikan lagu dan syair diiringi musik nan harmoni. Kembang-kembang ilalang penarinya, berisik dedaunnya adalah musiknya. Seorang gadis jelita melangkahkan kakinya pada jalan setapak di pinggir padang ilalang. Keringatnya mengucur pada pelipisnya. Bahkan butir-butir keringat itu mengembun pada dahi dan hidungnya, yang bangir, Ia terus melangkah perlahan-lahan. Hati-hati sekali karena tidak ingin kakinya yang lembut menginjak duri-duri tajam. Ia berhenti sejenak. Dahinya berkerut dan napasnya tertahan, detak jantungnya makin menggemuruh tatkala melihat seseorang duduk di atas batu hitam memunggunginya. "Ah, benar. Dia duduk di tepi padang ilalang ini, di atas sebuah batu hitam. Ahh, bagaimana ya?" gadis itu merasa malu sekali untuk menghampirinya. Namun, kalau tidak ia juga kasihan melihatnya duduk merenung seperti arca batu begitu. Kecamuk hati gadis itu terus mendesaknya untuk melangkah mendekati orang yang duduk agak jauh di depannya. Karena tidak melihat jalan di depannya, tanpa sengaja ia menginjak ranting kering hingga menimbulkan suara berderak. "Akhhh...!" pekiknya seraya menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Hal itu membuat seseorang yang duduk di atas batu hitam itu terkejut dan membalikkan tubuhnya seraya bangkit. Pemuda tampan dan bertubuh tinggi besar itu terperangah. "Hei? Apakah aku sedang bermimpi? Bukankah kau Nari Ratih?" "Tidak. Tuan tidak bermimpi. Aku memang Nari Ratih." "Kalau begitu aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini. Ketika aku sedang duduk dalam sunyinya padang ilalang ini tiba-tiba ada seorang bidadari dari kayangan dikirim untuk menemaniku." "Ah, Tuan pandai memuji." "Marilah kita duduk di batu yang di sana." "Tidak. Di sini saja." "Di sana saja Kita bisa melihat pemandangan yang indah terbentang di sebelah utara padang ilalang ini. Sawah, pohon-pohon mahoni di sepanjang jalan, gunung membiru di kejauhan, bisa kita lihat semua. Ayo! Jangan malu padaku." "Baiklah. Tuan jalan di depan Aku di belakang." "Kau takut aku akan menciummu?" "Ah, tidak, mengapa....Mengapa Tuan berkata begitu?" "Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja aku Kakang. Itu akan terdengar lebih merdu." "Tidak. Aku akan memanggil Tuan saja." "Baiklah. Terserah padamu.'* Angin mendesau menggoyangkan daun-daun nyiur di kejauhan. Suara gemerisik daun ilalang juga menyambut embusannya. Sepasang muda-mudi itu menikmati senja hingga menjelang petang Pada awal pertemuan itulah yang membuat gadis jelita desa Manguntur itu semakin gelisah. Malam harinya ia tidak bisa tidur. Menggelimpang ke kanan dan ke kiri dengan desah napasnya yang terasa berat. Betapa indah kenangan di pinggir padang ilalang itu, "Arya Dwipangga. Baru pertama kali aku mengenal laki-laki seperti dia." Nari Ratih tersenyum Padang ilalang menurutnya makin indah dan mempesona. Kembali ia tersenyum membayangkan pemuda itu, "Sungguh berbeda dengan adiknya. Arya Dwipangga lebih terbuka. Dia pandai sekali menyenangkan hati seorang wanita. Dia juga lembut dan mudah menuruti keinginan orang lain." Nari Ratih menghempaskan napas, bibirnya sampai manyun. Geleng-geleng kepala dan makin resah, ia raba telinga kirinya, "Ohhh, tadi dia menyentuh telinga kiriku. Sampai gemetar seluruh tubuhku. Apakah dia sengaja melakukannya? Mengapa aku tak pernah mengalami guncangan perasaan seperti ini selama duduk bersama Kakang Kamandanu?" gadis itu kembali geleng-geleng kepala, kini yang melekat di pelupuk matanya adalah Arya Kamandanu, "Kakang Kamandanu memang baik tetapi dia tidak pernah mau mengerti suara hatiku. Dia sering menyakitkan hati dan membuatku kecewa. Ahh, Arya Dwipangga, kau memang lebih dari yang lain. Apakah karena aku telah terpikat olehmu?" gadis cantik itu kembali memiringkan tubuhnya, menggigit bibirnya sendiri. Bahasa hatinya selalu memburu dalam benaknya. Kembali ia tidur telentang dan mendesah. Teringat syair yang dibacakan Arya Dwipangga di tepi padang ilalang. Suara pemuda itu kembali terngiang di gendang telinganya, Jika hari telah tidur di pangkuan malam Kukirim bisikan hatiku ini bersama angin Biarpun bulan pucat kedinginan Biarpun bintang merintih di langit yang jauh Aku akan tidur dengan tenang Sambil memeluk senyummu dalam kehangatan mimpiku. Gadis cantik itu kini telah memejamkan matanya. Napasnya sangat lamban dan lembut sekali hingga desah pun nyaris tidak kedengaran. Bukit-bukit dadanya menyembul di balik kainnya yang sangat tipis. Dalam pejam matanya bibirnya mengulum sebuah senyuman penuh arti. Dagunya bergerak menengadah menantang langit. Ia melihat seorang pangeran bermahkotakan emas, bertatah intan berlian. Sang pangeran itu tersenyum padanya. Gadis cantik itu terpukau, berdiri mematung sambil membelalakkan matanya. "Kakang Arya Dwipangga!" "Nari Ratih permaisuriku!" Mereka saling berpelukan, mereka hanya berbicara dengan bahasa desah napas dan jemari Langit yang biru bening berhias awan-awan putih bagaikan kapas dan bulu domba. Angin semilir menyejukkan sepasang dewa-dewi yang sedang bercengkerama.

Setelah pertemuannya dengan Arya Dwipangga di tepi padang ilalang itu, Nari Ratih semakin kelihatan gelisah. Suatu ketika dia pergi lagi ke tepi padang ilalang dan dia sangat terkejut. Bukan Arya Dwipangga yang dia temui di sana. Napas gadis itu serasa terhenti dan detak jantungnya kian memburu, kedua tangannya yang terlipat di dada mendadak gemetar. Dalam hatinya berkata-kata, menyusun kata yang terbaik untuk menghadapi pemuda itu, "Ohh, bagaimana ini? Mengapa Kakang Kamandanu yang duduk di situ? Mana Arya Dwipangga? Oh, apakah aku harus kembali saja? Tetapi bagaimana dengan Kakang Kamandanu? Apakah tidak sebaiknya kutemui dia? Akh, tidak. Aku tidak akan menemuinya lagi. Ohh, Nari Ratih. Kau tergolong wanita yang tidak setia. Mengapa kau begitu cepat berpaling pada pria lain?" Ketika Nari Ratih tengah sibuk tercekam oleh pikiranpikiran yang berkecamuk dalam benaknya, mendadak tak jauh dari betis kakinya yang indah muncul seekor ular pohon. "Aaaawwwkhh!" Nari Ratih terpekik. Betisnya dipagut ular, namun bersamaan dengan itu seorang mendekapnya dari belakang hingga ia tak mampu berteriak. "Okh, ekh, okh...!" Orang itu semakin erat membekapnya, namun ketika orang itu menunjukkan wajahnya di depan matanya ia pun terbelalak. "Ohh...," "Sssstt! Jangan keras-keras. Adikku ada di sana. Kalau dia tahu kita berada di sini bisa terjadi keributan." "Kakiku..." desah Nari Ratih merasakan nyeri pada betisnya. Arya Dwipangga terkesiap melihat kaki Nari Ratih, "Betismu berdarah " "Terasa pedih dan agak nyeri, ohh..." "Jangan cemas. Mari kita mencari tempat yang tenang. Aku akan berusaha mengeluarkan bisa ular pohon itu dari kakimu " "Oh, ke mana?" "Tenanglah! Aku tahu tempat yang aman. Mari, pegang pundakku dan aku akan memapahmu." "Ohh, oh!... maaf. Tuan." "Pegang saja, supaya kau jangan terjatuh. Hati-hati! Pelan-pelan saja jalannya agar tidak menimbulkan suara." Pemuda itu memapah Nari Ratih dan mereka berdua diam-diam meninggalkan tepi padang ilalang. Mereka melangkah ke arah selatan, ke arah Candi Walandit yang tampak berdiri kokoh di balik bukit. Burung-burung kecil bercericit menerima kehadiran mereka. Burung-burung kecil itu berlompatan dari dahan ke dahan, bahkan ada yang langsung terbang meninggalkan tempat itu karena merasa terganggu oleh kehadiran manusia. Mendadak jantung Nari Ratih berdebar keras ketika Arya Dwipangga mengajaknya di Candi Walandit di mana ia pernah dipaksa oleh Dangdi yang menginginkan kehormatannya. Ia menghentikan langkahnya di halaman candi, "Ohh, sudah. Di sini saja, Tuan." "Mengapa kita tidak istirahat di dalam saja? Ruangan candi itu cukup luas dan kita bisa leluasa mengeringkan keringat. Ayo, kita masuk." "Tidak. Di sini saja." "Kau seperti ketakutan melihat candi itu. Ada apa?" "Tidak ada apa-apa." Padahal dalam hatinya Nari Ratih ingin katakan bahwa di candi itu, Arya Kamandanu dan Dangdi berkelahi karena membelanya, bahkan kini ia masih menyimpan kainnya yang sobek oleh kekasaran Dangdi. Arya Dwipangga bersabar, dan ia ikut menghentikan langkah lalu mencarikan tempat yang nyaman untuk Nari Ratih. "Baiklah, sekarang aku akan mengeluarkan bisa ular pohon itu. Kalau tidak kukeluarkan betismu bisa kaku dan membengkak." "Apakah bisa ular itu berbahaya, Tuan?" "Mengapa? Kau takut kehilangan sebelah kakimu? Hmm, itu tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi aku bisa menggantikannya dengan dua belah kakiku." "Sudahlah. Tuan jangan menggoda saya terus." "Kau tidak usah khawatir, Ratih. Bisa ular pohon itu tidak berbahaya. Nah, maaf." Pemuda itu menyentuh betis gadis cantik itu sehingga gadis itu terkejut. "Ohh, Tuan! Tuan telah memegang betis saya." "Betismu tidak berkurang indahnya walaupun kupegang sepuluh kali sehari." "Tapi, itu tidak boleh, Tuan. Itu berarti lancang, bukan?" "Aku kan harus mengeluarkan bisa itu. Mengapa tidak boleh memegang betis kakimu? Sekarang kau harus menganggapku sebagai tabib " "Dengan apa Tuan akan mengeluarkan bisa itu?" "Bisa itu harus kusedot dengan ini, mulutku Lihatlah!" Dengan agak ragu Nari Ratih membiarkan Arya Dwipangga menyibakkan kainnya yang menutupi sebagian betisnya. Pemuda itu hati-hati, lalu merunduk dan segera mengecup betisnya yang terluka oleh pagutan ular, "Hmmh, hemhh." Pemuda itu berkali-kali mengecup betis gadis cantik yang terpagut ular pohon itu. Darah Nari Ratih terasa tersirap olehnya. Bulu romanya merinding ketika permukaan kulitnya yang lembut tersentuh oleh bibir pemuda itu. Hatinya berdebar-debar oleh kenakalan pemuda yang berniat menolongnya. Pikirannya melayang-layang ke mana-mana. Setelah mengecup dan menyedot betis indah itu kemudian pemuda itu meludahkan darah kehitam-hitaman. Berulangkah pemuda itu melakukan hal yang sama hingga membuat gadis itu menggelinjang dan menggigil. Ia merasakan getaran-getaran halus menyusup di dalam hatinya kemudian menjalar ke seluruh urat syaraf tubuhnya. Pada ludah yang terakhir kali sudah tampak bersih, maka pemuda tampan itu menghentikan kecupannya. Ia pandang lekat-lekat gadis cantik di dekatnya yang ternyata masih memejamkan mata. Dielusnya betis mulus itu penuh dengan perasaan kemudian ia menyentuh dagu yang indah bagaikan lebah menggantung itu. "Mengapa napasmu tersengal-sengal, Ratih?" "Ehh, tidak. .. Tidak apa-apa." "Sakit, ya?" "Eh, ya, agak sakit sedikit." "Kalau begitu sekarang kaubaringkan tubuhmu sebentar di atas batu pipih ini." Arya Dwipangga meletakkan batu pipih yang terlepas dari bangunan halaman candi, "Ayo, baringkanlah." "Oh, terima kasih, Kakang Dwipangga." Jejaka tampan itu membiarkan gadisnya terbaring dan memejamkan matanya. Sambil menelan ludah ia raba dadanya sendiri yang menggemuruh menyaksikan gugusangugusan yang menyembul di balik kain gadisnya. Gugusangugusan itu naik turun seiring napas gadis itu yang sangat lembut. Pada hari itu juga di tepi padang ilalang seorang perempuan tua menggeleng-gelengkan kepalanya sambir mengatur napasnya yang terengah-engah. Sudah sekian lama ia berjalan menyusuri desa Kurawan dan pada saat itulah hatinya baru terasa lega karena melihat momongannya duduk terpaku memandang pemandangan seorang diri di atas sebuah batu hitam. "Nggeer!... Angger Kamandanu! Oh, apa yang Angger lakukan di tempat ini? Bibi mencari ke sana-kemari dari tadi." "Mengapa Bibi mencari saya?" tanya pemuda itu tanpa menoleh. "Angger kan belum sembuh benar? Angger masih perlu istirahat." "Saya sudah sembuh, Bi. Biarkan saya di sini. Bibi pulang saja." "Jangan begitu, Ngger. Bibi tahu Angger belum sembuh benar. Kemarin saja Angger masih mengeluh pusing. Mengapa Angger membohongi Bibi Rongkot yang sudah tua ini?" "Bibi tidak usah memikirkan saya." "Ah, bagaimana bisa begitu? Angger Kamandanu dan Angger Dwipangga adalah momongan Bibi sejak masih anak-anak. Sudah lima belas tahun Bibi momong Angger berdua. Tapi mengapa Angger berkata begitu? Apakah Angger Kamandanu sudah tidak menginginkan Bibi tinggal bersama Angger lagi?" "Oh, bukan begitu maksudku, Bi. Maafkan kalau katakataku tadi menyinggung perasaan Bibi." "Yah, mungkin karena Nyi Rongkot ini sudah tua bangka. Orang kalau sudah tua tidak berguna lagi. Dia hanya bertambah cerewet, banyak tingkah, sedangkan hasil pekerjaannya tidak sempurna lagi. Mungkin Angger sudah bosan melihat Bibi." "Oh, mengapa Bibi berkata begitu? Bagaimana saya bisa bosan pada Bibi? Bibi sudah saya anggap sebagai ibuku." Mendengar jawaban pemuda itu, perempuan tua itu matanya berkunang-kunang. Kemurungannya seketika sirna. Butiran bening meluncur pada pipi keriput itu. Dipandanginya pemuda tampan di depannya lekat-lekat. Pemuda itu bangkit dan memandang sekilas padanya. "Sudahlah, Bi. Jangan membuat hati saya bertambah sedih." "Ngger, apa sebenarnya yang menggelisahkan hati Angger? Hemm, apakah soal gadis desaManguntur itu?" "Entahlah, Bi." "Jangan terlalu dipikirkan, Ngger. Nanti Angger bisa bertambah sakit. Anggap saja semua itu merupakan suatu pengalaman yang berharga untuk membina masa depanmu. Menurut Bibi, soal jodoh bukan di tangan kita, Ngger. Jodoh sudah ditentukan oleh para dewa penentu jodoh. Kalau memang Nari Ratih itu jodoh Angger Kamandanu, biarpun dia lari ke atas Gunung Semeru, tetap saja akhirnya akan jatuh ke pangkuan Angger. Percayalah kata-kata Nyi Rongkot yang tua ini." "Ya, Bi. Aku percaya. Tapi kadangkala hati ini tidak mudah untuk menerimanya Hati dan pikiran selalu bertentangan. Sering kali aku tidak bisa memahami apa yang terjadi." "Ngger, jangan memikirkan apa yang sudah terjadi. Pikirkan saja apa yang belum terjadi. Apa yang sudah terjadi biar mengendap sebagai pengalaman hidup. Kata orang-orang tua, pengalaman adalah guru kita yang paling sempurna. Guru manusia hanya mengajarkan satu sisi kehidupan saja. Sedang guru pengalaman mengajarkan lebih lengkap." "Kata-kata Bi Rongkot dalam sekali." "Itu pun berkat pengalaman Bibi ketika muda dulu, Ngger." "Terima kasih, Bi. Nasihatmu kembali membesarkan hati ini." "Sudahlah, Ngger. Jangan banyak berpikir yang tidaktidak. Pikiran yang tidak sehat bisa merusak diri kita. Nah, sekarang mari kita pulang. Duduk merenung sendiri di tempat seperti ini bisa menjadi sahabat setan." "Baiklah, Bi, mari kita pulang. Tempat ini memang menyakitkan untuk dikenang." Pemuda itu kemudian merangkul pundak perempuan tua yang sangat memperhatikannya. Keduanya lalu berjalan beriring menuju tempat tinggal Mpu Hanggareksa melalui jalan setapak di tepi padang ilalang. Dalam perjalanan pulang, keduanya sedikit pun tak mengeluarkan suara. Mereka sibuk dengan bisikan hati masing-masing. Hanya desah angin yang semakin jelas dalam pendengaran mereka. Daun-daun gemerisik menyambut hadirnya hembusan angin pada hari itu. Pada saat yang sama, suasana sunyi mencekam di sebuah bangunan kuno di balik bukit. Seorang pemuda tampan dan gagah tersenyum sendiri memperhatikan gadisnya menggeliat dan mengusap pelupuk matanya dengan punggung tangannya. Bibir gadis cantik itu merekah. Perlahan matanya yang bening terbuka. Dahinya mengerut dan ia terkejut. "Oh, mengapa..., mengapa aku bisa tidur di bangunan candi ini?" "Aku yang membaringkanmu di sini, Ratih." "Oh, Kakang Dwipangga. Kakang terlalu lancang " "Ratih. Bukan karena aku tidak tahu kesopanan dan tata krama. Aku hanya kasihan melihat tubuhmu terbaring di halaman candi yang kotor berdebu sementara matahari semakin panas menyengat kulitmu. Tapi, yah, kalau kau keberatan aku pun bersedia memindahkanmu ke sana." "Ih, itu tidak lucu, Kakang! Aku bukan barang perhiasan yang bisa dipindah ke sana kemari." "Siapa yang mengatakan kau barang perhiasan? Kau adalah seorang dewi. Kau adalah bidadari yang turun dari langit melewati tangga pelangi untuk membuat isi dunia ini menjadi cerah dan bahagia." "Kakang...." Pemuda itu tersenyum, tangan kirinya merengkuh bahu lembut gadis itu. Ia hela napas dalam-dalam untuk mengatasi detak jantungnya yang kian menggemuruh, berdebar dan tak menentu. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada dada bidang pemuda yang merengkuhnya "Kakang Dwipangga....," mendesah dan lembut suara gadis itu. "Kau sekarang memanggilku, Kakang. Mengapa tidak Tuan?" "Rasanya tidak enak memanggil Tuan. Terlalu kaku. Kakang lebih akrab dan lebih sopan. Hemh, apa Kakang keberatan?" "Bukankah aku lebih dulu memintamu memanggil Kakang?" "Oh, Kakang Dwipangga. Bolehkah aku bertanya?" "Silakan. Aku akan berusaha menjawabnya dengan baik." Gadis itu merenggangkan pelukan pemuda yang mulai mencuri Hatinya. Membetulkan beberapa helai rambutnya yang menghalangi matanya. Memandang menengadah pada jejaka tampan yang meremas jemarinya dengan senyuman manja. Kembali gadis itu merebahkan kepalanya bagaikan keletihan sambil berbisik, "Kakang Dwipangga pandai sekali menulis syair. Semula kukira Kakang Kamandanu yang menulis syair-syair itu. Dari mana Kakang belajar menulis syair?" "Menulis syair tidak bisa dipelajari." "Masak begitu?" "Memang begitu Menulis kata-kata indah ada kamusnya, tapi menulis syair membutuhkan bakat yang khas " "Tampaknya kau tak bisa hidup tanpa syair." "Bagiku hidup ini adalah syair Apa yang kulihat, kualami, kudengar, kusaksikan adalah lantun-an-lantunan bait syair. Kau tidak percaya?" Nari Ratih mengernyitkan alis. "Nah, dengarkan. Seekor kijang kencana terbaring di atas lempengan batu dan Candi Walandit tak bisa mendongeng lagi tentang cerita lama yang sudah usang yang selama ini dibanggabanggakan. Megapun tersingkap Angin berhenti Pohon-pohon tersentak lalu terdiam Burung-burung tak berkicau lagi Desah napas pun tak terdengar lagi kena pesona gaib kijang kencana yang masih tidur di atas lempengan batu." Selesai membacakan syair itu semakin erat jemari mereka berjalinan. Keduanya mendesah Kepala pemuda tampan itu direbahkan di atas kepala dara jelita yang bermanja di dadanya. "Syairmu indah sekali. Tapi siapakah yang kaumaksudkan dengan kijang kencana itu?" "Kijang kencana itu bernama Nari Ratih, seorang gadis dari desaManguntur." "Ah, Kakang Dwipangga." Mesra dan manja gadis itu mencubit sayang pada lengan pemuda yang makin erat memeluknya. "Nari Ratih...!" "Oh, Kakang!" Tiba-tiba gadis itu memekik dan bangkit setelah melepaskan pemuda itu. Mereka saling mengerutkan dahi sambil menajamkan pendengaran. Dari kejauhan mulai terdengar derap kuda yang kian mendekat menghampiri CandiWalandit. Mereka kembali saling memandang dengan kecemasan. Derap kuda itu berhenti dan suara ringkikan binatang perkasa itu memecah keheningan. "Haaaiii! Kalian yang ada di dalam candi! Keluarlah! Aku tahu kau adalah Kamandanu dan anak Rekyan Wuru! Ayo, keluarlah!" teriak penunggang kuda. Teriakan itu beberapa saat tak terdengar lagi. Sepasang muda-mudi itu tampak resah. Gadis itu gugup sambil membetulkan letak pakaiannya yang kurang beres. Mereka menghela napas seolah-olah sesak dan berat sekali. "Jadi, kalian tidak mau keluar?" seru orang itu seraya melompat dari punggung kudanya dan merunduk mengambil beberapa bongkahan batu. "Ayo, keluar! Jangan berbuat tidak senonoh di dalam candi. Kalau kalian tidak keluar, aku lempar dengan batu ini!" Orang itu pun segera melemparkan batu ke arah candi. Orang itu memelototkan matanya ketika melihat siapa yang keluar dari dalam candi. Ia mencibirkan bibirnya dan memandang sinis ke arah mereka. "Hee, Nari Ratih! Rupanya bukan Kamandanu yang menjadi pasanganmu sekarang." "Kamandanu atau bukan itu bukan urusanmu. Kau tidak usah ikut campur, Dangdi!" tukas Nari Ratih kesal dan setengah berteriak. Pemuda yang ternyata adalah anak Kepala Desa Manguntur itu tertawa terbahak-bahak dan memandang rendah pada seorang gadis yang pernah menggoda hatinya. Tawanya meledak bagaikan geledek di siang bolong menghantam gendang telinga Nari Ratih. "Baru aku tahu, Nari Ratih ternyata hanya wanita murahan. Kau gampang dibawa orang!" "Dangdi!" bentaknya kesal. Ia berpaling pada Arya Dwipangga, "Oh, Kakang.... Dia telah menghinaku!" "Mengapa kau mengganggu ketenangan kami, Dangdi?" bentak pemuda tampan di samping gadis ayu desa Manguntur itu. Yang dibentak semakin sinis tersenyum lalu kembali tawanya meledak penuh cemooh. "Aku hanya kebetulan lewat jalan ini. Kajian tidak usah khawatir. Tak ada perlunya aku lama-lama di tempat ini." Pemuda itu kemudian melompat kembali ke atas punggung kudanya lalu menghelanya. Binatang perkasa itu membawa lari tuannya dengan ringkikan panjang seiring seruan mengejek, "Selamat bercumbu-rayu!.... Heyaaaaa, heyaaaaa...!" Keduanya memandang kepergian anak Kepala Desa Manguntur yang semakin menjauh dan akhirnya lenyap di balik semak belukar dan gerumbul-gerumbul lebat di sekitar CandiWalandit. Nari Ratih memandang penuh kecemasan, pada pemuda yang meraih jemarinya lalu meremasnya. Pemuda tampan itu kemudian meraih pundak dara jelita di sampingnya, memeluknya dan diajaknya melangkah masuk kembali ke dalam CandiWalandit. Sejenak mereka diam. Hanya bahasa jemari mereka yang bicara seiring embusan angin sepoi yang menyapa permukaan kulit. Rambut gadis desa Manguntur itu berderai-derai diembus angin. Pemuda Kurawan yang semakin terpikat itu membelainya dengan tangan kanannya. Mereka berhenti melangkah, berhadap-hadapan saling memandang penuh arti. Gadis cantik itu menjatuhkan kepalanya di dada pemuda yang mengasihinya seolah-olah terlalu letih menanggung cercaan pemuda Manguntur yang telah ditolak cintanya. "Mengapa Kakang biarkan Dangdi merendahkan dan menghina kijang kencana?" "Sudahlah, dia sudah pergi. Apa perlunya melayani manusia seperti itu? Manusia mempunyai pikiran dan rasa, sedangkan babi mempunyai taring saja sehingga tidak mampu melihat daki pada tubuhnya. Orang seperti Dangdi tak lebih dari babi hutan. Biarkan saja babi hutan berkeliaran mencari makanan di hutan." "Oh, Kakang Dwipangga," kembali gadis jelita itu tenggelam dalam pelukan pemuda Kurawan yang telah merebut hatinya. Mereka bercengkerama di Candi Walandit disaksikan langit dan mega-mega, desau angin dan berisik daun melambai yang mengiringi kidung cinta yang mengalun dalam sanubari. Pertemuan demi pertemuan pun semakin mengikat mereka dalam jalinan tali kasih. Hubungan mereka semakin akrab dan sangat intim Nari Ratih mulai melupakan Arya Kamandanu. Sementara itu, Arya Kamandanu telah sembuh dari lukanya. Suatu ketika ia sedang menunggang kudanya hingga sampai di tepi padang ilalang. Kuda itu berlari dengan gagahnya di atas rumput. Suri-surinya berdiri dan suaranya sesekali meringkik nyaring setiap kali tuannya mendekapkan kedua lututnya pada perutnya Arya Kamandanu menarik kekang kudanya hingga kuda itu memperlambat larinya. Semakin perlahan akhirnya berhenti dan meringkik seolah-olah bertanya apa maksud tuannya menghentikannya. Kuda itu meringkik panjang. Ekornya melambai didera angin yang cukup kencang. Pada saat pemuda Kurawan itu tengah sibuk melayangkan pandang ke permukaan padang ilalang, dari arah bukit Kurawan muncul kuda yang lain. Kuda itu dipacu semakin dekat, derapnya kian jelas hingga akhirnya sampai di depannya beberapa langkah. Penunggangnya tersenyum sinis padanya, bahkan kuda yang ditunggangi orang itu meringkik seolah turut mencemoohkannya. "Ahaa! Ada sahabat lama rupanya. Apa kabar, Kamandanu?" "Kau jangan mencari gara-gara lagi denganku, Dangdi. Kalau kau bersama dua temanmu telah membuatku babak belur, bukan berarti aku kemudian gentar menghadapi kalian. Carilah hari yang baik untuk membuka pertandingan babak baru Aku akan siap melayanimu kapan saja." "Sayang sekali, tantanganmu kali ini tidak menarik seleraku, Kamandanu." "Lalu apa maksudmu menemuiku?" "Ah, aku hanya kebetulan saja lewat tempat 'Kalau begitu teruslah lewat." 'Baik, tapi sebelum meneruskan perjalananku ke Manguntur, aku akan menyampaikan suatu kabar penting. Kabar tentang gadismu, anak RekyanWuru itu." "Dangdi, kalau kau masih mengganggu dia lagi, aku tidak akan memaafkanmu." "Sabar, Kamandanu! Jangan menuduh tanpa bukti. Siapa yang mengganggu Nari Ratih? Huuuuh, kalaupun ada bukan aku orangnya." "Apa maksudmu, Dangdi?" "Kau akan tahu apa yang kumaksudkan kalau sekarang ini berkuda ke CandiWalandit." "Dangdi, kau ingin agar aku ke Candi Walandit? Aku bukan orang yang terlalu bodoh untuk bisa kaujebak dengan cara semudah itu." "Kaukira aku menjebakmu, Kamandanu? Buat apa?" "Banyak orang telah mengenal kelicikanmu, Dangdi?" "Hahahahahah, terserah kau, Kamandanu. Mau percaya atau tidak bukan urusanku. Tapi kalau kau ingin tahu diri pacarmu itu, nah...sebaiknya kau turuti apa yang kukatakan. Pergilah berkuda ke CandiWalandit." "Kalau aku ingin menemui Nari Ratih, aku akan ke Manguntur kapan saja aku mau. Bukan ke tempat di mana kau pernah akan memperkosanya." "Kasihan sekali kau, Kamandanu." Anak kepala desa Manguntur itu tersenyum sinis kemudian menggumam, berbicara seperti pada diri sendiri, "Kasihan Arya Kamandanu! Ada seekor serigala tidur bersamanya dan telah menerkam daging pahanya tapi dia tidak merasa. Kasihan!" Dengan geleng-geleng kepala dan tersenyum makin mengejek Dangdi memandang Arya Kamandanu yang makin seperti orang bodoh. Maka ia pun menghela kudanya, "Hiaaaa..., hiaaaaa...!" Binatang gagah perkasa itu pun meringkik panjang dan melonjak setengah kaget ketika tuannya menghelanya dengan mendadak. Dangdi tidak mempedulikan Arya Kamandanu yang memperhatikan kepergiannya dengan heran dan bertanya-tanya. Dahi Arya Kamandanu berkerut-kerut sampai alisnya yaris bertemu. Arya Kamandanu menghela napas sangat dalam kemudian mengembuskannya perlahan-lahan. "Hemmmh, apa maksud kata-kata Dangdi? Ada seekor serigala telah tidur bersamaku dan telah menerkam daging pahaku tapi aku tidak tahu. Apa maksudnya? Huuuh, masa bodoh. Orang seperti Dangdi memang banyak akalnya untuk mencelakakan lawannya. Kalau tidak waspada aku bisa terjebak." Kembali Arya Kamandanu memperhatikan Dangdi yang makin lenyap dari pandangan matanya Hanya derap kudanya yang masih terdengar semakin sayup. Sampai menjelang senja Arya Kamandanu berada di tepi padang ilalang. Matahari mulai kemerah-merahan ketika pemuda itu menyentakkan tali kudanya dan sebentar kemudian hewan perkasa itu telah berlari bagaikan terbang. Derapnya kian sayup dan menjauh meninggalkan padang ilalang yang gemerisik dibelai angin senja Bunga-bunganya tampak kuning kemerahan oleh pendaran cahaya matahari. Bergelombang-gelombang bagaikan lautan emas yang menggelorakan alun, riak dan ombak-ombaknya. Tempat yang menggoreskan noktah-noktah cinta di hatinya. Namun beberapa kali berada di situ ia tidak pernah menjumpai gadis yang masih melekat di hatinya. Ia selalu pulang dengan kegalauan dan kekecewaan Tiba di halaman rumahnya ia menyerahkan kuda ke Bibi Rongkot agar dibawa ke kandangnya. Ia terhenyak, sepotong rontal ada di dekat kakinya. Tapi ia tidak begitu peduli, sebab rontalrontal macam itu sudah pasti milik kakaknya. Ia bawa saja ke kamar dan meletakkan begitu saja di atas pembaringannya.

Malam tiba bagaikan menghimpit hati seorang pemuda yang sedang berbaring sambil memegang selembar rontal. Napasnya seolah-olah sangat sesak. Dibacanya perlahanlahan goresan-goresan pada potongan rontal itu, setelah sebelumnya ia bubuhkan serbuk kapur dan mengusapnya dengan ujung telunjuknya, maka jelaslah tulisan itu yang berbunyi, Aku berkelana mencari cinta ke desa-desa yang jauh. Akhirnya di CandiWalandit kupuaskan dahagaku. Selesai membaca sebait syair itu, pemuda itu mengerjapngerjapkan matanya ke langit-langit kamarnya yang berhias dawai-dawai sarang serangga. Ia letakkan selembar rontal itu di sisinya sambil tetap ditutupi dengan telapak tangan kirinya. Ia bergumam, "Hmm, apa maksud Kakang Dwipangga menuliskan syair ini? CandiWalandit? Apa ada hubungannya dengan ucapan Dangdi?" Perlahan pemuda itu memiringkan tubuhnya. Diperhatikannya kembali selembar rontal itu. Ia mendesah dan perlahan memejamkan matanya. Pikirannya kian bermacam-macam dan menggalaukan perasaan hatinya. Malam itu ia hampir tidak bisa tidur. Pikirannya terganggu oleh syair yang ditemukan di halaman rumahnya. Pagi harinya dia akan mencoba membicarakan masalah itu dengan saudara tuanya. Burung-burung berkicau di dahan pohon sawo, mereka seolah menyambut datangnya pagi yang sangat cerah. Embun-embun berguguran setiap kali mereka melompat dari dahan ke dahan Sinar matahari masih tampak lembut meraba punggung bumi. Ringkik kuda, embik kambing dan lenguh lembu serta kerbau yang menguak saling bersahut dengan suara unggas-unggas liar Paduan harmoni alam yang tercipta bagaikan gubahan kidung maha-sempurna. Pagi itu, Arya kamandanu ragu-ragu melangkah menghampiri sebuah kamar yang pintunya tidak tertutup. Ia melihat saudaranya sibuk di belakang meja dengan pena dan rontalnya. Ia hampiri kakaknya tanpa ucapan salam. Dilemparkannya begitu saja selembar rontal yang ditemukan kemarin sore. "Aku menemukan rontal ini di halaman. Barangkali tertiup angin yang menerpa daun jendela kamarmu, Kakang." Arya Dwipangga meraih rontal itu dan memeriksanya sejenak sambil tersenyum terpaksa "Hmm, ya. Ini memang syairku. Terima kasih, Adi Kamandanu." "Syairmu itu bagus." "Aneh sekali? Bukankah kau tidak menyukai syair? Mengapa kau tiba-tiba memuji syairku?" "Maaf kalau Kakang Dwipangga keberatan mendengar pujianku." Arya Kamandanu masuk selangkah dan memperhatikan daun-daun tal yang telah kering bertebaran di meja dan pembaringan kakaknya. "Ada yang ingin kauceritakan tentang syair itu?" "Ah, syair ini tidak istimewa. Hanya mengisahkan dua insan yang sedang mabuk asmara. Setiap orang mengalaminya. Tidak ada alasan tertentu. Sudahlah, untuk apa kita bicara soal syair? Syair tidak untuk dibicarakan, tetapi untuk dinikmati " "Kakang Dwipangga, kata-katamu terlalu angkuh. Seolah-olah kau mampu menelan seluruh bumi ini dengan syairmu " "Adi Kamandanu. Mungkin kau tidak akan percaya kalau kukatakan bahwa aku bahkan sanggup menelan matahari dengan bait-bait syairku." Mereka bersitegang dan saling menyalahkan. Dengan tatap mata sinis keduanya saling memandang. Lalu arya Kamandanu membalikkan tubuh meninggalkan kakaknya yang tersenyum dan mencibir. Ada sepasang telinga yang mendengarkan perselisihan mereka dari balik dinding kayu. Seorang perempuan tua yang selama ini mengasuh mereka. Perempuan tua itu hanya dapat mengurut dada. Matanya terbelalak dan ia melangkah agak cepat ketika tiba-tiba mendengar ringkikan kuda. Perempuan tua itu melongokkan kepalanya kemudian melangkah ke halaman dengan wajah penuh kecemasan dan kepedihan. Ia berseru memanggil momongannya yang sudah sampai di pintu pekarangan depan, "Ngger Kamandanu, mau ke mana?" "Aku mau pergi, Bi. Bibi jaga rumah, jangan ke manamana dulu sebelum aku kembali." "Ekhh..., Ngger..." "Hiaaa... hiaaa..." Pemuda itu tanpa menoleh lagi pada perempuan tua yang menggeleng-gelengkan kepala sambil mengurut dada. Derap kuda makin menjauh meninggalkan kepulan debudebu di belakangnya. Pemuda itu semakin merapatkan kedua lututnya pada perut kuda serta menyentakkan tali kekangnya hingga binatang tunggangannya semakin memperkencang larinya. Beberapa saat lamanya pemuda itu berkuda tanpa arah dan tujuan, namun akhirnya ia tiba di tepi padang ilalang. Tempat itu seolah-olah tidak bisa dilupakan begitu saja. Ia menghentikan kudanya di sana. Masih duduk di punggung kuda ia memandang sekeliling, namun dengan tatap mata kosong. Angin yang semilir menghembus tidak mampu mengobati kegerahan hatinya. Kudanya meringkik panjang seolah mengetahui kesepian batinnya. Ekornya mengibasngibas, bulu surinya berdiri ketika tuannya mengelus kepalanya. Pemuda itu bergumam, "Apakah ada hubungannya antara syair yang ditulis Kakang Dwipangga dengan apa yang dikatakan Dangdi? Kuperhatikan akhirakhir ini memang dia jarang di rumah. Sering pergi dan tidak meninggalkan pesan apa-apa pada Bi Rongkot. Hemmh, aku jadi penasaran. Barangkali jawabannya ada di Candi Walandit. Aku harus ke sana sekarang juga. Hiaaa...hiaaa...!" Pemuda tampan itu menyentakkan tali kekang kudanya hingga binatang perkasa itu setengah terkejut, meringkik dan melonjakkan kakinya bagaikan terbang. Debu-debu berkepul, bertebaran di belakang derap kakinya. Pemuda itu menghentikan kudanya agak jauh dari Candi Walandit, kemudian menambatkan kudanya pada sebatang pohon girang dengan memanjangkan talinya agar binatang itu bisa beristirahat sambil merumput. Pemuda itu menepuk-nepuk kepala kuda kesayangannya sebelum akhirnya meninggalkannya dengan langkah berjingkat dan hati-hati sekali menuju CandiWalandit melalui pintu gapura bagian belakang. Hatinya berdebar-debar tak menentu. Ia terus melangkah dengan harap-harap cemas. Sementara itu di dalam Candi Walandit, terdengar isak seorang gadis. Desahnya meningkahi desau angin yang menggoyangkan daun-daun tal dan jambe yang banyak tumbuh di sekitar CandiWalandit. "Mengapa kau menangis, Ratih? Tak ada yang perlu kautangisi lagi." "Tangisku adalah tangis bahagia, Kakang. Seorang wanita juga akan menangis kalau hatinya sedang tertimpa kebahagiaan yang tiada taranya." "Coba kaupejamkan matamu barang sejenak." "Nanti aku jatuh tertidur." "Kalau kau tidur, aku akan berbaring menunggu di sampingmu." "Nah, sudah kupejamkan mataku. Sekarang apa yang mau kaulakukan, Kakang? Awas, jangan nakal " "Kalau aku nakal?" "Aku akan menjerit " "Tidak ada seorang pun yang akan mendengar kau menjerit." "Ada! Aku yang akan mendengar dia menjerit!" Tiba-tiba ada orang ketiga yang hadir di candi itu. Nari Ratih dan arya Dwipangga tersentak. Tangan kanan Arya Dwipangga menggantung di udara tidak jadi menghapus air mata gadisnya. Buru-buru ia bangkit dan bertolak pinggang memandang dingin pada seseorang yang mengganggunya. Seseorang yang suaranya tidak asing lagi di telinganya. Nari Ratih cemas, ia pun ikut bangkit dan mendepis ke dinding candi sambil menggigit jarinya sebab ia pun masih mengenal suara lantang itu.Matanya merah, mukanya juga merah padam menyimpan perasaan malu. "Oh, Kakang?" ada nada menggeletar tercekat di tenggorokan gadis itu. Arya Dwipangga berpaling sejenak lalu melangkah memandang penuh kebencian pada seseorang yang berada di atas dinding candi. "Kamandanu! Apa yang kaulakukan di situ?! Turunlah!" Orang itu yang tak lain adalah Arya Kamandanu tanpa menunggu lagi segera melompat turun. Ia menjejak ke tanah bagaikan seekor burung yang hinggap di dahan. Ia tersenyum sinis memandang kakaknya dengan pandangan jijik. "Mau apa kau datang kemari, Kamandanu?" "Mau mendengarkan syair-syairmu tentang wanita," jawab Arya Kamandanu sambil melangkah mendekati kakaknya. Ia mendengus sambil bertolak pinggang dan membusungkan dadanya. Kakaknya menjadi geregetan, mengepalkan tangannya ingin menempeleng adiknya yang dianggap kurang ajar. "Bedebah!" geramnya. "Oh, jangan, Kakang! Jangan bertengkar!" rintih Nari Ratih masih mendepis di belakang Arya Dwipangga. Namun, pemuda yang kini merebut hatinya itu tidak menggubrisnya, bahkan melangkah mendekati adiknya dengan gigi gemeretak. "Kau anak tidak tahu sopan santun. Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengintip orang?" "Rupanya benar apa yang dikatakan Dangdi. Aku telah tinggal serumah dengan serigala dan serigala itu sekarang sudah menerkam daging pahaku sendiri." "Kalau aku serigala maka kau adalah seekor keledai! Kau keledai yang paling dungu. Bagaimana kau sampai tidak tahu daging pahamu kuterkam?" "Kakang Dwipangga! Sekarang baru aku tahu siapa dirimu yang sesungguhnya. Berpuluh tahun kita hidup satu atap sebagai saudara, tetapi baru sekarang aku baru melihat Arya Dwipangga yang sesungguhnya. Pencuri!Maling!" "Hee, Kamandanu! Peliharalah kata-katamu. Ini ada wanita, berlakula sedikit sopan " "Jangan pura-pura suci hati, serigala! Kedokmu sudah tersingkap Belangmu sudah terungkap Mau apa kau sekarang, ha? Mau mangkir? Tidak kuduga. Dengan alasan menolongku, dengan pura-pura baik padaku, rupanya kau seorang pencuri paling tengik!" "Kamandanu! Ingat! Aku adalah saudara tuamu!" "Aku tidak punya saudara tua seperti kau!" Arya Kamandanu membentak dengan mata mendelik geram. Napasnya memburu menahan murka "Bagus! Sekarang kau mau apa?" "Aku mau ini!" Suara Arya Kamandanu parau Dengan sigap ia mencabut pisau dan diacungkan pada kakaknya hingga Arya Dwipangga mundur beberapa tindak dengan setengah melotot dan mulut setengah menganga. Nari Ratih setengah melompat berdiri di tengah arena. "Oh, jangan! Hentikan semua ini!" pekiknya serak. "Nari Ratih, minggirlah." "Tidak! Jangan, Kakang Kamandanu! Jangan bertengkar dengan saudaramu sendiri!" "Aku tidak mempunyai saudara seekor serigala Minggir!" "Sudahlah, Kakang! Akulah yang bersalah!" "Bukan kau yang bersalah. Dia itulah yang menerkammu dari belakang. Dia memang licik seperti serigala." "Aku yang bersalah, Kakang. Nari Ratih yang bersalah. Bukan Kakang Dwipangga." "Kau minggir atau tidak, Nari Ratih? Minggirlah dan lihatlah bagaimana pisau ini akan menguliti serigala jahanam itu." "Tidak!" "Minggir!" "Tidak! Lebih baik bunuhlah aku, Kakang! Karena akulah yang bersalah! Bunuhlah Nari Ratih!" Gadis cantik itu mulai menangis. Suaranya makin parau. Dadanya turun naik seirama napasnya yang terengah. Melihat hal itu Arya Kamandanu sedikit menahan diri. "Nari Ratih," suara pemuda itu masghul. Merasa tidak mengerti, dan langit serasa berputar di atasnya. "Kakang Dwipangga tidak bersalah, akulah yang bersalah Kalau kau mau membunuhnya, bunuhlah aku lebih dulu." "Ohhh, jahanaamm! Semua jahanammm! Semua pencuri! Pencuri busuk. Hiaaa..., hiaaa... hiaaaa!" Arya Kamandanu berteriak-teriak melampiaskan amarahnya sambil menghunjam-hunjamkan belatinya ke dinding Candi Walandit, hingga hunjaman itu menimbulkan pijar api. Matanya memerah dan merembang. Tubuhnya berkilatkilat oleh peluh dan keringat. Napasnya terengah-engah, ia menggeram dan kembali berdiri tegak sambil memandang kedua insan yang kini membuat matanya seperti sakit. Dipandanginya keduanya dengan dingin, benci, marah dan kesal. Digenggamnya erat-erat pisau itu. Ia telan ludah pahit hingga terasa tersendat di tenggorokan. "Oooohhhh, tidak kusangka kalian berdua mengkhianatiku. Kalian pencuri busuk.Manusia comberan. Bwaaahh! Aku muak melihat kalian!" Arya Kamandanu kemudian meludah dan segera berbalik meninggalkan mereka dengan hati tercabik-cabik. Arya Dwipangga melangkah menghampiri Nari Ratih. Dengan mesra ia remas pundak Nari Ratih. Gadis itu masih menangis bahkan makin terisak. Matanya terasa perih, air matanya kian membanjir Bibirnya bergetar meliuk-liuk. Arya Dwipangga merengkuhnya semakin erat. Kemudian jejaka itu mencium rambut gadis jelita dalam pelukannya Baunya harum minyak gaharu. Diusapnya air mata dara itu yang meleleh membasahi kedua pipinya. Semakin erat ia mendekap kekasih hatinya. "Kakang. Kakang Dwipangga. Apa yang akan kita lakukan sekarang? Aku... aku merasa berdosa pada adikmu." "Tenanglah, Ratih, bukankah ini sudah menjadi tekad kita berdua? Sudahlah! Hentikan tangismu! Semua ini akan berlalu. Berlalu seperti angin yang menerkam rambutmu ini..." Arya Dwipangga mengurai rambut hitam panjang bergelombang milik kekasih hatinya. Ia merunduk, mencium pipi, leher dan akhirnya merebahkan kepalanya pada pundak Nari Ratih Mereka saling mendesah. Kemudian diam menyusuri keheningan yang kian mencekam Melupakan segalanya, dan mereka berdua menyanyikan kidung asmara diiringi irama alam

Arya Kamandanu merasa sangat terpukul melihat Nari Ratih yang sudah terjerat oleh permainan asmara kakaknya sendiri. Dari Candi Walandit itu ia berkuda makin menjauhi desa Kurawan. Hatinya tercabik-cabik, cintanya terkoyak oleh permainan dewa asmara. Sampai malam harinya dia tidak pulang melainkan terus berkuda tidak tentu arah dan tujuan. Di suatu tempat, ketika bulan mulai tersembul di balik punggung bukit Kurawan, Arya Kamandanu melompat dari atas kudanya. Binatang tunggangannya meringkik panjang memecah kesunyian malam. Suara binatang malam terdengar menjerit-jerit hingga terasa sakit pada pendengaran jejaka itu. Arya Kamandanu menghela napas dalam-dalam, memandang rembulan merah yang menggantung di awangawang. Gerahamnya tampak menonjol dan terdengar gemeretak, tangannya mengepal, pandangannya berkacakaca. "Semuanya jahanam! Mayapada ini penuh setan gentayangan! Tak ada yang beres. Semuanya palsu! Apa gunanya semua ini? Apa arti semua ini? Kebajikan, ksatriaan, kepahlawanan, pekerti luhur yang diajarkan para dewa. Apa artinya?" Lalu ia mendongak ke langit, berseru lantang memecah keheningan malam, "Haiiii dewa-dewa yang bersemayam di atas langit! Turunlah dari atas takhtamu dan jawablah pertanyaanku ini! Apa maksudmu dengan semua ini?" Hanya gema suaranya yang ditelan malam. Tidak ada jawaban. Beberapa saat lamanya ia melepas pandang ke seluruh sudut cakrawala malam. Hitam, kelam. "Hooooohhh, mengapa engkau bungkam? Mengapa kau membisu? Ayoo, jawablah pertanyaan Arya Kamandanu!" suara pemuda itu menggema ke dindingdinding bukit. Mungkin binatang-binatang malam pun terkejut mendengarnya. Pada saat itulah sebuah bayangan berkelebat bagaikan kilat, langsung menyerang dan memukul pemuda itu dengan telak. Karena tidak siap dan dahsyatnya serangan gelap itu membuat pemuda itu sempoyongan dan terjatuh beberapa langkah ke belakang. Dipeganginya perutnya yang terasa mual. "Hohh, siapa kau?" tanya Arya Kamandanu sambil memegangi perutnya seraya mengerjap-ngerjapkan matanya yang berkunang-kunang. Penyerang gelap itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi tertawa terkekeh-kekeh "Aku bukan dewa, tetapi akulah yang akan menjawab pertanyaanmu itu, anak muda." "Aku tidak membutuhkan kau! Aku mau dewa yang datang!" "Anak muda! Kau tidak pantas bertanya seperti itu. Tidak sopan, bahkan kurang ajar!" "Apa pedulimu?" "Haaaaaaaiiiitttt!" orang tak dikenal itu segera menyerang Arya Kamandanu yang masih terduduk sambil memegangi perutnya. Pemuda itu melompat dan kembali terjengkang dan buru-buru bangkit untuk mengadakan perlawanan Sepakan, terjangan dan jotosan penyerang gelap itu sungguh cepat bagaikan angin. Bertubi-tubi pukulannya mendarat pada tubuh dan muka Arya Kamandanu. Melihat keadaan yang tidak berimbang tersebut, penyerang gelap itu menghentikan gebrakannya dengan tawa terkekeh-kekeh. Lebih-lebih melihat Arya Kamandanu memasang kuda-kuda sekalipun masih terhuyung-huyung "Sudahlah! Tidak ada gunanya kau menyerang, kecuali kau ingin kubuat babak belur." "Siapa kau ini?" "Heheheheh!" Penyerang gelap itu tidak menjawab, hanya tawanya yang terkekeh membuat Arya Kamandanu makin jengkel, rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal. Bibirnya bergetar menahan geram "Kau pasti orang jahat, karena kau tidak berani menunjukkan wajahmu di balik cadar hitammu itu!" "Yah, mungkin aku jahat. Tapi paling tidak aku bukanlah manusia kelas kambing seperti kau! Huh!" "Kau mengenalku?" "Pemuda seperti kau ini banyak berceceran di pinggir jalan Pemuda kusut. Pemuda berjiwa bekicot, tidak tahan bantingan. Kalau aku mempunyai anak seperti kau, hooo, sudah kulempar ke dasar jurang menjadi makanan burung gagak." "Yah! Kau benar, aku memang pemuda berjiwa bekicot. Aku pemuda tak berguna. Maka lebih baik aku mati saja. Bunuhlah aku! Bunuhlah aku, hai setan malam!" "Rugi tanganku membunuh pemuda seperti dirimu. Lebih baik membunuh seekor babi hutan, bisa dipanggang untuk makan malam. Heheheheheh." Orang yang suaranya serak menandakan ketuaan itu membalikkan badannya hendak meninggalkan Arya Kamandanu yang masih penasaran. "Hee, kau mau ke mana?" "Aku tak ada waktu berbicara dengan orang seperti kau. Tapi sebelum pergi ingin kunasehatkan kepadamu. Jadilah pemuda yang tegar, penuh semangat. Kau tidak bisa merengek pada siapa pun untuk memperbaiki nasibmu. Juga tidak bisa menyalahkan keadaan, apalagi memakimaki dewa yang menguasai jagat raya ini. Nah, ingatingatlah kata-kataku ini. Hawa nafsumu jangan sampai memporakporandakan akal sehatmu!" Setelah berpesan demikian, penyerang gelap itu pun melesat bagaikan kilat. Lenyap ditelan pekatnya malam. Arya Kamandanu terjaga dan ia pun terpukau. Melangkah perlahan beberapa tindak sambil menajamkan penglihatannya. Namun orang itu benar-benar lenyap ditelan kegelapan malam Dalam hatinya ia mengagumi kehebatan ilmu kanuragan orang asing itu. Ia meraba tengkuknya yang terasa nyeri, lalu perutnya yang masih sebal dan mual oleh jotosan dan sodokan keras penyerang gelap itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya setelah menyadari kebodohan dan ketololannya. Pemuda itu pun membalikkan badannya. Menghampiri kudanya dan segera melompat ke punggung kuda. Binatang kesayangannya yang sangat perkasa itu meringkik panjang memecah kesunyian malam. Ia perlahan menarik tali kekang kuda sambil merenung dan bernapas sangat panjang sekalipun terasa sesak dan tercekat di dalam rongga dadanya. "Siapa orang itu? Sialan!" gerutunya sambil menyentakkan tali kekang kudanya lebih kuat hingga binatang tunggangannya itu segera melompat dan berlari semakin kencang. Derap kaki kuda kian menjauh, sayup-sayup, sebelum akhirnya lenyap sama sekali.

Di ujung malam itu Arya Kamandanu melangkah hatihati sekali ketika sampai di rumah. Kuda ia masukkan kandang yang ada di belakang rumah, di pekarangan. Ia menggigit bibirnya sendiri seraya mendorong perlahan pintu rumahnya. Suara berderit tertahan ketika ia hanya membuka selebar tubuhnya, kemudian menutupnya kembali perlahan namun derit pintu itu cukup menggigit dan mendera kelengangan. Pemuda tampan dengan wajah kusut karena lelah itu pun terkejut ketika ia melihat seorang lelaki tua yang sudah berdiri di depannya. "Oh, Ayah.... Sudah kembali?" tanyanya gugup dan tersipu "Dari mana saja kau, Kamandanu?" "Dari rumah seorang kawan, Ayah." "Kawan perempuan?" Arya Kamandanu tidak menjawab pertanyaan ayahnya, ia menunduk sambil melirik kakaknya yang duduk di ruang depan sambil meliriknya kurang senang; diam di bawah bayang temaram lampu minyak jarak. Lelaki tua itu memelototkan matanya menahan amarah pada putra bungsunya itu, "Kau bisu sekarang?" "Ehh, tidak, Ayah. Kawan laki-laki." "Mukamu kuyu, rambutmu acak-acakan, pakai-anmu kumal! Kau ini anak manusia apa anak demit?" bentak ayahnya masih melotot. Menghempaskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Temaram pendaran sinar lampu minyak itu semakin membuat suasana kurang nyaman Keadaan menjadi hening dan sunyi sebab semuanya diam. "Duduk!" "Ya, Ayah." Arya Kamandanu mengambil tempat duduk di sisi kakaknya yang sejak tadi memperhatikannya, namun sekarang keduanya sama-sama tertunduk. Napas mereka pun terasa sesak dan susah sekali. Mpu Hanggareksa memperhatikan kedua putranya dengan menghela napas. Lama sekali menatap kedua buah hatinya. Jantungnya berdebar-debar, merasa sayang, iba, jengkel dan kesal merasakan kedua anaknya yang sangat bandel itu. Ia sudah lama menunggu kedatangan Arya Kamandanu hingga jauh malam baru sampai di rumah. Ia melangkah beberapa tindak. "Kamandanu, dan kau Dwipangga." "Ya, Ayah." keduanya menjawab hampir berbareng. "Kalian berdua ini seperti anak-anak setan! Kalian telah membuat aku malu Kalian telah mencemarkan nama baik Hanggareksa. Baru saja aku masuk perbatasan Kurawan, orang-orang sudah menyambutku dengan omonganomongan yang tidak sedap di telinga. Dwipangga, apa yang telah kaulakukan dengan Parwati anak gadis Dipangkaradasa? Jawab!" bentakMpu Hanggareksa dengan mata berkilat-kilat, merah karena lelah dan amarah. Arya Dwipangga yang dibentak tidak mampu menjawab, semakin dalam ia menundukkan kepala di samping adiknya. Melepaskan pegangan kursi dan melipat tangannya ngapurancang. "Kau mempunyai lidah untuk menjawab, Dwipangga?" serak dan geram sekali suara lelaki tua itu membentak putra sulungnya. "Eh, maafkan saya, Ayah. Saya mengaku bersalah," jawab pemuda itu dengan gemetar tanpa memandang ayahnya. Pelototan mata lelaki tua itu beralih pada putra bungsunya yang sempat mencuri pandang padanya dan semakin merundukkan kepala menekuri lantai tanah. "Dan kau, Kamandanu! Dulu kau pendiam, kau penurut dan aku bangga karena kupikir kau mewarisi darah seorang Mpu. Kau punya bakat mencipta barang-barang pusaka. Tapi sekarang aku kecewa. Kau sudah terjerumus bermain perempuan seperti kakakmu itu. Apa yang kaulakukan terhadap anak gadis Rekyan Wuru? Dan apa yang kaulakukan terhadap Dangdi, anak Kepala DesaManguntur? Jawab!" Arya Kamandanu tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Ia bimbang dan tidak tahu apa yang harus disampaikan pada orang tuanya yang masih melotot kepadanya. Bibir lelaki tua yang sangat dikasihinya itu tampak bergetar meliuk-liuk. Matanya berkaca-kaca karena kesal dan kekecewaan yang amat dalam. Mungkin sekesal dan sekecewa hatinya. Ia menghela napas dengan tetap menunduk menekuri lantai tanah. Jemari kakinya menceker-ceker tanah hingga meninggalkan goresangoresan seumpama goresan luka jiwanya. Kedua putra Mpu Hanggareksa itu benar-benar tidak berkutik di hadapannya. "Jawab, Kamandanu! Jangan membisu seperti arca Dwarapala begitu. Bicaralah! Kemukakan alasan yang masuk di akal. Hoooh, kalian ini tidak bisa membalas budi baik orang tua." "Ayah, saya mengaku bersalah. Saya mohon maaf atas kesalahan saya. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Mpu Hanggareksa mengembuskan napas dan dadanya serasa penuh dengan hambatan dan serasa mau bengkah. "Kalian anak-anakku, mestinya kalian bisa menjunjung tinggi nama baik Hanggareksa. Sudah banyak yang kulakukan hingga saat ini demi membela kehormatan keluarga dan apa yang kulakukan ini untuk kalian juga. Lihat saja! Aku sudah tua begini, masih berkuda dari Kurawan ke kotaraja Singasari. Untuk apa semua ini? Hah? Dwipangga dan kau Kamandanu!" "Ya, Ayah," jawab mereka berbarengan. "Kalian anak-anakku. Dua-duanya laki-laki. Kuharap kalian mampu menjadi laki-laki yang mandiri. Apa yang sudah kupegang, kalian harus menggenggamnya lebih erat Semua yang telah kucapai ini akan kuwariskan pada siapa lagi kalau bukan pada anak-anakku." Lelaki tua itu kemudian merogoh kantungnya dari balik bajunya serta meletakkan kantung itu di atas meja. "Lihat ini!" Mpu Hanggareksa membuka bundelan kantung, dan suara gemerincing menyusul kepingankepingan uang emas dan perak yang menggelinding ke meja pualam di hadapan putra-putranya. "Uang! Uang sebanyak ini adalah hadiah langsung dari Sang Prabu Kertanegara. Di samping uang, ayahmu juga mendapat imbalan jasa yang lain. Ayahmu ini orang yang berjasa pada negara, apa kalian tidak menyadari hal ini, Kamandanu, Dwipangga?" "Ya, Ayah!" jawab mereka sambil melirik uang yang tertumpah di meja dan beralih mencuri pandang ke wajah ayahnya yang sudah dihiasi guratan-guratan garis usia. Lelaki tua itu kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan lain dari dalam kantung kulitnya yang tergeletak di atas kursi kayu jatiMembukanya perlahan-lahan. Kedua putranya memperhatikan dengan saksama. Dari buntalan itu tampaklah di hadapan mereka sebuah benda bersinar kuning cerah tertimpa cahaya pelita. Mpu Hanggareksa tersenyum penuh kebanggaan menyentuh benda itu dengan hati-hati. Ditimang dan dielusnya penuh perasaan. Kedua tangannya sampai gemetaran. "Lihat! Sebuah piringan emas murni. Ini juga hadiah langsung dari Sang Prabu sendiri." Mpu Hanggareksa menghela napas dalam-dalam, memandang kedua putranya, "Sekarang dengar. Hmm, apa kalian sudah mengantuk? Kalau kalian mengantuk tahan dulu Jangan tidur dulu. Laki-laki sejati harus bisa mengalahkan rasa kantuk, harus bisa mengendalikan hawa nafsu. Hmm, coba, berapa hari ayahmu meninggalkan Kurawan? Sejak kedatangan Tuan Pranaraja dulu?" "Lebih dari dua purnama, Ayah," jawab Arya Dwipangga. "Ya. Tepatnya tujuh puluh enam hari. Selama itu kalian pikir apa yang kukerjakan di Istana Singasari? Makan, tidur, bersenang-senang?" "Ayah pasti mempunyai banyak acara di istana," jawab Arya Kamandanu sambil mencuri pandang pada ayahnya. "Ya. Rupanya apa yang telah kurintis selama ini baru akan berbuah. Sang Prabu sangat gembira dan menaruh kepercayaan yang besar padaku. Di samping uang dan tanda penghargaan yang lain ayahmu ini juga diberikan kedudukan penting. Hanggareksa sekarang sudah bisa memasuki kehidupan kalangan istana Singasari. Kalian harus ikut gembira anak-anakku. Ayahmu sekarang bukan sekadar tukang pande besi murahan tapi sudah diangkat menjadiMpu Istana Singasari. Segala hal yang menyangkut senjata pusaka yang dikelola pemerintah Singasari semuanya menjadi tanggung jawab ayahmu. Bukankah ini suatu kenaikan pangkat yang istimewa?" "Tentu saja kami ikut merasa gembira mendengar berita ini, Ayah," jawab Kamandanu mantap. "Ikut gembira belum cukup, anakku. Kalian juga harus ikut memelihara apa yang sudah ku-peroleh dengan susah payah ini. Mulai sekarang kalian harus hidup dengan tuntutan lain, ialah kalian diwajibkan menjaga citra baik, nama baik dan kehormatan orang tua kalian. Kalian tidak bisa berbuat seenak hati Kau tidak bisa berbuat semau-mu lagi dengan bermain perempuan, Dwipangga..., dan kau pun demikian pula, Kamandanu. Jangan mengecewakan harapan ayahmu. Dengar! Kita bekerjasama dengan baik untuk kita juga. Kita bisa membubung tinggi atau sebaliknya jatuh dan hancur berkeping-keping." Mpu Hanggareksa menasehati kedua putranya hingga larut malam. Melihat kedua putranya tampak mulai mengantuk dan tidak saksama lagi mendengarkan petuahnya maka ia menyuruh mereka segera menuju kamar masing-masing. Lelaki tua itu pun mengemasi uang dan benda-benda penghargaan tanda jasanya yang dianugerahkan Prabu Kertanegara dengan rapi.

Pada pagi harinya, ketika matahari sepenggalah tampaklah tiga orang penunggang kuda. Derap kuda itu makin lama makin mendekat sebelum akhirnya berhenti pada sebuah bukit yang dihiasi tumbuh-tumbuhan perdu. Binatang-binatang perkasa itu meringkik dan mendengus, dari mulutnya mengeluarkan busa. Angin bertiup sepoisepoi mengembus dedaunan dan rerumputan hingga tampak bergoyang-goyang seolah-olah menyambut kehadiran mereka dengan salam damai. Mereka memandang ke arah cakrawala langit, memandang bukitbukit yang tampak membiru, memandang awan-awan putih seputih kapas yang menghiasi langit biru. "Lihat, Kamandanu! Daerah inilah yang diberi tanda merah tebal dalam peta yang kuperlihatkan padamu itu. Kau juga harus memperhatikannya, Dwipangga." "Ya, Ayah..." jawab Dwipangga sambil mengangguk. "Dwipangga! Kau masih sibuk memikirkan perempuan, ya? Gadis mana lagi yang bercokol di kepalamu, hah?" "Ekh, tidak, Ayah. Saya tidak memikirkan siapa-siapa. Saya sedang mengagumi daerah ini. Indah sekali." "Daerah ini bukan hanya indah untuk dipandang mata, tapi juga mempunyai masa depan yang cerah untuk kita. Lihat gugusan bukit di depan itu. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima bukit seluruhnya. Bukit-bukit gersang itu sekarang tampak tak ada apa-apanya, tetapi sebenarnya di dalam gundukan tanah itu terkandung harta benda yang tidak ternilai harganya." "Maksud, Ayah?" "Menurut peta yang dibuat oleh seorang ahli tanah, bukit-bukit yang kusebut tadi mengandung biji-biji logam yang cocok sekali untuk diolah menjadi senjata." "Dan kelak kita akan menggali bukit itu, Ayah?" tanya Arya Kamandanu. "Ya. Kita akan menggalinya. Kita akan memungut logam-logam itu untuk diolah menjadi senjata. Kukira hasil yang akan kita peroleh tak akan habis untuk dimakan tujuh turunan. Nah, cukup. Mari kita teruskan melihat-lihat tempat lain." Mereka akhirnya meninggalkan perbukitan Kurawan menuju tempat lain. Mereka berkuda sangat perlahanlahai}. Mpu Hanggareksa, Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga menunggang kuda saling beriring melalui jalan setapak yang . kanan kirinya ditumbuhi tumbuh-tumbuhan perdu. Kadang-kadang tumbuhan menjalar juga merintangi mereka. Sisa-sisa embun pagi di pucuk-pucuk semak menjadi luruh memercik ketika kaki-kaki kuda itu menerjangnya. Kicau dan cericit burung yang terkejut meriuhkan suasana di hari itu. Burung-burung pipit yang bergerombolan terbang mengudara meliuk-liuk, tinggi rendah dahulu mendahului bagaikan gelombang hitam di udara sambil bercericit tingkah meningkahi. Mereka benar-benar menikmati keindahan alam Kurawan dan sekitarnya.

Pada hari yang lain, seorang perempuan tua terkejut ketika mendengar derit panjang pintu kamar putra majikannya. Seorang pemuda dengan mata merah dan rambut acak-acakan keluar dari kamar sambil tersenyum nakal padanya. Pemuda itu mengusap-usap kedua matanya dengan punggung tangannya sambil bersandar di tiang pintu. Perempuan tua yang dikejutkannya hanya bisa mengurut dada sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Susur yang ada di sela-sela bibirnya dijumput dengan jemarinya yang sudah dihiasi kerut merut usia Perempuan tua itu memandangi putra tuannya dan ujung rambut sampai ujung kaki. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum menegur pemuda itu. "Ohh, Angger Kamandanu. Tidak biasanya Angger bangun sesiang ini." "Ahh, ya. Matahari sudah agak tinggi. Semalam saya susah tidur, Bi." "Itu karena terlalu lelah, Ngger. Beberapa hari ini Bibi lihat Angger berkuda bersama ayahanda." "Saya bosan, Bi. Saya mau pergi sebentar." "Apa tidak menunggu ayahanda pulang, Ngger? Nanti dicari-cari." "Ayahanda pergi ke mana, Bi?" "Bibi kurang tahu. Pagi-pagi ayahanda sudah bangun, beliau berkuda pergi ke arah selatan. Beliau berpesan Angger berdua agar di rumah saja. Ayahanda tidak lama. Kata beliau, Angger berdua akan diajak berkuda lagi ke daerah timur sana," kata perempuan tua itu sambil menunjukkan tangan kirinya ke arah matahari yang sudah tinggi. Arya Kamandanu menyipitkan matanya karena masih silau menatap sang surya yang mulai galak bersinar. Ia kembali menatap kosong ke atas semak belukar. Berdiri bersandar tiang bertumpu pada kaki kirinya, sedangkan kaki kanannya tertekuk menginjak punggung telapak kaki kirinya. Sebentar-sebentar ia menggerak-gerakkan leher, kemudian menggoyang-goyangkan kaki kanannya. Dalam sekali ia menghirup udara siang itu Bau bunga ilalang, bunga-bunga hutan dan rumput menerpa penciumannya berbaur dengan bau tahi kuda yang tidak sedap. Ia nyengir sambil menutup hidungnya dengan tangan kirinya. Pemuda itu melirik kepada perempuan tua yang masih memperhatikannya. "Saya bosan, Bi. Saya tidak senang pergi dengan Ayah." "Lho, mengapa begitu, Ngger?" "Ayah hanya memikirkan harta benda, pangkat, kedudukan dan hidup mewah di kalangan istana. Ayah sama sekali tidak sudi berpaling ke arah kami, anakanaknya." "Lho, Ngger? Bukankah apa yang dilakukan Ayahanda sekarang juga untuk Angger berdua?" "Saya tidak percaya Ayah bekerja untuk kami. Buktinya kami tidak pernah ditanya apa keinginan kami. Ayah hanya berkata kau berbakat ini atau kau berbakat itu. Nah, bekerjalah sebaik-baiknya. Ayah akan menopang sarananya," jelas Arya Kamandanu menirukan logat bicara ayahnya. "Tapi, Ngger. Tak ada orang tua yang ingin membuat anak-anaknya susah dan menderita. Ini sudah hukumnya, Ngger." "Ayah hanya dipenuhi rasa khawatir. Itu yang saya tahu, Bi. Ayah khawatir kami susah, kami hidup menderita dan gagal. Lalu Ayah berusaha mencetak kami sesuai dengan apa yang diyakininya. Bukankah dengan menempuh cara seperti itu justru orang tua telah menanam bibit penderitaan pada diri anak-anaknya?" "Jangan begitu, Ngger. Nanti kalau Ayahanda mendengar bisa-bisa marah besar." "Sudahlah, Bi. Saya merasa sumpek di rumah ini. Saya mau mencari angin segar di luar." Arya Kamandanu kemudian ngeloyor pergi dengan langkah goyah. Ia tampak malas sekali. Kuyu dan kusut wajahnya karena lelah dan baru bangun dari tidur. Ia berjalan meninggalkan tanah pekarangan rumahnya. Meninggalkan Bibi Rongkot, perempuan tua yang sangat mengasihinya. Perempuan tua itu mengawasi kepergiannya dengan tatapan mata sayu tanpa berkedip. Perlahan-lahan tangan kirinya bergerak, memasukkan susur di sela-sela bibirnya yang merah dubang getah sirih dan gambir.

Pada saat yang sama di sebuah rumah mungil yang terbuat dari bambu; kerangka atap, dinding, tiang dan segala macam perabotan bangunan mungil itu hampir seluruhnya terbuat dan bambu Atapnya dan daun alangalang dan rumbia. Dalam rumah mungil itu duduklah dua orang lelaki tua Mereka berhadap-hadapan duduk di kursi yang terbuat dari bambu.Meja di hadapan mereka pun dari bambu.Meja dan kursi bambu wulung tua itu tampak cokelat kehitamhitaman dan mengkilat akibat sering diduduki. Lelaki tua yang duduk di sebelah kanan meja itu berpakaian sangat lusuh-kumal dan kotor sekali Pada kulitnya yang mulai mengeriput penuh dengan daki, tubuh tua itu masih meninggalkan sisa-sisa kekuatan tubuhnya, yaitu otot-otot yang menggumpal di bawah kulit keriputnya. Rambutnya menge-labu dibiarkan terbuka dan tampak kurang terawat, panjang sebahu. Kumis dan jenggotnya putih. Kakinya telanjang tanpa kasut dan penuh kapalan, demikian juga pada jari-jari dan telapak tangannya, kelihatan tebal dan kasar. Sementara lelaki tua yang duduk di sebelah kiri meja itu tampak sedikit lebih muda, wajahnya segar dan berpakaian serba bersih. Sisa-sisa ketampanan lelaki tua itu tampak pada hidungnya yang mancung, kumisnya yang terawat baik sekalipun sudah beruban. Demikian halnya dengan rambutnya yang mulai memutih di bagian belakang. Rambut itu diikat dengan ikat kepala cokelat kembangkembang. Pada kedua lengannya mengenakan gelang tembaga. Kukuh dan kuat lengan-lengan lelaki tua itu sekalipun kulitnya tampak mulai mengendur. Ia merogoh kantung dari balik bajunya. Meletakkan kantong itu ke atas meja bambu dan memuntahkan isinya. Gemerincing uang logam terdengar nyaring dalam keheningan rumah mungil itu. Sambil menuang seluruh isi kantong itu ke atas meja, ia memandang lelaki tua kumal di depannya dengan mata berbinar-binar. "Nah, lihat, Kakang Ranubhaya! Ini adalah hasil kita selama ini. Kau berhak mendapatkan separoh dari jumlah uang yang kuterima dari pemerintah Singasari." "Hemhh, banyak sekali uang ini, Hanggareksa." Dingin suara lelaki kumal itu. Lelaki berpakaian kumal namun tatap matanya yang tajam itu tampak memandang rendah pada Mpu Hanggareksa yang bangga dengan uang emas dan uang perak di atas meja itu. Lelaki kumal itu meraup uang itu lalu memain-mainkannya. Bunyi gemerincing terasa mengusik keheningan di siang bolong yang sangat lengang. Lelaki tua berpakaian kumal itu tersenyum dingin sekali. Tidak mau memandang pada wajah tamunya yang berseri-seri "Heh, kita memang berhak memperoleh uang banyak karena kita pun sudah berbuat banyak. Kita dianggap berjasa besar pada pemerintah Singasari." "Hanggareksa, apakah hanya uang ini yang kaucari selama ini?" "Aku juga mendapatkan yang lain, Kakang. Tanda-tanda penghargaan dan juga bermacam-macam sarana untuk mengembangkan usahaku. Maka kalau Kakang Ranubhaya mau terus beker-jasama denganku, semuanya akan beres." "Beres, beres! Apanya yang beres?" lelaki tua berpakaian kumal itu suaranya tiba-tiba melengking tinggi. Uang logam yang ditimang-timang segera berhamburan di lantai tanah karena dihempaskan begitu saja. Uang emas dan uang perak itu tercampak bagaikan tidak berguna lagi bagi lelaki kumal itu.Matanya merah, setengah mendelik dan berkilatkilat menahan amarah. Hal itu membuat tamunya terkejut hingga bangkit dari duduknya. "Kakang, Ranubhaya." "Aku tidak membutuhkan uang. Aku tidak butuh pangkat, kedudukan, ketenaran dan tanda penghargaan dari Kertanegara. Aku sudah merasa cukup dengan apa yang kuterima sekarang ini!" "Kakang Ranubhaya! Kita bisa berbuat banyak dengan apa yang telah diberikan pemerintah Singasari." "Aku bisa berbuat apa saja tanpa bantuan pemerintah Singasari. Kau jangan membujuk aku lagi, Hanggareksa." "Kakang Ranubhaya. Apakah Kakang tidak sadar bahwa bersikap seperti ini berarti Kakang memusuhi pemerintah Singasari?" "Sekarang kau berusaha mengancam aku, Hanggareksa?" "Kakang tidak menghargai pemerintah Singasari; Kakang membuang begitu saja uang yang dianugerahkan Prabu Kertanegara. Kalau sampai pemerintah dapat mencium peristiwa ini, Kakang Ranubhaya bisa kena sangsi hukuman yang berat." "Hanggareksa! Aku tidak bermaksud memusuhi pemerintah Singasari. Tidak memusuhi siapa-siapa. Tapi aku pun tidak bersedia kauajak bekerja pada Kertanegara. Kau tahu bahwa aku mempunyai hak, bukan?" "Jadi Kakang Ranubhaya tetap menolak uluran tangan yang bersahabat ini?" "Tariklah kembali tanganmu, Hanggareksa! Aku bisa mengurus diriku sendiri." "Kau keras kepala, Kakang." "Dan kepalamu terlalu lembek, Hanggareksa Hingga mudah dibentuk ke sana, ke mari oleh orang-orang yang akan memperalat kepandaianmu "Sudah-sudah! Kita memang berbeda pendapat." "Bukankah itu sudah kukatakan sejak dulu?" "Baiklah, aku tidak memaksa kalau memang Kakang Ranubhaya tidak bersedia." "Kaupaksa pun aku tidak sudi menjadi gedibal Kertanegara. Nah, pergilah, Hanggareksa. Bawalah kembali uangmu itu. Aku tidak membutuhkannya." "Baik, Kakang dan barangkali ini adalah untuk yang terakhir kali mengadakan pendekatan kepadamu. Mulai besok kau sudah bukan kakak seperguruanku lagi!" Dengan gusar sekali Mpu hanggareksa segera meraup uang yang tersebar dan terhempas di atas meja bambu, selebihnya ia tidak ambil peduli. Beberapa keping uang emas berserakan di lantai-tanah. Buru-buru ia mengemas kantong kulitnya, mengikat erat-erat dan segera memasukkan ke dalam bajunya. Penuh rasa jengkel dan terhina ia mencibir pada kakak seperguruannya lalu membuang muka sebelum akhirnya angkat kaki dari hadapan Mpu Ranubhaya yang tidak sudi melihatnya. Mpu Ranubhaya hanya mau melihat dengan sebelah matanya ketika adik seperguruannya segera melompat ke punggung kuda dan segera kabur. Kuda tunggangan adik seperguruannya itu meringkik dan melompat bagaikan terbang mengikuti sentakan tali kekang tuannya. Derap kaki kuda semakin menjauh seiring kepedihan hati yang tersayat oleh pengkhianatan. "Huh, seseorang jika sudah mabuk uang, ia akan lupa segala-galanya," gumam Mpu Ranubhaya seraya bangkit dari kursi lalu melangkah ke ambang pintu memandang ke arah adik seperguruannya yang semakin menjauh dan akhirnya lenyap di kelokan jalan. Lelaki tua itu tiba-tiba mengerutkan dahinya dan menajamkan pandangannya ke arah seseorang yang berlari menuju ke rumahnya

Bersambung…….


TUTUR TINULAR 3 Nurani Yang Tercabik Hak Cipta © Buanergis Muryono & S.Tidjab Di tulis ulang oleh : Awy Doank

Laki-laki tua itu semakin memelototkan matanya ketika orang itu semakin dekat dengannya dengan napas terengahengah karena berlari. "Ada apa,Wirot?" "Eh, anu, Guru...." "Anu, anu, apa? Bicara yang baik. Aturlah napasmu dulu." Sejenak keduanya diam, hanya napas Wirot yang ngosngosan menghiasi hari lengang di rumah Mpu Ranubhaya. Angin pun seolah-olah tak mau hadir dalam kepengapan jiwa lelaki tua yang sangat sederhana itu. Murid setianya itu pun akhirnya membuka mulutnya. "Guru, benarkahMpu Hanggareksa dari sini?" "Ya. Ada apa dengan setan mata duitan itu?" "Katanya..." "Katanya apa?" Mpu Ranubhaya setengah membentak murid setianya ketika bujangan tua itu tidak melanjutkan kata-katanya. "Saya disuruh memperingatkan Guru." "Memperingatkan perutnya? Orang gila, orang sinting. Gila uang, gila pangkat dan kedudukan... Ohhh... jagad Dewa Bathara, janganlah bibirku mudah menjadi semayam dosa dan karma. Dunia ini sudah terbalik dan kocar-kacir. Yang benar menjadi salah dan salah dibenarkan." Mpu Ranubhaya menghela napas dalam-dalam tanpa memandang muridnya. Dadanya terasa sesak sekali. "Dengarkan,Wirot." "Ya, Guru." "Setan alas itu kemari, mau menyuap aku, agar gurumu ini mau menjadi gedibal pemerintah Singasari. Ia memberikan sekantong uang emas. Kau lihat itu, sisasisanya masih'tersebar di lantai gubuk kita. Ambillah dan buang ke pembakaran sampah, atau kauberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan uang itu. Aku tidak butuh uang, aku tidak butuh perak dan emas, aku juga tidak butuh pangkat dan kedudukan. Hanggareksa benar-benar sudah buta." Sekali lagi lelaki tua itu menghela napas dalamdalam, pandang matanya kosong penuh dengan kepedihan. Seolah-olah nuraninya telah tercabik-cabik oleh sikap dan sifat adik seperguruannya yang semakin mengkhianati nasihat gurunya. "Apa yang dikatakan orang edan itu padamu,Wirot?" "Emh, Mpu Hanggareksa bilang, agar Guru berhati-hati, sebab Guru telah menghina pemerintah Singasari. Guru telah mengutuk Prabu Kertanegara." "Hemh, tanpa aku mengutuknya, sebetulnya Kertanegara dan seluruh Singasari telah terkutuk,Wirot. Haaahh, benarbenar dunia ini telah kacau balau. Kau jangan ikut edan, Wirot. Sudah, sana. Kaukumpulkan uang di lantai itu. Jangan sampai mengotori rumahku hingga najis oleh uang Kertanegara." Wirot hanya mengangguk lalu segera memunguti uang emas yang masih tertinggal dan tercecer di lantai tanah. Sebaliknya, Mpu Ranubhaya segera melangkah ke luar. Terus melangkah meninggalkan gubuk bambunya menuju Sanggar Pamujan di balik bukit. Langkahnya seperti sangat lelah selelah hati dan pikirannya. Cahaya matahari semakin terik, udara pun amat gerah. Mpu Ranubhaya berjalan dibawah bayang-bayang pohon rindang yang meneduhi jalan-jalan setapak yang disusunnya. Ia tidak bisa melukiskan betapa perihnya hati dan sakitnya menghadapi suatu kesucian yang telah dinodai. Kemurnian hati yang dikhianati dan tujuan mulia yang dicabikcabik. Pengabdian yang tidak murni lagi, diinjak-injaknya kebenaran di balik keangkaramurkaan manusia. Mungkin seperti saat itu di mana ia mencoba menginjak perdu putri malu. Tumbuhan itu serentak menguncupkan daun-daunnya ketika tersentuh. Begitukah hati manusia? Selalu mengabaikan pendirian hidup mula-mula ketika kemanisan dan kenikmatan menghampirinya. "Tidak! Tidak! Aku tidak mau seperti putri malu, aku tidak sudi menjilat seperti Hanggareksa." Lelaki tua itu berseru-seru hingga suaranya menggaung dan menggema tatkala menyentuh dinding-dinding bukit batu. Ia kemudian berdiam diri sejenak. Bersidekap dan menghirup udara sedalam-dalamnya. Ia rasakan pusarnya terasa dingin sekali, kemudian rasa dingin itu menyebar ke seluruh nadi darahnya. Ia pun merasakan tubuhnya semakin ringan bagaikan tanpa berat. Itulah ajian Seipi Angin. Ajian untuk meringankan tubuh di samping untuk mengatasi kegalauan hati. Lelaki tua yang berpakaian compang-camping dan sangat kumal itu segera melompat dan melayang bagaikan terbang. Tubuhnya melesat dan akhirnya lenyap di balik rerimbunan pohon-pohonan liar. Pada hari itu juga ketika seorang pemuda tampan sedang mengendalikan kudanya menuju suatu tempat mendadak ia menghentikan kudanya karena seorang gadis cantik menghadangnya di tengah jalan. Pemuda itu segera turun lalu menuntun kudanya menghampiri gadis cantik itu. Kuda perkasa itu meringkik seolah-olah ingin bertanya kepada tuannya. Pemuda itu mengelus bulu suri kudanya kemudian menepuk-nepuk kepala binatang perkasa itu. "Kaukah yang bernama Arya Kamandanu?" "Ya. Ada apa?" "Aku sahabatNari Ratih. Namaku Palastri." "Hmmm! Kalau kau mengajakku bicara tentang Nari Ratih, maaf. Aku tidak bersedia melayanimu." "Jangan begitu. Nari Ratih merasa sangat berdosa kepadamu. Beberapa hari ini dia kelihatan sangat murung. Tubuhnya kurus dan matanya cekung karena kurang tidur." "Mestinya dia tidak perlu merasa berdosa padaku." "Aku tahu apa yang dirasakannya karena aku sahabatnya yang paling dekat. Nari Ratih sebetulnya masih mencintaimu " Mendengar penjelasan gadis cantik yang mengaku bernama Palastri sahabat Nari Ratih itu membuat Arya Kamandanu tertawa dan terdengar sangat getir, sumbang dan hambar. Pemuda tampan itu memandang dingin kepada Palastri. Memandangnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dipandang seperti itu Palastri merasa kurang senang, namun ia berusaha memahami perasaan pemuda tampan di hadapannya yang merasa kecewa atas perbuatan sahabat karibnya. "Heheheheheh, sudahlah! Sandiwara lelucon ini sudah tidak lucu lagi. Layar sudah diturunkan dan para penonton sudah bubar." "Jadi, kau tidak sudi menolongnya, Kamandanu?" "Aku tidak pantas menolong seorang gadis yang kecantikannya bagaikan bidadari." "Kalau begitu kau sebenarnya tidak mencintainya. Kalau kau mencintainya dan cintamu itu tulus dan suci, kau pasti akan menolongnya. Nari Ratih hanya membutuhkan pertemuan denganmu walaupun sekejap mata. Kukira hal itu tidak sulit untuk kaupenuhi, Arya Kamandanu." "Mengapa ia tidak minta tolong pada Kakang Dwipangga?" "Ini persoalannya denganmu, bukan dengan saudara tuamu. Hanya kau yang bisa menolongnya untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi kalau kau keberatan ya sudahlah. Asal jangan sampai kau menyesal di kemudian hari. Kalau terjadi apa-apa pada sahabatku itu aku tidak mau tahu lagi!" Selesai mengucapkan kata itu gadis cantik itu pun segera membalikkan tubuh dan berlalu dari depan Arya Kamandanu yang ditinggalkan dengan mata setengah melotot. Nampak bingung dan terkejut, seolah-olah baru sadar dari mimpi panjang. "Tungguuu.., hee tunggu, Palastri!" "Kamandanu, kalau kau akan menemuinya sekarang, pergilah ke tepi padang ilalang." Gadis itu bicara tanpa menghentikan langkahnya, hanya sedikit memalingkan kepalanya kepada pemuda yang dianggapnya terlalu dingin. Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkahnya. Arya Kamandanu geleng-geleng kepala ketika memperhatikan Palastri yang berkain ketat hingga nampaklah lekuk-lekuk tubuhnya yang sintal dan padat. Kedua pantatnya bergoyang-goyang bagai dua bola beradu. Ia tersenyum nyinyir dan getir sekali. Ia hela napas dalamdalam sambil menelan ludah pahit. Pemuda itu kemudian merasa tidak enak, kesal dan gelisah. Ada keinginan untuk bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu. Tetapi ketika ia melompat ke atas punggung kuda serta duduk pada binatang tunggangannya itu ia mulai berpikir. "Nari Ratih! Gadis itu telah mengkhianati cintaku dan sekarang ia ingin bertemu denganku. Apa maksudnya? Atau ia ingin merobek-robek dan mencabik-cabik nuraniku? Atau aku ini pemuda yang tidak pantas untuk memiliki kesenangan hati?" Arya Kamandanu berguman sendiri, kemudian perlahan menarik tali kekang kudanya. Binatang itu meringkik tertahan kemudian kaki-kakinya pun berderap berirama. Memecah keheningan dan meningkahi desau angin yang menggoyang-goyangkan dedaunan Bau harum kembang-kembang liar bercampur dengan bau serangga pun menghampiri penciuman pemuda yang dilanda kegelisahan itu Bau walang sangit yang menampar hidungnya membuatnya terjaga dari lamunan. Bersamaan dengan itu ia menyentakkan tali kekang kuda kuat-kuat hingga kudanya melompat bagaikan terbang dengan meninggalkan suara berderap semakin menjauh dan tinggal sayup-sayup. Pemuda itu terguncang-guncang di atas kudanya yang berbulu cokelat mengkilat. Tegar dan perkasa. Angin kencang pun menampar wajahnya hingga kadangkala ia terpaksa memejamkan mata untuk mengurangi rasa perih bahkan air mata pun keluar karena terlalu kencangnya kuda itu berlari. Akhirnya kuda perkasa itu pun sampailah di suatu tempat. Tempat yang benar-benar menawan dengan panorama alam. Angkasa dan buana seolah-olah menyatu. Angkasa langit biru yang berhias awan-awan cirrus, awanawan yang putih halus bagaikan kapas bertebaran. Di kejauhan tampak gunung dan pegunungan yang biru mengelabu seolah-olah ingin mencium bibir langit yang ranum. Kemudian lembah dan ngarai yang menghijau bagaikan permadani menghampar begitu luas menyejukkan mata yang memandangnya. Sepoi angin dan desaunya menggiring pada siapa saja untuk sejenak memejamkan mata. Agar suara gemerisik dedaunan semakin jelas, agar cericit dan kicau burung pun makin merdu seiring detakdetak jantung hati yang menggema mengucapkan segala puji dan syukur ke hadirat Dewata Yang Agung atas segala kebesaran dan anugerah-Nya yang benar-benar ajaib. Sengatan sinar surya bukanlah suatu hal yang ganas, tetapi cukup bersahabat sebab seringkah awan yang melintas didera angin mengurangi teriknya. Arya Kamandanu tersenyum seorang diri, ia pejamkan matanya. Menghirup udara segar sepuas-puasnya yang membawa aroma bunga-bunga hutan, bunga-bunga liar, bunga-bunga rumput dan ilalang. Namun, ia tersentak tatkala kuda kesayangannya meringkik panjang. Lagi-lagi ia tersenyum seorang diri sebab binatang itu mungkin tahu bagaimana mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung atas kebahagiaan tersendiri yang menyelinap di lubuk hati tuannya di tengah kepedihannya selama ini. Pemuda itu pun melompat dari punggung kuda. Memanjangkan tali kekang kuda itu serta menambatkannya pada sebuah batang pohon perdu. Buih dari mulut kuda yang kelelahan itu menetes di rerumputan seiring dengus yang memburu. Pemuda itu kembali mengelus kepala kudanya. Mengusap bulu suri dan menepuk-nepuk leher kudanya dengan penuh kasih sayang. Kuda itu meringkik manja dan mengangkat kepalanya tatkala tuannya perlahan melangkah meninggalkannya. Tuannya berjalan di antara rumpun-rumpun ilalang yang tumbuh sangat subur hampir sedada. Pemuda itu kemudian mengangkat kepalanya, dahinya berkerut-kerut. Jantungnya berdebar-debar ketika ia harus menghentikan langkahnya di belakang seorang gadis berambut panjang, hitamdan bergelombang. Rambut itu berhias seuntai kembang melati yang terangkai di tusuk konde dibiarkan berjuntai di telinganya. Tusuk konde berbingkai emas itu sengaja diselipkan di rambut di atas telinga kanannya, padahal biasanya rambut itu digelung dan dikunci dengan tusuk konde itu. Rambut hitam panjang bergelombang gadis itu sesekali berderai didera angin sepoi padang ilalang pinggir desa Kurawan. Gadis cantik itu belum menyadari akan kehadiran seorang pemuda gagah dan tampan yang sejak tadi menahan napas oleh kekaguman dan keagungan ciptaan Dewata yang nyaris sempurna. Pemuda itu perlahan sekali melangkahkan kaki kanannya dan kembali berhenti. Bibirnya bergetar dan meliuk-liuk tatkala dari sana meluncur suara sangat lirih, "Ratih!" suara yang sangat lirih itu seolah-olah tercekat di tenggorokan pemuda itu. Gadis yang dipanggil namanya setengah terkejut berpaling pada seseorang yang memanggilnya. Suara yang tidak asing lagi di telinganya. Ia tersenyum simpul. Bibir merah jambu itu bergetar dan meliuk-liuk. Matanya yang bulat besar dan indah tampak sayu, agak cekung. Pada sekitar matanya, pelupuknya tergambar garis-garis kecokelatan. Hidungnya yang bangir tampak mencuat melengkapi keindahan bibirnya yang mungil. Ia tetap menyunggingkan senyuman yang paling indah sekalipun dari sinar wajah itu menunjukkan luka dan duka panjang. Luka dan duka akan sebuah hati, sebuah nurani yang tercabik. Lalu gadis itu berkata lirih pada seseorang yang selama ini sangat dekat di hatinya. "Akhirnya kau datang juga, Kakang Kamandanu." "Kau masih membutuhkan kehadiranku di tempat ini?" "Jangan begitu, Kakang. Kita pernah menjadi milik tepi padang ilalang ini. Kita pernah menjalin hubungan yang akrab dan manis di tempat ini." "Semua itu sudah berlalu, Ratih." Perih kata-kata itu meluncur dari bibir pemuda itu. Gadis itu kemudian bangkit perlahan sekali dari duduknya. Batu hitam tempat duduknya itu masih kelihatan kelimis dan licin pertanda betapa seringnya batu hitam itu menjadi tempat yang istimewa bagi mereka. Gadis itu berdiri tepat di sisi pemuda yang sangat dicintainya. Kemudian ia pun mendesah sangat lirih. "Yaah... agaknya begitu, Kakang. Semuanya sudah harus berlalu." "Sebenarnya aku tak ingin pertemuan semacam ini lagi. Aku sudah menguburkan semuanya. Tak ada yang perlu diingat ataupun dikenang." "Aku yang menginginkan pertemuan ini, Kakang. Bukan kau." "Untuk apa?" "Untuk melihat pelangi itu yang terakhir kalinya bersamamu. Pelangi yang penuh warna-warni, indah sekali." "Tidak. Pelangi itu bagiku tidak indah lagi. Mataku justru menjadi sakit setiap kali memandangnya." "Yah, semua ini memang salahku, Kakang. Aku wanita yang berdosa Aku tidak pantas lagi memandang pelangi di tepi padang ilalang ini. Aku mestinya sudah dicampakkan ke dalam lumpur neraka. Aku menyesal, Kakang. Aku menyesal sekali telah mengkhianati cintamu." Desah suara gadis itu kian lelah, bahkan teramat berat, hingga tanpa disadarinya meluncurlah butir-butir bening air matanya di pipinya yang halus dan lembut. Hidungnya kembang kempis memerah mengeluarkan ingus. Gadis itu seolah-olah meratap, namun tidak ada yang mengulurkan tangan buat membelai dan mengasihinya. Hati nuraninya benar-benar tercabik. Arya Kamandanu pun tidak kuasa untuk memandang lebih lama pada gadis yang saat ini masih melekat di hatinya. Rasa kesal, benci, marah sekaligus kasih cinta masih membalut seluruh hatinya. Ia mengeraskan rahangnya hingga tampak menonjol. Ia hela napas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya. Ia berusaha bersikap lembut pada gadis di depannya. Gadis yang sangat dicintainya sekaligus gadis yang dibencinya karena telah mencabik-cabik cintanya. "Sudahlah, Ratih. Keringkan air matamu Kasihan bumi tempatmu berpijak kalau harus menjadi sasaran deras air matamu. Bumi itu suci, tidak berdosa." "Memang akulah yang berdosa. Biarlah kusandang beban dosa ini seumur hidupku, Kakang." "Kau dusta. Bukankah kau sudah mendapatkan kebahagiaan yang kau idam-idamkan selama ini? Kau sudah merebut hati Kakang Dwipangga dan sebentar lagi kau akan kenyang mendengar syair-syairnya tentang cinta." "Kakang Kamandanu. Ini bukan persoalan Kakang Dwipangga, ini adalah persoalan kita berdua." "Kita tidak mempunyai persoalan lagi." "Aku ingin minta maaf padamu, Kakang. Aku telah menyakiti hatimu. Bukalah sedikit pintu hatimu untuk menuangkan maafmu." "Baik. Baik. Akan kubuka pintu hatiku selebar-lebarnya agar kau bisa puas memperoleh apa yang kauinginkan." "Kakang, aku ingin ketulusan hatimu." "Jangan bicara soal ketulusan hati. Jangan bicara lagi soal kesetiaan, soal kebajikan, karena semua sudah terbukti. Kau sudah mengkhianati cintaku!" "Jadi, Kakang tidak sudi memaafkan aku?" "Mengapa kau tidak berkaca, Ratih? Apa karena merasa dirimu paling cantik lalu kau tidak membutuhkan lagi sebuah cermin?" "Kata-katamu terlalu menyakitkan, Kakang!" "Perbuatanmu bahkan lebih menyakitkan. Perempuan lacur.Wanita murahan!" "Oh, Kakang. Kakang Kamandanu. Kukira kau seorang laki-laki yang bijaksana. Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan sekeji itu? Kau menganggapku berdosa karena telah mengkhianati cintamu. Baik, kuterima dengan tabah tuduhanmu itu. Tapi apakah selama ini kau pernah mengutarakan rasa cintamu padaku?" Arya Kamandanu terkesima, ia mengerutkan dahinya memandang pada gadis jelita yang kini bersimbah air mata. Terisak-isak dan tersedu-sedu. Gadis cantik itu sibuk menghapus air matanya dan menunduk. Sejenak mereka saling diam. Diam membisu seribu bahasa. Hanya suara isak dan sedu sedan tangis terdengar pilu meningkahi desau angin yang membuat gemerisik ranting dan dedaunan. Masih dalam isak dan tangis, Nari Ratih kembali menyuarakan isi batinnya dengan suara tersendat dan parau. "Selama ini aku hanya menunggu dan menunggu. Padang ilalang ini sebagai saksinya bahwa aku selalu menunggu pernyataan cintamu. Tapi sekian lama menunggu, sekian lama pula hatiku kecewa. Kau tetap saja menyembunyikan perasaanmu. Kau tinggi hati. Kau angkuh sekali dan akulah yang menjadi korban cintaku sendiri. Apakah itu adil?" Arya Kamandanu hanya diam membisu ketika Nari Ratih merutuknya Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya karena harus menyeka air mata dan menenangkan hatinya sendiri, lalu ia pun kembali bicara. "Baiklah. Kalau memang kau tidak bersedia memaafkan Nari Ratih, biarlah aku hidup sampai di sini saja." Secepat kilat gadis Manguntur yang sudah dirundung putus asa itu mencabut sebilah pisau yang tajam berkilat-kilat. Lalu ia mengangkat pisau itu dan hendak menghunjamkan ke ulu hatinya. Namun, Arya Kamandanu segera melompat dan menahan pergelangan tangan gadis itu. Ia gugup dan sangat terkejut. "Ratiihhh..., jangan! Tahan Ratih!" "Oh, lepaskan tanganku, Kakang! Lepaskan!" Gadis itu meronta-ronta dan berusaha keras menghunjamkan pisau yang sudah digenggamnya erat-erat. Namun, cengkeraman tangan Arya Kamandanu yang sangat kukuh tidak mampu melepaskannya. Ia pun terus meronta sambil menjerit tertahan. "Lepaskan, oohhh, lepaskan! Biar aku mati saja, Kakang! Biar aku mati saja." "Ratih, jangan begitu! Tidak baik membunuh diri sendiri." "Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku wanita yang penuh lumpur dosa. Aku wanita yang paling hina. Lebih baik aku lenyap dari muka bumi ini. Lepaskan aku, Kakang! Oh, lepaaaaaskan!" Nari Ratih makin hebat meronta dan berusaha melawan tenaga Arya Kamandanu yang makin erat memegang pergelangan tangan serta memeluknya. "Rattiih! Kau kira dengan bunuh diri urusanmu akan selesai? Kau akan mati penasaran dan kau akan meninggalkan racun yang akan membuat kami semua menderita." Nari Ratih masih memberontak, namun badannya melemas. Pelukan Arya Kamandanu membuatnya sedikit terbuka, dan ia tergetar, sadar dari kenekatannya, "Oh.... Kakang Kamandanu, mengapa pikiranku menjadi gelap sekali? Mengapa?" suara itu seperti menjerit dan merintih. Tertahan bagaikan tanpa daya. Tubuh gadis itu melemah dan kesempatan itu tidak disiasiakan oleh Arya Kamandanu untuk merampas pisau tajam dari tanganNari Ratih. "Ratih! Dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap tegar dan tabah. Jangan menuruti luapan perasaan yang akhirnya bisa mencelakakan diri kita sendiri. Nah, pisau ini harus dibuang jauh-jauh." Lalu Arya Kamandanu pun melemparkan pisau tajam itu jauh sekali. Hingga pisau itu melayang dan terhempas di dasar jurang lembah Kurawan. Lekat-lekat ia memandangi Nari Ratih. Wajah ayu itu seperti diliputi kabut, sendu dan mengiba tetapi menyimpan suatu kekerasan hati untuk membuang segala kegundahannya. Ia tidak mampu menghadang dan membalas tatapan mata pemuda tampan di hadapannya. Pemuda itu pun menyimpan luka karena tikaman asmaranya. Ia tidak tahu, mengapa Arya Kamandanu memandanginya seperti itu. Ia hanya berani mencuri pandang dengan ekor matanya saat pemuda itu berkata, "Pisau itu sudah kubuang jauh-jauh ke dasar jurang. Dia tidak akan bisa membujukmu lagi melakukan perbuatan yang amat nista. Sekarang marilah kita duduk, Ratih. Aku akan bicara denganmu." Lalu Arya Kamandanu membimbing gadis cantik itu agar duduk di atas batu hitam. Kemudian dia sendiri mengambil tempat di sisi Nari Ratih yang masih menahan isak tangisnya. Mereka berusaha menenangkan hati dalam diam sambil menghirup udara segar yang dibawa angin sepoi hari itu. "Ratih. Sebenarnya kau tidak perlu minta maaf padaku, karena tanpa kau minta pun aku telah memaafkannya. Karena aku mencintaimu, Ratih " "Mengapa akhirnya kita menjadi begini, Kakang?" "Yah, karena memang beginilah yang harus kita alami. Kita bertemu di tepi padang ilalang ini. Kita bercanda di bawah sinar pelangi, dan kita rupanya harus berpisah di tempat yang sama." "Kalau kupikir-pikir, kisah cinta kita ini lucu sekali ya, Kakang? Lucu tetapi tak seorang pun akan tertawa bila ikut mendengarnya. Karena di balik kelucuan itu sebenarnya tersimpan kepahitan." "Yah, setidak-tidaknya kita masih bisa tertawa untuk diri kita sendiri." "Kakang..." "Apa, Ratih?" "Kalau dulu kau mau berterus-terang, kita tentu tak akan mengalami seperti ini." "Percayalah, bahwa semua ini bukan kehendak kita, Ratih." "Yah, apa yang sudah terlepas dari tangan tak mungkin dipungut lagi karena sudah terjatuh ke bagian kehidupan yang lain. Semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur." "Apa maksudmu, Ratih?" "Aku bukan Ratih yang dulu lagi. Aku bukan Nari Ratih kembang desaManguntur yang masih polos dan suci." "Ratih. Bagiku kau tetap Nari Ratih yang dulu. Sama sekali kau tidak berubah, sekalipun sekarang sudah menjadi milik Kakang Dwipangg..." Tangan Nari Ratih dengan gesit mendekap mulut Arya Kamandanu hingga tidak menyelesaikan nama itu. Nari Ratih matanya membulat sambil mendengus, lalu meminta dengan harap. "Jangan sebut nama itu, Kakang. Kalau kudengar nama itu, hatiku menjadi resah. Pandanganku berkunang-kunang dan bumi rasanya berguncang." "Bukankah kau mencintainya?" "Entahlah, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu, Kakang. Kakang Dwipangga hadir seperti teka-teki kehidupan yang sulit diterka maksudnya. Ah, kalau saja waktu ini bisa dimundurkan kembali." "Itu bertentangan dengan kehendak HyangWidhi, Ratih. Jangan menginginkan sesuatu di luar jangkauan manusia. Sudahlah, mari kita akhiri pertemuan ini. Kita saling memuji saja, agar Dewata memberkati perjalanan hidup kita masing-masing." "Ohh, Kakang Kamandanu..." "Tepi padang ilalang ini dan sinar pelangi diatas sana akan menjadi saksi bahwa kita pernah dipertemukan. Mereka pun akan menjadi saksi bahwa kita akhirnya harus dipisahkan." "Oh, Kakang Kamandanu. Namamu akan kukenang sepanjang hayatku." "Aku pun tak bisa melupakanmu, Nari Ratih. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa lega. Aku rela. Aku ikhlas karena saudara tuaku sendiri yang akhirnya menjadi pemuda pilihan hatimu Aku yakin Kakang Dwipangga bisa membuatmu bahagia. Kalian akan hidup rukun sampai kakek nenek, banyak rezeki dan banyak anak." "Oh, Kakang Kamandanu. Begitu mulianya hatimu." "Kau pun wanita yang paling manis yang pernah kukenal, Ratih. Hanya karena sesuatu yang tak akan pernah kumengerti kalau aku melepaskanmu. Mudah-mudahan sikapku ini membuahkan sesuatu yang baik." "Kakang,... sebelum pergi, aku akan memberikan tanda mata untukmu. Terimalah batu nirmala ini. Batu ini pemberian ibuku sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Terimalah, Kakang. Hanya benda ini yang bisa kuberikan padamu sebagai kenang-kenangan." Arya Kamandanu menerima batu nirmala itu dari tangan Nari Ratih yang terulur untuknya. Kedua tangan itu bersentuhan kemudian saling terjalin lama sekali. Mereka saling meremas dan menggenggam dengan jantung yang semakin cepat berdetak dan menggemuruh. Bibir Arya Kamandanu bergetar seiring kata-kata yang keluar dari sana. "Oh, terima kasih, Ratih. Batu nirmala ini indah sekali. Akan kusimpan batu ini sebagai tanda mata darimu sepanjang hidupku. Akan kupertahankan batu nirmala ini dengan mempertaruhkan nyawaku." "Nah, Kakang. Aku harus pergi." "Pergilah, Ratih! Ringankan langkahmu. Pergilah dan jangan menengok-nengok ke belakang lagi." "Selamat tinggal, Kakang..." "Selamat berpisah, Ratih..." Sejenak keduanya saling memandang, tanpa kata-kata. Lalu keduanya menundukkan kepala dengan desah napas yang tertahan. Hanya alam yang mampu mengartikannya. Jalinan tangan mereka perlahan berurai, kemudian mereka saling memandang lagi. Akhirnya, Nari Ratih dengan berat melangkah pergi. Arya Kamandanu terus menatap gadis Manguntur itu sampai lenyap di balik rimbunnya daun-daun pepohonan. Mendadak hatinya merasa kosong. Matanya berkaca-kaca. Dia memang ikhlas tetapi hatinya sakit sekali. Terasa sebagian dari dirinya ikut terbawa oleh kepergian Nari Ratih. Pemuda itu mengeraskan rahangnya yang kukuh. Kedua tangannya meremas batu nirmala kemudian ia merunduk dan menciumi batu itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah baru saja sadar dari mimpi panjang. Arya Kamandanu baru saja akan melompat ke atas punggung kudanya ketika dari jauh tampak seorang penunggang kuda menghampirinya. Derap kuda semakin mendekat dan akhirnya berhenti beberapa depa di sampingnya. Binatang perkasa itu meringkik panjang setelah penunggangnya melompat turun dari punggungnya. "Oh, Kakang Dwipangga." "Adi Kamandanu, Ayah mencarimu. Beliau memanggil kita berdua. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang hendak beliau sampaikan pada kita." "Kakang tahu aku ada di sini?" "Kalau tidak ada di mana-mana, kau biasanya duduk merenung di tepi padang ilalang ini." "Baru saja aku menyelesaikan persoalanku dengan Nari Ratih." "Nari Ratih?" "Ya, Kakang. Sekarang tidak ada lagi yang menjadi ganjalan di hati kami. Sekarang aku ingin menyelesaikan persoalan denganmu." "Persoalan apa lagi?" "Nari Ratih mencintaimu. Kuharap kau tidak menyianyiakan cintanya." "Adi Kamandanu. Terus terang aku pun mencintainya. Bagaimana aku menyia-nyiakannya?" "Dia akan menjadi isteri yang baik dan aku percaya kau pun akan menjadi suami yang baik." "Adi Kamandanu, kau memaafkan kami berdua?" "Ya. Kupikir tak ada yang bisa dipersalahkan Semua sudah menjadi kehendak Hyang Widhi. Aku relakan Nari Ratih jatuh ke tanganmu, jatuh dalam pangkuanmu karena aku yakin kau bisa membahagiakan hidupnya." "Oh, Adi Kamandanu, terima kasih atas pengertianmu yang sangat besar ini. Aku berjanji akan mencintai Nari Ratih sampai akhir hayatku." "Aku bahagia sekali mendengar janjimu itu, Kakang. Sekarang baru aku merasakan ketenangan." Dua bersaudara itu kemudian berpelukan erat sekali. Rasa haru menghiasi hari mereka yang sudah saling memberikan pengertian. Di langit sebelah barat lengkungan sinar pelangi belum lagi lenyap. Warna merah kekuning-kuningan menyebar di seluruh permukaan padang ilalang. Senja pun mulai turun pada saat Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga naik ke atas punggung kuda masingmasing. Sebentar kemudian kuda mereka sudah berkejarkejaran di bawah sinar lembayung senja yang indah. Binatang-binatang perkasa yang keduanya berbulu cokelat mengkilap itu seolah-olah turut bergirang mengikuti suasana hati tuan-tuannya. Mereka yang selama ini saling bermusuhan dan berselisih paham. Derapnya kian menjauh meninggalkan kepulan debudebu yang terhempas oleh hentakan kaki-kaki kuda itu. Angin senja semakin kencang hingga pohon-pohon pun tampak condong mengikuti arah hembusannya. Desau dan dera cemara semakin mengguruh bagaikan menyenandungkan sorak-sorai gempita alam yang bersukacita.

Ketika malam telah tiba kedua pemuda itu mengikuti langkah-langkah ayahnya yang memeriksa benda-benda pusakanya. Orang tua itu membetulkan letak benda-benda pusaka itu. Kadangkala menimangnya dan mengelusnya penuh perasaan. Tempat pusaka itu sebetulnya tidak begitu luas, namun penuh dengan sekat-sekat yang terbuat dari papan kayu jati yang sudah dihaluskan. Benda-benda pusaka itu tertata rapi, berderet sesuai dengan jenis dan besar kecilnya ukuran serta pamornya. Laki-laki tua itu berhenti dan memandang kepada kedua putranya lalu beralih pada senjata-senjatanya. "Lihat anak-anakku. Senjata-senjata pusaka buatan ayahmu mempunyai mutu yang tak diragukan lagi. Pemerintah Singasari sudah mengakui secara resmi. Senjata-senjata buatan Hanggareksa sudah diuji kemampuannya dalam berbagai peperangan. Para perwira pasukan merasa bangga bila di pinggangnya terselip senjata buatan ayahmu. Pamornya akan naik dan keberaniannya menjadi berlipat ganda. Hemhh..., lihat!" Laki-laki tua itu memegang sebilah keris, menimangnya lalu mencabut gagangnya dengan senyum kebanggaan. Terdengar suara berdencing ketika benda pusaka itu dicabut. "Keris Naga Tapa. Keris semacam ini banyak disukai para senopati agung yang diturunkan ke gelanggang pertempuran." Kedua putranya hanya mengangguk-angguk ketika ayahnya kembali menyarungkan keris Naga Tapa lalu menempatkan kembali pada sekat paling pinggir. Kembali laki-laki tua itu meraih pusaka yang lain. Menimangnya dan segera meraba gagangnya dengan tangan gemetar. Terdengar suara berdencing tatkala ia mencabut pusaka itu. Kedua putranya mengerutkan dahinya sambil menghela napas dalam-dalam. "Keris Naga Polah. Polah artinya bergerak. Maka bentuknya berlekuk-lekuk seperti seekor naga yang sedang bergerak-gerak. Tuanku Lembu Sora dan Banyak Kapuk menyukai keris semacam ini. Di samping bentuknya indah, keris ini juga ampuh." Laki-laki tua itu menunjukkan beberapa saat pamor keris itu sebelum kembali menyarungkannya pada wrangkanya lalu menaruh benda pusaka itu ke tempatnya semula. Tangannya terulur pada sebuah benda pusaka yang lebih besar. Tangan kirinya mencengkeram benda itu kuat-kuat lalu tangan kanannya meraba gagangnya. Laki-laki tua itu menahan napas saat memegang benda pusaka yang cukup besar itu. Wrangkanya terbuat dari kulit kerbau yang cukup umur, tampak bersih mengkilap karena cukup terawat dengan baik. Sambil mencabut benda pusaka itu laki-laki tua itu menjelaskan pada putranya, "Pedang atau klewang. Perhatikan jenis logamnya. Tidak begitu berat, tapi kerasnya melebihi batu-batuan dari langit." Laki-laki tua itu mengangkat tinggi-tinggi pedang itu. Sisi-sisi mata pedang itu tampak bersinar dan berkilat-kilat ketika tertimpa cahaya pelita yang menerangi ruangan penyimpan benda pusaka itu. Laki-laki tua itu menghela napas dalam-dalam dan menyimpannya dalam perut kemudian dengan sekuat tenaga mengayunkan pedang itu pada sebuah balok kayu. "Hiaaaaahhhh!" terdengarlah suara berderak-derak balok kayu yang terbelah sempurna. Dengan bangga sekali lakilaki tua itu memandang pusaka buatannya dan melirik pada kedua putranya yang mengerutkan dahi dan menganggukangguk melihat kehebatan senjata buatan ayahnya. "Berapa ribu kepala terputus dari tubuhnya dengan senjata semacam ini ketika terjadi perang besar antara pasukan Kediri melawan pasukan Tumapel. Desa Ganter menjadi saksi pembunuhan besar-besaran itu." Laki-laki tua itu segera menyarungkan pedang ke dalam wrangkanya dan menaruhnya kembali pada tempat semula. Setelah beberapa saat lamanya mereka bertiga membenahi letak senjata-senjata pusaka, ketiganya duduk pada bangku panjang dalam ruangan itu. Cahaya pelita minyak tampak berkedip-kedip tertiup angin yang menembus dinding papan. Bau apek dan kurang sedap warangan pusaka memenuhi ruangan itu, namun mereka sudah tampak biasa dengan bau-bauan seperti itu. Laki-laki tua itu menyapu keringat dengan tangannya, mengatur napas dan memandang kedua putranya. "Nah, anak-anakku. Kalian berdua harus mewarisi keahlian ayahmu dalam hal pembuatan senjata pusaka ini. Kalian harus mampu mencipta keris Naga Tapa yang ampuh seperti yang dimiliki Gusti Ranggalawe yang bernama Megalamat. Kalian juga harus mampu menciptakan keris Naga Polah, juga harus bisa membuat pedang-pedang yang tajamnya melebihi pisau pencukur. Kalian juga harus mampu menciptakan tombak-tombak yang nantinya diperhitungkan pihak musuh. Kalian harus terus belajar dan menggali pengetahuan tentang senjata pusaka sebagai tanda bakti pada orang tua. Dwipangga dan kau Kamandanu." "Ya, Ayah," jawab keduanya berbareng. "Ketahuilah. Ada satu hal yang menjadi ganjalan di hati ayahmu dalam hal memelihara dan mengembangkan usaha pembuatan senjata pusaka ini." "Apakah itu, Ayah?" tanya Arya Dwipangga. "Ada seseorang yang kemungkinan bisa menjegal usaha kita ini." "Siapa, Ayah?" tanya Arya Kamandanu "Kalian tentu kenal dengan baik. Dia sahabat ayahmu sendiri." "Barangkali yang Ayah maksudkan Paman Ranubhaya?" Arya Kamandanu menangkap arah pembicaraan ayahnya. Laki-laki tua itu memandang putra bungsunya kemudian beralih pada putra sulungnya. Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum getir "Ya. Kakang Ranubhaya-lah orangnya." "Bukankah Paman Ranubhaya selama ini membantu ayah membuat senjata pusaka? Sudah berapa puluh senjata pusaka pernah dikirim kemari melalui Wirot, muridnya yang setia," sela Arya Kamandanu. "Itu dulu, Kamandanu. Sekarang dia tidak mau bekerja sama lagi dengan ayahmu. Mungkin dia mempunyai maksud-maksud tertentu." "Mungkin Paman Ranubhaya sudah merasa tua dan merasa tidak sempurna lagi dalam bekerja menciptakan senjata pusaka," kata Arya Kamandanu berusaha membela Mpu Ranubhaya "Kalian tidak perlu ikut campur urusan ini. Kalau Ranubhaya tidak mau bekerja membantuku dan itu karena maksud-maksud yang kurang baik, Hanggareksa yang akan turun menghadapinya. Kamandanu!" "Ya, Ayah." "Kau masih sering datang ke rumahnya?" "Eh, ya... sekali waktu, Ayah. Soalnya Paman Ranubhaya sangat baik pada saya," jawab pemuda itu agak gugup. "Mulai sekarang kau tidak kuizinkan menginjak halaman rumahnya lagi. Dulu dia memang kakak seperguruanku. Karena itu kalian sudah sepantasnya memanggilnya paman. Tapi dia sekarang sudah menjadi orang lain. Bahkan orang yang kuanggap bisa membahayakan usaha-usaha kita." Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga berpandangan mendengar kata-kata terakhir ayahnya. Mereka tidak mengerti apa-apa, tetapi mereka menangkap sesuatu yang tidak sehat lahir dari hati ayahnya. Tampak sakit dan getir sekali ucapan itu terlontar dari bibir ayahnya yang hitam dan mulai mengisut. Akhirnya, mereka segera keluar dari ruangan penyimpanan senjata. Kembali ke kamar masingmasing dengan membawa hati dan pikirannya sendirisendiri. Mereka berpikir yang jauh lebih menyimpang dari apa yang dikehendaki orang tuanya. odwo Malam kian merayap dan embun bercampur kabut mulai meniti waktu. Di tempat lain, di sebuah rumah papan cukup besar dengan pekarangan yang sangat luas. Di dalam salah satu kamar rumah itu duduklah seorang gadis dengan rambut awut-awutan. Wajahnya kusut dan kedua tangannya mendekap perutnya yang melilit-lilit. Dari bibirnya selalu mendesiskan suara yang kurang jelas. Tampak seperti rintihan dan lolongan panjang. Seorang laki-laki agak tua berdiri di depannya dengan dahi beranyam kerutan. Laki-laki itu menghela napas kemudian memperhatikan putrinya yang terisak-isak. "Ratih! Kalau kau terus menangis begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa menolongmu. Kau harus bicara terang-terangan pada ayahmu, Nari Ratih." "Saya tidak' apa-apa, Ayah. Saya tidak sakit." "Kau seharian tidur di atas pembaringan dan mengeluh kepalamu pusing. Kau juga tidak mau makan dan tadi Palastri memberi tahu padaku, bahwa kau muntah-muntah di sungai ketika sedang mencuci pakaian. Apakah itu bukan penyakit?" laki-laki itu kembali cemas dan setengah mendelik curiga saat putrinya mendekap perutnya semakin erat. Merunduk dan merintih. Bibirnya tampak menebal karena selalu terbuka. Hidungnya merah kembang kempis seiring air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. "Ada apa dengan perutmu, Ratih?" "Ehh, tidak...apa-apa, Ayah..." "Kok diremas-remas begitu?" "Sssssshhh, agak mules, Ayah. Biar sajalah." "Kok biar sajalah bagaimana kau ini?" "Sudah biasa, nanti juga sembuh sendiri." "Bagaimanapun yang namanya penyakit harus diobati." "Saya sudah minum ramuan daun-daunan, Ayah. Nanti juga sembuh." "Hmmh, kau di rumah. Aku akan keluar sebentar." "Ke mana, Ayah? Ini sudah malam." "Jangan banyak bertanya, aku akan memanggil Nyi Warih!" "Oh, jangan, Ayah. Tidak usah, nanti juga sembuh sendiri!" Laki-laki itu tidak mempedulikan panggilan putrinya lagi. Ia segera membalikkan tubuh dan keluar dari kamar putrinya serta menutup daun pintu kamar sedikit kasar. Nari Ratih merunduk dan wajahnya memucat karena sakit dan cemas. Jantungnya menggemuruh berdetak semakin cepat. Napasnya terengah-engah karena ketakutan mulai merayap dan menjalari seluruh perasaannya. "Ohh, bagaimana ini? Bagaimana kalau Ayah sampai tahu? Oh..." Gadis itu tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah pada keadaan. Perlahan kembali ia berbaring dengan mendekap perutnya yang semakin mual dan melilit-lilit. Bagaimanapun juga hati Nari Ratih tidak tenteram. Lebih-Lebih malam itu di dalam kamarnya telah hadir seorang perempuan tua yang memeriksa perutnya dengan mengurut, meraba dan meniup-niupnya sambil komatkamit menggumam membacakan mantera dari bibir keriputnya. Tangan perempuan tua itu dirasakan sangat lembut mengusap perut Nari Ratih. Gadis itu setengah merintih sambil memejamkan matanya. Tubuhnya menggelinjang, kedua kakinya ditekuk dan diselonjorkan lagi. Dari bibirnya selalu mendesah dan mendesis. "Oh..., NyaiWarih... sakit, Nyai." "Hemhh, tidak apa-apa kok." Perempuan tua itu kemudian bangkit setelah menyelesaikan tugasnya. Nari Ratih diselimuti selembar kain. Gadis itu mencuri pandang kepada perempuan tua yang dipanggilnya Nyai Warih yang berdiri di sampingnya kemudian beranjak meninggalkannya sambil berkata, '"Istirahatlah, Nduk. Hati-hati." "Iya, Nyai Warih," jawab gadis itu sambil menghela napas dalam-dalam. Hatinya semakin berdebar-debar dan perasaannya tak menentu. Terdengar derit pintu dibuka dan ditutup dengan halus oleh perempuan tua itu, suaranya berderit menyayat keheningan malam. Malam kian merayap, di luar terdengar lolong anjing liar yang kelaparan. Rekyan Wuru, orang tua Nari Ratih duduk di ruang tengah dengan sangat cemas. Ketika tahu Nyai Warih datang menghampirinya, ia pun segera bangkit dengan dahi beranyam kerutan. "Bagaimana, Nyai?" tanyanya penasaran dan sangat lirih. "Hehhh. Bagaimana bisa terjadi begini, Rekyan Wuru?" "Berat sakitnya, Nyai?" "Sakit anakmu ini bisa dikatakan berat, tapi bisa pula dikatakan tidak berat. Tapi, bagaimana aku harus mengatakannya padamu,Wuru?" "Katakan saja, Nyai. Aku sanggup membayar pengobatannya. Dia anakku satu-satunya. Aku rela berkorban apa saja demi keselamatannya." "Hmmm. Sepanjang penglihatanku, anakmu itu jarang pergi ke luar rumah." "Memang, Nyai. Dia anak yang baik. Paling-paling dia pergi ke luar hanya untuk mencuci pakaian di sungai. Memang sekali waktu dia minta izin ke rumah temannya. Tapi itu jarang terjadi. Ada apa, Nyai?" Rekyan Wuru semakin cemas dan mendekatkan bibirnya ke telinga perempuan tua itu. Nyai Warih kemudian melangkah dua tindak dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati tua. Kursi itu tampak mengkilap sebab sering diduduki. Kelihatan ringan sekali perempuan itu meletakkan pantatnya. Kedua tangannya bertumpu pada pangkuannya. Menghela napas kemudian memandang ke arah Rekyan Wuru sangat tajam. "Kalau saja anakmu sudah bersuami, hal ini justru merupakan berita yang menggembirakan." "Nyai Warih, apa maksudmu, Nyai?" Rekyan Wuru matanya melotot dan menubruk lutut perempuan tua itu sambil menggoyang-goyangkannya. Lelaki tua itu benarbenar penasaran. Perempuan tua itu memegang tangan Rekyan Wuru kemudian membimbingnya agar lebih tenang duduk di kursi di sampingnya. "Wuru, kau jangan terkejut. Aku terpaksa mengatakan apa adanya. Anakmu, Nari Ratih sekarang ini sudah siap memberimu seorang cucu " Seketika Rekyan Wuru duduk melemas. Jantungnya serasa mau lepas. Otot-otot tubuhnya seperti dilolosi. Matanya berkaca-kaca. Jawaban Nyai Warih yang terus terang bagaikan sambaran petir di telinganya. Tapi dengan tiba-tiba juga ia kemudian bangkit. Kedua tangannya mengepal. Terdengar giginya gemeretak menahan geram. "Cucu? Aku akan mempunyai cucu?" ucapnya seperti tidak percaya. "Ya. Anakmu sedang mengandung tiga bulan lamanya." "Mengandung? Bagaimana Nari Ratih bisa mengandung? Dia belum bersuami, Nyai. Ratiiiih! Kemari kau anak setaaann. Kubunuh kau!" lelaki itu berteriak bagai kesurupan setan. Wajah Rekyan Wuru menjadi merah padam. Giginya semakin gemeretak. Kedua tangannya mengepal, napasnya memburu dan lelaki tua itu hendak melangkahkan kakinya menuju kamar putrinya. Bekas perwira pasukan Singasari pada zaman pemerintahan Prabu Ranggawuni itu benar-benar tidak mampu menahan emosinya, "Ratih.... Keluar kau!" "Sudahlah, Wuru, jangan diapa-apakan anakmu itu. Kasihan. Dia juga sudah menderita karenanya," cegah perempuan tua itu sambil memegangi pergelangan tangan lelaki tua itu dengan kedua tangannya. Napas Rekyan Wuru terengah-engah. Ia benar-benar marah dan menahan kegeraman. "Dia sudah berani melempari mukaku dengan kotorannya! Anak setan. Ratih! Apa telingamu sudah budeg? Ayoh, sini kau! Sini! Ayahmu mau melihat mukamu yang cantik tapi belepotan comberan ituu! Ratiihh... sini!" Mendengar panggilan ayahnya yang berkali-kali dan sangat keras itu, Nari Ratih menggigil sendirian di kamarnya. Ia mendekap perutnya makin erat Perlahan ia bangkit dan membuka pintu kamarnya. Ketika melangkah keluar kamarnya, ia tidak berani mengangkat wajahnya. Lebih-lebih ketika ia tahu mata ayahnya melotot merah padam dan sangat berapi-api menahan amarah. "Kemari kau anak setan!" "Oh, maafkan saya, Ayah!" suara itu nyaris tak kedengaran keluar dari bibir mungil Nari Ratih yang berjalan merunduk sambil mendekap perutnya. Rekyan Wuru mengibaskan pegangan Nyai Warih yang sangat erat hingga perempuan itu hampir terpelanting jika tidak memegang sandaran kursi. Laki-laki tua itu melangkah cepat menghampiri putrinya. Tangan kanan laki-laki tua itu terangkat dan melayang di udara, "ini maaf untukmu, Ratih!" Bersamaan dengan suara tamparan yang sangat keras itu Nari Ratih memekik dan menjerit disusul dengan isak tangis pilu. Gadis itu pun berlutut di kaki ayahnya dengan sedu-sedan mohon dikasihani dan diampuni. Rekyan Wuru napasnya terengah-engah. Dadanya terasa sesak sekali Nyai Warih pun menggigil sambil berusaha mencegah supaya gadis itu jangan disakiti lagi. Perempuan tua itu kembali memegangi tangan kiri Rekyan Wuru yang hampir kalap. "Wuru, sudahlah! Ini sudah malam. Nanti para tetangga datang kemari." "Aku mau lihat apa ada yang berani datang ke rumahku!" Mata lelaki itu kian liar dan merah membara, melotot pada putrinya yang terisak dan merunduk di kakinya. "Ratih! Dari kecil kau kugendong-gendong, kubopong-bopong. Kalau rewel kau kunyanyikan tembang yang merdu. Kau kupelihara dengan baik. Kau kusayangi sepenuh hatiku dan sekarang seperti ini balasanmu kepada orangtua. Hiiiihh! Hiih, hihhhh!" Kembali tangan kanan lelaki' tua itu melayang dan mendarat di pipi kanan dan pipi kiri putrinya. Nari Ratih menjerit pilu. Jika Nyai Warih tidak segera menubruk dan merangkulnya pasti ayahnya sudah menghajarnya hingga babak belur. Tubuh perempuan tua itu kini menjadi perisai, menjadi pelindung gadis yang tidak berdaya itu. Dalam keciutan dan kecemasan hatinya kini ia bagai seekor anak ayam di bawah sayap induknya. Gadis itu semakin pilu menangis tersedu-sedu. "Wuru, jangan kau apa-apakan anakmu. Kasihan, ia cukup berat menanggung beban." "Ratih! Katakan! Siapa laki-laki itu? Siapa namanya dan di mana rumahnya! Katakan, siapa bedebah itu! Hooooh, apa dia belum tahu Rekyan Wuru? Apa laki-laki itu sudah bosan hidup? Ratih, apa kau sengaja membuatku naik darah, haaah?" "Sudahlah, Wuru, sudahlah! Bagaimanapun juga dia anakmu sendiri. Darah dagingmu sendiri. Kaupukul sampai mati pun kalau belum terbuka hatinya, dia tak akan mau bicara." "Kalau begitu biar kubunuh saja anak setan ini!" kembali Rekyan Wuru hendak menendang dan memukul putrinya, namun perempuan tua yang terkenal sebagai seorang dukun bayi itu semakin erat memeluk gadis itu. Bagaimanapun juga ia sebagai wanita yang masih bisa merasakan masalah seperti itu. Ia adalah ayam betina, ayam induk yang harus mampu melindungi anak-anaknya dari serangan elang buas. Perempuan tua itu melirik Rekyan Wuru yang masih melotot. Mata Rekyan Wuru merah karena benar-benar sangat marah dan tidak sabar lagi menerima kenyataan yang dialami anak gadisnya. "Jangan, Wuru! Jangan begitu! Kalau dia mati, siapa yang kehilangan?" cegah Nyai Warih saat laki-laki tua itu hendak menjambak rambut Nari Ratih. "Kalau dia tak mau buka mulut, bagaimana persoalan ini bisa selesai, Nyai!" "Masih bisa dicari cara yang lain, Wuru. Jangan menuruti panasnya hati. Salah-salah anak sendiri menjadi korban." NyaiWarih semakin erat memeluk Nari Ratih. Rekyan Wuru membalikkan badannya sambil memelintir kumisnya. Mengelus janggutnya dan melenguh panjang seperti sapi jantan lepas dari talinya. "Nduk, Ratih! Sudahlah. Lebih baik kau masuk ke dalam. Kau tampak lelah sekali, lebih baik kau tidur saja. Tidurlah, Nduk. Urusan ini biar ayahmu yang menyelesaikan." Sementara waktu mereka saling diam. Hanya isak pilu gadis itu terdengar mengiba. Rekyan Wuru berusaha mengendalikan dirinya. Namun masih juga jengkel melihat putrinya yang tidak mau menjawab semua pertanyaannya. Ia melangkah beberapa tindak sambil memandang putrinya. Kali ini pandangannya agak meredup. "Kalau kau tetap membisu seperti itu, masalahmu tidak akan selesai!" kesal dan perih sekali suara lelaki tua itu. Nyai Warih bangkit seraya memapah Nari Ratih dan diajaknya ke dalam kamar. Dibiarkannya gadis itu duduk di sisi pembaringan sambil mengeringkan air matanya. Perempuan tua itu membelai rambut gadis itu kemudian merunduk dan mencium pipi kanan Nari Ratih penuh kasih sayang. "Tidurlah, Nduk! Kau harus banyak istirahat," bisiknya lirih. Nari Ratih hanya mengangguk kemudian menghela napas penuh penyesalan dengan apa yang dilakukannya. Perempuan tua itu kembali ke ruang tengah di mana Rekyan Wuru duduk gelisah. Kali ini mata perempuan tua itu menjadi terbelalak dan melotot besar. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat di pangkuan lelaki tua itu terdapat sebilah pedang. Melihat gelagat yang kurang baik itu ia tidak berani berkata apa-apa saat lelaki tua itu menoleh kepadanya sambil bangkit dan menimang-nimang benda tajam itu. "Kalau dia tidak mau mengaku siapa laki-laki yang telah mencemarkan kesuciannya itu. Kukira tidak ada jalan keluar, Nyai." "Coba sekarang kauingat-ingat lagi. Siapa kira-kira pemuda desa ini yang pernah akrab dengan anakmu." "Ratih itu masih perawan kencur, Nyai. Belum pengalaman. Pengetahuannya tidak lebih luas dari pekarangan rumahnya sendiri. Dia keluar rumah hanya kalau mencuci pakaian di sungai. Itu pun tidak lama dan pasti ada kawannya gadis yang lain " "Kalau begitu kau kurang awas, Wuru. Aku saja yang bukan tetangga dekatmu pernah mencium berita dari mereka, orang-orang desa. Bahkan aku pernah melihat pemuda itu menghampiri anakmu, lalu mereka bercakapcakap sampai lama." "Siapa pemuda itu, Nyai? Mengapa orang-orang tidak ada yang memberi tahu padaku?" "Barangkali mereka sudah tahu watakmu dan merasa sungkan untuk menyampaikannya padamu,Wuru." "Siapa orang itu, Nyai? Apakah warga desa Manguntur atau pemuda dari desa lain?" "AnakManguntur juga." "Siapa namanya?" "Dangdi." Mendengar jawaban NyaiWarih seketika Rekyan Wuru seperti sadar dari lamunan panjang. Kepalanya ditarik ke belakang dengan mata melotot. Dihempaskannya napasnya kuat-kuat hingga terdengar kasar sekali dengusnya. Gagang pedang dirabanya perlahan sambil tetap melotot memandang ke arah perempuan tua di depannya. Kemudian berpaling lagi memandang ke ujung malam melalui pintu rumahnya yang tidak ditutup Laki-laki tua itu melangkah beberapa tindak dengan dada mengguruh. "Dangdi? Maksudmu...?" "Ya, Dangdi anak Suraprabawa, Kepala Desa Manguntur," jawab Nyai Warih yang membuat darah RekyanWuru kembali menggelegak. Kemarahan Rekyan Wuru sudah memuncak sampai ke ubun-ubun kepalanya. Dicabutnya pedang itu hingga terdengar bunyi berdencing. Sambil tersenyum menyeringai geram lelaki tua itu menimang-nimang senjata tajam yang berkilat-kilat tertimpa cahaya pelita. Nyai Warih sampai bergidik melihatnya. "Wuru, aku pulang dulu," pamitnya sambil melangkah pergi tanpa menghiraukan lelaki yang sudah terlalu lama menunggu berlalunya malam. Lelaki itu sedikit gugup lalu ia pun segera mengantarkan perempuan tua itu pulang.

Pagi-pagi buta tampak seorang lelaki tua berjalan setengah berlari. Pada pinggangnya terselip sebilah pedang. Napasnya terengah-engah. Wajahnya tampak sangat tegang. Kakinya yang telanjang menggugurkan embunembun pagi di pucuk-pucuk rumput. Lumpur tanah merah pun banyak yang melekat di sela-sela jari kaki dan tumitnya yang kasar. Sinar matahari masih malu-malu di ufuk timur, hanya semburat cahayanya meraba punggung bumi yang masih berhias selimut kabut. Laki-laki tua itu menuju suatu tempat. Langkahnya yang tegar itu akhirnya berhenti di balik pagar beluntas yang mengelilingi pendapa. Bangunan itu terdiri dari tiga bangunan utama yang semuanya berbentuk joglo dan beratap sirap. Lantainya terbuat dari papan-papan kayu jati yang sudah dihaluskan. Laki-laki tua itu matanya berkilat-kilat dan berwarna merah karena amarah dan kurang tidur semalam. Pada sudut kedua matanya tampak belobok, tahi mata yang tidak sempat dibersihkan Napasnya semakin memburu dan terdengar dengus kasar sekali. Kedua tangannya berkacak pinggang dan kedua kakinya memasang kuda-kuda. "Haiiiii, Suraprabawa! Keluar dari rumahmu! Suraprabawa, jangan merasa dirimu menjadi Kepala Desa Manguntur lalu kau mau berbuat semena-mena terhadap keluargaku! Hayo, keluar kau Suraprabawa! Iniiii aku RekyanWuru mau bicara denganmu!" Mendengar suara berteriak dari halaman rumahnya maka orang yang dipanggil namanya itu melongokkan kepala dari balik pintu dengan langkah tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak kuyu, matanya masih enggan terbuka karena masih terdapat sisa-sisa ngantuk, "Siapa itu yang berteriak-teriak di pagi buta begini?" "Aku! Bukalah matamu lebar-lebar, Suraprabawa dan lihat siapa yang berteriak-teriak di halaman rumahmu." Rekyan Wuru semakin memelototkan matanya.Melangkah beberapa tindak ketika melihat Ki Suraprabawa melangkah ke halaman dengan mengerutkan dahinya karena tidak mengerti apa yang dikehendaki tamunya. "Ohh, kiranya Rekyan Wuru yang datang," sapanya lirih dan terus mendekati tamunya. "Yah, aku mau bicara denganmu, Suraprabawa. Aku mau bicara sebagaimana seorang laki-laki berbicara." "Ada persoalan apa, RekyanWuru?" "Suraprabawa! Kalau kau tidak mampu menghajar anakmu yang berandalan itu, serahkanlah padaku! Biar kubuat dia mengerti bertingkah laku yang baik." "Ada apa dengan anakku?" "Dangdi, anak laki-lakimu itu, sudah berani menepak mukaku. Anakmu sudah berani mencoreng wajahku." "Tenanglah, Rekyan Wuru! Mari kita bicarakan secara baik. Mari, masuklah ke dalam!" ajak Ki Suraprabawa bersabar, namun Rekyan Wuru justru tampak semakin gusar dan mendenguskan napas seperti banteng terluka. "Tidak! Kita rampungkan di sini saja." "Seorang tamu yang baik tentu akan mau dipersilakan masuk ke dalam rumah." "Aku bukan bertamu." "Lalu apa keperluanmu?" "Aku mau menuntut hakku! Aku mau membuat perhitungan denganmu." Rekyan Wuru menggeram dan mendelik. Tangan kanannya tidak sabar ketika mencabut pedang. Suara berdencing saat benda tajam itu keluar dari wrangkanya. Mata pedang itu berkilat-kilat. Melihat gelagat yang kurang baik itu Ki Suraprabawa mundur dua tindak karena terkejut. "RekyanWuru!Mengapa kau mencabut pedangmu?" "Anakmu sudah menghina keluargaku dan itu berarti kau menghina aku. Kalau aku mencabut pedang, itu pertanda bahwa harga diriku tidak terima." "Huuu, kalau kau bisa sesumbar dengan pedangmu itu, aku pun bisa melakukan hal yang sama!" jawab Ki Suraprabawa sedikit meninggi sambil perlahan tangan kanannya meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya. Perlahan sekali pedang itu dicabut dari wrangkanya. Benda tajam itu terhunus nyaris tanpa mengeluarkan suara. Ki Suraprabawa tersenyum dingin, disambut dengan tawa bernada olokan Rekyan Wuru yang semakin memperkukuh kuda-kudanya Ki Suraprabawa pun melakukan hal yang sama. "Selama menjadi Kepala Desa Manguntur, baru kali ini aku menyambut tamuku dengan cara yang sangat tidak ramah. Tapi semua itu karena kau memaksa aku, Rekyan Wuru. Nah, apa maumu sekarang?" "Bagus! Rupanya kau orang tua yang punya tanggung jawab juga. Nah, sekarang kita selesaikan perkara ini secara jantan." "Aku belum tahu perkara apa yang kaumaksudkan, Rekyan Wuru. Tapi kalau kau menggunakan pedangmu itu untuk menyerangku, maka dengan terpaksa aku mempertahankan diri." Kedua lelaki tua itu semakin erat memegang pedang masing-masing. Kaki kanan Rekyan Wuru maju selangkah. Napasnya mendengus Tangan kanannya tampak gemetar mencengkeram gagang pedang. Sebaliknya, Ki Suraprabawa berusaha tenang sambil berjaga-jaga penuh. Perlahan menghirup udara pagi dan menyimpan di perut seiring memantapkan posisi kuda-kudanya. Pada saat itulah Rekyan Wuru tibatiba menyerang, melompat dan menebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri.Menghunjam, menusuk dan mencecar ke arah Kepala DesaManguntur. Ki Suraprabawa berusaha menangkis dengan pedangnya, maka terjadilah perkelahian sengit di pagi buta itu. Denting pedang dan suara ribut-ribut itu mengundang perhatian penduduk di sekitar tempat itu. Mereka berusaha menghentikan keributan itu. Dua laki-laki tinggi besar menubruk dan mendekap Rekyan Wuru agar tidak menyerang Ki Suraprabawa. Laki-laki tua itu tak berkutik dalam dekapan dua orang tinggi besar yang berusaha menyabarkannya. Rekyan Wuru meronta dan berusaha melepaskan diri. Napasnya terengah-engah memburu. Butir-butir keringat telah membasahi dahi, hidung dan seluruh tubuhnya. Matanya mendelik dan merah. Akhirnya, ia pasrah pada para tetua yang melerainya. Ki Suraprabawa mengusap lengannya yang tergores oleh pedang Rekyan Wuru. Ia berusaha tenang dan bersabar. Berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepala setelah menyarungkan kembali pedangnya. Ia mengelus kumis dan janggutnya sambil menghela napas, kemudian mengurut dadanya yang masih tampak tersisa bekas-bekas seorang yang memiliki ilmu bela diri. Gempal dan padat di balik kulitnya yang mulai mengendur. "Ayo Suraprabawa, suruh pergi orang-orangmu ini! Kita lanjutkan pertarungan ini sampai salah seorang di antara kita menjadi bangkai!" tantang Rekyan Wuru sekalipun ia dipegangi beberapa orang. Pada saat itulah tampak seorang pemuda lari tergopohgopoh mendekati tempat keributan. Pemuda itu masih kuyu dan matanya merah oleh sisa-sisa kantuknya. Berkali-kali ia menggosok-gosokkan punggung tangannya ke pelupuk matanya yang terasa gatal dan tebal. Sisa-sisa tahi mata tampak mengering di sudut-sudut matanya. Pemuda itu semakin mendekat dan ia terkejut sekali menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Pemuda itu memperhatikan ayahnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Tampak darah segar menghiasi lengan kiri ayahnya. "Ayah, ada apa? Mengapa berkelahi dengan Paman Wuru?" "Heh, kaukah yang bernama Dangdi?" seru Rekyan Wuru beringas dan berusaha melepaskan diri, namun usahanya sia-sia. Dangdi tidak berani mendekat. Matanya seperti kanakkanak karena cemas mendengar seruan lelaki tua itu "Eh, ya. Benar, Paman. Saya Dangdi." "Kau harus kubuat babak belur, anak setan!" "Eh, tunggu! Tunggu!" Dangdi tampak gugup. Ayahnya mendera dengan tangan kanan hingga pemuda itu berada di belakangnya. Ki Suraprabawa menatap tajam ke arah Rekyan Wuru yang berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya. "Rekyan Wuru! Kalau kau sentuh anakku sebelum persoalannya kaujelaskan, urusan ini akan menjadi panjang! Aku Kepala Desa! Aku bisa menuduhmu mengacau Desa Manguntur dan melaporkannya pada Pemerintah Singasari." "Sebenarnya ada persoalan apa, Ayah?" "Dia menuduhmu telah mencoreng mukanya. Entah apa maksudnya, aku tidak tahu." "Dangdi! Terus terang saja, supaya perkara ini tidak berlarut-larut. Apa yang telah kaulakukan pada anakku, Nari Ratih?" Pemuda itu mengerutkan dahi, memandang ayahnya kemudian beralih pada Rekyan Wuru. Menggigit bibirnya sendiri sambil berusaha keras meraba-raba apa sebetulnya yang dikehendaki orang tua Nari Ratih. "Apa yang telah saya lakukan? Rasanya saya tidak pernah melakukan..." "Kau telah merusak kesuciannya! Kau telah menodai anakku!" "Oh, tidak! Saya tidak pernah melakukannya!" "Banyak orang melihat kau berusaha mendekati anakku. Jangan mangkir kau, Dangdi." "Benar. Saya memang berusaha mendekati Nari Ratih, tapi putri Paman wuru tidak pernah menanggapinya. Setelah itu saya pun tidak mau mendekatinya lagi." "Dusta!" "Tidak. Saya tidak berdusta. Banyak saksinya bahwa saya tidak pernah lagi menggoda Nari Ratih." "Dangdi! Berilah kesaksian yang benar! Akuilah kalau memang itu perbuatanmu!" sela Ki Suraprabawa dalam dan bijaksana. "Sungguh, Ayah. Saya tidak melakukannya." "Kalau kau berani berdusta, kupotong lidahmu. Aku tidak peduli walau kau anakku sendiri." "Saya tidak melakukannya, Ayah. Tapi rasanya saya tahu siapa pemuda yang tidak sopan itu. Pemuda yang berbuat tidak senonoh pada Nari Ratih." "Siapa, katakan cepat!" bentak Rekyan Wuru tak sabar sambil meronta ingin melepaskan diri tetapi kedua pangkal lengannya tetap dipegangi orang-orang di kanan kirinya. "Dia bukan anak desa Manguntur." "Iya, siapa namanya dan di mana dia tinggal?" bentak RekyanWuru. "Dia anak desa Kurawan. Namanya Arya Kamandanu."

Serentak orang-orang yang mendengarkan peristiwa itu bergumam dan manggut-manggut. Perlahan-lahan kedua lelaki tinggi besar yang memegangi Rekyan Wuru merenggangkan pegangannya kemudian melepaskan lelaki tua itu. Rekyan Wuru menghela napas dan dengan cepat menyarungkan pedangnya. Mukanya merah padam menahan marah. Ia menatap tajam pada Dangdi yang berdiri di samping ayahnya. Ki Suraprabawa memelototi putranya dengan rasa kesal, "Maksudmu anakMpu Hanggareksa?" "Ya, Ayah. Pasti dialah orangnya." "Nah, bagaimana, Rekyan Wuru?" tanya Ki Suraprabawa dengan nada dingin sekali. Rekyan Wuru mendengus dan melangkah beberapa tindak sambil menatap tajam ke arah Dangdi. "Dangdi! Awas kalau kau berkata tidak benar! Aku akan kembali lagi ke sini!" "Kalau Dangdi berani berdusta, aku sendiri yang akan membereskannya," tukas Ki Suraprabawa tegas sambil menatap putranya. "Baiklah, aku minta maaf, Suraprabawa. Aku telah membuat keributan di pagi buta ini," Lirih kata itu terucap dari bibir Rekyan Wuru yang bergetar. "Tidak apa, Rekyan Wuru. Ini hanya kesalahpahaman biasa. Aku bisa memaklumi perasaanmu. Kalau kau membutuhkan sesuatu yang menyangkut diri putrimu, katakanlah. Aku sebagai Kepala Desa Manguntur akan membantumu." "Terima kasih. Nah, aku pergi dulu." Lelaki tua itu dengan perasaan malu karena telah bertindak gegabah segera bergegas meninggalkan desa Manguntur. Hatinya terasa panas, mukanya merah padam karena semua orang memandanginya dengan pandangan dingin dan mencemooh. Ia berlalu tanpa menoleh ke belakang. Dengan napas terengah-engah akibat usia tuanya, Rekyan Wuru terus melangkah setengah berlari menuju desa Kurawan. Burung-burung kutilang yang sedang berkicau di dahan pohon bengkereh terkejut ketika lelaki tua itu melintas dekat semak-semak. Unggas-unggas liar itu beterbangan dengan cericit panjang. Embun-embun pagi masih melumuri rerumputan dan pucuk-pucuk daun. Matahari semakin merayap menyingkirkan kabut-kabut pagi yang menghalangi pandangan di cakrawala. Lelaki tua itu menghentikan langkahnya saat mendengar derap kaki kuda mendekat. Ia melihat seorang pemuda tampan menunggang kuda perlahan menuju arahnya. Segera ia memasang kuda-kuda sambil bertolak pinggang. Tangan kanannya meraba gagang pedang. Ia menggeram dan mendengus panjang ketika penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depannya karena ia hadang. Binatang tunggangan itu meringkik saat tuannya melompat dari punggungnya. "Ada apa, Paman? Mengapa Paman menghadang saya?" "Anak muda. Apakah daerah ini sudah masuk desa Kurawan?" "Ooo, Paman mau ke Kurawan? Sembilan pai jauhnya dari sini Paman akan menemukan tugu batas desa itu. Paman jalan saja terus ke arah selatan." "Kau anak desa Kurawan?" "Ya, Paman. Saya lahir dan dibesarkan di Kurawan." "Kau tahu di mana rumahMpu Hanggareksa?" "Oh, Paman mau menemui ayah saya?" Lelaki tua itu melotot, darahnya tersirap dan seperti mendidih. Seolah-olah ia ingin menelan pemuda di depannya itu mentah-mentah. Pemuda itu semakin tidak mengerti melihat gelagat semakin tidak ramah dari lelaki tua yang menghadangnya. Lelaki tua itu melangkah dua tindak mendekatinya. "Anak muda! Jadi, kau anak Hanggareksa?" "Benar, Paman. Saya anaknya. Nama saya Arya Kamandanu." "Bagus! Kebetulan sekali. Aku tidak perlu berjalan jauh lagi. Aku bisa merampungkan urusanku di tempat ini. Kamandanu!" "Ya, Paman." "Kau jangan coba-coba memungkiri perbuatanmu yang tidak senonoh!" "Eh, apa maksud Paman? Saya, saya..." "Jangan berlagak bodoh. Kau tahu, dengan siapa kau sedang berhadapan sekarang ini? Akulah Rekyan Wuru." "Oh, Paman Wuru dari Manguntur. Bukankah Paman adalah ayahNari Ratih?" "Ya. Aku ayah Nari Ratih. Aku ayah gadis yang sekarang ini sedang menderita akibat perbuatanmu. Hiaaaahh, mampus kau Kamandanu!" "Oh, tunggu, tunggu.... Tungguuu..., Paman! Tunggu..." Lelaki tua itu sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia menyerang, menerjang dan menjotos Arya Kamandanu. Pemuda itu melompat ke sana kemari menghindari serangan lelaki tua itu. Ia benar-benar tidak mengerti apa sebetulnya yang telah terjadi. Arya Kamandanu berusaha tidak menyerang. Ia melompat mundur dan ingin mendapatkan penjelasan orang tua itu. "Paman! Apa salah saya? Mengapa tiba-tiba Paman menyerang saya?" tanya Arya Kamandanu dengan terengah-engah. Lelaki tua di hadapannya pun napasnya tersengal-sengal dan melangkah beberapa tindak mendekatinya sambil meludah dan membuang muka. "Kau sudah menodai kesucian anakku! Sekarang kau akan menerima balasan dari ayahnya! Hiaaaa, hiaaaaatthh...!" Kembali lelaki tua itu mencecarnya dengan pukulanpukulan dahsyat. Arya Kamandanu menangkis dan melompat menghindar bagaikan seekor burung Srikatan mengejar capung. Karena beberapa jurus pukulan lelaki tua itu tak ada yang bersarang padanya maka orang tua itu menghentikan serangannya. Berdiri memasang kuda-kuda sambil tersenyum menyeringai memendam amarah yang telah memuncak. "Bagus! Kau cukup tangkas juga! Tapi jangan sebut Rekyan Wuru kalau aku tak mampu membuatmu mencium tanah dalam dua gebrakan ini!" selesai berkata Rekyan Wuru menarik kaki kirinya selangkah. Tangannya membuka dan menutup di depan dada untuk membuka jurus serangannya. Gerakan-gerakan zig-zag itu tampak kokoh bagaikan banteng yang hendak menyeruduk. Kemudian lelaki tua itu benar benar menggebrak Arya Kamandanu dengan dua gebrakan panjang. Tangan kanannya yang mengepal keras bersarang pada dada dan perut pemuda itu. Pemuda itu mundur terhuyung sambil mendekap perutnya yang mulas, mual seperti mau muntah. Sakit dan seperti diuntir-untir. Ia mendelik roboh di tanah. Terduduk dengan napas terengah-engah. Ia berusaha memandang lelaki tua yang kini menjambak rambutnya hingga memaksanya menengadah dengan mulut setengah terbuka Lelaki tua itu pun terengah-engah. Tubuhnya basah, dahinya berkilat-kilat oleh keringat yang membanjir. "Ayo, Kamandanu! Apa katamu sekarang?" "Saya... saya tidak akan berkata apa-apa. Terserah Paman Rekyan Wuru!" jawab pemuda itu terbata karena menahan rasa sakit yang kian melilit. "Jadi, kau sudah mengakui kesalahanmu?" "Kesalahan mana yang Paman maksudkan?" "Bedebah! Kau tikus busuk, masih juga mengaku tidak bersalah!" "Saya benar-benar merasa tidak bersalah " "Kau sudah menodai anakku. Kau rusak kehormatannya! Kau mau mengakui atau tidak?" "Tidak." "Kurang ajar! Hiiiiihh!" Lelaki tua itu menghempaskan Arya kamandanu hingga pemuda itu menggelosor di tanah. Belum puas dengan satu hempasan kembali tangannya menampar, kakinya menendang tubuh Arya Kamandanu yang tidak memberikan perlawanan. Pemuda itu mengaduh kesakitan. Laki-laki tua itu membiarkan Arya Kamandanu menggelosor di depannya. Bahkan kaki kanannya kini menginjak punggung pemuda itu. "Dengar! Walaupun sudah tua, sudah beruban seluruh rambutku, tapi untuk membuatmu mampus aku masih sanggup." "Apa sebenarnya yang Paman kehendaki dari saya?" "Pengakuanmu! Kalau kau mau mengakui kesalahanmu, maka urusannya tidak akan terlalu panjang. Tapi kalau kau masih bertahan, mau memungkiri perbuatanmu, nah! Aku tidak segan-segan membuatmu cacat seumur hidup, Kamandanu!" "Paman Wuru, saya tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah saya lakukan." "Apa? Coba kau ulangi sekali lagi!" "Saya tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah saya lakukan!" "Kamandanu!" kaki kanan lelaki tua yang bertengger di punggung Kamandanu menjejak hingga pemuda itu kembali tersungkur mencium tanah. Lelaki tua itu meraba gagang pedangnya dan menghunus senjata tajam yang menggantung di pinggangnya penuh amarah. Diangkatnya pedang itu tinggi-tinggi hingga mata senjata itu berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari yang semakin merayap naik. Laki-laki tua itu menggeram bagaikan harimau hendak menerkam mangsanya. "Kau jangan membuatku semakin naik darah.Walaupun orang tua, tapi aku bukanlah tergolong orang penyabar. Kalau kau masih berusaha mungkir, aku akan membunuhmu di tempat ini juga." "Paman Wuru! Saya berani karena saya merasa benar. Kalau saya merasa benar dan tidak berani menghadapi keadaan, maka namanya saya pengecut," nada ucapan pemuda itu mantap dan berani. . Hal itu membuat lelaki tua itu semakin geregetan dan kesal. "Kurang ajar! Jadi, kau menantangku?" "Paman Wuru tidak usah ragu-ragu! Saya tidak akan melawan. Saya tahu Paman Wuru sebenarnya orang yang baik. Saya justru kasihan sekali, mengapa Paman Wuru harus mengalami seperti ini. Saya kenal Nari Ratih. Saya pernah bersahabat dengannya." "Sudah! Sudah! Jangan ngoceh ngalor-ngidul! Aku tidak butuh mendengar nasihatmu!" "Jadi bagaimana? Kalau Paman menganggap saya bersalah dan mau membunuh saya, lakukanlah! Saya tidak akan melawan sedikitpun. Saya akan menyerahkan leher saya agar Paman Wuru merasa puas." Rekyan Wuru tertegun mendengar kata-kata Arya Kamandanu. Suaranya terdengar jujur dan penuh keberanian. Tapi karena hatinya masih panas maka orang tua itu buru-buru mencampakkan pengaruh tersebut. Digenggamnya gagang pedang semakin erat. Tangannya gemetar menahan luapan amarah di dadanya. "Kamandanu! Akuilah bahwa kau yang menodai anakku. Dengan begitu, persoalan ini bisa segera dibereskan Barangkali kalau nasibmu mujur aku akan mengawinkanmu dengan anakku. Tapi kalau tidak, aku akan menyerahkanmu kepada Kepala Desa Manguntur agar perbuatanmu ditangani yang berwajib." "Sudah saya katakan, bahwa saya tidak mungkin mengakui apa yang tidak saya perbuat." "Bedebah! Kubunuh kau sekarang juga! Hiyaaaaaaaahhhhh!" Pedang Rekyan Wuru yang sudah tergenggam di tangannya dan menggantung di udara kini diangkat tinggitinggi. Berkelebat berkilat-kilat dengan deras meluncur ke arah leher pemuda itu. Pemuda itu tidak mengelak, ia sudah pasrah pada nasibnya. Dalam hatinya ia hanya bisa memohon keadilan pada HyangWidhi. Jantungnya menggemuruh menanti apa yang telah menimpanya. Teriakan dan pekikan suara Rekyan Wuru membuat bulu kuduknya merinding. Lelaki tua itu matanya mendelik, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Berbarengan dengan senjata tajamnya yang nyaris menyentuh kulit leher pemuda itu, namun bersamaan dengan itu berkelebatlah sesosok bayangan yang menangkis hunjaman senjata tajam itu. Terdengar dentingan keras. Dua senjata tajam beradu. Sekarang muncul di hadapannya seorang lelaki yang lebih tua darinya mencecarnya dengan sebilah pedang. Rekyan Wuru terkejut dan mundur beberapa tindak. "Kunyuk jelek! Siapa kau berani turut campur urusanku?" "Hehehehe, aku memang seperti kunyuk jelek Tapi kau pun tidak lebih tampan dari seekor kambing buduk Heheheheh!" "Kau jangan membuka perkara denganku! Apa kau tidak kenal siapa diriku? Rekyan Wuru, bekas prajurit Singasari Pernah menjabat sebagai perwira yang membawahi dua ratus orang." "Hebat! Hebat yah? Tapi apa gunanya kau katakan hal itu padaku?" "Supaya kau segera enyah dari sini." "Hehehehe, jangan begitu.Menakut-nakuti orang dengan cara seperti itu tidak baik. Mengapa tidak kaukatakan saja siapa dirimu yang sebenarnya?" "Apa maksudmu?" "Kau adalah Rekyan Wuru, warga desa Manguntur yang sudah peyot. Mungkin dulu waktu masih muda kau pernah jaya. Tapi sekarang ini kau tidak lebih dari orangtua yang kurang bijaksana." "Kurang ajar! Kau menghina aku! Hiaaattthhh!" Rekyan Wuru menerjang dan menggebrak lelaki tua dengan pakaian compang camping dan kumal itu. Namun, lelaki jelek di hadapannya itu begitu trengginas, gesit melompat menjauhinya setelah menangkis sabetan pedangnya Rekyan Wuru menghentikan serangannya dengan napas terengah. Ia perhatikan betul-betul lelaki tua di hadapannya dengan mata melotot....Napasnya terengah-engah. Di bibirnya mencibir sebuah senyuman getir. Ia melangkah beberapa tindak dengan langkah kuda-kuda. "Kau... kau punya kebisaan juga rupanya? Siapa namamu?" "Nah, nah, Rekyan Wuru! Napasmu sudah kembang kempis seperti seekor ikan mujair kekeringan. Bagaimana kau masih berani menyombongkan diri?" "Kalau kau masih belum pergi dari tempat ini, jangan salahkan aku kalau pedang ini akhirnya ikut bicara!" Lelaki tua berpakaian kumal dan compang-camping itu tidak menghiraukan ancaman Rekyan Wuru, sebaliknya ia berpaling pada pemuda yang masih menggelesot di rumput. Serta merta pemuda itu bangkit dan mendekati lelaki tua yang memanggilnya dengan lambaian tangan. "Kamandanu!" "Eh, ya, Paman Ranubhaya." "Menyingkirlah kau, berdiri agak jauh! Kambing peyot ini agaknya perlu diajar makan rumput yang benar." "Baik, Paman," pemuda itu kemudian mundur beberapa langkah menjauh dari arena pertarungan. Lelaki tua berpakaian compang-camping itu mengelus gagang pedangnya lalu bertolak pinggang dengan senyum sinis pada Rekyan Wuru yang dibuatnya penasaran. Dalam benak Rekyan Wuru terselip sekilas ingatan sebuah nama lelaki tua yang bertolak pinggang di depannya. Tetapi ia tidak mau ambil pusing, kepalang tanggung untuk mengurungkan niatnya. "Hemh, jadi kau yang bernamaRanubhaya?" "Nah, apa maumu sekarang, Rekyan Wuru? Jangan bocah kencur yang kaujadikan sasaran kesombonganmu, tapi marilah yang tua-tua ini mawas diri sedikit." "Persetan dengan omonganmu! Hiaaaaatt... .Hiaattthhh...!" Dua gebrakan dilancarkan cukup gencar ke arah lelaki tua berpakaian compang-camping itu, namun apa yang diduga Rekyan Wuru sungguh meleset. Dua tebasan pedangnya hanya menebas udara hingga tubuhnya terpelanting. Tenaganya seperti terbetot hingga napasnya semakin terengah-engah. Kesal dan penasaran sekali Rekyan Wuru dibuatnya. Ia berdiri gamang, antara menyerang atau menghentikan percekcokan itu. Ia berdiri sambil menatap tajam Mpu Ranubhaya yang tersenyum dingin sambil menghela napas. Lucu sekali sinar wajah lelaki tua itu. "Bagaimana, Rekyan Wuru?" "Tunggu, kau menggunakan jurusNaga Puspa." "Ayo, kerahkanlah seluruh tenagamu! Keluarkanlah seluruh sisa-sisa kepandaianmu." "Dari mana kau peroleh jurus Naga Puspa, Ranubhaya?" "Apa perlunya kau tahu asal-usul jurus kepunyaan orang lain? Kalau kau merasa gentar letakkanlah pedangmu, dan segera minta maaf pada anak muda itu." "Setan belang! Jangan kaukira dapat menundukkan aku segampang itu! Hiaaaahhhh..., hiaaaahhh...!" Denting-denting pedang terus berlangsung setiap tebasan kedua lelaki tua itu berbenturan di udara. Keduanya samasama gesit dan lincah. Mula-mula Rekyan Wuru menyerang sangat gencar pada Mpu Ranubhaya, namun kemudian keadaan menjadi berbalik. Ia kerepotan melayani serangan-serangan menggigit lelaki tua renta itu. Ia terus mundur dan mencari tempat yang lebih longgar. Melompat dan menangkis sambil beberapa kali menyabetkan pedangnya Dengan dahsyat, namun hanya udara yang disabetnya. Sebaliknya, gerakan lincah Mpu Ranubhaya kian mantap. Seperti burung sriti menukik-nukik di udara mengejar nyamuk. Cepat dan gencar. Maka pada kesempatan berikutnya, Rekyan Wuru tak dapat menduga apa yang terjadi. Suara pedang berbenturan cukup keras. Tangan kanannya merasa seperti kesemutan dan sekali lagi tebasan pedang lawan mampu melepaskan genggamannya. Ia terbelalak dengan mulut setengah menganga. Pedangnya jatuh tertancap di tanah lalu lelaki tua berpakaian compangcamping itu mengangkanginya dengan tawa terkekehkekeh. "Sudahlah, Rekyan Wuru! Apa perlunya kau marahmarah di sepanjang jalan? Menyombongkan sisa-sisa kepandaianmu di masa lalu? Rekyan Wuru yang sekarang bukanlah Rekyan Wuru tiga windu lalu." Mendengar kata-kata Mpu Ranubhaya, Rekyan Wuru tercabik sudut kesadarannya. Ia berdiri seperti bocah yang sedang belajar berjalan. Tatap matanya berubah menjadi memelas dan mengiba Tubuhnya yang bersimbah keringat bergetaran. Bibirnya meliuk-liuk, pandang matanya memudar, pelupuk matanya terasa hangat penuh dengan air mata. Ia mencuri pandang pada Mpu Ranubhaya yang membiarkannya berpikir. "Yah... yaah... Rekyan Wuru yang sekarang adalah Rekyan Wuru yang sudah jompo. Rekyan Wuru yang sudah pikun," suara itu terdengar gemetar dan melemah. Serak dan tercekat di tenggorokan. "Rekyan Wuru! Jadilah orang tua yang baik, yang bijak. Semakin tua seseorang harus semakin bijaksana, karena makin banyak yang dilihat. Kalau kau memiliki persoalan dengan anak muda itu, selesaikanlah dengan cara-cara yang seharusnya dipakai manusia. Kalau kau selalu menggunakan kekerasan, menggunakan pedangmu untuk menyelesaikan setiap persoalan, kau sama halnya dengan serigala yang bangga pada ketajaman taringnya. Tapi apa artinya seratus ekor serigala jika harus melawan manusia yang mempunyai akal budi, pikiran dan siasat?" Mpu Ranubhaya kemudian berpaling kepada Arya Kamandanu yang masih berdiri agak jauh dari mereka. "Kamandanu!" "Ya, Paman." "Antarkan dia menemui ayahmu." "Baik, Paman," pemuda itu melangkah mendekati Rekyan Wuru yang membisu seribu bahasa. Tidak mau memandang pemuda yang melangkah dua depa di sisinya. "Mari, Paman Wuru! Saya antarkan Paman Wuru menemui ayah saya. Paman bisa membicarakan persoalan Nari Ratih dengan Ayah." Arya Kamandanu kemudian mendahului Rekyan Wuru. Pemuda itu menuntun kudanya sambil sesekali menoleh ke belakang di mana lelaki tua itu terus melangkah mengikutinya dengan wajah asam. Mereka menempuh perjalanan sepanjang delapan pai untuk mencapai rumah Mpu Hanggareksa ayah Arya Kamandanu. Mpu Ranubhaya memandang kepergian mereka dengan geleng-geleng kepala, mencabut pedang Rekyan Wuru dan membuangnya jauh ke belukar. Lalu ia pun melompat, lenyap di antara semak belukar. Sesampai di rumah Mpu Hanggareksa, Rekyan Wuru segera menyampaikan maksud kedatangannya. Rekyan Wuru menuturkan dengan runtut semua peristiwa yang telah dialaminya dengan nada datar dan kurang bersahabat. Wajahnya merah padam, matanya sesekali melirik tak ramah pada Arya Kamandanu yang duduk menunduk di samping ayahnya. "Demikianlah maksud kedatanganku ini. Hanggareksa. Ialah untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan anakmu." "Baiklah, Rekyan Wuru. Tapi aku belum bisa menerima tuduhanmu jika tidak ada bukti yang kuat. Kau juga harus ingat, bahwa tuduhan tanpa bukti bisa digolongkan fitnah." "Tentu saja ada buktinya, Hanggareksa. Sekarang ini anakku jelas mengandung tiga bulan lamanya." "Tapi laki-laki bukan hanya anakku, Rekyan Wuru. Bisa saja anak desa Manguntur sendiri yang berbuat tidak senonoh itu." "Tidak, Hanggareksa. Ada keterangan seorang anak muda yang bisa kujadikan pegangan. Dangdi, anak Kepala DesaManguntur mengatakan, bahwa Arya Kamandanu-lah pelakunya. Sering kali dia melihat anakmu bercanda di tepi padang ilalang bukit Kurawan bersama anakku." Serta merta Mpu Hanggareksa melotot dan menatap tajam ke arah Arya Kamandanu yang masih duduk menunduk. Napas lelaki tua itu mendengus keras, bibirnya bergetar, "Apa benar begitu, Kamandanu?" tajam sekali pertanyaan itu Bahkan suaranya amat dalam dan menggetarkan. "Eh, benar, Ayah," jawab Kamandanu jujur dan lugu. "Benar? Jadi, kau yang telah menodai anak gadis Rekyan Wuru?" bentak Mpu Hanggareksa dengan mata semakin melotot. Bahkan laki-laki tua itu kini bangkit berdiri tepat di depan pemuda itu. "Kau yang berbuat tak senonoh itu, Kamandanu?" "Tidak, Ayah. Tidak." "Kamandanu, kau jangan main-main! Kau sedang bicara dengan ayahmu. Apa benar kau telah melakukan perbuatan tidak senonoh itu?" "Tidak, Ayah, saya tidak melakukannya." "Awas! Kalau kau berani berdusta di depan ayahmu. Lebih baik kau jujur, mengaku apa adanya, jangan berbolak-balik seperti kelakuan orang tidak waras." "Tapi saya benar-benar tidak melakukannya, Ayah." "Kurang ajar! Anak sial!" bersama hentakan kaki, tangan lelaki tua itu melayang dan mendarat pada pipi putranya. Pemuda itu mengaduh dan hampir terpelanting dari kursi. Ia pasrah pada apa yang akan dilakukan ayahnya padanya, namun laki-laki tua itu tidak jadi menampar untuk yang kedua kalinya. Tangannya menggantung di udara. Hanya suaranya yang menggeram bagaikan seekor singa yang ingin menerkam mangsanya. "Kamandanu! Lebih baik aku tidak mempunyai anak seperti kamu." Bersamaan dengan itu, tangan kanan lelaki itu meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya, suaranya berdencing hingga Arya Kamandanu bergidik mendengarnya. Sebentar lagi ia akan menyusul ibunya. Pikirnya dalam hati ia benar-benar pasrah saat pedang di tangan ayahnya telah diangkat tinggi-tinggi dan akan menebas lehernya. Bersamaan dengan itu ada seseorang yang berlari ke tengah-tengah mereka. "Jangan, Ayah! Jangan!" "Dwipangga, apa maksudmu?" "Bukan Adi Kamandanu yang melakukannya. Oh, maafkan saya, Ayah, maafkan saya." "Apa maksudmu, Dwipangga?" "Sayalah yang melakukannya. Sayalah yang berbuat tidak senonoh. Kalau Ayah mau memukul pukullah saya. Kalau ayah mau membunuh, bunuhlah saya." Arya Dwipangga berlutut di depan ayahnya. Ia menyembah ayahnya dan memeluk kaki Mpu Hanggareksa yang masih menggenggam pedang terhunus. "Arya Dwipangga, jadi rupanya kau biang keladi kekacauan ini. Kau yang membuat onar di desa Manguntur lalu kau bawa ke rumah ini! Kurang ajar! Hiih, hihh, hiihhh!" tiga kali tamparan sangat keras mendarat pada wajah pemuda itu. Bibirnya retak hingga mengeluarkan darah. Darah itu dibiarkan mengalir seiring air mata yang menetes di pipinya karena merasa sesal. Rekyan Wuru yang sejak tadi hanya diam menyaksikan lakon di depannya kini ia bangkit dengan rahang mengeras dan terdengar giginya menggeretak. Ia benar-benar tidak suka melihat Arya Dwipangga. Matanya merah dan melotot galak. "Apa benar kau yang menodai kesucian anakku?" "Benar, Paman Wuru. Saya minta maaf atas kesalahan saya. Saya mencintai Nari Ratih, Paman." "Cinta! Cinta! Itu bukan alasan untuk berbuat tidak pantas!" potong Mpu Hanggareksa keras dan marah pada putranya. Kaki kanan ayahnya dihempaskan dan menendang perutnya hingga Arya Dwipangga hampir terjengkang jika tidak bertumpu pada dua tangannya. "Saya mengaku salah, Ayah. Saya benar-benar menyesal." "Menyesal, apa gunanya? Luka sudah meninggalkan bekas. Bagaimana kulit bisa mulus lagi? Aku yang malu, Dwipangga.Malu sekali.Mukaku kusembunyikan di mana, ha! Hoooh, kali ini perbuatanmu sungguh-sungguh keterlaluan." "Baiklah, Hanggareksa. Semuanya sudah jelas. Selanjutnya tinggal bagaimana kita berdua sebagai orang tuanya." "Aku mengerti, Rekyan Wuru. Memang anakku yang berbuat, maka aku sebagai orang tuanya harus ikut bertanggung jawab." "Kalau begitu aku permisi dulu. Kita cari waktu yang baik untuk membicarakan masalah ini sebagaimana mestinya." "Ya, ya. Silahkan, Rekyan Wuru." Mpu Hanggareksa mengantarkan tamunya sampai di luar pekarangan rumahnya Lelaki tua itu kembali dengan wajah resah. Kusut sekali. Melangkah pun seperti tanpa otot. Beberapa kali ia terpaksa menghentikan langkahnya sambil memegang dahinya. Menggeleng-gelengkan kepala lalu mengurut dada sambil menghela napas yang dirasakan teramat berat dan sesak sekali. Matanya berkaca-kaca dan pandangannya berkunang-kunang. Siang hari itu ia seperti orang bisu tuli. Tidak mau diganggu oleh siapa pun. Lelaki tua itu mengurung diri di dalam kamar sambil bersimpuh memohon ampun dan petunjuk pada Dewata Yang Maha Agung. Mpu Hanggareksa sampai mengeluarkan peluh dan air mata. Keringatnya yang jatuh dari kening bagaikan tetes-tetes darah seiring asap dupa yang mengepul memenuhi ruangan.

Malam hari kian merayap perlahan, suasana yang tintrim bagaikan mati. Di rumah Mpu Hanggareksa, yang biasanya terdengar denting-denting kesibukan merawat dan membuat senjata, kini tampak bertabur kelengangan. Suara jengkerik dan belalang malam di luar pun tingkah meningkahi melengkapi kesunyian itu. Sekali-kali ada jeritan kelelawar jantan di kejauhan. Lolongan dan gonggongan anjing liar berebutan mangsa kadang meningkahi kesunyian malam itu. Mpu Hanggareksa, lelaki tua yang rambutnya telah dihiasi uban itu kini duduk merenung bersandar pada kursi di ruang tengah. Dalam sekali ia mengisap cerutu hingga asapnya pun perlahan-lahan sekali keluar dari bibirnya yang hitam. Kadang-kadang lelaki tua yang tampak lelah itu terbatukbatuk. Kemudian dari ruangan dalam muncullah seorang pemuda tampan dengan wajah kuyu. Sinar matanya tampak meredup dan memandang lelaki tua di hadapannya dengan hormat dan ada perasaan takut. Kedua tangannya terjalin sambil memain-mainkan jemarinya untuk menghilangkan rasa segan. Beberapa saat ia kelihatan raguragu sekali ingin membuka bibirnya yang sudah meliukliuk. Pada saat lelaki tua itu tiba-tiba berpaling kepadanya buru-buru ia merunduk dan mengerjap-ngerjapkan matanya tidak berani membalas tatapan tajam mata ayahnya. "Ayah memanggil saya?" "Duduklah, Dwipangga!" Lelaki tua itu menghela napas dalam-dalam. Diperhatikannya putranya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lelaki itu tersenyum dingin lalu mengangguk-angguk. "Dwipangga." "Ya, Ayah." "Apa benar kau mencintai gadis itu?" "Saya mencintainya, Ayah." "Sungguh?" "Sungguh, Ayah." "Aku belum begitu yakin. Soalnya kau seringkali membuat onar karena perkara perempuan. Aku khawatir kali ini pun kau tidak bersungguh-sungguh." "Kali ini saya bersungguh-sungguh, Ayah." "Apa kau sudah mempersiapkan diri?" "Saya sudah siap menikahi putri Rekyan Wuru. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik" "Kau tahu artinya menikahi seseorang? Artinya kau harus sadar, bahwa mulai saat itu kau sudah tidak bebas lagi. Kau mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Kau akan memasuki tahap kehidupan yang lebih rumit. Kau tidak bisa berbuat semaumu lagi. Kau harus bekerja untuk memberi makan keluargamu. Kau harus bisa membahagiakan anak isterimu. Kau harus bisa mendidik anak-anakmu agar nanti mereka mampu untuk hidup mandiri." "Saya akan menuruti segala nasihat Ayah." "Semua kebiasaanmu yang buruk kaucam-pakkan. Harus kauganti dengan yang baik. Yang berguna untuk membangun keluarga. Nah, Dwipangga, kalau kau sudah paham dan sudah mempersiapkan itu semua, Ayah merestui pernikahanmu." "Ohh, terima kasih, Ayah. Semua nasihat Ayah akan saya junjung tinggi " Wajah Arya Dwipangga tampak berseri-seri. Ia mengangguk hormat dan bersimpuh di kaki ayahnya sambil menciuminya penuh perasaan haru. Lelaki tua itu mengulurkan tangan kirinya, mengusap dan membelai rambut putranya. Lalu meremasnya penuh kasih sayang. Anak dan ayah itu seolah-olah terlepas dari beban berat yang menindih selama ini. Wajah mereka berseri-seri ditimpa cahaya pelita yang remang-remang di ruangan itu. Beberapa hari setelah kejadian itu, Rekyan Wuru dengan ditemani Kepala Desa Manguntur datang ke Kurawan. Mpu Hanggareksa menerima tamunya dengan ramah. Mereka pun membicarakan masalah Arya Dwipangga dan Nari Ratih. Tercapailah kata sepakat untuk menikahkan Nari Ratih dan Arya Dwipangga. Pada saat hari yang telah ditentukan kedua keluarga itu mempersiapkan segala sesuatu untuk melangsungkan upacara pernikahan. Pesta pernikahan antara Arya Dwipangga dan Nari Ratih cukup meriah. Pesta diselenggarakan di rumah Mpu Hanggareksa. Tampak pengantin pria duduk bersanding dengan pengantin wanita di pelaminan. Keduanya kelihatan bahagia. Para tamu ikut bersukacita atas berlangsungnya pernikahan mereka. Baik yang datang dari Manguntur maupun dari desa lainnya. Mereka sibuk berbincangbincang dengan teman duduknya sambil menikmati hidangan yang disediakan. Terdengar alunan gamelan yang ditabuh para niyaga yang menyemarakkan pesta pernikahan itu. Namun, di tengan keramaian itu tampak seorang lelaki mengerutkan dahinya saat seorang perempuan tua datang kepadanya. Dengan berbisik lelaki itu mendekatkan bibirnya pada telinga perempuan tua itu. "Bi Rongkot." "Ya, Gusti." "Kau tidak melihat Kamandanu?" "Tidak, Gusti. Tadi sore Angger Kamandanu hamba lihat membantu memasang janur dan hiasan kursi pengantin. Tapi setelah itu hamba tidak melihatnya lagi." "'Ohhhh, anak itu apa maunya? Banyak tamu-tamu kenalanku menanyakannya, Bi. Dulu mereka mengenalnya waktu masih kecil, sekarang mereka ingin tahu sudah berapa besarnya. Huuh, di rumah banyak orang sibuk kok malah tidak ada. Nanti kalau kau melihatnya lagi suruh dia menemuiku, Bi." "Ya, Gusti." Lalu lelaki itu membalikkan tubuh dan kembali melayani para tamu yang semakin banyak hadir di rumahnya. Setiap saat dia mengulurkan tangannya menyambut ucapan selamat mereka. Tampak butir-butir keringat mengembun menghiasi dahi lelaki tua itu. Senyuman bahagia senantiasa tersungging di bibirnya. Pesta kawin masih terus berlangsung sampai jauh malam. Sebagian tamu banyak yang turun ke gelanggang, untuk menemani para pesinden menari. Di balik suasana gembira itu tampak seorang pemuda berjalan dengan gontai. Wajahnya kuyu, sesekali mendesah dan menghempaskan napasnya. Tampak kesal sekali. Kedua tangannya mengepal, sekali-kali memukul udara. Dia pandang langit yang bertaburan bintang. Bintang-bintang itu berkedip-kedip seolah-olah mengejeknya. Segumpal awan kelabu melintas seiring embusan angin. Bayang-bayang wajah seorang gadis cantik melintas di sana tersenyum menggodanya. "Nari Ratih, akhirnya kau menjadi milik Kakang Dwipangga. Bagaimana dengan Arya Kamandanu ini?" bisiknya perlahan sambil tetap memandang ke arah awan kelabu yang melayang itu.Melayang terbang entah ke mana angin membawanya. Seperti cintanya yang melayang direnggut saudara tuanya. Dengan perasaan tidak menentu pemuda itu terus berjalan semakin menjauhi rumahnya. Dia tidak tahu mau apa dan mau ke mana? Dia hanya ingin membuang jauh rasa pedih yang menggores hatinya. Ia ingin pergi seperti awan kelabu di langit malam yang terus berlalu, jauh dan akhirnya lenyap didera angin. Belum puas dengan apa yang dilakukannya, pemuda itu kemudian melompat dan berlari sekencang-kencangnya. Tidak peduli semak belukar, tidak peduli duri rumput putri malu yang menggores dan mencabik kulitnya. Napasnya terengah-engah memburu. Pada saat di hadapannya terdapat sebuah pohon besar serta merta ia mengepalkan tangan, menubruk dan meninju pohon tak berdosa itu bertubi-tubi sambil berteriak, mendengus dan melolong panjang. Batang pohon besar itu bukannya menangis dan meronta karena memang itu tak mungkin, akan tetapi yang semakin terasa perih justru kedua tangannya yang kini robek, terluka dan berlumuran darah. Pemuda itu meraung dan menangis ter-guguk. Dari sela-sela jemarinya muncrat darah segar yang terus membasahi pergelangan tangan dan telapak tangannya. Ia tidak menghentikan tindakan bodohnya. Ia terus memukul dan meninju pohon itu. Sampai pada suatu saat berkelebatlah sesosok bayangan hitam di tengah kepekatan malam. Bayangan itu tampak ringan sekali berkelebat menghampirinya dan segera merenggut kedua tangan pemuda itu yang sudah bermandikan darah segar. Pemuda itu kelelahan sekali dan kesakitan. Mata pemuda itu mendelik sekalipun pandangannya nanar oleh air mata yang terus mengalir deras. "Oh, kau... kau datang lagi. Kau manusia bercadar hitam yang pernah kujumpai dulu." "Jangan menyakiti diri sendiri!" kata orang bercadar hitam itu yang kini menghempaskan kedua tangan pemuda itu setelah ditarik ke semak-semak. "Siapa kau orang bercadar hitam?" Orang bercadar hitam itu tidak menjawab pertanyaan pemuda yang sedang gundah itu, sebaliknya menasihatinya, "Kasihan pohon itu. Dia tak punya salah apa-apa tapi harus merasakan pukulan bertubi-tubi. Tapi sebenarnya lebih kasihan buku-buku jari tanganmu itu, anak muda." "Biar saja tanganku remuk, tetapi hatiku puas," jawabnya kesal dan seperti melenguh bagaikan lembu." "Oh, jadi kau ingin mencari kepuasan? Nah, mari kutunjukkan dan kubantu! Daripada memukul pohon yang keras sekali, lebih baik pukullah aku!" tantang orang bercadar hitam itu sambil melompat beberapa tindak seperti tanpa beban. "Baik! Aku akan memukulmu! Hiaaaaahh! Hiaaaaaahh!" pemuda itu langsung menerjang, dan kedua tangannya membabi buta ingin memukul orang bercadar hitam. Kedua tangannya membentur kedua tangan orang itu. Sungguh mati ia terkejut. Ia mundur beberapa langkah dan mengerutkan dahi sambil memelototkan matanya. Ia sungguh tak menduga dengan apa yang telah terjadi. "Oh, tanganmu lebih keras dari pohon itu!" katanya sambil mendekap tangannya yang terasa perih dan sakit sekali. "Tidak! Bukan tanganku yang keras melainkan tanganmu yang terlalu lembek. Lagipula sadarkah kau, bahwa kedua tanganmu terluka parah? Hehehehe, mau coba lagi?" ejek orang bercadar itu kemudian melompat dan berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam. Pemuda itu bengong dan kembali mencoba mengingatingat peristiwa beberapa saat lamanya ketika ia pernah bertemu dengan orang itu. Ia memandang ke arah lenyapnya orang itu sambil bergumam, "Siapa manusia bercadar hitam itu? Dulu ia datang saat pikiranku sedang kalut setelah peristiwa Candi Walandit. Sekarang dia datang lagi juga pada saat pikiranku sedang kacau. Siapa dia sebenarnya dan apa maksudnya?" pemuda itu meraba kantong kulitnya. Mendesah kesal karena terkejut, "Oh, batu nirmalaku? Dia mencurinya, kurang ajar!" "Pencuri busuk!" hardiknya sembari melompat dan menembus kegelapan malam menuju arah lenyapnya makhluk bercadar hitam yang telah mencuri batu nirmala kenang-kenangan dari kekasih hatinya. Napasnya terengah-engah ketika pemuda itu menghentikan pengejarannya sebab ia tidak perlu susahsusah mencari orang bercadar hitam itu. Orang aneh itu tidak lari jauh, tetapi enak-enak duduk di atas sebongkah batu ketika mengetahui pengejarnya semakin dekat menghampirinya dengan napas semakin memburu. Bunyi kerosak mencekam sekali ketika pemuda itu menyeruakkan semak belukar dan bertolak pinggang menghardik orang aneh itu. "Pencuri busuk! Kembalikan batu nirmalaku!" "Mengapa kau marah-marah, anak muda?" jawabnya enteng dan sinis sekali. "Kau telah mencuri batu nirmalaku." "Oooo, benda ini yang kau maksudkan?" tanyanya lagi sambil menimang-nimang dan melempar-lem-parkan batu nirmala itu ke udara dan menangkapnya lagi. Tawanya sangat menyakitkan pendengaran pemuda itu. "Kembalikan batu nirmala itu. Cepat kembalikan!" "Heheheheh... tidak semudah itu kau akan bisa memiliki benda ini, anak muda. Kecuali kau sanggup merebutnya dari tanganku. Hehhehehe!" Manusia bercadar hitam dan bertingkah laku aneh itu sangat menjengkelkan hati pemuda itu. Pemuda itu sangat kesal dibuatnya tetapi tidak ada cara lain kecuali harus merebut benda itu dengan kekerasan. "Hee, orang bercadar! Kau jangan mempermainkan aku! Kembalikan batu nirmala itu!" "Hehehe, anak muda! Kalau kau menginginkan benda ini, kau harus mau berkeringat lebih dulu. Tak ada hasil yang bisa diperoleh tanpa cucuran keringat." "Apakah mencuri milik orang lain juga bisa diartikan cucuran keringat?" "Heheheheh! Kau cukup cerdas, anak muda Tapi bukan kecerdasan yang ingin kuketahui darimu, melainkan keberanian, ketekatan hati dan semangatmu." "Untuk apa kau ingin tahu diriku?" "Tentu saja untuk tetap memiliki batu nirmala yang indah ini. Hehehehe!" orang bercadar hitam itu langsung melesat, lenyap dalam kegelapan. "Heeh, tunggu! Jangan lari kau! Sampai ke ujung dunia pun tak akan kubiarkan kau membawa batu nirmala itu!" Pemuda itu langsung melompat mengikuti arah orang bercadar hitam yang kini menghilang lagi ditelan kegelapan. Orang bercadar hitam itu melesat bagaikan seekor tupai yang melompat dari atas batu ke tengah semak. Beberapa saat lamanya pemuda yang mengejarnya menjadi linglung. Menoleh ke sana kemari mencari arah kaburnya orang aneh itu. Napasnya terengah-engah, sesekali ia mengusap keringat yang bercucuran di dahi dan pelipisnya. Ia tidak peduli lagi luka pada buku-buku kedua tangannya yang kini darahnya sudah mulai mengering. Malam terus surut dengan memamerkan kabut-kabutnya. Lolong anjing liar di kejauhan terdengar melengking dan menggaung ditingkahi suara burung hantu dan binatangbinatang liar lainnya. Hal itu membuat bulu roma pemuda itu bergidik. Pemuda itu terus melangkah menyusuri semak belukar tanpa mempedulikan duri-duri yang sering kali menggores dan mengoyak kulitnya. "Oh, ke mana larinya orang itu tadi? Aku belum pernah menginjak tempat ini. Ini sudah terletak di bagian timur bukit Kurawan. Tempat ini menyeramkan sekali. Apakah manusia bercadar itu sengaja memancingku pergi kemari untuk kemudian membunuhku? Ah, persetan dengan orang itu. Siapa pun dia, betapa pun saktinya, aku harus merebut batu nirmala itu dari tangannya." Pemuda itu kemudian mencoba melangkah lagi, melompat dan berlari terus menyusuri pinggang bukit Kurawan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon perdu. Dia tak peduli gelapnya malam yang hampir membutakan matanya. Kemudian ia sampai pada sebuah tempat yang benar-benar sangat menyeramkan. Tempat itu gelap gulita. Semua yang ada bagaikan hantu-hantu yang ingin menerkamnya. Ia mengerutkan dahinya dan menghentikan langkah sambil memperhatikan sebuah batu besar yang menyerupai payung raksasa. Pemuda itu merunduk sambil berusaha menajamkan penglihatannya ke balik batu payung yang menyerupai gua dengan batu-batu runcing menjulur dan bergelantungan di langit-langit gua atau pun hampir di setiap lorong tempat itu. Baru saja ia akan beranjak ketika mendadak muncul sebuah bayangan dari balik daun-daun pepohonan yang rimbun. Bayangan itu langsung menyerangnya. "Hiaaaahh, hiaaahhhh!" "Ohh, heiitt... kurang ajar!" pemuda itu terkejut dan bergerak secara reflek. Melompat dan melenting bagaikan burung srikatan untuk menghindari serangan lawannya. Ia berusaha mundur dan berlindung di balik semak belukar untuk mempersulit gerakan lawannya. "Hei, siapa kau? Mengapa menyerangku?" penyerang gelap itu tak mempedulikan pertanyaan pemuda itu. Orang itu terus menyerang dan berusaha mengalahkannya. Penyerang gelap itu bertopeng, tubuhnya lebih kekar daripada orang aneh bercadar hitam yang kini lenyap entah ke mana. Karena diserang bertubi-tubi akhirnya pemuda itu memberikan perlawanan cukup imbang. Terjadilah duel seru di antara keduanya. Mereka saling menjotos, menendang dan berusaha mendaratkan pukulanpukulannya. Tetapi ketika dua kali pukulan pemuda itu mendarat pada perut orang bertopeng, orang itu mundur beberapa tindak dan menghentikan serangannya. Pemuda itu tetap bersiaga penuh, tetap memasang kudakuda. Kedua tangannya mengepal keras dan napasnya terengah-engah saat melangkah beberapa tindak mendekati orang bertopeng di depannya. "Kau siapa dan mengapa menyerangku? Kau pasti anak buah orang bercadar hitam itu." "Hehehehe, tentu saja Angger Kamandanu tidak mengenaliku lagi. Hehehhehe!" Mendengar namanya disebut, pemuda itu mengerutkan dahi dan berusaha mengingat-ingat nada suara orang itu. Ia berusaha keras mengingat-ingat, siapa sebetulnya orang itu. "Oh, suaramu..., suaramu sepertinya kukenal dengan baik." "Hehehehe, mari, Angger! Guru sudah menunggu di dalam." Pemuda itu, yang tak lain adalah Arya Kamandanu semakin penasaran pada orang-orang aneh yang dijumpainya. Lebih-lebih pada orang bertopeng di dekatnya yang kini menepuk-nepuk pundaknya sangat akrab dan mengajaknya melangkah bersama. Orang itu segera membuka topeng kulitnya dan tertawa berkepanjangan. "Ohh, Paman Wirot!" ucapnya lirih setelah tahu siapa makhluk aneh yang kini mendahului melangkah masuk ke dalam goa di balik batu payung raksasa itu. Arya Kamandanu diajak menyusuri lorong-lorong di dalam goa. Tempat itu benar-benar menyeramkan. Tanpa cahaya sedikit pun. Hanya suara tetes-tetes air dari langitlangit gua terdengar menggema. Sesekali jeritan kelelawar yang bertemu kawanannya, mencericit riuh karena terkejut. Paman Wirot yang sudah hapal benar dengan lekuk liku tempat itu bisa berjalan agak cepat sekalipun ia tampak hatihati sekali jika tidak ingin terperosok pada lantai gua yang licin atau tak terantuk pada stalagtit dan stalagmit gua yang terdapat hampir di setiap sudut dan lorong gua itu. Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat di mana kelihatan sangat nyaman. Ada sebuah batu pipih cukup lebar di ruangan itu. Sebuah obor minyak jarak tergantung di sisi gua. Menyala kuning kemerahan dengan asap hitam membekas pada dinding gua sekitarnya. Di atas batu pipih itulah tampak seorang lelaki tua berpakaian sangat sederhana duduk bersila tanpa memperhatikan kehadiran dua orang di depannya. Orang tua itu masih memejamkan mata. Pada saat ia mengetahui bahwa Wirot dan Arya Kamandanu sudah duduk di hadapannya dengan bersila, perlahan-lahan pelupuk mata yang sudah mengeriput itu pun terbuka. Bibirnya mengulum senyuman sangat ramah. Mata itu sekalipun tersembunyi di balik pelupuk mata yang mengeriput dan cekung, namyn sinar matanya jernih, tajam bersinar memantulkan cahaya obor jarak. Pantulan cahaya obor itu bergerak-gerak setiap kali mata lelaki tua itu menger-jap-ngerjap. Siapa pun yang melihat orang tua itu, pasti semua mengakui keagungan dan kebesaran jiwanya yang bening bagaikan permukaan telaga memantulkan cahaya rembulan di malam purnama. Arya Kamandanu menghela napas ketika lelaki tua itu sudah dikenalinya dengan baik. Ia ikut tersenyum di balik kegetiran dan kepahitan hidupnya. "Oh, jadi orang bercadar hitam itu adalah Paman Ranubhaya?" "Heheheh, kaukira siapa?" jawab lelaki itu dengan suara serak namun lebih jelas dibandingkan dengan suara orang bercadar hitam sebab lelaki tua itu sengaja melakukannya. "Jadi, Paman juga yang dulu pernah menasihati saya waktu baru saja mengalami peristiwa di CandiWalandit?" "Hehehheh, sudahlah, Kamandanu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin supaya kau tidak tercekam oleh peristiwa yang menyakitkan, lalu akhirnya kau menyia-nyiakan hidupmu sendiri." Lelaki tua itu menghela napas, menelan ludah dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sebelum akhirnya kembali memandang pemuda tampan di depannya yang kini berwajah sangat kusut. "Kamandanu." "Ya, Paman." "Apa kau tertarik pada olah kanuragan?" "Eh, saya... saya tidak tahu apakah saya berbakat atau tidak untuk belajar ilmu kanuragan, Paman." "Kau pernah belajar dari ayahmu?" "Tidak banyak, Paman. Ayah hanya mengajari beberapa jenis pukulan. Kata Ayah, saya tidak perlu menjadi seorang jago berkelahi. Ayah lebih suka jika saya mewarisi keahliannya membuat senjata pusaka." "Kau sendiri bagaimana?" "Saya pribadi lebih tertarik mempelajari ilmu olah kanuragan, Paman. Tapi saya harus belajar pada siapa?" "Bagaimana kalau kau belajar padaku?" "Paman bersungguh-sungguh?" "Kalau kau tertarik pada olah kanuragan, mulai besok malam kau datang ke tempat ini. Pengetahuan dan kemampuanku tidak banyak, tapi ada baiknya kaupelajari sebagai dasar berpijak." "Baik, Paman." Arya Kamandanu sangat gembira bahwa Mpu Ranubhaya mau mengajarinya ilmu olah kanuragan. Dia merasa mendapat penghiburan dan penyaluran, merasa mendapat wadah untuk menampung kesedihannya karena kehilangan gadis yang dicintainya. Maka sejak malam itu, begitu matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Arya Kamandanu bergegas meninggalkan rumahnya. Tak seorang pun yang tahu ke mana ia pergi. Ayah dan kakaknya, Bibi Rongkot maupun Nari Ratih yang sudah tinggal di rumahnya tidak pernah tahu jika ia sering meninggalkan rumah bila malam hari tiba.

Malam merayap semakin larut, Arya Kamandanu sangat bahagia mendapatkan seorang guru yang sangat sabar dan pengertian. Ia duduk bersila ditemani Wirot murid tunggal Mpu Ranubhaya yang setia. Mereka mendengarkan apa yang diucapkan lelaki tua itu dengan saksama. Bunyi kelelawar sesekali memamerkan jeritannya meningkahi suara tetes-tetes air yang jatuh dari langit-langit gua batu payung sebagai tempat pamujanMpu Ranubhaya. Kemudian lelaki itu memandang kedua muridnya lekatlekat dengan tatapan sangat tajam. Perlahan sekali ia mengangguk-angguk setelah mengusap janggutnya. Suara lelaki tua itu menambah suasana magis dan seram di dalam gua yang hanya berpenerangan pelita. "Dengar baik-baik, Kamandanu! Ilmu kanura-gan pada dasarnya mempelajari segala sesuatu yang terdapat di dalam raga atau tubuh manusia. Karena itu yang pertama kali perlu dipersiapkan adalah tubuh manusia itu sendiri. Setelah tubuh siap barulah belajar kuda-kuda yang benar. Kuda-kuda artinya dalam keadaan siap siaga. Coba, pamanmu Wirot akan memberi contoh kuda-kuda yang bagus " Wirot yang ikut mendengarkan pelajaran kanuragan segera bangkit, lalu berdiri dengan kedua lutut menekuk ke samping. Tangan menyilang di atas dada. "Nah, itu kuda-kuda yang sudah banyak dikenal orang. Kuda-kuda erat kaitannya dengan jurus. Jurus adalah suatu rangkaian pukulan yang mengarah pada satu titik kelemahan lawan. Pamanmu Wirot akan memberikan contohnya." Maka dengan lincah dan gesit Wirot melompat, menjotos dan memukul udara kosong dengan sesekali menghempaskan napas untuk menghentakkan seluruh tenaga simpanannya. Ia melompat ke samping, menerjang ke depan dan melentingkan tubuhnya seperti burung srikatan yang ingin menangkap nyamuk. Bibirnya mengatup rapat, kedua tangannya mengepal keras, kakinya selalu menghentak tanah setiap kali ia mengubah posisi kuda-kudanya. Sangat perkasa. "Yah, cukup,Wirot! Sekarang kalian berdua bisa berlatih di halaman depan gua ini. Kukira tempatnya cukup lega untuk kalian berdua!" Arya Kamandanu segera bangkit dan mengikuti langkahlangkah Wirot yang berjalan menuju halaman gua. Halaman gua itu cukup luas untuk berlatih beladiri.Mereka segera memasang kuda-kuda berhadapan satu dengan lainnya. Wirot yang lebih dulu memahami apa yang diajarkan gurunya tampak lebih gesit dan trengginas. Arya Kamandanu menirukan setiap gerak dan pukulanpukulan berantai sebagai rangkaian jurus Naga Puspa. Mereka berlatih dan berusaha memusatkan hati dan pikiran sepenuhnya pada olah kanuragan. Mereka tidak sadar jika Mpu Ranubhaya mengikuti setiap gerakan jurus-jurus yang telah diciptakannya. Lelaki tua itu tidak mau mengganggu, tidak mau memberikan komentar sebab ia berkeinginan kedua anak asuhnya itu bisa mengembangkan jurus-jurus Naga Puspa paling dasar yang telah diberikannya. Tampak keduanya bersimbah keringat.Mereka tidak menyadari jika telah berlatih habis-habisan. Demikianlah, malam itu, dan malam-malam berikutnya, Arya Kamandanu sibuk berlatih olah kanuragan dengan ditemaniWirot. Setahap demi setahap akhirnya Arya Kamandanu mampu menyerap pelajaran ilmu pukulan dua belas jurus milik Mpu Ranubhaya. Pada malam yang kedua puluh satu, Mpu Ranubhaya melihat mereka berlatih di halaman depan gua. Setelah beberapa saat lamanya mengamati,Mpu Ranubhaya berdiri dan bertepuk tangan memberi aba-aba supaya keduanya beristirahat. Wajah lelaki tua itu tampak berseri-seri karena kedua muridnya benar-benar mengalami kemajuan sangat pesat dalam berlatih olah kanuragan. Namun, ada sesuatu yang sangat mengganjal saat memperhatikan kedua muridnya itu. Lelaki tua itu pun melambaikan tangannya memberi aba-aba agar keduanya mendekat dan memperhatikannya. Ia pandang satu persatu bergantian. "Cukup! Hentikan dulu latihan kalian. Mari masuk, aku akan bicara dengan kalian berdua." Mpu Ranubhaya membalikkan badannya dan melangkah menuju dalam gua batu payung diikuti kedua muridnya. Wirot dan Arya Kamandanu saling berpandangan sejenak dan mengangkat bahu sambil mengangkat alis dan tersenyum simpul menahan geli. Mereka melangkah menuju dalam gua beriringan mengikuti jalan Mpu Ranubhaya. Suasana di dalam gua sungguh mencekam Temaram sinar pelita yang tergantung di dinding gua tidak mampu memberikan penerangan yang cukup. Mereka kemudian duduk berhadap-hadapan di lantai gua yang kering. "Bagus. Kau sudah menguasai dua belas jurus yang kuajarkan padamu, Kamandanu. Kau tahu nama jurus yang baru saja kau perlihatkan bersamaWirot?" "Ehh, tidak, Paman. Saya tidak tahu namanya. Paman Wirot hanya mengatakan pukulan dua Belas jurus." jawab Arya Kamandanu sambil melirik ke arah Wirot "Walaupun sudah lama Wirot mengenal dua belas jenis pukulan beruntun itu, dia pun belumtahu namanya." "Guru tidak pernah memberi tahu namanya pada saya." "Kalau kalian ingin tahu, dua belas jenis pukulan itu merupakan bagian pertama dari jurus Naga Puspa." "Kedengarannya asing nama itu, Guru?" sahut Wirot dengan nada ingin tahu. Ia mengerutkan dahinya. "Ya. Memang kedengarannya asing, karena hampir tak ada orang yang mengetahui rahasia ini. Bahkan Paman tahu siapa mereka yang mengenalnya," jelas lelaki tua itu pada muridnya. "Tapi Guru pernah mengatakan bahwa jurus itu sangat terkenal di kalangan para pendekar," tukas Wirot. "Ya, tapi mereka hanya mengenalnya dengan nama pukulan dua belas jurus." "Mengapa hanya dua belas jurus, Paman?" tanya Arya Kamandanu. "Sebenarnya jurus Naga Puspa terdiri dari tiga puluh lima jurus. Tiga puluh lima jurus ini dibagi menjadi tiga tahap pelajaran. Dua belas jurus yang pertama adalah tahap awal atau tahap pertama. Isinya hanya olah kanuragan dalam tata lahirnya saja. Bagaimana cara menendang dengan kaki kiri dan bergantian dengan kaki kanan, bagaimana cara menggunakan sikut, lutut kiri kanan, kepalan tangan, telapak kaki untuk menyerang ataupun bertahan. Wirot sudah mahir sekali menggunakan kedua belas jurus itu, walaupun kecepatan geraknya masih perlu ditambah lagi." "Lalu tahap berikutnya, Paman?" tanya Arya Kamandanu. "Tahap berikutnya merupakan pelajaran yang lebih berat dan rumit. Tahap kedua ini terdiri dari sebelas jurus yang memerlukan persyaratan istimewa bagi orang yang ingin menguasainya." "Persyaratan apa, Guru?" tanyaWirot penasaran. "Orang itu harus lebih dulu menguasai ilmu meringankan tubuh atau bisa juga disebut Aji Seipi Angin." "Mengapa harus memerlukan persyaratan itu, Paman?" tanya Arya Kamandanu sambil mengubah posisi duduknya. "Karena untuk memainkan sebelas jurus itu dibutuhkan kecepatan gerak seperti angin. Kecepatan gerak seperti itu tak mungkin dilakukan oleh manusia biasa yang keberatan membawa tubuhnya sendiri." "Bagaimana dengan Aji Seipi Angin itu, Paman? Apakah susah mempelajarinya?" tanya Arya Kamandanu penuh rasa ingin tahu. "Dengan kemauan yang keras, tekad membaja, tak ada pelajaran yang susah di muka bumi ini. Untuk bisa menguasai Aji Seipi Angin dibutuhkan latihan pernapasan dan pemusatan pikiran. Ada satu cara yang sangat jitu untuk melatih kedua hal tersebut. Besok malam aku akan memberikan cara itu, untuk kalian coba latih dengan baik." Setelah memberikan nasihat dan petuah secara panjang lebar, kedua murid itu diminta untuk membaringkan badan di lantai gua dengan mata terpejam. Mereka harus melakukan pernapasan dalam. Pernapasan dalam ialah menghirup udara melalui hidung. Setelah itu mereka harus menyimpan udara dengan beberapa kali hitungan. Kemudian mengembuskannya perlahan-lahan dikeluarkan melalui hidung tanpa mengeluarkan suara dengus dan desah. Hal itu harus dilakukannya berulang-ulang. Setiap kali mereka mengembuskan napas harus penuh ucapan syukur pada Yang Mahakuasa. Malam berikutnya Arya Kamandanu datang lebih awal dari malam-malam sebelumnya. Wirot dan Mpu Ranubhaya sudah menunggu di halaman depan gua. Kali ini malam terasa lebih menyeramkan. Dada Arya Kamandanu berdebar kencang ketika Mpu Ranubhaya menyuruhnya duduk di atas tumpukan jerami kering. Pemuda itu diminta untuk memusatkan hati dan pikiran agar bisa berlatih secara total. Keduanya mengikuti seluruh perintah Mpu Ranubhaya yang berdiri tegak bagaikan patung. Hanya bibirnya yang tampak bergetar dan bergerak-gerak setiap memberi aba-aba pada kedua muridnya. Getaran-getaran suaranya bergema menggaung pada dinding-dinding karang di seputar gua batu payung. Suaranya agak serak dan parau namun penuh kewibawaan seorang yang memiliki karisma. "Nah, kalian sudah siap?" "Sudah, Guru." "Sudah, Paman." "Aji Seipi Angin ini dulu pernah diajarkan oleh almarhum guruku yang bernama Mpu Sasi. Beliau tidak pernah bepergian naik kuda atau kereta, tapi beliau selalu sampai di tempat yang dituju lebih awal dari temantemannya. Hal itu karena beliau berjalan dengan menggunakan kemampuan ilmu tersebut. Kamandanu dan kau Wirot Tiga hari yang lalu aku menyuruh agar kalian tidak tidur barang sekejap mata pun. Apa kalian sudah mematuhinya?" "Sudah, Paman." "Sudah, Guru." "Sekarang ini kalian tentu mengantuk sekali." "Ehh, ya tentu saja, Paman. Tapi saya berusaha untuk tidak tidur walaupun mata rasanya seperti dibubuhi tumbukan cabe rawit saking pedasnya." jawab Arya Kamandanu sambil mengerjapkan matanya. "Kalian tentu malas berlatih malam ini. Sungguh nyaman sekali rasanya untuk tidur dalam keadaan kantuk seperti ini. Nah, marilah ikut aku." "Ke mana, Guru?" tanyaWirot penasaran. "Ke tempat tidur," jawab Mpu Ranubhaya seraya membalikkan tubuhnya menuju suatu tempat. Langkahlangkahnya diikuti Wirot dan Arya Kamandanu yang sesekali saling berpandangan tak mengerti apa yang dikehendaki oleh gurunya yang dianggap aneh sekali. Mereka menuju suatu tempat agak jauh di balik gua batu payung di mana selama ini mereka berlatih dan digembleng. Tempat itu sunyi sekali. Kegelapan menyelimuti tempat yang ditumbuhi oleh semak belukar dan bambu petung. Suara burung malam membuat bulu kuduk berdiri. Suaranya ditingkahi kepak sayap kelelawar dan jeritan suaranya yang mencericit bercengkerama dengan pasangannya. Di tempat itulah lelaki tua itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang kedua muridnya yang sejak tadi hanya menunggu dengan diam. "Bagi mereka yang tidak sedang belajar olah kanuragan, tempat tidur yang nyaman adalah sebuah kasur yang empuk, uang dipasang di atas ranjang kayu jati berukir. Tapi bagi mereka yang ingin menguasai ilmu Seipi Angin, tempat tidur yang paling baik adalah sebatang petung, yang tingginya melebihi pohon kelapa.” "Ehh, maksud Guru?" tanya Wirot dengan dahi beranyam kerutan. Tetapi lelaki tua itu tidak segera menjawab. Hanya desah napas dan kepalanya yang mengangguk-angguk. Bibirnya menyungging senyuman dan matanya menyipit. Pandangannya beralih pada sebatang pohon bambu petung yang sudah tua dan setinggi pohon kelapa. "Maksudku pergunakanlah sebatang bambu ini untuk tidur malam ini. Hmmh, masih belum jelas? Kalian berdua naik ke atas pohon bambu ini, sampai ke ujungnya yang paling tinggi. Nah, peluklah batang pohon bambu itu sambil berusahalah untuk tidur di atas sana." "Oh. Bagaimana... bagaimana itu mungkin, Guru?" tanya Wirot dengan nada cemas dan mohon pengertian. Kemudian lelaki tua itu memandangWirot sangat tajam. "Tak ada yang tak mungkin. Kalian coba saja dulu apa yang kukatakai ini. Kalau tak ingin jatuh, kalian tak boleh tidur terlalu lelap. Bagaimana, Kamandanu? Apalagi yang kau tunggu?" "Ehh, ba... aaiklah, Paman. Saya akan menuruti perintah Paman Ranubhaya. Saya akan tidur di atas pucuk pohon bambu ini." Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Arya Kamandanu merayap menaiki sebatang bambu petung yang cukup besar. Ia memanjat bagai seekor monyet. Cepat dan trengginas. Kedua tangannya mencengkeram batang bambu, sedangkan kedua ujung jemari kakinya memanjat batang bambu itu jika tidak ingin terpeleset. SebaliknyaWirot masih bimbang. Sejenak lamanya ia hanya diam mematung, terpaku memandang Arya Kamandanu yang sudah hampir mencapai pucuk petung. Terdengar suara kerusek dan kerosak setiap kali tubuh Arya Kamandanu menyentuh daun-daun bambu itu. Ketika Arya Kamandanu sudah mencapai pucuk pohon petung itu, barulah Wirot perlahan-lahan memanjat pohon bambu petung itu. Berkali-kali ia berdecak kesal. Ia sama sekali belum mengerti apa yang dikehendaki Mpu Ranubhaya memintanya tidur di pucuk bambu. Untuk kesekian kalinya ia menganggap gurunya sangat aneh. Pada pucuk pohon bambu petung itu, Arya Kamandanu mulai merasakan kantuk serta angin malam membuatnya cukup menggigil. Ia belum bisa memejamkan mata. Hatinya semakin cemas dan berdebar-debar ketika matanya terbuka dan memandang ke bawah. Tetapi ia berusaha untuk menguatkan dan meneguhkan hatinya Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh Wirot. Jejaka tua itu tubuhnya sangat menggigil oleh kedinginan dan rasa cemas. Keringat dinginnya mengalir dan membasahi seluruh tubuhnya. Ia benar-benar ketakutan sekali ketika kembali memandang ke bawah. "Ohh, tinggi juga batang bambu ini. Oh, kalau jatuh ke bawah sana bisa remuk tulang-tulangku Apa maksud Guru memberi pelajaran seperti ini? Jangan-jangan Guru hanya main-main. Soalnya aku tahu watak guruku. Di samping suka angin-anginan, dia juga senang bercanda, senang bermain-main." Wirot menguap lebar karena kantuk menguasainya. Tapi ia tidak mungkin bisa tidur dengan cara seperti monyet di atas pohon. Ia juga merasakan kedua kakinya sudah kaku karena takut. Ia tak merasakan apa-apa lagi. Keringat dingin sudah membasahi pakaiannya. Ia makin cemas, takut dan khawatir jika jatuh. Ia ragu jika bisa bertahan di atas pohon sampai pagi. Ia mulai menggigil. "Saya tidak sanggup. Saya, saya masih mau hidup." Wirot merasakan sesuatu yang hangat mulai mengalir, membasahi paha dan celananya. Sekujur tubuhnya benarbenar menggigil. Sedikit pun ia tidak bisa memicingkan matanya sekalipun perasaan mengantuk luar biasa menyerangnya. Bahkan ia tidak ada niat melanjutkan lakunya untuk mempelajari apa yang diajarkan gurunya. Akhirnya, ia memutuskan untuk turun. Ia tidak mempedulikan petunjuk gurunya yang kini tak ada di bawah. Wirot benar-benar semakin jengkel pada Mpu Ranubhaya. Napasnya terengah-engah saat kakinya menginjak tanah. Ia menghela napas sedalam-dalamnya kemudian dihempaskannya napas itu dengan menggelembungkan kedua pipinya. Kedua tangannya mengurut dada, kepalanya menggeleng-geleng dan rasa pening mulai merayapi keningnya. Jejaka tua itu sesaat memandang ke arah Arya Kamandanu yang kelihatan berusaha tidur di pucuk pohon bambu petung. Ia tersenyum karena pemuda itu pun kelihatan gelisah. Wirot akhirnya melangkahkan kakinya menuju dalam gua setelah mengibas-ngibaskan pakaiannya yang berbau pesing. Ia yakin gurunya diam di dalam gua untuk bersemadi. Suasana di dalam gua batu payung itu sangat gelap gulita. Pelita minyak yang biasa tergantung di dinding sudut gua tidak menyala. Wirot yakin, bahwa gurunya sengaja mematikan pelita itu untuk mendukung suasana semadinya. Suara tetes-tetes air terdengar mengerikan dalam pendengaran Wirot. Baru saja ia akan membaringkan tubuhnya pada sebuah lempengan batu pipih selebar meja yang terdapat dalam ruangan gua itu, ia sangat terkejut. Terdengar suara gurunya menegurnya. "Bagaimana, Wirot? Mengapa kau turun? Apakah kau sudah tidur terlelap di atas tempat tidurmu?" "Ehh, ampun Guru. Saya tidak sanggup." "Ahh, Wirot. Kau adalah satu-satunya muridku yang sudah kuanggap sebagai anakku sendiri Sekarang aku tahu, mengapa aku tidak mewariskan ilmu yang lebih tinggi selain pukulan dua belas jurus." "Mungkin, mungkin Guru menganggap saya kurang berbakat." "Yah. Ilmu yang tinggi harus diimbangi dengan wadah yang memadai. Sebab kalau tidak, orang yang bersangkutan bisa menjadi korban ilmu tersebut. Ilmu tidak bisa dipaksakan. Di samping itu ilmu cocok-cocokan dengan orangnya." "Ehh, maaf, Guru. Saya masih belum mengerti mengenai Aji Seipi Angin ini. Ehh, maksud saya, mengapa harus melalui tidur di atas pohon bambu segala? Apa hubungannya dengan meringankan tubuh?" "Dengan kata lain, kau masih meragukan apa yang kukatakan? Nah, mari ikutlah aku. Kau nanti akan melihat sendiri, bagaimana ampuhnya kekuatan yang ditimbulkan dalam diri manusia, yang mampu mengatasi ujian berat di atas pucuk pohon bambu." Kemudian lelaki tua itu bangkit tanpa memperhatikan lagi Wirot yang meringis karena risih dengan celananya yang basah kuyup oleh keringat dingin dan air kencing. Mpu Ranubhaya yang sudah terlatih dengan suasana kegelapan dalam gua itu melangkah dengan tenangnya. Ia lalu membawa Wirot ke tempat di mana Arya Kamandanu masih tergantung di atas pucuk pohon bambu. Dari bawah tampak Arya Kamandanu bagaikan seekor kalong yang besar, yang terperangkap jaring seorang pemburu. Malam semakin mencekam. Gemerisik angin yang mendera daun-daun bambu terdengar bagaikan tangisan hantu-hantu malam. Wirot mengikuti gurunya ketika lelaki tua itu memandang ke pucuk bambu petung di mana Arya Kamandanu masih menggelantung di sana. "Ohh, luar biasa Angger Kamandanu. Dia masih mampu bertahan di pucuk pohon bambu," gumamMpu Ranubhaya seperti pada diri sendiri. Lalu ia memandang Wirot yang berdiri seperti tikus di depan kucing. "Ketahuilah, Wirot! Anak Hanggareksa ini mempunyai bakat besar di dalam hal olah kanuragan " "Saya khawatir dia nanti terjatuh, Guru. Saya sendiri merasakan betapa beratnya ujian ini. Kaki saya sampai kehilangan rasa, tangan-tangan saya seperti kejang!" "Sudahlah, Wirot. Nanti akan kausaksikan sendiri sebuah tontonan keajaiban yang langka. Tapi kalau kau sekarang ingin tidur, tentu kau tak akan melihatnya." Kemudian lelaki tua itu membisu seribu bahasa sambil memandang Arya Kamandanu yang menggelantung di pucuk pohon bambu. Wirot yang memandang pun merasa merinding bulu kuduknya karena ia sendiri tidak kuat menahan ujian yang sangat berat seperti itu. Terdengar kerusek dan kerosak binatang malam mendera dan menyibak dedaunan bambu disusul dengan suaranya yang menyayat mengerikan.'Hal itu mengejutkan Arya Kamandanu yang berusaha mati-matian memerangi kekejangan kaki dan tangannya. Tangan dan kakinya semutan dan benar-benar mati rasa. Ia pun merintih sambil perlahan membuka kelopak matanya. "Ohh, kakiku... kakiku sudah mengejang semuanya. Mengejang sampai ke jari-jari kaki Ohh... apakah aku akan bisa lulus dari ujian berat ini? Bagaimana kalau aku sampai terlelap? Tentu tubuhku akan hancur berantakan di bawah sana." Mata Arya Kamandanu sudah terasa berat dan pedih. Matanya ingin menutup saja. Berat sekali ia rasakan membuka kelopak mata. Ia menggigil dan tubuhnya gemetar. Bagaimanapun juga Arya Kamandanu mencoba untuk bertahan, akhirnya terlena juga. Seperti terkena panah Aji Sirep yang dahsyat, mendadak Arya Kamandanu merasa terlelap, dengan kelopak matanya tetap terbuka, tapi kedua belah tangannya terlepas. Tubuhnya terperosok seiring bunyi kerosak panjang. Tubuh pemuda itu melayang-layang di udara sebelum akhirnya terhempas dan tercampak di semak belukar dan tanaman liar. Wirot matanya melotot penuh kecemasan lalu ia berlari menghampiri tubuh Arya Kamandanu yang tergeletak di semak-semak. Mulutnya setengah menganga sambil memekik memanggil Mpu Ranubhaya yang belum bergeming dari tempatnya berdiri. "Guru, Guru, bagaimana dengan Angger Kamandanu?!" serunya dengan suara parau karena cemas dan ketakutan.

Bersambung.......

TUTUR TINULAR 4 Lembah Berkabut Hak Cipta © Buanergis Muryono & S.Tidjab Di tulis ulang oleh : Awy Doank


Sementara itu, Wirot yang berada di bawah bersama Mpu Ranubhaya melihat tubuh Arya Kamandanu melayang ke bawah. Wirot cemas dan panik sekali, hingga ia berteriak histeris, "Ohh, Guru... lihat Angger Kamandanu!" "Diamlah,Wirot! Jangan bersuara apa-apa." "Tapi, Guru." "Diam kataku!" suara Mpu Ranubhaya berat dan sangat dalam tanpa memandang muridnya yang sangat cemas melihat Arya Kamandanu melayang, meluncur dari pucuk bambu petung. Meluncur makin lama makin deras dan membuat Wirot menutup kedua mata dengan kedua tangannya. Suasana malam kian mencekam, suara jeng-kerik, kelelawar dan serangga malam terdengar merintih-rintih meningkahi lolongan anjing liar dan burung hantu yang terus bersahut-sahutan. Beberapa saat lamanya lelaki tua itu tetap berdiri pada tempatnya sambil memperhatikan Arya Kamandanu. Wirot ternganga keheranan ketika kedua tangannya dia buka dan melihat tubuh Arya Kamandanu melayang ringan ke bawah. Terasa lama tubuh itu mencapai tanah yang banyak ditumbuhi tanaman liar. Wirot tidak berani berbuat apa-apa karena gurunya masih berdiri tenang di sampingnya. Karena terlalu lama Mpu Ranubhaya membiarkan tubuh Arya Kamandanu akhirnya jejaka tua itu berpaling pada gurunya. "Ohh, Guru! Angger Kamandanu tidak apa-apa. Ya, tidak apa-apa? Tubuhnya masih utuh." "Tentu saja tidak apa-apa, Wirot. Kau tentu heran bukan? Mari kita tolong Kamandanu keluar dari semak belukar itu, dan nanti semuanya akan kujelaskan pada kalian." Kemudian kedua lelaki itu menghampiri tubuh Arya Kamandanu yang tergeletak di semak-semak liar. Arya Kamandanu masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Wirot yang lebih muda memegang bagian dada dan leher, sedangkan Mpu Ranubhaya menopang kedua paha Arya Kamandanu. Mereka menggotong tubuh pemuda itu ke daam gua. Napas mereka terengah-engah mengangkat beban tubuh Arya Kamandanu yang cukup berat. Keringat bercucuran di pelipis kedua lelaki itu. Setelah sampai di dalam gua, tubuh pemuda itu dibaringkan di atas lempengan batu yang senantiasa dipergunakan untuk semadiMpu Ranubhaya. Wirot mengusap keringat yang mengembun di hidung dan dahinya. Mpu Ranubhaya tersenyum memandang sekilas pada Wirot yang masih kelihatan heran. Sejenak mereka saling berpandangan di bawah penerangan pelita minyak jarak yang tergantung di sisi dinding gua. Cahaya itu sesekali berkedip-kedip ditiup angin yang masuk dari mulut gua. Kelelawar-kelelawar juga saling menjerit setiap kali terbang berpasangan dengan sesamanya. Suaranya menggema di dalam gua meningkahi tetes-tetes air yang selalu jatuh dari langit-langit gua. Wirot melangkah mendekati Arya Kamandanu ketika ia melihat pemuda itu perlahan membuka matanya dan perlahan-lahan menggerakkan kedua tangannya, mengusap kedua matanya dengan punggung tangan kanannya seperti seorang yang baru saja bangun tidur. Wirot berjongkok dan berbisik pada pemuda itu tanpa menghiraukan gurunya yang duduk bersila di samping kanan tempat Arya Kamandanu berbaring. "Jadi, Angger Kamandanu tidak sadar begitu melayang dari atas pucuk bambu?" Arya Kamandanu tidak segera menjawab pertanyaan Wirot. Ia hanya tersenyum sambil membetulkan posisi duduknya, bertopang pada kedua tangannya dan condong ke belakang. Ia mendesah, mengembuskan napas dengan menggelembungkan pipinya. Matanya yang bersinar cemerlang itu mengerjap-ngerjap. Alisnya tebal menaungi bola matanya. Dalam sekali ia menghela napas serta menyimpannya di perut. Mendesah lirih sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Wirot. "Boleh dikatakan setengah sadar, Paman Wirot. Antara sadar dan tidak. Saya sudah pasrah. Sudah masa bodoh," jawab pemuda itu tenang dan sangat dalam. Hal itu membuat Mpu Ranubhaya yang duduk setengah tombak di samping kanan Arya Kamandanu harus menjelaskan tentang ajian Seipi Angin kepada mereka. Lelaki tua itu memperhatikan kedua muridnya sebelum akhirnya membuka bibirnya yang hitam dan mengeriput. "Di situlah letak rahasianya. Antara sadar dan tidak, dalam bahasa orang-orang tua disebut lali eling pewatesane. Nah, dalam keadaan seperti itu tubuh manusia akan kehilangan bobotnya. Semakin orang itu menguasai ilmu Seipi Angin ini, semakin banyak kehilangan bobot tubuhnya. Maka tidak heran kalau ada orang berilmu tinggi mampu menyeberangi sungai atau pun masuk dalam kobaran api, tanpa sedikit pun mempengaruhi keadaan tubuhnya. Apa yang telah dialami Kamandanu merupakan bukti nyata dari apa yang telah kuajarkan ini." "Nah, apakah sekarang kau masih meragukannya, Wirot?" Wirot menjadi sedikit gugup dan menunduk ketika gurunya memandangnya sambil tersenyum dingin. "Ehh, tidak, Guru. Sekarang saya baru benar-benar meyakininya," jawabnya dengan nada diyakin-yakinkan hingga terdengar dibuat-buat. Kembali Mpu Ranubhaya memandang kedua muridnya berganti-ganti. Lelaki tua itu selalu tersenyum dan sesekali mengangguk-angguk sebelum akhirnya melanjutkan kembali penjelasannya. "Di dalam dunia kependekaran, ilmu meringankan tubuh seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh lagi. Setiap calon pendekar yang ingin menempuh pelajaran kanuragan tingkat tinggi, mau tidak mau harus melewati tahap ini." "Apakah tidak ada cara lain selain tidur di,atas pohon bambu, Paman?" tanya Arya Kamandanu lirih. "Ada. Tapi cara ini membutuhkan waktu yang agak lama. Wirot bisa menggunakan cara ini, karena hati dan kepercayaannya masih setengah-setengah." Lelaki tua itu kemudian bangkit, melangkah beberapa tindak ke sudut gua, meraih sebutir kelapa yang ada di dekatnya, kembali duduk di tempat semula, lalu menimang buah kelapa itu dan mengayun-ayunkan dengan tangan kanannya. "Lihat, apa yang ada di tanganku ini?" tanyanya pada kedua muridnya. "Buah kelapa, Paman," jawab Arya Kamandanu mantap. "Ya. Buah kelapa. Kau bisa mengganti alas tidurmu dengan buah kelapa,Wirot." "Ehh, maksud Guru?" "Begini, ambillah buah kelapa seperti ini tujuh biji. Kemudian letakkan berjajar di tanah dan pergunakanlah untuk alas tidurmu setiap malam." "Setiap malam? Sampai kapan, Guru?" tanyaWirot. "Sampai kau mengalami suatu keadaan seperti yang telah dialami Kamandanu baru saja tadi. Suatu keadaan antara sadar dan tidak." "Hmm, baiklah. Saya akan mulai mencobanya, Guru," jawabWirot dengan bersemangat. Kedua tangannya terjalin dan meremas-remas. Ia benar-benar tergugah untuk mengikuti petunjuk gurunya. Sementara Arya Kamandanu turut senang mendengar pernyataan Wirot. Kemudian ia ingin mengerti apa yang harus dilakukannya setelah berhasil menjalani ujian tidur di pucuk bambu petung. Pemuda itu bersungguh-sungguh. "Lalu bagaimana dengan saya, Paman?" "Kau boleh meneruskan berlatih tidur di atas pucuk bambu. Cara seperti ini cocok untukmu. Kau mempunyai keberanian dan tekad yang besar. Cara seperti yang dipakai Wirot boleh juga kau gunakan, sekedar untuk melatih pintu kesadaranmu." "Baik, Paman. Saya akan mengerjakan semua petunjuk Paman Ranubhaya." Sejak saat itu, setelah keduanya mendapat petunjukMpu Ranubhaya maka Wirot dan Arya Kamandanu semakin bersungguh-sungguh mempelajari olah kanuragan. Tak ada sedikit pun waktu dibiarkan percuma. Mereka berlatih sangat keras hingga jauh malam. Bahkan karena terlalu asyik dengan latihan-latihan itu keduanya semakin akrab dengan suasana malam di sekitar gua batu payung yang telah lama dipergunakan Mpu Ranubhaya sebagai sanggar pamujan pribadinya. Memang benar apa yang dikatakan Mpu Ranubhaya. Arya Kamandanu diam-diam ternyata mempunyai bakat besar untuk mendalami ilmu kanuragan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, hanya empat belas hari dia mengalami kemajuan yang amat pesat dibandingWirot. Suatu malam, ketika baru saja kembali dari gua di mana biasanya berlatih dengan Mpu Ranubhaya, Arya Kamandanu berjalan mengendap-endap mendekati jendela kamarnya. Selama ini memang dia selalu pergi diam-diam dari rumahnya, dan tak seorang pun mengetahuinya. Pada saat kakinya menapak di atas batu-batuan halaman rumahnya, mendadak telinganya mendengar suara ayahnya membentak dari arah serambi depan. "Haaaaiii... siapa itu? Awas, jangan lariiii...!" Mpu Hanggareksa dengan cepat melompat dan berusaha mengejar bayangan seseorang yang melintas di pekarangan rumahnya. Setiap saat langkahnya terhenti. Pandangannya menyapu ke dalam kegelapan. Dahinya beranyam kerutan, matanya melotot dan lehernya terjulur seperti leher penyu yang mencari mangsa. Sebaliknya, Arya Kamandanu masih berjingkat-jingkat dan merunduk di antara semak dan bunga ganyong di samping rumahnya. Sejenak lamanya ia merunduk dengan hati berdebar-debar. Denyut jantungnya semakin menggemuruh karena khawatir ayahnya mengetahuinya. Lehernya menjulur seperti leher seekor ular yang melongok di antara rumpun ganyong dan kelerut. Ketika ia melihat ayahnya semakin mendekati tempat persembunyiannya ia semakin merunduk tanpa bergerak sambil menahan napas. Mengetahui Mpu Hanggareksa terus memburu bayangannya, Arya Kamandanu ingin menghilangkan jejak. Ia tak ingin ayahnya marah sekali jika mendapatkannya. "Aku harus bersembunyi di atas pohon Itu. Huuupph..." pemuda itu sekarang bertengger di atas pohon sawo seperti seekor kera. Ia beruntung karena dengan ajian Seipi Angin dapat mencapai dahan pohon sawo tanpa menimbulkan suara berisik. Mpu Hanggareksa sang ayah masih celingukan. menoleh ke kanan dan ke kiri, berbalik ke belakang dan menyamping. Kemudian lelaki tua itu melangkah kembali dengan pandangan tajam. Beberapa kali ia mendengus dan menghempaskan napas kesal. Ia kehilangan jejak. Sementara Arya Kamandanu enak-enak duduk di dahan pohon sawo, tetapi pemuda itu kembali cemas dan berdebar-debar ketika ayahnya semakin mendekati pohon sawo tempat persembunyiannya. Arya Kamandanu menahan napas, menggigit bibir sambil memanjatkan doa agar ayahnya tidak menengok ke atas. Mpu Hanggareksa berhenti tepat di bawah pohon sawo cukup lama sambil mengawasi segala arah. "Kurang ajar! Mau apa orang itu datang ke rumahku? Pasti pencuri barang-barang pusaka. Dan agaknya maling itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang lumayan. Kalau hanya orang biasa-biasa saja pasti sudah kuringkus batang hidungnya. Huuuhhh!" Kesal sekali lelaki tua itu karena benar-benar kehilangan jejak. Dengan menghentakkan kaki kanannya ia kembali ke halaman depan rumah. Sebilah pedang yang terselip di pinggangnya masih digenggam erat-erat gagangnya. Melihat kesempatan bagus itu Arya kamandanu segera melesat dari atas pohon menuju samping rumah tepat di dekat kamarnya. Cepat sekali ia membuka jendela dan melompat ke kamarnya Perlahan sekali daun jendela itu ditutup seperti semula tanpa menimbulkan suara. Dengan berjingkat ia menuju pembaringannya dan segera meringkuk di bawah selimut. "Nah, aman sekarang. Untung aku bisa tiba lebih cepat di kamarku. Kalau tidak, pasti Ayah akan tahu apa yang kulakukan selama ini setiap malam. Dia pasti akan marah sekali. Apalagi kalau ayah tahu bahwa aku belajar kanuragan dari Paman Ranubhaya." Begitu ia mendengar suara langkah menuju kamarnya, Arya Kamandanu berpura-pura tidur. Dengan menahan geli pemuda itu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Bahkan napasnya diatur sehalus mungkin agar tidak mendengkur. Di luar kamarnya ia mendengarkan langkah-langkah semakin dekat. Bahkan pintu kamarnya diketuk-ketuk seseorang dari luar. Ketukan pintu menggema di seluruh kamarnya. Pengetuk pintu kamarnya terdengar memanggilmanggil namanya, lirih dan hati-hati sekali. Suara itu berat dan dalam. "Kamandanu! Buka pintunya! Buka pintu, Kamandanu!" Arya Kamandanu pura-pura menguap, bangkit perlahan sambil tetap berkerudung selimut yang semampir di pundaknya. Pemuda itu melangkah menuju pintu kamarnya dan membukanya perlahan. Kancing pintu yang terbuat dari dolog, yaitu kayu jati muda sebesar lengan sepanjang dua jengkal yang dihaluskan terlebih dahulu itu diangkat dan diletakkan di balik daun pintu. Arya Kamandanu mengerutkan dahinya setelah melihat ayahnya dengan pandangan serius. "Kamandanu, kau tidak mendengar suara apa-apa?" "Ehh, tidak, Ayah." "Baru saja tadi ada suara ribut dan kau tidak mendengarnya?" "Ehh, tidak, Ayah. Saya tidur pulas sekali." "Huuhh! Kau sudah menjadi penidur sekarang. Kalau ada suara gempa bumi apa kau juga tidak mau bangun?" "Saya, saya lelah, Ayah. Karena itu saya tidur pulas. Ehh, memang ada apa, Ayah?" "Ada orang mengintip kamarmu.Mungkin dia pencuri!" "Pencuri? Kalau begitu mari kita tangkap, Ayah." "Jangan bodoh! Pencuri itu sudah tak ada di sini lagi. Dia sudah kabur." "Kita bisa mengejarnya, Ayah. Mungkin dia belum lari jauh dari rumah kita ini." "Sudahlah. Baru saja kau bangun tidur, bagaimana mau mengejar pencuri? Lagi pula pencuri itu bukan pencuri sembarangan. Dia agaknya menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup baik. Nah, sudahlah? Mulai sekarang kita harus hati-hati. Mungkin ada orang-orang yang mengincar benda-benda pusaka yang kita miliki. Kalau tidur jangan lupa menutup jendela dan mengunci pintu kamarmu " "Baik, Ayah." "Nah, teruskan tidurmu." Mpu Hanggareksa pun meninggalkan putra bungsunya dengan hati kesal. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres setelah menjadi ahli senjata Singasari. Dalam hati kecilnya berkecamuk perasaan curiga pada saudara seperguruannya yang selama ini menentang kehendaknya mengabdi pada pemerintahan Singasari. Tak sabar dengan perasaan hatinya yang sangat kesal dan resah maka lelaki tua itu segera bersidekap, memejamkan mata. Semakin lama ia rasakan pusarnya dingin sekali. Rasa dingin itu segera menyebar ke seluruh jaringan darah. Kemudian ia rasakan tubuhnya menjadi ringan sekali. Itulah ajian Seipi Angin. Malam itu juga ia berangkat ke gua batu payung tempat saudara seperguruannya tinggal. Dengan ajian Seipi Angin itu Mpu Hanggareksa segera melompat dan melesat lenyap ditelan kegelapan malam. Lelaki tua itu akhirnya sampai di depan mulut gua batu payung yang tampak angker. Mulut gua itu menganga bagaikan mulut naga yang memamerkan taring-taringnya. Tanpa ragu-ragu Mpu Hanggareksa memasuki mulut gua yang berhias stalagtit dan stalagnit. Ia merunduk dan hatihati melangkahkan kakinya pada dasar gua yang licin. Tetes-tetes air dari langit-langit gua semakin jelas menggema. Mata kelelawar yang bergelantungan di langitlangit gua tampak berpijar, menyala seperti batu permata. Dalam gua yang sangat gelap itu hanya berpenerangan pelita yang tergantung di sisi dinding gua. Mpu Hanggareksa melihat saudara seperguruannya duduk bersila sambil menggores-goreskan patrem pada sebuah lempengan batu pipih. Lelaki tua berpakaian compang-camping itu seolah-olah tidak tahu kehadiran seseorang yang sudah berada di sampingnya. Bahkan berjalan dan melangkah di depannya. Mpu Hanggareksa bersabar menunggu kakak seperguruannya tetap sibuk. Namun setelah beberapa saat lamanya ia dibiarkan seperti itu maka pertentangan batinnya tak mampu dikendalikan lagi. "Kakang Ranubhaya! Aku mengenal desa Kurawan ini seperti aku mengenal jari-jari tanganku sendiri. Aku tahu, tak seorang pun orang desa ini yang mempunyai ilmu meringankan tubuh kecuali kita berdua." Mendengar kata-kata adik seperguruannya mau tidak mau Mpu Ranubhaya menghentikan pekerjaannya. Ia pandang adik seperguruannya dengan mata berpijar. "Jadi, kau mencurigai aku, Hanggareksa?" suara itu terdengar parau, serak berat. Hati lelaki tua itu sungguh tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Adik seperguruannya datang dengan prasangka buruk. "Aku hanya sekadar ingin tahu saja. Kalau memang Kakang Ranubhaya, aku ingin tahu apa maksudmu mengunjungi rumahku di tengah malam buta?" "Aku memang tidak mempunyai alasan untuk berkunjung ke rumahmu. Aku sendiri sibuk. Banyak yang harus kukerjakan " "Kalau begitu baiklah! Maafkan aku. Mungkin orang dari desa yang jauh." "Hanggareksa! Sekarang ini kau sudah menjadi orang kaya dan ternama. Kukira wajar kalau ada satu dua orang bermaksud singgah di rumahmu tatkala kau sedang tidur. Ini yang perlu kau ingat." "Terima kasih atas peringatanmu." Untuk kesekian kali Mpu Hanggareksa kecewa karena tidak tahu siapa yang datang ke rumahnya malam itu. Ia segera pamit pada Mpu Ranubhaya yang memandangnya dengan tatapan dingin. Mpu Ranubhaya menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang punggungMpu Hanggareksa yang semakin lenyap di dalam gelap lorong gua itu. "Alangkah piciknya seseorang yang telah mabuk harta benda, mabuk kehormatan dan mabuk keinginan inderawi," bisik hatinya menyesali sikap dan sifat adik seperguruannya yang kini benar-benar berubah. Pada malam yang lain, ketika Arya Kamandanu kembali belajar olah kanuragan pada Mpu Ranubhaya, ia menyampaikan apa yang dialaminya pada gurunya. Mpu Ranubhaya mendengarkan dengan saksama dan pura-pura belum mengerti, bahkan ia menyimpan rapi perihal Hanggareksa yang datang padanya dengan pikiran buruk. "Wah! Kalau begitu Angger Kamandanu sudah maju dengan pesat, sampai ayahanda sendiri tidak mampu menangkap." Wirot yang ikut mendengarkan penuturan Kamandanu berkomentar kagum. Arya Kamandanu menghela napas, memandang gurunya dan beralih pada Wirot yang mengangguk-angguk. "Kalau tidak hati-hati saya bisa tertangkap, Paman Wirot. Karena Ayah juga mempunyai ilmu meringankan tubuh." "Memang, Aji Seipi Angin bukanlah sembarang ilmu, walaupun tidak jarang pendekar tingkat tinggi yang memilikinya. Jika seorang pendekar sudah menguasai Seipi Angin dengan sempurna, bulat tanpa cacat celanya, maka dia pun langsung menguasai aji Seipi Banyu dan Seipi Geni," jelas Mpu Ranubhaya. "Seipi Banyu dan Seipi Geni?" tanya Wirot dan Kamandanu berbareng. "Ya. Dengan Seipi Banyu seorang pendekar bisa berjalan di atas air, sedang Seipi Geni membuat si pendekar tidak mempan termakan kobaran api." "Wah, luar biasa pendekar yang sudah menguasai ketiga macam ilmu itu," tukas Arya Kamandanu. "Menurut sepengetahuanku hanya ada tiga orang manusia yang mempunyai ketiga ilmu itu sekaligus. Pertama adalah Mpu Sasi, guruku sendiri. Kedua adalah Prabu Seminingrat atau Ranggawuni, dan ketiga adalah Mpu Lunggah." "Siapa Mpu Lunggah itu, Paman?" tanya Arya Kamandanu sambil membetulkan posisi duduknya. "Kakak seperguruanku. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah tahu tempat tinggalnya. Dia juga seorang pembuat senjata pusaka. Dia murid paling disayangi oleh guruku, Mpu Sasi. Dalam membuat senjata pusaka dia di bawahku, tapi dalam hal kanuragan dia jauh di atasku." "Paman Ranubhaya! Ayah sering kali mengatakan bahwa Paman Ranubhaya adalah sahabatnya paling dekat, apakah Paman juga saudara seperguruan dengan Ayah?" "Apakah ayahmu tidak pernah menceritakannya?" "Tidak, Paman. Ayah tidak pernah menceritakannya," jawab Arya Kamandanu sambil memperhatikan Mpu Ranubhaya yang mengerutkan dahinya. Lelaki tua berpakaian compang-camping itu menghela napas dan berkata lirih, "Memang tidak perlu hal itu diceritakan. Tak ada manfaatnya. Lebih baik kau sekarang menekuni ilmu yang kuajarkan berikut ini." Selesai berkata demikian, Mpu Ranubhaya langsung bangkit. Ia melompat ke atas sebuah batu padas di sebelah selatan lempengan batu yang selama ini berfungsi sebagai tempat bersemadi. Wirot dan Arya Kamandanu pun mengikuti langkah gurunya. Mereka berdiri dengan sikap kuda-kuda. Kedua tangan mereka mengepal, dada mereka mengembang saat menghirup napas. Perut kencang membesar ketika menyimpan udara lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Pandangan dan perhatian keduanya tercurah pada gurunya yang bersidekap dengan kedua kaki seolah-olah terpancang di atas padas. Beberapa gerakan lembut dipertontonkan pada kedua muridnya. Lelaki tua itu bergerak lincah sekali tanpa memperdengarkan suara. Benar-benar luar biasa. Setelah cukup ia pun melepas kedua tangannya ke depan seperti cakar naga dan kembali pada posisi semula. Kedua muridnya mengikutinya dengan saksama. Mpu Ranubhaya lalu mengadakan persiapan untuk memberikan pelajaran jurus Naga Puspa tahap kedua pada Arya Kamandanu sedangkan Wirot masih diharuskan belajar menguasai dasar-dasar aji Seipi Angin. Arya Kamandanu duduk bersila mendengarkan dengan khidmat. Lelaki tua itu pun duduk di atas batu padas sambil memandang kedua muridnya. Beberapa saat suasana di dalam gua itu sepi sekali. Hening, hanya napas-napas malam dengan selimut pekatnya berbisik pada ketiga insan yang ingin mendapatkan jatining ngaurip. Kehidupan sejati yang tidak dinodai oleh hawa nafsu dan keinginankeinginan duniawi. "Tahap kedua jurus Naga Puspa ini terdiri dari sebelas jurus." Mpu Ranubhaya memulai ajarannya. Suaranya serak dan berat. "Tiap-tiap jurus mempunyai titik serangan yang berbeda. Jadi, seluruhnya ada sebelas titik serangan yang dijadikan sasaran. Dahi, pelipis kiri-kanan, mata kiri-kanan, tenggorokan atau pangkal leher, dada, ulu hati, pusar, alat kelamin dan terakhir tengkuk. Titik serangan yang paling berbahaya adalah dahi, pangkal leher, ulu hati, alat kemaluan dan tengkuk. Sebelas jurus itu merupakan serangan berantai, dan harus dilakukan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Jika gagal mencapai salah satu titik serangan, maka serangan berikutnya bisa memilih titik serangan yang lain. Dalam hal mempertahankan diri pun kau dapat menggunakan sebelas jurus itu untuk menangkis serangan lawan, sambil ganti menyerang dengan memilih titik sasaran yang paling mudah dicapai. Nah, sekarang berdirilah! Aku akan memberimu contoh." "Baik, Paman." Arya Kamandanu bangkit mengikuti perintah gurunya. "Buatlah kuda-kuda yang bagus untuk membuka serangan. Kau bisa menggunakan dua belas jurus tahap pertama untuk memukul aku. Siap?" "Saya siap, Paman," jawab Arya Kamandanu mantap. "Sekarang pukullah aku semaumu. Yahh, mulai!" Kemudian Arya Kamandanu menerjang dan menjotos Mpu Ranubhaya dengan sasaran ulu hati. Tapi buru-buru Mpu Ranubhaya menghentikan tindakan pemuda itu. Lelaki itu tersenyumsambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kamandanu! Jangan sungkan-sungkan memukulku! Ayo, mulai lagi." "Ya, Paman. Tapi... tapi..." "Tapi apa? Kau pikir karena aku sudah tua bangka begini, maka kau merasa mampu menandingi kelincahanku? Ayo pukullah aku! Lebih cepat lebih baik." "Baik, Paman. Tapi sebelumnya saya minta maaf." Kembali Arya Kamandanu menyerang Mpu Ranubhaya, kali ini ia lebih sungguh-sungguh. Kedua tangannya berganti-ganti menjotos, mencakar dan mencecar. Kakinya menyepak tinggi-tinggi, lalu dengan gerakan memutar ia berusaha menyarangkan pukulan-pukulannya. Pemuda itu heran sekali karena dengan gerakan-gerakan yang cukup gesit dan lincah gurunya menghindar, melompat, merunduk, bahkan tanpa disadarinya beberapa kali pukulannya bersarang pada tubuhnya. Mpu Ranubhaya melompat mundur untuk memberikan isyarat berhenti. Arya Kamandanu merunduk memberi hormat dengan kedua tangan menyilang di depan dadanya sebelum akhirnya berdiri tegak dengan kuda-kuda. Keringatnya berleleran hingga tubuhnya yang padat tampak berkilat-kilat ditimpa cahaya pelita di dinding gua. Mpu Ranubhaya tersenyum sambil mengatur napasnya yang terengah karena usianya. "Bagus? Sekarang periksalah tubuhmu. Ada beberapa titik serangan yang telah kutandai dengan baik oleh jari-jari tanganku ini." "Hhh! Dada saya terasa pegal, Paman," Arya Kamandanu meraba dadanya dengan telapak tangan kirinya. "Satu. Dadamu sudah terkena serangan." "Ehh, perutku terasa agak mual, Paman," dengan tangan kanannya Arya Kamandanu meraba perutnya. "Itu berarti pusarmu sudah terkena. Dua!" "Ahh, ahh..." Arya Kamandanu tiba-tiba jongkok dengan meringis menahan sakit. Gurunya tertawa panjang melihatnya. "Mengapa kau tiba-tiba jongkok di depanku? Apanya yang terasa sakit, Kamandanu?" "Ahh, maaf Paman. Anu... eh anu..." "Naahh, tiga. Alat kelaminmu pun menjadi korban jarijari tanganku yang nakal ini.Masih ada lagi?" "Ehh, sepertinya... sepertinya saya agak susah untuk bernapas dan berbicara, Paman. Ehh, ini ada yang menyekat di pangkal leher." "Empat. Pangkal lehermu pun ternyata tidak bisa lolos dari gebrakan sebelas jurus ini tadi. Baiklah! Kau istirahat dulu sejenak, supaya sakitmu berkurang dan nanti kita teruskan lagi." "Baik, Paman." Begitulah setiap malam, di dalam gua itu Arya Kamandanu dan Wirot mendapat gemblengan dari Mpu Ranubhaya secara bergiliran. Bila Arya Kamandanu lelah, Wirot harus menghadapi gurunya untuk meningkatkan kemampuannya berolah kanuragan Setiap selesai latihan, dapat dilihat betapa Arya Kamandanu menunjukkan kemajuan yang luar biasa dibandingkan dengan Wirot. Arya Kamandanu selalu mengulangi apa yang baru diajarkan gurunya sehingga jurus demi jurus tampak melekat di benaknya dan dalam waktu singkat ia lebih menguasai jurus Naga Puspa bagian dua. Pada malam itu, ketika Arya Kamandanu kembali menghadap gurunya di gua batu payung ia benar-benar telah siap berlatih. Namun, Wirot belum tampak hingga Mpu Ranubhaya menanyakan hal itu pada Arya kamandanu, "Di mana pamanmu Wirot?" "Sepertinya sudah tidur di bawah sana, Paman." "Baiklah. Mari kita teruskan. Sekarang tiba giliranmu, Kamandanu. Berdirilah!" "Baik, Paman." "Pergunakanlah Seipi Anginmu untuk menangkis serangan-seranganku ini." "Baik, Paman. Saya siap." Arya kamandanu segera melompat dan menyiapkan ajian Seipi Angin. Ia bersidekap sambil memejamkan matanya. Ia pusatkan segala hati dan pikirannya. Pusarnya mulai terasa dingin sekali, kemudian rasa dingin itu merayap ke seluruh jaringan nadi darahnya. Setelah itu, tubuhnya terasa ringan sekali. Pada saat ia benar-benar siap maka ia pun melakukan langkah-langkah zik-zak mundur. Sebaliknya, Mpu Ranubhaya sudah menyiapkan serangan-serangan gencar. Menjotos, mencakar, menotok dan menendang Arya Kamandanu sambil memberi aba-aba. "Baguuss? Awaaass, mata kirimu! Pusar! Baguuss! Dada! Tenggorokan. Alat kelamin! Dada! Pusar! Pelipis kiri! Dahi! Pelipis kanan! Yahh! Makin cepat! Huupph. Bagus! Terus! Bagus! Awas mata kanan! Tenggorokan, alat kelamin! Terus makin cepat lagi! Makin cepat lagi!" Arya Kamandanu melompat-lompat seperti bajing, tupai pohon yang pandai menyusuri ranting-ranting. Kadang-kadang menunjukkan gerakan-gerakan yang luar biasa lincahnya. Ia berusaha keras menghindari, menangkis dan membalas serangan gencar gurunya. Mpu Ranubhaya sangat puas melihat kemajuan Arya Kamandanu. Dalam ruangan gua yang tidak seberapa luasnya itu Mpu Ranubhaya terus melatih Arya Kamandanu sebelas jurus tahap kedua. Dengan tekun dan ulet Arya Kamandanu mengikuti latihan, setelah tujuh hari lamanya berlatih ia memiliki kemampuan di atas rata-rata sebagai calon pendekar. Arya Kamandanu benar-benar berbakat dalam olah kanuragan setelah mendapat latihan berat. Keuletannya sudah tak mampu dihadapi oleh Wirot yang lebih dahulu mempelajari ilmu Naga Puspa, bahkan Mpu Ranubhaya kini kelihatan belepotan dan repot menghadapi muridnya. "Yah, berhenti! Berhenti dulu!" lelaki tua itu melompat mundur sambil mengangkat kedua tangannya. Napasnya terengah-engah, keringatnya membasahi tubuhnya yang kini menunjukkan garis-garis usianya. Arya Kamandanu masih tenang saat gurunya menatapnya lekat-lekat dengan dada kembang kempis. "Mengapa berhenti, Paman?" "Hoohh, jangan sombong! Kau masih muda, tentu saja tenagamu masih besar, cadangan napasmu masih panjang. Sekarang kau bersiap lagi, Kamandanu. Kita akan lanjutkan latihan ini sambil menguji kecepatan dan ketepatan gerakanmu. Kau pasti masih ingat benda ini, bukan?" dengan cepat Mpu Ranubhaya mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya. Ditimang-timangnya benda itu. Arya Kamandanu mengerutkan dahinya sambil memelototkan matanya karena bayangan masa lalunya menyeruak di dalam angannya. "Ohh... itu batu nirmala. Paman telah mencuri batu itu dari tangan saya beberapa waktu yang lalu." "Dulu aku pernah berkata, bahwa tak seorang pun memperoleh hasil memuaskan tanpa lebih dulu bermandikan keringat. Kau masih ingat?" "Ingat, Paman." "Nah, sekarang peraslah keringatmu, Kamandanu! Kuraslah peluh yang ada di tubuhmu untuk dapat merebut batu nirmala ini dari tanganku." "Baik, Paman." Arya Kamandanu tidak segera menyerang, sebaliknya ia seolah-olah melihat wajah Nari Ratih dalam batu nirmala di tangan gurunya. Hal itu membuatnya kurang memusatkan seluruh gerakannya. Sehingga saat ia mulai bergerak dan berusaha merebut batu itu buru-buru gurunya melompat menjauh dan membentak keras "Tunggu! Kalau kau merebut batu nirmala ini dengan gerakan seperti itu, sampai tengah hari besok dia akan tetap di tanganku." "Ehh, maksud Paman?" "Lebih gesit! Lebih sigap dan lebih bersemangat! Ayo mulai lagi!" "Baik, Paman." Tidak ragu-ragu lagi, seperti tercambuk ingatan dan batinnya Arya Kamandanu melesat bagaikan seekor burung srikatan mengejar serangga. Menukik, menyerang dengan gebrakan gencar sekali berusaha merebut batu nirmala di tangan gurunya. Hatinya benarbenar teguh dan tak akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Sesekali kedua tangannya terbuka, mencabik, mencakar, menyahut cekatan sekali. Sementara gurunya berusaha menghindari serangannya dengan gerakan-gerakan mundur tak kalah gesit. Lelaki tua itu masih memiliki kelebihan yang luar biasa. Tangguh dan ulet sekali. Arya Kamandanu berusaha menyerang lebih gencar dengan menggunakan aji Seipi Anginnya. Sementara Mpu Ranubhaya dengan pengalamannya berusaha mempertahankan benda tersebut. Suasana dalam gua menjadi sangat gaduh, tapi apa yang terlihat tidak begitu jelas. Hanya sosok-sosok manusia yang bergerak dengan cepat sekali, seperti dua setan yang berebut makanan. Arya Kamandanu menyerang dengan gencar untuk merebut batu nirmala dari tangan Mpu Ranubhaya. Sudah beberapa kali dia hampir saja menyambar benda itu, tapi Mpu Ranubhaya dengan lincah selalu dapat menepiskannya. Arya Kamandanu tidak tahu mengapa gurunya begitu lincah dan gesit. Bahkan terasa sulit mengimbanginya. Keringatnya kini bercucuran, tubuhnya telah bersimbah peluh, napasnya mulai terengah-engah. Di situlah ia mampu melihat keuletan dan ketangguhan gurunya di balik hidupnya yang rendah hati dan lembut. Jiwa yang penuh kasih lelaki tua itu semakin cemerlang dengan kesahajaannya. Bahkan dengan kelebihan dan kesaktiannya itulah benturan-benturan peperangan dalam batin muridnya kembali mencuat di benak. Akhirnya Arya kamandanu harus mengakui kelebihan dan keunggulan gurunya. "Hehehee... bagaimana, Kamandanu? Mengapa berhenti?" "Rasanya masih sulit untuk mengungguli gerakan paman Ranubhaya." "Hehehe... tentu saja. Bagaimana kau bisa merebut batu nirmala ini kalau gerakanmu seperti babi hutan? Cepat tapi tidak terkendali. Seringkah kau mati langkah akibat kecepatanmu sendiri. Sekarang mulailah lagi! Cepat, tapi tetap tenang dan yakin bahwa kau akan berhasil. Bagaimana?" "Baik, Paman." Dengan napas yang lebih teratur Arya Kamandanu melirik gurunya yang berdiri di atas batu padas. Ia ingin mendekati gurunya tetapi ketika ia melompat ke sana gurunya sudah melesat jauh di ujung gua sambil tersenyum menggoda. Kembali ia menyerang Mpu Ranubhaya dengan berusaha tetap mengendalikan gerakannya yang cepat bagaikan kitiran. Ia merasa aneh karena kekuatannya seperti bertambah dan seperti memiliki tenaga cadangan sehingga tenaganya menjadi berlipat ganda. Lompatanlompatannya menjadi ringan sekali. Tangan dan kakinya menjadi hidup seperti punya mata. Mpu Ranubhaya tampak kewalahan. Suatu ketika orang tua itu agak lengah, dan pada saat itu bagaikan seekor burung elang menyambar mangsanya, tangan kiri Arya Kamandanu menjulur ke depan bagaikan mematuk, dan ...,"kenaaaa! Aku berhasil, Paman!" teriak Arya Kamandanu setelah berhasil menyambar batu nirmala dari tangan gurunya. Arya Kamandanu girang sekali. Matanya sampai berkaca-kaca, "Saya berhasil, Paman. Saya berhasil! Lihat, batu nirmala ini sudah berada di tanganku." "Yah, kau memang berhasil, Kamandanu. Kau sudah berhasil menyerap sebelas jurus tahap kedua ilmu Naga Puspa ini." Mpu Ranubhaya terengah-engah dan terbatuk. Arya Kamandanu melompat mendekatinya, "Eh, ada apa, Paman?" "Tidak apa-apa. Hanya agak lelah. Mari kita istirahat barang sejenak, Kamandanu." Keduanya lalu melompat ke atas batu pipih dan beristirahat di sana sambil mengelap keringat yang membasahi sekujur tubuh mereka. Wirot mengangguk hormat dan menyongsong mereka dengan hati bergembira. "Aku merasa puas karena kau sudah mampu menyerap apa yang kuajarkan, Kamandanu. Sebelas jurus tahap kedua ilmu pukulan Naga Puspa ini sebenarnya membutuhkan waktu paling sedikit seratus hari untuk menguasainya." "Tapi Angger Kamandanu, kalau tidak salah hanya membutuhkan 35 hari, Guru. Berarti Angger kamandanu benar-benar berbakat besar dalam ilmu kanuragan," tukas Wirot. "Ah, Paman Wirot jangan terlalu memuji. Aku takut nanti menjadi sombong." Arya Kamandanu masih sibuk mengelap keringatnya. Mpu Ranubhaya memperhatikan pemuda itu, dan memandangnya penuh saksama tampak senang melihat sikap rendah hati pemuda itu. "Kesombongan akan membawa kemunduran. Bukan kemajuan. Kau harus hati-hati sekali agar jangan sampai jatuh ke dalam kesombongan, ketamakan, keangkuhan, karena semua itu merupakan penyakit berbahaya bagi para pendekar di segala jaman." "Saya akan selalu ingat pesan Paman Ranubhaya." "Apa yang sudah berhasil kau kuasai ini belum seberapa banyak, Kamandanu. Jumlahnya sudah cukup, tapi takaran yang kau miliki perlu terus-menerus ditambah dengan latihan-latihan keras. Pukulan dua belas jurus tahap pertama perlu kau matangkan lagi untuk memperkuat tubuhmu. Kemampuan meringankan tubuh dengan aji Seipi Angin juga perlu kaulatih lagi dengan sungguh-sungguh. Yang terakhir, pukulan sebelas jurus tahap kedua tidak boleh kau telantarkan begitu saja. Tekunlah berlatih, setiap hari. Jangan sampai ada waktu yang terbuang percuma. Kalau kau menuruti kata-kataku ini, aku yakin dalam satu dua surya lagi kau akan menjadi pendekar yang diperhitungkan di Singasari. Sebab memang demikianlah hukumnya suatu ilmu. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Ilmu tanpa latihan betapa pun tingginya ilmu itu, akhirnya akan sia-sia." Nasihat Mpu Ranubhaya tidak berlalu begitu saja di hati Arya Kamandanu. Diam-diam putra Hanggareksa itu merindukan kehidupan lain yang harus diciptakannya sendiri. Setiap malam Arya Kamandanu makin giat berlatih di gua batu payung bersama wirot. Di samping itu, dia juga dengan tekun berlatih sendiri di tempat lain, tempat yang sepi, atau kadangkala di halaman rumahnya sendiri. Tapi semua itu dia lakukan dengan diam-diam.

Pada suatu hari, Arya kamandanu pergi ke tepi padang ilalang, tempat yang sangat istimewa di hatinya. Ia berjalan kaki tanpa kuda kesayangannya. Di tengah jalan ada seorang pemuda menghadang langkahnya. Ketika Arya Kamandanu mendongak siapa pemuda itu, ia tersenyum dingin. Dangdi putra Kepala Desa Manguntur duduk di punggung kudanya dengan pongah dan sombong sekali, "Aha, Kamandanu! Apa sekarang kau sudah menjadi seorang gembel pengelana? Mana kudamu?" "Kebetulan aku sedang menyukai perjalanan dengan kaki, Dangdi.Minggirlah, aku mau lewat!" "Ah, kasihan sekali kau kawan. Nari Ratih sudah terlepas dari tangan, sekarang rupanya kau pun tidak dipercaya lagi menunggang kuda oleh ayahmu." "Dangdi, jangan membuat keributan lagi denganku!" "Kau kira aku sudah cukup puas setelah membuatmu babak belur dulu, Kamandanu? Tidak! Sampai kapan pun Dangdi tetap bermusuhan dengan Arya Kamandanu!" "Rupanya kau seorang yang senang adanya keributan. Tapi sayang sekali, aku tidak sudi melayanimu.Minggirlah, aku mau lewat!" "Lewat saja kalau kau mau lewat!" Arya Kamandanu baru saja akan melangkah di jalan yang sempit itu, ketika mendadak kuda Dangdi memutar tubuhnya. "Dangdi, kau jangan membuat gara-gara denganku! Aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di rumah!" "Pekerjaan apa? Huuuh! Paling-paling mengintip kakakmu yang sedang bermesraan dengan isterinya, Nari Ratih." "Dangdi, kau tidak akan bisa memancingku untuk membuat keributan lagi. Kalau kau tidak mau meminggirkan kudamu, baiklah aku mengambil jalan lain saja." Arya Kamandanu mundur dan menghindari Dangdi Ia berjalan cepat meninggalkan anak Kepala Desa Manguntur itu yang berteriak-teriak memakinya. Dangdi heran karena Arya Kamandanu tidak mau melayaninya. Ia anggap Arya Kamandanu sebagai pengecut, penakut seperti tikus. Ia beranggapan bahwa Putra Hanggareksa itu masih belum sembuh benar dari luka-lukanya ketika ia gebuki bertiga dengan Jaruju dan Balawi. Ia tersenyum dingin, ada kesempatan bagus untuk melampiaskan dendam pada Arya Kamandanu. Ia lalu menghela kudanya ke arah perginya Arya Kamandanu. Ringkik kuda memecah kesunyian tepi padang ilalang. Dangdi mencari-cari Arya Kamandanu dengan terus memutar-mutarkan kudanya, hingga kuda itu terus meringkik-ringkik karena perlakuan tuannya sangat kasar. "Hm, ke mana orang itu?" Dangdi kebingungan karena Arya Kamandanu menghilang dengan tiba-tiba, raib dari pandangan matanya. Di samping kiri jalan setapak yang dilaluinya adalah jurang Kurawan yang sangat dalam dan berbahaya, menganga lebar bagaikan mulut naga yang siap menelan siapa saja. "Aneh sekali, di mana Kamandanu?" Dangdi terus menengok ke sana kemari mencari Arya Kamandanu. Lehernya dipanjangkan melongok ke segala arah. Dia sama sekali tidak menduga, bahwa orang yang dicarinya berada di bawahnya. Ya. Dengan menggunakan aji Seipi Angin, Arya Kamandanu melekatkan tubuhnya di sebuah tumbuhtumbuhan yang menjalar di tepi tebing yang curam sekali. Dangdi mulai cemas, hatinya mulai dihantui ketakutan. Ah, mana mungkin dia tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi? Jangan-jangan orang itu tadi hantu." Menyadari tempat yang dilaluinya adalah daerah angker, Dangdi memutar kudanya lalu menghelanya dengan kencang, "Hiya, hiyaaaaa!" Dia beranggapan telah bertemu dengan hantu yang menyerupai Arya Kamandanu. Arya Kamandanu tersenyum geli melihat Dangdi buruburu mengaburkan kudanya meninggalkan tempatnya. Ia bersyukur karena berhasil mengendalikan diri dengan tidak melayani tantangan anak Kepala Desa Manguntur. Satu langkah ia dapat menaati perintah gurunya, tidak sembarangan mempertontonkan jurus Naga Puspa kepada sembarangan orang. Dangdi yang berkuda dengan kencang segera menemui dua kawannya.Mereka dia ajak kembali ke tempat di mana ia bertemu dengan Arya Kamandanu. "Masak aku berdusta pada kalian? Aku jelas bertemu dengan Kamandanu di sini. Dia sempat bersitegang denganku." "Aku tidak percaya ada hantu berkeliaran di siang hari bolong," tukas Jaruju. "Ya. Mungkin kau kurang teliti mencarinya, Dangdi!" sambung Balawi. "Aku terus mengejarnya ke arah sana. Dan mendadak dia lenyap begitu saja, padahal tak ada jalan lain. Hanya ada jurang di depan yang menganga lebar." Jaruju berpikir keras, "Sekarang kita cari saja dia ke tepi padang ilalang." "Ya. Mungkin dia sekarang ada di sana," sambung Balawi. Baru saja berdebat, Dangdi melihat bayangan Arya Kamandanu di kejauhan. Dengan kedua tangannya ia memberi isyarat pada dua kawannya.Mereka menyaksikan Arya Kamandanu berjalan dengan santai ke arah mereka. "Kebetulan sekali, kita tidak usah jauh-jauh mencari ke tepi padang ilalang," Jaruju sudah tidak sabar. "Kita sikat saja beramai-ramai di tempat ini," usul Balawi. Arya Kamandanu tidak mau ribut, ia mengambil jalan pintas memotong ke arah kiri sebelum berpapasan dengan komplotan Dangdi. "He, dia memotong jalan ke arah kiri. Ayo kita kejar! Cepat, Jaruju, Balawi, kejar dia!" Dangdi, Jaruju dan Balawi terus memacu kuda menguber Arya Kamandanu. Kuda mereka berlari bagaikan terbang melintasi semak belukar. "Heya, heyaaaaa. Itu dia, terus kejaaar!" seru Dangdi pada kedua kawannya. Mereka benar-benar seperti melihat babi hutan, dikejar dan diburu. Bahkan mereka mulai meraba senjata masingmasing. Dangdi menyiapkan anak panah pada busurnya. Namun, ia kehilangan jejak Arya Kamandanu. "Dia lenyap lagi!" serunya. Jaruju melihat bayangan Arya Kamandanu berkelebat di balik pohon besar. Maka Balawi memeriksa tempat itu, ia tersenyum dan menunjuk dengan tangannya bahwa Arya Kamandanu bertengger di atas sebuah pohon. "Wah, rupanya musuh besarmu keturunan monyet juga. Dia bisa naik pohon trembesi sampai ke pucuknya!" celetuk Jaruju sambil menghunus pisau lemparnya. "Haiiiiiii! Kamandanu! Ayo turunlah! Jangan membuat tontonan yang memuakkan ini! Turunlah kalau kau memang jantan." Dangdi jadi pusing, bingung dan tidak tahu harus bagaimana, karena Arya Kamandanu di pucuk trembesi seperti tidak mendengarkan seruannya. Bahkan seperti tidak peduli dengan apa yang mereka lontarkan. Ketiga pemuda itu makin marah dan memaki-maki Arya Kamandanu. Balawi mulai tidak sabar, ia segera meraba busur dan memasang anak panah yang tergantung di pelana kuda. "He monyet buduk! Kalau kau tidak mau turun juga, aku akan memaksamu dengan anak panahku ini!" Balawi tidak sekadar mengancam. Ia sudah ancang-ancang untuk melepaskan anak panah. "Bidik saja kakinya, agar dia jatuh seperti buah kelapa." Dangdi tidak sabar melihat Balawi ragu-ragu tidak jadi melepaskan anak panah "Tapi bagaimana kalau sampai dia kelenger atau mati?" tanya Balawi. "Biar saja. Itu bukan salah kita!" Balawi lalu membidik dengan saksama, ia meminta Jaruju tidak menghalangi langkahnya ketika mencari posisi yang tepat membidikkan anak panah. Ia membidik mata kaki Arya Kamandanu. Ingin membuat tontonan menarik di antara kedua kawannya. Anak panah Balawi segera meluncur dari busurnya tepat mengenai sasaran ke tubuh Arya Kamandanu. Dangdi dan Jaruju tentu gelisah karena Arya Kamandanu sedikit pun tidak bereaksi. "Balawi, dia diam saja!" bisik Dangdi. "Barangkali panahmu meleset!" sambung Jaruju yang ikut penasaran sekali. "Ah, tidak mungkin. Anak panahku tidak pernah meleset. Kau tahu sendiri burung terbang pun bisa kubidik dan terjatuh tanpa nyawa lagi." "Coba kau bidik lagi, Balawi!" seru Dangdi. "Baik. Kalian lihat dengan cermat, mana bisa bidikanku meleset?" kembali Balawi memasang anak panah dan membidik sasaran di atas pohon trembesi setinggi seratus depa dari atas mereka. "Mampus kamu!" seru Balawi sambil melepaskan anak panah dari tali busurnya. Tiga kali anak panah meluncur ke tubuh Arya Kamandanu, namun sasaran itu tidak terlihat oleh mereka bereaksi apa pun. Tetap diam bagaikan kalong mati. "Ah, bagaimana bidikanmu, Balawi? Mengapa tidak seperti biasanya?" Jaruju kesal karena ketiga anak panah Balawi tidak mempengaruhi sasaran. Balawi sendiri kesal dan gusar. "Kurang ajar, aku jadi penasaran." Dangdi makin geram "Bidik saja tubuhnya, biar mampus sekalian!" Balawi makin marah dan geram, kembali ia memasang anak panah pada tali busurnya. Tiga kali kembali ia hajar Arya Kamandanu dengan anak panah tertajam. "Sudahlah! Sudah. Tak ada gunanya membuang-buang anak panah percuma. Sekarang kita tunggu saja," rutuk Dangdi makin kesal. "Maksudmu?" tanya Jaruju belum paham benar dengan gerutuan Dangdi. "Kita tunggu di bawah pohon ini saja. Dia pasti akan lelah juga. Dan kalau sudah lelah, mau ke mana lagi dia kalau tidak turun? Nah, pada saat itulah baru kita hantam dia sepuas-puasnya." Dangdi dan kedua kawannya menunggu di bawah pohon dengan kesal. Sementara orang yang di atas pohon, yang tak lain adalah Arya Kamandanu masih juga belum bergeser dari tempatnya. Enam buah anak panah Balawi yang berhasil ditangkap terselip di ketiaknya. Maka setelah matahari sudah condong ke arah barat Dangdi makin kesal. "Aaah, jangan-jangan orang yang di atas itu hantu!" "Tidak mungkin, Dangdi. Hantu takut berkeliaran di bawah sinar matahari," tukas Jaruju. "Jangan-jangan bukan orang tapi orang-orangan," sambung Balawi. "Dari tadi dia sama sekali tidak bergerak." Dangdi menghunus pedangnya, "Aaakh, mengapa kita menjadi orang-orang yang bodoh. Ambil pedang kalian! Kita tebang saja pohon ini!" Mereka setuju dan membenarkan pendapat Dangdi untuk menebang pohon itu agar bisa membuktikan siapa di atas pohon itu; benar-benar orang atau orang-orangan. Mereka berharap jika pohon itu ditebang bisa menimpa Arya Kamandanu dan tewas tertimpa batangnya. Maka mereka segera mulai membacoki pohon trembesi sebesar rangkulan orang dewasa itu bersama-sama. Dengan semangat, marah dan gusar ketiganya terus menebas pohon secara bergantian. Matahari makin condong ke barat, sinarnya mulai lemah menembus sela-sela rerimbunan pohon. Senja mulai meremang ketika pohon itu tampak bergerak-gerak, dan sebentar kemudian pohon itu pun berkeretak roboh! Arya Kamandanu dengan gesit melompat ke belukar tanpa sepengetahuan ketiga pemuda yang memburunya. Dangdi, Jaruju dan Balawi memeriksa pucuk pohon di mana mereka menyaksikan orang bertengger di sana. Namun mereka tidak menemukan apa-apa dan siapa pun. "Mana dia? Mana Kamandanu?" Dangdi celingukan, melongok ke setiap sudut tindihan pohon. Ia tidak melihat Arya Kamandanu di rerobohan pohon yang mereka tebang. Jaruju pun bengong, "Aneh sekali? Mestinya dia gepeng tertimpa batang pohon besar ini." "Oh, lihat! Ini anak panahku ada di sini." Balawi gemetar mencabut enam anak panah yang tertancap di batang pohon tempat di mana Arya Kamandanu bertengger. Ia memandang kedua temannya dengan cemas. "Nah, mungkin sekarang kalian baru percaya apa yang kukatakan. Jelas orang itu bukan Kamandanu.Mungkin dia benar-benar hantu yang mau menakut-nakuti kita" Dangdi makin cemas, dan ia mendekati Balawi yang menghitung anak panahnya. "Memang aneh. Panahku tidak ada yang hilang. Masih lengkap enam buah. Tapi semua menancap di batang pohon, yang jaraknya seperti diatur saja." Balawi membenarkan pendapat Dangdi, bahwa mereka sedang berhadapan dengan makhluk halus yang suka menggoda manusia. Ia beranggapan tidak ada gunanya berlama-lama di tempat itu. "Ayo, kita pergi saja!" seru Dangdi yang mulai bersimbah keringat dingin. Mereka buru-buru melompat ke kuda masing-masing, tidak lama kemudian mereka bertiga sudah meninggalkan tempat itu. Arya Kamandanu tersenyum, geleng-geleng kepala dan keluar dari belukar, melompat dengan ajian Seipi Angin meninggalkan tempat angker menuju rumahnya. Sampai di rumah suasana sudah benar-benar gelap. Arya Kamandanu segera mandi dan ganti pakaian. Ketika baru saja keluar ia tersenyum karena Bibi Rongkot hampir menabraknya seraya melepas susur dan memukul sayang bahunya. "Oh, Angger Kamandanu?" "Ya, Bi, ada apa?" "Angger kelihatan kurus sekarang. Angger kurang tidur, ya?" "Aku memang kurang istirahat, Bi. Lihat saja, siang hari aku harus melayani Ayah membuat rencana tentang usaha beliau. Hanya waktu-waktu tertentu saja Ayah tidak menyertakan aku dalam bekerja. Mungkin karena terlalu lelah, malamnya aku tak bisa tidur nyenyak." "Apakah bukan karena sesuatu yang lain, Ngger?" "Maksudmu, Bi?" "Yah, Bibi bisa memahami perasaanmu, Ngger. Sejak pesta pernikahan Angger Dwipangga dulu, Angger Kamandanu kelihatan murung. Kelihatan gelisah." "Ah, tidak, Bi. Nari Ratih sudah kurelakan menjadi istri Kakang Dwipangga, bahkan sekarang aku sudah menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri. Dan kulihat mereka kelihatan sangat bahagia." "Ya, begitulah suasana pengantin baru. Angger Dwipangga kelihatan sangat menyayangi Nini Ratih. Tapi semalam mereka tampaknya bertengkar, Ngger." Bi Rongkot agak berbisik. "Bertengkar?" Arya Kamandanu mengerutkan dahi dan merasa tidak perlu mengorek keterangan dari Bibi Rongkot. "Tampaknya sedang ada persoalan di antara mereka." "Ah, biar saja, Bi. Itu urusan pribadi mereka. Aku tidak mau ikut campur." Arya Kamandanu menghela napas dan mengelus pundak perempuan tua itu, "Apakah Ayah ada di ruang kerjanya, Bi?" "Ada, Ngger. Sejak sore tadi ayahanda belum keluar lagi dari ruang kerja beliau." "Aku harus menemui Ayah." Arya Kamandanu lalu meninggalkan perempuan tua itu menuju ruang kerja ayahnya yang ada di rumah bagian belakang. Sudah beberapa malam terakhir ia sering dipanggil ayahnya, namun ia kian cemas setiap malam bertambah larut, karena ia sebetulnya kurang tertarik pada kegiatan ayahnya Ia lebih mencintai belajar dari Mpu Ranubhaya untuk meningkatkan olah kanuragan. Dengan perlahan Arya Kamandanu mendorong pintu ruang kerja ayahnya. Mpu Hanggareksa menoleh ketika melihat pintu ruang kerjanya terbuka. Arya Kamandanu melihat wajah ayahnya dari balik keremangan sinar lampu minyak jarak yang tergantung di tengah ruangan. "Duduklah, Kamandanu!" "Ya, Ayah." Arya Kamandanu duduk di sisi kiri ayahnya, agak jauh. Ia tidak ingin mengganggu ayahnya yang masih memegang patremdan beberapa lembaran daun tal basah. "Mengapa kau tidak mau berterus-terang?" tanya Mpu Hanggareksa sambil meletakkan patrem di atas daun tal. "Kalau kau tidak mau berterus-terang padaku, berarti kau tidak lagi menganggapku sebagai orang tuamu " Arya Kamandanu celingukan dan agak bingung, "saya belum jelas duduk perkaranya, Ayah." "Dwipangga tahu bahwa kau menyimpan batu nirmala pemberian istrinya. Dwipangga, entah cemburu atau apa, dia marah-marah. Kemarin mereka bertengkar. Dwipangga mau mengambil batu nirmala itu, tapi Nari Ratih menolak. Sampai sekarang mereka masih dalam suasana yang tidak enak." "Kalau Kakang Dwipangga keberatan, saya akan mengembalikan batu nirmala itu pada Nari Ratih." "Jadi, benar, kau menyimpan batu nirmala itu?" "Benar, Ayah." "Mana benda itu? Aku mau lihat. Kalau memang benda itu nantinya membuat keributan di rumah ini, lebih baik aku yang menyimpannya." "Ayah boleh melihat batu birmala itu." Arya Kamandanu mengeluarkan batu nirmala dari balik bajunya. Ia keluarkan dari kantong kulit kecil yang sengaja dibuatnya untuk menyimpan benda itu. "Inilah! Tapi saya keberatan Ayah menyimpan benda ini." "Sebabnya?" Arya Kamandanu memperhatikan Mpu Hanggareksa yang menimang-nimang dan memperhatikan dengan saksama batu nirmala. Permata yang putih bersih, bening nyaris seperti kaca. "Saya sudah berjanji pada Nari Ratih akan menyimpan batu nirmala ini. Kecuali dia sendiri yang menghendaki agar saya mengembalikannya." "Kamandanu! Ada hubungan apa kau sebenarnya dengan istri kakakmu itu?" "Sekarang saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Nari Ratih, kecuali bahwa ia sudah menjadi kakak ipar saya." "Tapi dulu kau pernah ada hubungan dengannya?" "Saya tak mau mengungkit-ungkit yang dulu-dulu, Ayah. Maaf, kalau Ayah memaksa saya membicarakan masalah ini, saya keberatan sekali." Mpu Hanggareksa mendesah panjang. Merasakan sesuatu yang perih di dada putra bungsunya, "Yah. Aku tahu. Aku tahu sekarang. Hmhh! Baiklah." Lelaki tua itu menyerahkan batu nirmala kembali pada Arya Kamandanu yang segera menyimpannya di dalam kantong kulit dan dimasukkan di balik bajunya. "Kamandanu!" "Ya, Ayah." "Kau harus bisa melupakan Nari Ratih. Sekarang ia sudah resmi menjadi isteri kakakmu. Kau tidak boleh mengganggu ketenangan dan kebahagiaan mereka." "Saya tidak pernah mengganggu mereka, ayah. Bahkan saya akan ikut merasa bahagia kalau Nari Ratih bahagia menjadi istri Kakang Dwipangga." "Kamandanu! Sekarang kaulah anakku satu-satunya yang bisa kuharapkan. Kau harus bisa mewarisi apa yang kumiliki sebagai seorang pembuat senjata pusaka. Aku tak ingin apa yang sudah kucapai ini akhirnya hancur dan direbut orang lain. Kuharap kau tidak membuat ayahmu ini kecewa, Kamandanu." Arya Kamandanu mengangguk lemah. Kepalanya seperti tertimpa bandul besi. Makin berat menanggung beban kehidupan yang tidak pernah dimengerti siapa pun termasuk ayahnya yang selalu memaksakan kehendak dan keinginannya. Di ruang tengah yoso dalem rumah Mpu Hanggareksa, di mana Nari Ratih berada di kamar berdua dengan suaminya, ia tampak gelisah sekali. Sudah dua malam Arya Dwipangga kurang bersikap manis padanya. Setiap saat biasanya ia mendengarkan syair-syair baru yang meluncur deras dan indah dari bibir suaminya, kini ia didiamkan saja. Bahkan berlaku dingin padanya. Ia pandang Arya Dwipangga yang berbantal tangan, bersandar di sandaran tepi tempat tidur. "Sebaiknya kita pulang ke Manguntur, Kakang. Kita bisa hidup dengan tenang dan bahagia di sana." "Kau tidak kerasan di rumah ini karena ada Kamandanu? Karena kau masih menyimpan perasaan cinta pada adikku itu?" "Kau keterlaluan, Kakang. Sekarang aku sudah sepenuhnya menjadi istrimu, tentu saja seorang istri hanya akan mencintai suaminya " "Lalu apa alasanmu untuk tidak merasa kerasan tinggal di Kurawan?" "Aku ingin melahirkan diManguntur, seperti dulu ibuku melahirkan aku. Aku juga ingin membuat ayahku yang sudah semakin tua itu bahagia." "Aku juga berhak membuat ayahku bahagia." "Di sini Ayah masih mempunyai Kakang Kamandanu dan Bibi Rongkot yang setia, tapi ayahku? Dia hanya tinggal sendirian di Manguntur. Tentu dia merasa sangat kesepian. Tentu dia akan sangat bangga dan bahagia kalau kita tinggal bersamanya. Kita bisa bertani di Manguntur, karena ayahku mempunyai lahan pertanian yang cukup luas." "Baiklah. Aku mau tinggal di Manguntur tapi dengan syarat." "Syarat apa, Kakang?" "Batu nirmala itu harus kau minta kembali dari Kamandanu." "Oh, kau keterlaluan sekali, Kakang. Aku tidak mau menjadi orang yang tidak berperasaan. Batu nirmala itu sudah kuberikan, bagaimana aku harus memintanya kembali?" "Kau masih ingin dikenang oleh Kamandanu. Itulah yang membuat aku tidak senang Kebahagiaanku merasa terganggu." "Kakang Dwipangga, kau terlalu cemburu Cemburu yang tidak pada tempatnya." Arya Dwipangga ngotot, persyaratan yang diajukan pada Nari Ratih tidak bisa ditawar. Ia siap berangkat ke Manguntur jika batu nirmala ada di tangannya. Mendengar kekerasan suaminya, keangkuhan dan sikapnya yang makin kurang manis, Nari Ratih menangis. Ia terisak-isak, air mata mulai meluncur di kedua pipinya. "Baiklah, Kakang... kalau memang begitu keinginanmu, aku akan memintanya kembali batu nirmala itu." Nari Ratih bangkit dari sisi suaminya, melangkah keluar kamar, ia menuju kamar Arya Kamandanu yang terletak di rumah bagian belakang dekat penyimpanan senjata pilihan. Sampai di depan kamar Arya Kamandanu Nari Ratih ragu-ragu ketika hendak mengetuk pintu bekas kekasihnya. Namun, berkat ilmu yang telah dipelajari dari Mpu Ranubhaya, Arya Kamandanu bangkit, ia dengarkan desah lembut napas seseorang di depan pintu kamarnya. Arya Kamandanu membuka pintu kamarnya dan ia heran melihat kakak iparnya ada di depannya, "Nari Ratih!" Nari Ratih menarik lengan Arya Kamandanu dan mengajaknya masuk ke kamar lalu menyampaikan maksud kedatangannya di malam itu. Dengan berat, dengan perasaan yang sangat tidak enak perempuan cantik yang wajahnya tampak pucat tertimpa pendaran cahaya lampu minyak jarak itu bagaikan seekor domba yang siap dipancung lehernya. "Betapa berat bebanmu, Nari Ratih. Aku tidak ingin melihatmu menderita. Aku akan menyerahkan kembali pemberianmu." Arya Kamandanu lalu mengambil batu nirmala yang baru saja ia simpan di bawah bantal. Ia tersenyum pahit karena benda itu habis diciuminya. Lalu mengulurkan batu nirmala itu pada Nari Ratih Ia serahkan benda itu penuh dengan ketulusan. Mata elang pemuda itu begitu tajam menghunjam ke mata Nari Ratih, lalu menjalar dan menyusup ke ulu hatinya. Mata elang itu tampak penuh dengan luka. Nari Ratih menunduk dan berkata lirih pada bekas kekasihnya yang kini menjadi adik iparnya. "Kau ... kau bisa memahami perasaanku, Kakang Kamandanu?" suara itu tercekat, serak dan gemetar. Arya Kamandanu tetap tersenyum. "Mengapa tidak, Nari Ratih. Sudahlah, aku tak ingin melihat kebahagiaan kalian tercemar oleh batu nirmala ini. Bawalah kembali benda ini!" Setelah cukup lama Nari Ratih ragu-ragu menerima batu nirmala itu, akhirnya jemarinya terbuka menyambut uluran tangan Arya Kamandanu. Jari-jemari mereka bersentuhan hingga tanpa disadarinya butiran-butiran bening meluncur dari manik-manik mata Nari Ratih. Hidungnya memerah dan kembang kempis. "Seharusnya aku tidak melakukannya. Aku sudah memberikannya padamu, Kakang, tapi...," ucapnya lembut di tengah isak. "Ratih! Aku sudah berjanji dalam hati, aku tidak akan memberikan pada siapa pun batu nirmala ini, kecuali kau yang memintanya kembali." "Ohh, maafkan aku, Kakang. Aku tidak bisa membuat Kakang Dwipangga mengerti persoalan ini Dia tetap menginginkan batu nirmala ini.Maafkan aku, Kakang." "Kau tidak bersalah.Mengapa harus minta maaf?" "Ohh, sungguh mulia hatimu, Kakang. Aku, aku ... malu sekali. Aku benar-benar merasa malu." "Ratih! Tak ada satu pun yang dilakukan oleh manusia ini sempurna adanya. Karena itu tak perlu kau menyesalinya. Sekarang kau sudah menjadi istri Kakang Dwipangga. Nah, kuharap kau menjadi istri yang baik, dan kalian berdua bisa terus hidup berdampingan selamanya. Sungguh, aku akan merasa bahagia jika kalian berdua bahagia. Nah, terimalah batu nirmala ini kembali, Ratih." Arya Kamandanu melepaskan pegangan jemari Nari Ratih. "Ohh, terima kasih, Kakang. Terima kasih atas pengertianmu yang amat besar ini." "Kukira lebih tepat kalau Kakang Dwipangga yang menyimpan batu nirmala itu. Baiklah, Ratih, tak baik kita lama-lama berbicara seperti ini. Nanti kalau Kakang Dwipangga melihat bisa menimbulkan salah paham lagi." Sejenak lamanya pandangan mata mereka beradu. Mereka menelan ludah kegetiran, menggoreskan sejarah hidup yang penuh air mata. Arya Kamandanu mengangguk perlahan mempersilakan Nari Ratih segera meninggalkan kamarnya. Nari Ratih berusaha tersenyum sekalipun dengan derai air mata Buru-buru ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Tapi baru tiga langkah ia menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya dan memandang Arya Kamandanu dengan tatapan pilu. Arya Kamandanu memejamkan mata dan menunduk sambil menggigit bibir. Memandang sejenak Nari Ratih yang ragu-ragu melangkah kembali meninggalkannya. Arya Dwipangga baru merasa puas setelah batu nirmala itu terlepas dari tangan adiknya, dan jatuh ke tangannya. Maka sehari kemudian, setelah memperoleh izin dari Mpu Hanggareksa dan mendapat nasihat-nasihat seperlunya, Arya Dwipangga memboyong istrinya ke desa Manguntur. Arya Kamandanu ditugaskan ayahnya mengawal perjalanan mereka. Kereta kuda yang mereka tumpangi semakin menjauh meninggalkan desa Kurawan. Arya Kamandanu memegang kendali kuda dengan kendor agar kudanya tidak terlalu cepat berlari. Dia terus mengikuti laju kereta kuda yang membawa Nari Ratih dan Arya Dwipangga. Kereta kuda yang mereka tumpangi berjalan menyusuri jalanan desa yang amat indah pemandangannya. Gunung-gunung membiru di kejauhan seperti melambai ke arah mereka. Arya Kamandanu terus mengawal dengan mengendarai seekor kuda perkasa berwarna cokelat tua. Tak lama kemudian, perjalanan mereka sampai di tepi padang ilalang. Berdesir hati Arya Kamandanu begitu melihat pemandangan di sekitarnya. "Ahh? Tempat ini. Tepi padang ilalang ini. Aku tak akan pernah bisa melupakan tempat ini. Semua begitu cepat berlalu. Dan apa yang sudah berlalu tak mungkin bisa kuraih lagi. Betapa indahnya kenangan masa lalu. Tapi kenangan akan lenyap bersama deru sang waktu. Dan harihari besok masih belum menentu. Hari-hari sekarang inilah sesungguhnya milikku, maka aku tak boleh menyiamenyiakannya," gumam Arya Kamandanu perih. Hatinya teriris-iris mengenang kisah manis yang selalu dilalui bersama Nari Ratih di tepi padang ilalang yang kini dilaluinya. Sementara, itu di dalam kereta kuda yang terus menggelinding di atas jalanan berbatu, Nari Ratih kelihatan gelisah walaupun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu dari suaminya. "Ahh? Kakang Kamandanu. Tentu hatinya hancur sekali. Kasihan kau, Kakang. Tapi aku yakin kau kelak akan menemukan seorang gadis yang sesuai untukmu. Seorang gadis yang manis, yang setia, yang mencintaimu untuk selamanya. Aku akan selalu berdoa dan mudah-mudahan para dewa di atas langit mengabulkan doaku ini," bisik hati Nari Ratih dengan perasaan tidak menentu. Pandang matanya kosong dan selalu diam sepanjang perjalanan hari itu. "Ratih!" "Ehh, ya, Kakang?" Nari Ratih terkejut ketika suaminya menegurnya. "Bagaimana perasaanmu? Kau bahagia dalam perjalanan ke Manguntur ini?" "Bagaimana aku tidak bahagia, Kakang? Tidak lama lagi aku akan segera menjadi ibu dari anakmu." "Ratih! Aku berjanji akan menjadi suami dan ayah yang baik dari anak-anak yang kau lahirkan nanti." "Ahh, Kakang. Aku bahagia sekali." Beberapa kali kata bahagia itu ia ulangi, ia luncurkah di antara bibir mungil nan manis, namun di balik hatinya teriris kepedihan yang luar biasa perih. Dengan manja Nari Ratih merebahkan kepalanya di bahu suaminya. Tangan Arya Dwipangga merengkuh pundaknya, kemudian mengusap dan membelai rambutnya yang hitam panjang bergelombang Arya Dwipangga pun dengan lembut menjatuhkan kepalanya di atas kepala istrinya. Jemari tangan mereka terjalin erat, berbicara tentang kasih di dasar hati mereka yang paling dalam. Tubuh mereka berguncang-guncang karena jalan-jalan yang bert>atu-batu. Namun, kemesraan itu tiba-tiba terhempas tatkala tukang sais menghentikan kereta yang mereka tumpangi. Arya Dwipangga dan Nari Ratih saling pandang sejenak.Mereka mengerutkan dahi ketika melihat beberapa orang berkuda menghadang jalan kereta. Arya Dwipangga melepaskan jalinan jemarinya, lalu menyibakkan tirai kereta dan melongokkan kepalanya ke belakang di mana adiknya selalu mengawal perjalanan mereka. "Siapa mereka itu, Kamandanu? Mengapa mereka menghadang perjalanan kita?" "Kakang Dwipangga tidak usah turun dari kereta! Biar aku saja yang menghadapi mereka " Nari Ratih dengan saksama memperhatikan penghadang kereta, sampai ia terpekik, "Ohh, bukankah dia itu Dangdi? Siapa dua orang temannya itu?" Arya Kamandanu mengangkat tangan kirinya, "Kalian berdua diam saja dalam kereta, agaknya mereka bermaksud membuat gara-gara lagi denganku." Arya Kamandanu menyentakkan tali kekang kudanya hingga kuda tunggangannya meringkik panjang dan melompat ke arah tiga orang yang menghadang kereta yang ditumpangi kakaknya. Pemuda Kurawan itu memicingkan kedua matanya dan memandang tiga penghadang di depannya berganti-ganti. Melihat siapa yang menghampiri mereka, salah seorang di antara ketiga penghadang itu setengah terkejut dan mencibir sinis. "Heee, Kamandanu! Bukankah yang berada dalam kereta itu pasangan pengantin baru?" "Ya, Dangdi. Mereka adalah pengantin baru. Kakakku Arya Dwipangga dan istrinya Nari Ratih." "Hahahaha? Kasihan sekali kau, Kamandanu. Mengapa sekarang pangkatmu semakin merosot? Mestinya kau yang berada dalam kereta itu. Tapi rupanya kau harus cukup puas menjadi pengawal pribadi kakakmu itu. Hahahaaha!" "Dangdi! Kami sedang dalam perjalanan ke Manguntur, kuharap kau tidak mengganggu perjalanan kami ini." "Siapa yang mengganggu kalian? Kalau kalian mau lewat yaaa...silakan saja lewat." "Mana bisa kami lewat kalau kalian bertiga menghadang di jalan begitu?" "Hahaha! Kalau memang kalian tidak bisa ya mau bagaimana? Kembali saja ke Kurawan atau carilah jalan lain." "Jadi, kalian bertiga tidak mau memberi kami jalan untuk lewat?" "Hee, Kamandanu! Jangan mencoba mengancam kami! Ayoo, turun kau dari kudamu!" Dangdi makin sinis dan tangan kirinya memberi isyarat penghinaan dengan menunggingkan ibu jari. Setelah itu ia melompat turun dari punggung kuda diikuti kedua kawannya. Arya Kamandanu tetap tenang duduk di punggung kuda sekalipun hewan tunggangannya itu sesekali meringkikringkik. Ketiga penghadang itu memasang kuda-kuda dan berkacak pinggang memandang enteng pada Arya Kamandanu. Dangdi mencibir dan melambaikan tangan seraya menarik ke arah dalam jari tengahnya menantang Arya Kamandanu. "Turun, Kamandanu! Kalau kau bisa mengalahkan kami bertiga, barulah kami akan memberi kalian jalan untuk lewat." "Baiklah, kalau memang itu kemauanmu. Aku akan turun!" Arya Kamandanu menggerakkan tali kekang kudanya hingga si cokelat tua meringkik panjang. Lalu ia melompat ke depan Dangdi. "Baguuss! Tapi aku masih meragukan keberanianmu, Kamandanu. Jangan-jangan hanya untuk mencari muka di depan pengantin wanita. Hahahah...," tawa Dangdi diikuti dua temannya yang makin lebar memamerkan mulut mereka. "Sebenarnya aku sudah muak melihat kelakuanmu ini, Dangdi. Selama ini aku masih mencoba bersabar. Tapi karena kali ini aku ditugaskan mengawal saudara tuaku ke Manguntur, maka tak ada pilihan lain kecuali melayani kesombonganmu." "Jangan banyak mulut! Hiaaaa!" Dangdi langsung menerjang Arya Kamandanu ketika baru saja ia melangkah beberapa tindak mendekatinya. Namun, serangan licik itu dapat diatasi Kamandanu dengan sedikit mengelak ke samping. Gebrakan pertama itu membuat Dangdi naik pitam karena tendangan dan pukulannya menyapu sasaran kosong. Ia pun kembali melompat dan menerjang dengan pukulan-pukulan keras, tetapi tak terarah, Dengan mudah Arya Kamandanu menangkis dan menghindari seranganserangan lawannya. Arya Kamandanu begitu lincah bergerak menghindar. Hal itu membuat Dangdi benar-benar sangat marah dan kurang bisa mengendalikan dirinya. Dangdi berhenti menyerang dengan napas terengah lalu tangan kanannya melambai pada kedua kawannya. Suaranya terdengar parau sekali "Jaruju! Balawi? Ayo, kalian jangan diam saja! Kita bikin sekali lagi babak belur orang ini, baru aku merasa puas! Hiaaaa...!" Dangdi, Jaruju dan Balawi secara serentak menyerang Arya Kamandanu yang melayaninya dengan tenang. Semula dia hanya bertahan dengan menepis, menghindar ataupun melompat kiri kanan. Tapi karena serangan itu datang terus-menerus, akhirnya Arya Kamandanu terpaksa mengeluarkan pukulan dua belas jurus tahap pertama ilmu Naga Puspa pemberian Mpu Ranubhaya. Pada gebrakan pertama Dangdi menjadi korban tendangan pada pelipis kirinya. Gebrakan kedua Balawi terpaksa meraung kesakitan sambil mendekap alat kelaminnya. Giliran Jaruju terkena gebrakan ketiga. Jaruju agaknya mempunyai kemampuan lebih tinggi dibanding Balawi, "Jaruju! Kalau kau masih nekad menyerang, kau akan bernasib sama dengan dua orang temanmu itu." "Jangan sombong kau, Kamandanu! Hiaaaa...." langsung saja Jaruju menggebrak Arya Kamandanu tanpa perhitungan masak sehingga yang terjadi adalah senjata makan tuan. Jaruju kurang menyadari apa yang dilakukan lawannya. Dengan gebrakannya yang keras dan sembrono itu membuat Arya Kamandanu mendapatkan peluang memberikan pukulan telak tepat ke ulu hatinya, sehingga Jaruju tersepak meluncur keras jatuh di semak belukar menyusul dua rekannya. Arya Kamandanu tersenyum dingin sambil mengatur napasnya. Kedua kakinya masih siap dengan kuda-kuda. Pandangannya sangat tajam memandang ketiga lawannya satu per satu berganti-ganti. "Ayo, bangunlah kalau kalian masih mempunyai nyali untuk bertempur." "Ehh, tidak... tidak, Kamandanu... kami menyerah kalah... ahh...addduuuhhh....," Jaruju meringkuk di semak dengan napas terasa sesak. "Dan kau, Balawi, kalau masih penasaran aku pun tidak keberatan melayanimu satu jurus lagi." "Ehh, jangan! Cukup, cukup, Kamandanu. Ehhh..., shshsss!" Balawi terbata menjawab dengan kedua tangan memegang kelaminnya yang terasa melesak kena sodokan maut Arya Kamandanu. "Kalau demikian, cepat pergi dari sini! Dan ingat! Terutama kau, Dangdi... jangan mencoba membuka persoalan lagi denganku. Jangan mengganggu Nari Ratih, karena sekarang dia sudah menjadi istri saudara tuaku. Kalau kau sampai berani mengganggu ketenteraman mereka, kau pasti berhadapan dengan Arya Kamandanu!" Dengan meringis dan langkah tertatih ketiga penghadang itu berjalan menghampiri kuda mereka. Dangdi, Balawi dan Jaruju segera naik ke punggung kuda dan segera menyentak tali kuda masing-masing dengan hati dongkol, menggerutu dan sangat malu. Arya Kamandanu berkacak pinggang sambil tersenyum getir. Menggeleng-geleng kepala karena merasakan kebebalan tiga pemuda Manguntur yang selalu memusuhinya. Lalu ia membalikkan tubuh melangkah menghampiri kereta yang ditumpangi kakaknya. Arya Dwipangga melongokkan kepalanya memandang penuh rasa kagum dan terima kasih pada adiknya yang memiliki kemampuan olah kanuragan mumpuni. "Bagaimana, Kamandanu?" "Kakang tidak usah khawatir. Mereka tidak akan berani mengganggu kalian lagi." "Kakang Kamandanu, kau tidak apa-apa?" "Aku tidak apa-apa, Ratih. Marilah kita lanjutkan perjalanan.Manguntur sudah tidak terlalu jauh dari sini." Arya Kamandanu memberi isyarat pada kusir kereta agar segera melanjutkan perjalanan. Kereta kuda itu tampak terseok-seok melalui jalan berbatu. Baik Nari Ratih, Arya Dwipangga maupun tukang sais itu tidak berkomentar apaapa. Mereka hanya membisu karena hati dan pikiran mereka dipenuhi oleh angan masing-masing. Arya Kamandanu menunggang kuda lima tombak di belakang kereta. Kehadiran Dangdi dan komplotannya seolah-olah membuka luka lama yang selama ini dipendamnya dalam-dalam di lubuk hatinya. Hatinya perih seperti teriris karena ia selalu saja mengalami kegetiran dalam hidupnya Kadang-kadang ia membenarkan Dangdi, kadang-kadang ia hanya pasrah pada keadaannya, tapi tak jarang ia berusaha untuk memenangkan kerendahan hati dan kesabaran dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Akhirnya mereka tiba dengan selamat di Manguntur. Rekyan Wuru menyambut dengan ramah dan gembira. Arya Kamandanu menolak ketika orang tua itu menyuruhnya menginap barang semalam. Hari itu juga Arya Kamandanu kembali ke Kurawan.Mereka mengantar sampai ke pagar halaman. Kuda yang ditunggangi Arya Kamandanu berlari bagaikan terbang melintasi daerah persawahan, bukit-bukit, hutan-hutan kecil, dan sebentar kemudian sudah meninggalkan tugu-batas desa Manguntur. dw Sementara itu, di rumah Mpu Hanggareksa, di ruangan pembuatan senjata, lelaki tua itu menimang-nimang sebuah senjata pusaka. Menyunggingkan senyuman di bibirnya yang mulai mengeriput. Kemudian penuh dengan perasaan ia memegang gagang pusaka itu serta mencabutnya perlahan-lahan. Suara berdencing mengiringi senjata itu ketika keluar dari wrangkanya. "Hhhh! Bagaimanapun juga senjata pusaka buatanku masih di bawah tingkatan Kakang Ranubhaya. Bagaimanapun juga dia lebih ahli. Dan inilah yang membuatku tidak senang. Suatu ketika Kakang Ranubhaya bisa menjadi batu sandungan di tengah jalan. Huuuuhh! Orang tua itu sangat kokoh pendiriannya. Sudah berapa kali kucoba untuk menariknya kerja sama, dia tetap tidak bersedia. Kurang ajar! Dia merasa lebih pintar. Merasa lebih hebat, tapi aku tidak akan kehabisan cara. Kalau dengan cara yang halus tidak berhasil, aku bisa menggunakan cara yang lebih kasar. Bahkan aku bisa menggunakan cara yang paling kasar!" Mpu Hanggareksa berbicara sendiri sambil mengusap-usap senjata pusaka di tangannya. Belum lagi memasukkan senjata itu ke dalam wrangkanya ia dikejutkan oleh suara pintu yang berderit panjang sekalipun perlahan-lahan. Lelaki itu segera memasukkan senjata pusaka ke dalam wrangkanya dan melangkah ke arah pintu sambil mengerutkan dahinya. Ia melihat jemari menyengkeram daun pintu dari luar. Lagi-lagi ia tersenyum sendiri, "Kaukah itu, Kamandanu?" "Ya, Ayah.'.' "Bagaimana? Sudah kau antar kakakmu sampai Manguntur?" "Sudah, Ayah." "Bagus. Sekarang kau istirahat, dan besok kau harus menjaga rumah bersama Nyi Rongkot. Aku mau pergi barang dua tiga hari." "Ke mana, Ayah?" "Ke Singasari." Arya Kamandanu dapat meraba ada yang terjadi di balik wajah ayahnya. Tidak seperti hari-hari biasanya, tampak sekali ayahnya tengah mempunyai persoalan yang berat. Tapi Arya Kamandanu tidak berani menanyakan pada ayahnya. Arya Kamandanu melihat kabut persoalan mengambang di permukaan wajah ayahnya, orang tuanya berbicara tidak seperti biasanya. Memandangnya sangat tajam dengan sekali-kali menghela napas tertahan. Berat dan sesak. ”Selama aku pergi kau harus lebih berhati-hati. Terutama sekali kau harus menjaga dan mengawasi tempat menyimpan senjata pesanan." "Baik, Ayah. Saya tidak akan kemana-mana." "Kamandanu, sekarang kakakmu sudah hidup sendiri bersama istrinya. Tinggal kau yang kuharapkan bisa membantu usahaku ini," kembali Mpu Hanggareksa menghela napas dalam sekali. Ia pandangi putra bungsunya penuh kelembutan dan kasih sayang. Hatinya terenyuh, terharu karena alis mata dan bibir putra bungsunya itu persis seperti ibunya. Seperti isterinya yang telah lama meninggalkannya. Kepedihan menyuruk-nyuruk dan mengiris hatinya. "Kulihat kau sudah mengantuk dan lelah sekali. Tidurlah! Biarkan aku sendiri di ruangan ini." "Ya, Ayah." Belum lama Arya Kamandanu berada dalam kamarnya sendiri, ia dengar ringkikan panjang kuda ayahnya. Kemudian terdengar juga derap kakinya yang dipacu semakin menjauh. Ia menghela napas dan menghempaskannya kuat-kuat. Dahinya beranyam kerutan kemudian menggigit bibirnya sendiri sambil melangkah beberapa tindak sambil memeriksa jendelanya. "Aku mendengar suara kuda Ayah. Ke mana dia pergi malam-malam begini? Ahhh, pasti ada hubungannya dengan rencana ke Singasari besok. Kasihan ayah, akhirakhir ini dia tampak semakin tua. Aku harus mendampinginya dan membesarkan hatinya." Arya Kamandanu menyorongkan kancing jendelanya agar lebih kencang lagi. Bersandar sejenak pada dinding papan kamarnya, memperhatikan tempatnya berbaring yang kusut. Pada ujung tikarnya sudah robek dan putusputus. Bahkan pada tepi-tepinya tampak jamuran karena terlambat tak dijemur. Ia tersenyum, karena tikar itu buatan buah tangan Nari Ratih. Tikar tanda persahabatan pertama ia mengenal gadis yang merebut seluruh hatinya. Ia perhatikan pakaiannya yang kotor tergantung di ujung kamar. Ia hirup udara kamarnya yang apek dan kurang sedap karena lama tak dibereskan dan dibersihkan. Kembali lagi ia melangkah mondar-mandir seperti orang bingung, tak tahu apa sebetulnya yang mengganjal di hatinya. Karena tak bisa tidur lagi, Arya Kamandanu beranjak meninggalkan kamarnya. Sebentar kemudian dia sudah berada di ambang pintu ruang kerja ayahnya Terdengar pintu ruang kerja itu dibukanya perlahan menimbulkan derit panjang memecah kesunyian malam. Beberapa saat lamanya ia berdiri di ambang pintu, kemudian menutup pintu itu kembali seperti sedia kala. Ia berdiri sejenak menyandarkan punggungnya di balik daun pintu yang sangat tabal itu. Rongga dadanya dipenuhi oleh bau logam karatan, bau apek dan warangan cairan pembasuh senjata yang menyengat. Ia nyengir dan memoncongkan bibirnya seraya melangkah seenaknya. "Ahh! Selama berpuluh surya Ayah terbenam di ruangan ini. Usianya habis untuk membuat senjata-senjata pusaka pesanan pemerintah Singasari. Ayah memang pekerja yang ulet. Dia tekun dan selalu bersungguh-sungguh. Tapi tampaknya dia tidak begitu cocok dengan Paman Ranubhaya." Arya Kamandanu mengerutkan dahi memperhatikan ada selembar daun tal? Ia makin memperhatikan selembar rontal itu ketika melihat goresangoresan di atasnya ada tulisan ayahnya. Arya Kamandanu membungkuk dan membaca tulisan yang tertera pada potongan-potongan rontal di tempat kerja ayahnya. Lalu ia membacanya dengan saksama, "Ampun Sri Baginda! Hamba mohon Sri Baginda sudi membaca laporan hamba, dan selanjutnya mengambil tindakan yang tegas demi tegaknya wibawa pemerintah Singasari. Selama ini hamba telah dipercaya sebagai pembuat senjata pusaka untuk perlengkapan tentara Singasari. Di samping hamba juga dipercaya mengelola senjata pusaka di ruang penyimpanan senjata Istana Singasari. Hamba telah berjanji akan bekerja sebaik-baiknya. Namun, sekarang ini hamba mempunyai kesulitan yang bisa menghambat tugas-tugas yang dipercayakan pada hamba. Di desa hamba, Kurawan, ada seorang Mpu yang bernama Ranubhaya. Dia sebenarnya ahli dalam pembuatan senjata pusaka. Hamba telah berulang kali mengajak kerjasama, namun dia menolak. Malah akhir-akhir ini dia berani menghina pemerintah Singasari, bahkan menghina Sri Baginda Kertanegara sendiri. Untuk itu hamba mohon Sri Baginda menindak orang tersebut. Sebab kalau dibiarkan, hamba khawatir kelak kemudian hari bisa merongrong kewibawaan Sri Baginda." Arya Kamandanu meletakkan, kembali daun-daun tal itu seperti sedia kala. Darahnya tersirap, jantungnya berdebardebar mengetahui isi surat itu. Ia mengeraskan rahangnya hingga tampak menonjol kukuh, matanya yang tajam berkilat-kilat. "Ohh, surat ini berbahaya sekali. Paman Ranubhaya bisa dihukum mati, kalau sampai terbukti menghina Prabu Kertanegara. Tapi, mengapa Ayah sampai hati melaporkannya? Apakah ada suatu sebab yang membuat mereka bermusuhan sampai begini? Ahh, aku jadi serba salah. Aku tidak tahu harus memihak pada siapa. Paman Ranubhaya sangat baik menurut penilaianku. Aku tak habis pikir mengapa ayah membencinya dan menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan? Apakah ayah takut suatu ketika Paman Ranubhaya menjadi saingan berat dalam pembuatan senjata pusaka? Ohh, aku tidak mau ikut campur. Tapi kalau memang keadaan mendesak, aku harus berbuat sesuatu untuk menolong Paman Ranubhaya." Arya Kamandanu segera mengambil tindakan. Buruburu ia keluar dari ruang kerja ayahnya menuju bilik Bibi Rongkot pembantunya yang setia. Perlahan ia mendorong daun pintu perempuan tua itu yang selama ini tidak pernah dikancing dari dalam. Ia tersenyum ketika melihat perempuan tua itu sudah tidur. Kemudian pemuda itu kembali ke kamarnya sendiri dengan hati resah. Ia harus melakukan sesuatu untuk gurunya yang terancam bahaya. Ia berusaha agar cepat tidur, namun pikiran-pikiran buruk menghantuinya hingga sampai pagi hari ia belum juga sempat memicingkan matanya. Untuk itulah ia segera bangkit dari pembaringan setelah mendengar kokok ayam ketiga. Suara-suara ternak juga meramaikan suasana di pagi itu. Didorong oleh rasa penasaran yang bersarang di hatinya ia segera menuju bilik Bibi Rongkot. Pemuda itu tersenyum melihat Bibi Rongkot sudah bangun. Ia berjingkat, melangkah hati-hati sekali agar tidak membuat perempuan tua itu terkejut dibuatnya. Perempuan tua itu menatap ke dinding dengan pandangan mata kosong seperti melamun. Ia sedang menikmati kinang sirih sambil melamun duduk di bibir dipan. Perempuan tua itu segera menghentikan kunyahannya ketika tahu siapa yang mendorong pintu kamarnya. "Bi Rongkot?" "Ya, Ngger." "Bibi tahu ke mana Ayah pergi semalam?" "Katanya beliau pergi ke rumah salah seorang sahabatnya, begitu. Entah sahabat yang mana Bibi tidak tahu, Ngger." "Lama perginya, Bi?" "Barangkali tidak terlalu lama, Ngger. Sepertinya Bibi hanya terlelap sebentar. Bibi terbangun dan mendengar Ayahanda menuntun kuda ke kandangnya. Setelah itu, bibi mendengar suara pintu ruang kerja beliau terbuka dan tertutup. Mungkin beliau langsung tidur di ruang kerja, karena bibi tidak mendengar apa-apa lagi sampai menjelang pagi." Arya Kamandanu mau membalikkan tubuh tapi perempuan itu menegornya. "Ehh, mau ke mana, Ngger?" Setelah mendengar keterangan Bibi Rongkot pemuda itu langsung membalikkan badannya, menjawab pertanyaan perempuan itu sambil lalu. "Menemui ayahanda, Bi." "Ayahanda sudah berangkat. Beliau hanya berpesan, agar Angger Kamandanu berhati-hati selama beliau tidak di rumah." Arya Kamandanu tidak melanjutkan langkahnya. Ia buru-buru memandang perempuan tua itu dengan mulut setengah menganga dan dahi berkerut hingga kedua alisnya yang tebal nyaris menyatu. Beberapa saat lamanya mereka saling pandang dalam diam. Udara pagi yang dingin tak mampu mendinginkan hati pemuda itu yang dilanda keresahan.Matanya merah karena lelah, marah dan kurang tidur. Ia melangkah lemas sambil memukul jidatnya dengan telapak tangan kanannya saking kesalnya. Mpu Hanggareksa terus memacu kudanya menuju kota Singasari. Dalam hati dia sudah bertekad akan memfitnah sahabatnya sendiri. Dia merasa sakit hati dan merasa usahanya dijegal oleh Mpu Ranubhaya. Di samping sebenarnya dia merasa iri, bahwa tingkat kemampuannya membuat senjata pusaka masih di bawah sahabatnya itu. Kuda cokelat tua itu membawa Mpu Hanggareksa menuju ke Singasari. Di belakangnya meninggalkan kepulankepulan debu yang menghalangi pandangan mata. Kuda itu berlari semakin lama semakin cepat hingga akhirnya lenyap di balik tikungan jalan yang menuju kotaraja Singasari. Setelah berkuda hampir satu hari lamanya, dengan istirahat sejenak di beberapa desa yang dilewatinya, Mpu Hanggareksa dengan selamat bisa memasuki pintu gerbang Istana Singasari. Dia langsung menemui Pranaraja dan menginap di wisma pembesar Singasari itu, yang kemudian keesokan harinya membawanya menghadap Sang Prabu di Paseban Agung. Pagi itu segenap pejabat istana berkumpul di hadapan takhta Sang Prabu Kertanegara yang telah menerima laporan tertulis dari Mpu Hanggareksa. Terdengar suara mendengung bisik-bisik dan geremeng obrolan mereka sebelum mendengarkan titah Sang Prabu Kertanegara. Terdengarlah gong dipukul dua kali pertanda tiba saatnya Sang Prabu Kertanegara bersabda. Seketika itu suasana menjadi hening dan sunyi. Khidmat penuh penghormatan. Sang Prabu Kertanegara menghela napas dalam-dalam ketika hendak menyampaikan titahnya, "Aku sudah membaca dengan saksama laporan yang ditulis Paman Hanggareksa. Hmmmm! Apakah laporan ini bisa kupercaya?" "Ampun, Gusti Prabu. Laporan itu hamba tulis berdasarkan kenyataan yang ada. Tak ada perlunya hamba memfitnah seorang kawan. Sebagai seorang kawan baik, hamba justru ingin merangkul dan mengajak dia untuk kerja sama mengabdi pada pemerintah Singasari. Tapi begitulah. Mpu Ranubhaya orangnya keras. Hatinya sudah membeku seperti sebongkah es!" kembaliMpu Hanggareksa menghaturkan sembah sampai jidatnya menyentuh lantai paseban yang terbuat dari papan-papan jati yang sudah dihaluskan. "Paman katakan Mpu Ranubhaya telah menghina pemerintah Singasari, bahkan telah berani menghina aku. Apa yang sudah dikatakannya itu?" "Ampun, Gusti. Hamba tidak sanggup mengulangi perkataannya di depan para hadirin yang berkumpul di balai paseban agung ini. Karena hamba rasa perkataan itu sangat tidak pantas, kalau hamba tidak boleh menyebut sebagai sangat kotor." "Hhhh? Kurang ajar benar si Ranubhaya itu. Apa yang diandalkannya hingga dia berani menghina Kertanegara? Hmmm, baiklah, Paman Hanggareksa. Aku memang tidak akan tinggal diam. Jelas aku akan mengambil tindakan yang tegas." Prabu Kertanegara menghela napas dan pandangannya tertuju pada seorang perwira gagah perkasa dengan kumis melintang tebal menghiasi bibirnya. Yang merasa dilihat menunduk sambil menghaturkan sembah dengan melipat tangan dan diangkat tepat di depan dadanya. "Ranggalawe!" "Hamba, Gusti Prabu," suara itu besar, mantap dan dalam. Sekali lagi Ranggalawe menghaturkan sembah. Kali ini jidatnya sampai menyentuh ke lantai. "Berangkatlah ke Kurawan! Bawalah serta dua puluh orang prajurit. Kau kuperintahkan untuk menasihati orang yang bernama Mpu Ranubhaya." "Hamba, Gusti Prabu." "Kalau dia tidak mau kaunasihati dan tidak mau mencabut kata-katanya yang telah menghina pemerintah Singasari dan bahkan menghina pribadi Kertanegara, tangkaplah orang itu. Kalau dia melawan, kuperintahkan agar kau membunuhnya." "Baik, Gusti. Hamba siap menjalankan perintah Gusti. Lalu kapan hamba harus berangkat?" "Sekarang juga. Kau bisa bersama-sama Paman Hanggareksa sebagai penunjuk jalan." "Baik, Gusti. Perintah Gusti Prabu hamba junjung tinggi," lagi-lagi Ranggalawe menghaturkan sembah. Dengan matanya yang tajam ia mencuri pandang ke arah junjungannya. Kemudian ia duduk seperti posisi sebelumnya dengan sekali-kali melirik ke arah Mpu Hanggareksa yang juga duduk menunduk penuh hormat. Ranggalawe adalah seorang kepala pasukan yang membawahi dua ratus orang prajurit. Dia adalah putra Arya Wiraraja. Arya Wiraraja atau Banyak Wide telah dilorot kedudukannya sebagai Demung, dan sekarang menjadi seorang adipati di Sumenep. Hari itu juga, begitu keluar dari paseban agung Istana Singasari, Ranggalawe langsung mengumpulkan orangorangnya Ikut dalam rombongan itu Pranaraja, Jarawaha dan Ganggadara. Rombongan yang terdiri dari dua puluh lima orang itu pun berangkat ke Kurawan. Debu-debu beterbangan di jalan ketika kuda-kuda mereka melewati pusat kota Singasari. Derap kaki kuda terdengar riuh rendah diselingi ringkikan-ringkikan perkasa. Dua puluh lima orang penunggang kuda itu begitu bersemangat mengendarai kuda hingga kuda yang ditunggangi mereka saling dahulu mendahului.

Rombongan berkuda terus bergerak meninggalkan perbatasan kota Singasari, dengan mengendarai kuda hitam yang bernama Nila Ambara, Ranggalawe berada paling depan barisan. Sementara di belakangnya Mpu Hanggareksa yang berkuda berdampingan dengan Pranaraja. Di belakang mereka Jarawaha dan Ganggadara, yang dengan tangkas mengendarai kudanya masing-masing, sambil sekali-sekali menengok ke dua puluh orang prajurit di belakangnya Ketika matahari sudah mencapai ujung langit barat, barulah mereka sampai di suatu tempat yang memaksa mereka menginap di sana, sebab perjalanan menuju desa Kurawan tidak bisa dilalui dengan aman, jika malam hari. Selain melewati tebing-tebing terjal gangguan begal, perampok dan para penjahat sering kali terjadi di sepanjang jalan menuju desa itu. Rombongan itu berhenti di depan sebuah penginapan, yang lebih merupakan tempat tinggal penduduk biasa yang membuka warung di dalam rumah. Petang itu tampak beberapa orang duduk di serambi penginapan. Dua orang yang duduk di sana adalah pelayan penginapan itu, sedangkan dua orang lainnya adalah prajurit Singasari yang diutus Ranggalawe memesan kamar untuk beristirahat. "Ehh, hehe. Apa yang bisa saya bantu, Tuan? Tuan berdua membutuhkan ruangan untuk istirahat malam ini?" tanya seorang pelayan yang sengaja dibuat-buat agar kelihatan sopan. Sikap pelayan itu membuat kurang senang kedua prajurit Singasari itu. "Bukan berdua. Kami prajurit Singasari. Kami semua ada dua puluh lima orang," jawab Jarawaha kasar. "Ohh, ehh... jadi Tuan satu rombongan dengan prajurit-prajurit Singasari itu? Wah, wah... mana mungkin kami bisa menampung semuanya? Rumah penginapan ini kecil, Tuan. Hanya ada lima belas ruangan. Itu pun ada dua kamar yang tidak bisa ditempati, karena membutuhkan perbaikan." "Kami hanya membutuhkan lima kamar saja, pelayan," jelas Jarawaha ketus dan angkuh. "Kau tidak usah pusing memikirkan di mana prajuritprajurit itu akan tidur malam ini. Mereka bisa memasang tenda di halaman rumah penginapan ini," tukas Ganggadara. "Oooo, kalau begitu bisa, Tuan. Tentu saja bisa. Jadi, hanya lima ruangan yang harus kami siapkan? Baik. Baik, Tuan." Percakapan antara pelayan dengan Jarawaha dan Ganggadara itu didengarkan dengan baik oleh orang yang duduk di sudut serambi penginapan itu. Kedua orang itu sudah tahu, siapa kedua prajurit Singasari itu, maka seorang di antara mereka ingin membuat gara-gara. Salah seorang yang berbadan tegap dengan otot-otot menonjol itu kasar sekali menggebrak meja. Terdengar suara berderak karena ada cangkir yang menggelinding. "Pelayan! Bukan hanya mereka itu yang menjadi tamu di rumah penginapan ini. Kami pun berhak untuk dilayani dengan baik." Lelaki berotot itu bangkit dan melotot pada pelayan. "Oh, eh,...ya, Tuan. Tuan berdua membutuhkan apa?" tanya pelayan dengan wajah pucat pasi karena pelayan itu sudah tahu persis siapa kedua pemuda berotot itu. "Tambah lagi mangkuk tuakku itu!" pinta yang seorang dengan kasar sekali. "Jangan takut kami tidak akan membayar, pelayan," kata yang seorang yang lebih pendek. "Ehh, ya. Ya, baik, Tuan. Sabar, akan saya ambilkan tuak buatan desa Apajeg yang paling enak. Silakan menunggu sebentar, Tuan." "Jangan terlalu lama!" bentak pemuda yang tadi menggebrak meja. Keduanya saling bisik, bahwa sebelumnya mereka pernah bertemu dengan kedua prajurit Singasari yang memesan kamar. "Hmmm, ya. Aku ingat. Kita bertemu di desa Jasun Wungkal beberapa waktu yang lalu." "Aku juga masih belum lupa siapa kalian berdua ini. Bukankah yang ini Jaran Bangkai?" sahut Jarawaha sambil menunjukkan telunjuk tangan kirinya. Mereka memang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. Ganggadara mengingat keduanya dengan baik dan ia melihat mereka dengan pandangan dingin. Beberapa saat mereka saling pandang dan tersenyum-senyum dengan angkuh, "Ingatan Tuan berdua masih cukup baik," kata Jaran Bangkai nyinyir. "Apakah tuan-tuan kali ini juga mau ke Kurawan?" tanya Jaran Lejong berlagak bodoh. "Kalian tidak perlu tahu tujuan perjalanan kami," jawab Jarawaha ketus. "Ahh, yaaaa... tuan-tuan adalah prajurit. Kami lupa, bahwa tuan-tuan sebagai prajurit tidak boleh berbicara sembarangan," tukas Jaran Bangkai sinis sekali. Sejenak mereka diam karena pelayan tadi telah kembali dengan membawa tuak di nampan. Di atas nampan itu terletak sekendi tuak murni. Lalu pelayan itu menaruh sekendi tuak itu ke atas meja tepat di depan Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. "Heheheh. Ini tuaknya, Tuan! Hehehehe... silakan minum. Tapi...ehh, tapi...." "Tapi apa?" bentak Jaran Lejong tak sabar. Pelayan itu menunduk sambil mencuri-curi pandang pada kedua berandal itu. "Tapi maaf, Tuan jangan sampai mabok!" katanya terdengar ketakutan dan mundur beberapa tindak melirik ke arah prajurit Singasari dan kembali beralih pada Jaran Bangkai dan Jaran Lejong yang sudah meraih kendi tuak itu serta menuangkan isinya ke mangkuknya masing-masing. "Apa urusanmu? Mau mabok atau mau jungkir balik, yang penting aku akan bayar tuakmu!" jawab Jaran Lejong tanpa menghiraukan pelayan itu lagi. "Bukan begitu, Tuan. Soalnya sekarang ini sedang ada banyak tamu. Kebetulan mereka adalah prajurit-prajurit Singasari." "Aku tidak peduli. Kami juga tamu di sini. Kami punya hak yang sama dengan mereka. Dan tidak ada peraturan minum tuak sampai mabok di rumah penginapan mana pun juga," tukas Jaran Lejong kasar sekali dan meneguk tuak langsung dari kendi. "Bukan begitu, Tuan.Maksud saya, ehh...." "Jangan cerewet, pelayan! Nanti kusumbat mulutmu dengan kepalan tanganku ini!" bentak Jaran Bangkai dengan mulut masih penuh tuak sehingga cairan itu muncrat dari bibirnya. Jaran Bangkai menyorongkan mangkuknya yang sudah kosong dan minta dituangkan lagi. Jaran Lejong segera menuangkan kendi tuak yang masih digenggamnya pada mangkuk Jaran Bangkai Ia letakkan kendi tuak itu pada meja agak kasar. Lalu mengangkat mangkuknya sendiri dan menenggak isinya sekali tenggak hingga asat. "Ayo, Kakang Jaran Bangkai! Kita minum sepuas hati kita. Jangan hiraukan mereka itu." Demikianlah kedua berandal itu tidak menghiraukan kata-kata pelayan. Mereka minum tuak sampai matanya merah dan mulutnya berbusa karena terlalu banyak minum. Keduanya memandang sinis sekali pada kedua prajurit Singasari yang berdiri dan melangkah pergi karena tidak ingin terjadi keributan di penginapan itu. Prajurit Singasari mendirikan terida darurat di halaman rumah penginapan desa Apajeg. Sementara itu Pranaraja, Jarawaha, Ganggadara,Mpu Hanggareksa dan Ranggalawe istirahat di ruangan tidur masing-masing. Pagi hari pun tiba. Mpu Hanggareksa baru saja selesai membersihkan badannya ketika mendadak terdengar keributan di halaman penginapan. Pranaraja memandang Mpu Hanggareksa dan berusaha menajamkan pendengarannya. Keduanya buruburu memandang ke arah datangnya suara keributan itu. "Tuan! Tuan Hanggareksa?" "Ada apa, Tuan Pranaraja?" "Ada keributan di halaman rumah penginapan ini. Tuan segera saja berpakaian, saya akan melaporkan hal ini pada Gusti Ranggalawe." Pranaraja segera melompat meninggalkan Mpu Hanggareksa. Sementara itu, di pelataran penginapan desa Apajeg telah terjadi perkelahian sengit. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong membuat keributan, keduanya mengganggu prajurit Singasari. Melihat kejadian itu, Jarawaha segera menyibak di tengah kerumunan mereka. Ia tersenyum sinis pada Jaran Bangkai dan Jaran Lejong yang sudah siap menyambutnya dengan kuda-kuda. Beberapa prajurit menghunus pedang dan siap bertarung. "Minggir! Kalian semua minggir! Masukkan kembali senjata kalian ke dalam sarungnya. Kami berdua tidak membutuhkan prajurit! Kalau hanya untuk menghajar dua perampok tengik macam mereka ini." Melihat kehadiran Jarawaha dan Ganggadara dua berandal itu makin beringas dan tertawa lebar, "Hahahah! Dulu kami berdua pernah kalian kalahkan di desa Jasun Wungkal," ujar Jaran Bangkai sombong sekali. "Dan sekarang kalian akan kami ringkus!" tukas Ganggadara tak kalah sengit. "Hehehehe? Dengar Adi Jaran Lejong! Mereka akan meringkus kita katanya? Apakah mereka ini tidak malu dilihat anak buahnya, kalau sampai kita buat babak belur?" ejek Jaran Bangkai disusul dengan ledakan tawanya. "Kurang ajar! Hiaaaaa...!" mendengar cemoohan itu, Ganggadara terpancing dan menjadi naik pitam. Ia menggebrak dengan tebasan pedangnya yang sangat tajam. Namun, baru satu gebrakan saja mereka terpaksa menghentikan-pertarungan. "Hentikan! Hentikan! Jarawaha, Ganggadara! Apa yang kalian lakukan? Heh, bukankah kalian Jaran Bangkai dan Jaran Lejong?" Pranaraja setengah tak percaya melihat siapa yang ada di depan matanya. Kedua berandal itu masih juga menjadi biang keributan seperti beberapa waktu yang lalu. "Heheheh, benar. Apakah Tuan bermaksud turun ke gelanggang juga?" "Jaran Bangkai! Dulu kau dan kawanmu itu pernah kuampuni, mestinya kalian berdua sudah tidak mempunyai tangan lagi untuk membuat kejahatan-kejahatan yang baru." "Sekarang kita tidak perlu mengampuninya lagi, Tuan Pranaraja. Dua penjahat seperti mereka ini sudah sepantasnya diremukkan tulang-belulangnya," timpal Jarawaha menahan marah. "Huuuh! Sombong! Lakukanlah kalau kalian bisa!" "Jaran Lejong! Kalau kalian tidak mau mengalah, kalian akan berhadapan dengan pemerintah Singasari." "Tuan Pranaraja! Baik sekarang, besok atau pun lusa, kami tidak sudi menyerah." "Perkataanmu semakin tidak sopan saja! Hiaaaa...!" Jarawaha tak sabar lagi, tanpa menunggu perintah atasannya ia langsung melompat dan menerjang dengan tebasan pedangnya. Gebrakannya disambut oleh Jaran Lejong dengan tangkisan pedangnya hingga kedua senjata itu berdenting hebat. Benturan dua senjata itu menimbulkan percikan api. "Hentikan!" bentak Pranaraja sehingga Jarawaha melompat mundur dan menjejakkan kakinya di sisi Pranaraja beberapa langkah. Pranaraja marah. "Kau jangan bertindak atas nama pribadimu sendiri, Jarawaha. Dua orang ini jelas mau menghina pemerintah Singasari. Karena itu dia harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Singasari. Ayo, kalian jangan hanya menonton! Tangkap dua orang ini! Ringkus merekaaa...!" Prajurit Singasari yang berjumlah dua puluh orang itu secara bergantian menyerang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. Kadangkala lima orang prajurit menyergap serentak, kemudian dilanjutkan dengan empat atau lima orang prajurit lainnya. Tapi Jaran Bangkai dan Jaran Lejong memang tangkas dan mempunyai kepandaian di atas rata-rata prajurit Singasari. Dengan pedang panjangnya mereka berusaha membendung serangan yang datang beruntun. Mendadak sebuah bayangan berkelebat ringan dan langsung terjun ke gelanggang pertempuran. Hanya dalam satu gebrakan saja bayangan itu sudah berhasil membuat jungkir balik dua orang prajurit Singasari. Kedua prajurit Singasari itu menjerit roboh dan tertelungkup mencium tanah. Darah pun muncrat dari perutnya membasahi tanah. Melihat pemandangan seperti itu Pranaraja memberikan aba-aba pada bawahannya. "Hentikan!Mundur semua!Munduuurrr." Seketika para prajurit Singasari pun mundur menjauhi medan perkelahian. Pertempuran pun berhenti. Keadaan sejenak menjadi sunyi. Pranaraja membelalakkan matanya melihat ke arena. Di sana berdiri seseorang yang tampaknya pernah dilihatnya. "Ada yang ikut campur urusan ini. Siapa kau?" bentaknya penasaran melihat sosok orang itu. Bayangan yang ternyata adalah seorang wanita berwajah cantik itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum ke arah Pranaraja. Senyuman itu sangat manis, tapi mendadak berubah menjadi sangat dingin dan menyeramkan. Wanita berparas cantik itu masih tertawa. Tawanya melengking tinggi, dan bila terdengar pada malam hari bisa membangunkan bulu roma.

Wanita berparas cantik itu terus tertawa memperhatikan kerumunan orang-orang yang menontonnya menjadi tampak bodoh. Mereka yang berkumpul di halaman hanya melihat sambil bertanya-tanya dalam hati apa maksudnya. Pranaraja melompat ke depan.Wanita itu mendengus. "Kauu... kau pun sepertinya pernah kulihat. Ya. Di tempat yang sama. Waktu itu aku hampir saja memotong lengan dua perampok itu. Kau dan teman laki-lakimu datang dan membawa mereka pergi," geram sekali Pranaraja menghardik wanita cantik di depannya. "Kau sudah lupa siapa namaku, Tuan Prajurit?" wanita cantik itu berkata sinis dengan bibir mencibir pada Pranaraja. "Aku ingat. Sebelum pergi mereka menyebutkan nama mereka lebih dulu, Tuan. Dewi Sambi. Bukankah benar itu namamu?" Jarawaha mengingatkan Pranaraja pada peristiwa beberapa waktu yang lalu. "Ya, benar, Kau prajurit yang baik." Dewi Sambi mengibaskan rambutnya yang menutupi kening. "Lalu mengapa kau ikut campur urusan kami lagi?" tanya Pranaraja dengan suara berat dan dalam. "Jaran Bangkai dan Jaran Lejong sudah menjadi orangorangku. Setiap persoalan yang menyangkut diri mereka, aku tidak akan berpangku tangan. Aku pasti ikut campur," jawab wanita cantik itu tegas, lugas dan penuh kebanggaan. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong pun turut mengangguk dan memberikan hormat pada pimpinannya. "Apakah kau bermaksud membela anak buahmu yang telah membuat kesalahan?" semakin tak sabar Pranaraja bertanya, saat ini disertai gerakan kaki mengukuhkan kudakuda. "Mereka membuat kesalahan? Kesalahan apa?" "Mereka telah menghina kami, prajurit-prajurit Singasari." "Hmm...., apa benar begitu? Biarlah aku akan tanyakan pada yang bersangkutan." Dewi Sambi tetap menunjukkan wajah asam, berpaling pada anak buahnya tanpa menggeser dari tempatnya berdiri dengan kedua kaki kukuh terpancang di tanah. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong seketika memberikan hormat dengan sedikit membungkukkan badan mereka. "Apa yang telah kaukatakan pada mereka sehingga mereka merasa terhina, Jaran Bangkai?" "Saya tidak mengatakan apa-apa, Tuanku Putri Sambi. Adi Jaran Lejong yang telah bertengkar dengan orang itu," jawab Jaran Bangkai tegas dan kembali membungkuk hormat. Dewi Sambi memandang Jaran Lejong dengan ekor matanya. "Kau telah berkata apa, Jaran Lejong?" "Saya, saya... hanya berkata bahwa prajurit Singasari berpakaian bagus. Tapi kalau misalnya saya disuruh menjadi prajurit, saya tidak akan mau." "Mengapa tidak mau?" "Soalnya saya tidak berbakat menjadi prajurit. Apalagi prajurit Singasari sekarang ini. Saya tidak tertarik sama sekali. Saya katakan lebih baik saya menjadi seorang pedagang makanan." Selesai menjawab Jaran Lejong kembali memberi hormat. "Naah! Itu berarti kau menghina kami, prajurit-prajurit Singasari," potong Ganggadara menahan amarah. "Tidak! Kurasa dia tidak bisa dikatakan menghina. Kalian saja yang mudah tersinggung, mudah terhina," sahut Dewi Sambi ketus. "Jelas dia sudah menghina kami Dia katakan lebih baik menjadi pedagang makanan, daripada menjadi prajurit Singasari," tukas Jarawaha dengan suara parau "Yaaa! Prajurit Singasari hanya mentereng pakaiannya. Tapi isinya kosong melompong. Buktinya, kalian tidak bisa berbuat banyak menghadapi kami berdua?" ejek Jaran Bangkai sambil memegang gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Kalian hanyalah prajurit pajangan. Gentong nasi yang hanya menghabiskan kekayaan negara. Bwaaahhh!" ejek Jaran Lejong sambil meludah ke tanah. "Kurang ajar. Hiaaaahhhh!" Jarawaha benar-benar tidak dapat menahan diri. Pemuda berotot itu langsung menggebrak Jaran Lejong yang dianggapnya sangat sombong. Jarawaha menerjang sangat kuat ke arah perut dan menghantamkan tangan kanannya pada leher Jaran Bangkai, namun ia terkejut karena yang dipukulnya dapat berkelit begitu rupa. Ia berdiri tegak dan memasang kudakuda sambil mencabut pedangnya. Jaran Bangkai melakukan hal yang sama. Pedang yang sangat tajam itu berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari. Mereka saling menatap tajam dan akhirnya keduanya sama-sama menyabetkan pedang itu. Suara berdenting menambah keriuhan perkelahian itu. "Tunggu! Kau tidak usah terburu nafsu menunjukkan ketajaman mata pedangmu!" bentak Dewi Sambi membuat keduanya menghentikan perkelahian. Bahkan wanita cantik itu melompat dan berdiri di antara keduanya. "Minggir kau perempuan! Jangan berdiri di hadapanku!" hardik Jarawaha dengan menggeretakkan giginya. "Aku tidak ingin melihat kalian menyakiti anak buahku. Kalau masih ada yang nekad, aku akan mengambil tindakan demi keadilan." "Jangan banyak mulut! Minggir atau ujung pedangku ini akan mencoreng moreng wajahmu dengan darah! Hiaaa!" tiba-tiba Ganggadara ikut menyerang dan menggebrak dengan sabetan pedangnya yang sangat tajam. Tapi pemuda itu betul-betul terkejut sebab wanita cantik itu sekalipun dibokong dari belakang dapat berkelit dari serangannya, bahkan kedua tangannya ditarik tepat di depan dadanya dan kedua tangan itu dihempaskan kearahnya dengan jemari terbuka. Dari kedua telapak tangan itu meluncurkan tenaga yang sangat dahsyat dan menghantam tepat di dada Ganggadara. Pemuda berotot itu terhuyung dan roboh ke tanah dengan mendekap dadanya yang terasa sesak. "Ohh! Aji Tapak Wisa?" Pranaraja ikut terkejut melihat kenyataan itu. "Barangsiapa yang masih mau mencoba menyerang kami, akan mendapat ganjaran yang serupa dengan orang ini!" ancam Dewi Sambi dengan memandang rendah pada Ganggadara yang matanya mendelik, hidungnya kembang kempis dan bibirnya meletat-meletot karena menahan dada yang sangat sesak akibat pukulan aji TapakWisa. "Ehh, eehh... napasku... dadaku... rasanya panas sekali," keluh Ganggadara makin mendelik. "Dewi Sambi! Kau sudah berani melukai anak buahku. Tahukah kau apa artinya?" tanya Pranaraja dengan sikap waspada. "Hii...hii... artinya kau mau membelanya bukan? Kau mau turun tangan demi menjaga harga diri seorang prajurit. Nah, silakan!" "Huuuh! Kau memang hebat, karena mempunyai pukulan Tapak Wisa. Tapi bukan berarti aku menjadi gentar!" Pranaraja mencabut pedangnya yang tipis tetapi berpamor tinggi. Pedang itu berkilat-kilat. Telapak tangan kirinya terbuka lalu pedang itu ditumpangkan di sana sambil ditarik perlahan seperti mengasahnya, "Ayo, Dewi Sambi! Kita adu kesaktian! Kalau aku sampai kalah, kau boleh pergi bersama dua orang kawanmu itu dan kami mengaku bersalah. Tapi kalau kau sampai kalah, kalian bertiga harus menyerah dan mau kubawa ke kota Singasari sebagai tawanan!" "Hihihii... boleh! Boleh? Ayo, mulailah! Kerahkanlah seluruh kepandaianmu, supaya tidak mengecewakan anak buahmu yang sekarang melihat tingkah lakumu." Pranaraja tak sabar lagi. Ia langsung menggebrak wanita itu dengan tebasan-tebasan maut. Dewi Sambi melompatlompat lincah sekali bagaikan burung srikatan bermainmain dengan kutu terbang. Setiap kali bergerak disertai dengan pekikan-pekikan berkekuatan tinggi. Suaranya nyaring dan mengerikan. Pranaraja benar-benar penasaran dan sangat gusar dibuatnya. Pranaraja menganggap kelakuan Dewi Sambi benar-benar kurang ajar. Ia tidak mau dibikin malu di depan musuh dan anak buahnya, sambil mempererat genggamannya pada gagang pedang maka ia langsung menyerang dengan kekuatan penuh, "Hiaaaa... hiaaaaahh!" perwira itu melenting ke udara dan menghempaskan pedangnya ke arah leher wanita itu. Tapi sekali lagi tebasannya hanya menyambar angin. Suara pedang itu bersiut kencang sekali, berdengung panjang seperti suara gangsingan. Angin pedang Pranaraja bersuitan membabat kiri kanan. Prajurit-prajurit yang melihat menjadi bangga mempunyai seorang panglima muda seperti Pranaraja. Tapi mereka heran sekali. Sudah lebih dari sepuluh jurus Pranaraja menyerang, lawannya kelihatan belum ada tanda-tanda bisa dikalahkan. Bahkan keadaan menjadi berbalik, manakala wanita berwajah cantik itu mulai membuka serangan dengan jurus-jurus andalannya. Kedua belah tangan Dewi Sambi terjulur ke depan, dan telapak tangannya mengembang. "Hiaaaaaiiihhhh!" Dewi Sambi menghantamkan aji Tapak Wisa tepat ke arah dada Pranaraja yang membabibuta menyerangnya. Namun, wanita cantik itu terkejut karena hantamannya membentur tenaga dalam yang sangat dahsyat. Pukulannya terbendung oleh sesuatu yang melesat cepat menghadang di depannya.Mata Dewi Sambi melotot, napasnya terengah-engah menahan geram. Mulut mungilnya setengah terbuka ketika memperhatikan lelaki tinggi besar berjambang lebat yang berdiri di depannya. Sementara Pranaraja dengan cepat memberikan hormat. "Ohh, Tuanku. Tuanku telah menyelamatkan nyawa saya!" "Kurang ajar! Siapa kau berani menghadang jurusku yang berbahaya ini?" hardik Dewi Sambi sambil menjejakkan kaki kanannya. "Pranaraja! Minggirlah sebentar! Ajaklah Ganggadara ke serambi depan, supaya Paman Hanggareksa melihat luka dalamnya." Pranaraja tanpa komentar langsung melakukan perintah lelaki tinggi besar dan berwibawa itu. Suaranya yang berat dan dalam sempat menggetarkan hati Dewi Sambi yang memuji di dalam hati. "Siapa kau berani turun gelanggang membela prajurit Singasari itu?" tanyanya dengan nada penasaran dan melangkah dua tindak mendekat. "Sabar, Dewi Sambi! Semua nanti bisa kita selesaikan dengan sebaik-baiknya," lelaki tinggi besar itu menoleh pada Pranaraja yang kuwalahan memapah Ganggadara. Lelaki itu mengangkat dagunya yang kukuh. "Cepatlah angkat Ganggadara! Mudah-mudahan luka dalamnya tidak terlalu parah," suaranya yang berat kembali memberi perintah. "Dia akan mampus kalau aku menggunakan pukulan ilmu TapakWisa seluruhnya," tukas Dewi Sambi mencibir. "Kalau begitu ampuh sekali pukulanmu itu, Dewi Sambi." "Kalau kau ingin mencicipinya, aku akan memberimu kesempatan." "Hmmm, boleh juga. Siapa tahu pukulanmu lebih lezat dibanding semangkuk arak yang paling enak." "Kau akan menyesal karena kesombonganmu!" "Aku tidak pernah menyesali apa yang pernah kulakukan!" "Hiaaaaihhh! Heeiit! Hiaaaatttt!" Dewi Sambi tak sabar lagi menghadapi musuh barunya. Ia mundur beberapa tindak dan berusaha melabrak lelaki tinggi besar itu. Satu gebrakan pukulannya dapat dielakkan dengan mudah sehingga serangannya hanya terhempas di udara. Tanpa diminta ia menghentikan serangannya dan memandang serius ke arah lawan barunya sambil menghardik. "Baguuusss! Agaknya kali ini aku mendapat lawan yang seimbang. Awasss! Berhati-hatilah! Sekarang kau tak bakalan bisa lolos dari jurus berantaiku ini! Hiiaaaaihhh! Heeiiit! Hiaaaah? Hiih! Hiih." Dalam gebrakan yang kedua itu Dewi Sambi berputar-putar dengan gerakan-gerakan sangat cepat dan sulit dilihat dengan mata biasa Setiap kali mendapat peluang kedua tangannya dihempaskan ke depan tepat ke arah lawan tangguhnya. Terdengarlah benturan dahsyat yang menggema akibat dua tenaga dalam yang dilontarkan kedua tokoh tangguh itu. Memang benar apa yang dikatakan wanita berparas cantik yang bernama Dewi Sambi itu, laki-laki tegap perkasa yang kini menjadi lawan tandingnya itu ternyata memiliki kepandaian yang mampu mengimbangi permainan jurus-jurus mautnya. Sementara itu, di pihak lelaki perkasa itu tidak kurang herannya. Sekalipun seorang wanita, kemampuan Dewi Sambi tak boleh dianggap enteng. Apalagi pukulan Aji Tapak Wisa yang mengandung racun, kalau sampai dia lengah, bisa roboh menjadi korban pukulan maut itu. Karena itu Ranggalawe terpaksa menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan arus pukulan yang terasa semakin panas dan berbahaya. "Heeeeiiiittt! Hiaaaaaahh!" kembali lagi wanita cantik itu melancarkan serangannya dengan jurus-jurus mautnya. Lelaki tegap perkasa itu memagari dirinya dengan tenaga dalam dan mengimbangi serangan dengan jurus-jurus andalannya. Ketika keduanya semakin sengit bertarung tiba-tiba mendekatlah seorang cebol dengan bertepuk tangan menyaksikan pertarungan itu. Di punggungnya tergantung tongkat panjang berkepala ular sendok. "Hebat! Hebat! Sungguh suatu tontonan yang menarik sekali!" Dewi Sambi menghentikan serangan. Ia melompat ke sisi lelaki cebol bertongkat di punggungya itu. "Orang ini mempunyai tingkat kemampuan cukup tinggi, Kakang. Dia mampu menahan pukulan Aji Tapak Wisaku," bisik Dewi Sambi setelah melompat mundur dan menghentikan serangannya. Wanita itu berdiri di samping laki-laki cebol dengan napas memburu. Lelaki cebol itu membenarkan bisikannya. Ia melihat prajurit yang dihadapi Dewi Sambi memang prajurit pinilih. Ia menilai lelaki tinggi besar berjambang lebat itu sebagai pimpinan rombongan. Si Cebol itu melangkah, tersenyum dingin dan menatap Ranggalawe, "Tuan! Bukankah Tuan adalah pimpinan rombongan prajurit Singasari ini?" "Ya. Akulah pemimpin mereka. Aku akan membuktikan, bahwa prajurit Singasari tidak seperti yang dikatakan dua orang anak buahmu itu. Tidak semua prajurit Singasari adalah gentong nasi dan tidak becus bekerja." "Hehehee... tentu saja tidak semuanya. Mereka ini kan hanya bercanda saja, Tuan. Tuan tidak perlu merasa tersinggung." "Bukan begitu caranya bercanda. Kata-katanya sudah tidak bisa digolongkan bercanda." "Baiklah, aku minta maaf atas kelancangan mereka!" ujar laki-laki cebol itu merendah dengan suaranya yang cempreng. "Tentu saja aku akan memberinya maaf. Tapi bukan berarti mereka bisa pergi begitu saja," tukas lelaki perkasa itu. "Maksud Tuan?" "Kedua orang anak buahmu itu akan kuikat dan kuseret dengan kuda sepanjang perjalananku menuju desa Kurawan. Kemudian mereka akan kubawa ke kota Singasari untuk kuserahkan pada petugas keadilan." "Ahh, kejam sekali. Kurasa hukuman dan perlakuan seperti itu tidak mencerminkan keadilan." "Kalau kau membela mereka, kau akan mendapat hukuman yang serupa." "Hmmmm, bagaimana kalau kita buat semacam taruhan? Mari kita berlaga di atas gelanggang ini. Kalau aku kalah, Tuan boleh membawa dua orangku itu. Tuan boleh berbuat apa saja atas diri mereka. Tapi kalau Tuan ternyata dapat kukalah-kan, Tuan harus membebaskan mereka, dan menganggap mereka tidak bersalah, sekaligus menganggap persoalan ini selesai sampai di sini." "Tantanganmu kuterima. Tapi aku menghendaki taruhan yang lebih besar." "Taruhan apa itu?" "Kalau kau kalah, kau dan kawan-kawanmu itu harus mati di tanganku!" Mendengar tantangan yang berat itu, lelaki cebol dan Dewi Sambi saling pandang sejenak dengan dahi beranyam kerutan. Dewi Sambi melangkah dua tindak mendekati lakilaki cebol itu seraya berbisik. "Kakang Bajil! Orang ini menantangmu perang tanding sampai mati!" "Akan kulayani." Setelah berunding dengan Dewi Sambi, lelaki cebol yang dipanggil Bajil itu tersenyum dingin pada Ranggalawe, "Baiklah! Lalu apa yang Tuan pertaruhkan?" "Kalau kau dapat mengalahkan aku, maka aku akan meletakkan jabatanku sebagai panglima perang kerajaan Singasari, sebelum kuserahkan nyawaku padamu!" Suasana terasa sangat panas. Merah padam muka lelaki cebol itu. Ia serahkan tongkat dari punggungnya pada perempuan cantik di sisinya. Dewi Sambi pun bergidik menerima tongkat berkepala ular sendok dari Bajil. Bulu romanya terasa tegak berdiri. Demikian pula wajah lelaki tegap itu seperti terbakar. Ia menghela napas sangat dalam hingga dadanya yang bidang semakin mengembang besar menunjukkan keperkasaannya. Prajurit-prajurit Singasari, mereka semua yang berkerumun di halaman rumah penginapan itu, tak seorang pun berani mengeluarkan katakata. Semua menahan napas melihat kedua orang pendekar pilih tanding yang sekarang sudah siap mengadu nyawa. Karena begitu tegangnya sampai mereka tidak melihat kehadiran seorang penunggang kuda. Penunggang kuda yang baru datang itu tinggi, gagah, bertubuh tegap perkasa. Orang itu tidak segera turun dari punggung kudanya. Dia melihat peristiwa di halaman dengan penuh perhatian. Matanya menatap tajam, sementara tangan kanannya terletak di atas gagang pedang yang besar, yang terselip di pinggangnya. "Apakah Tuan sudah siap?" suara cebol itu lantang sekali. "Majulah! Kau akan kutangkap bersama orangorangmu!" "Heheheheee... heheheeee...? Hiaaaaaiihhhh! Wuuuussshhh! Haaaaaiiiihhhh" sambil tertawa-tawa latah si cebol itu menyerang lawannya yang tiga kali lebih tinggi dari tubuhnya. Karena serangan-serangannya selalu ditelan udara kosong, mau tak mau ia melompat mundur dengan tawa terkekeh-kekeh dan mengangguk-angguk kagum. "Babo! Baboo! Tenagamu seperti tenaga dua ekor banteng jantan ditumpuk menjadi satu. Nah, terimalah seranganku yang kedua ini. Hiaaaaiihhh! Huuuuu... hiaaaaahhhhh!" si cebol itu semakin gencar menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Tetapi ia tidak bisa meremehkan lawannya yang juga memiliki kepandaian tinggi. Laki-laki tegap perkasa itu merasa tidak repot melayaninya. Kembali si cebol melompat mundur dengan mengangguk-angguk mengakui lawan tandingnya. "Hhhhh! Pantas kau diangkat menjadi panglima perang Singasari. Tidak percuma kau memperoleh jabatan itu. Tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini. Sambi! Lemparkan tongkatku!" "Terimalah, Kakang!" Dewi Sambi melemparkan tongkat panjang berkepala ular sendok, dan tangan pendek itu begitu gesit menangkapnya. Ia tersenyum penuh rasa bangga. Tangan kanannya mengelus tongkat berkepala ular itu dari ujung sampai pangkal. Tawanya terkekeh cempreng sambil memandang lawannya. Si cebol matanya mendelik bagai terbalik hingga yang tampak warna putihnya saja. Si cebol murka, sambil mendengus keras ia melompat ke belakang sejauh lima batang tombak. Tongkat panjang dengan gagang besi kuningan itu sudah mulai berputar makin lama makin kencang. Rupanya si cebol ingin melanjutkan dua jurus permainannya yang terdahulu, kini ia memainkan tongkat panjang dengan luar biasa. Ia unjukkan kemahiran yang luar biasa bagaimana tongkat panjang di tangannya bekerja. "Hiaaaaihhh... heeeaaahhhh!" tanpa menunggu lawannya si cebol langsung menyerang dengan dahsyat. Tongkat panjangnya berputar kencang sekali bagaikan kitiran. Kibasan-kibasannya sangat berbahaya. Ia terus merangsek lawan tandingnya tanpa ampun. Tongkat panjang yang berputar-putar itu semakin dahsyat sekali. Menyambar kiri kanan, suaranya membuat kecut hati mereka yang berada di pihak lawannya. Tapi lawan tandingnya kelihatan cukup tangguh untuk mengimbangi jurus-jurus maut pendekar dari Gunung Tengger itu. Debu mengepul di halaman rumah penginapan itu, dan suasana pagi yang cerah mendadak diwarnai udara pembunuhan. Mpu Hanggareksa dan Pranaraja yang menyaksikan pertarungan dari serambi rumah penginapan kelihatan cemas. "Luar biasa permainan tongkatnya. Hati saya menjadi was-was juga, Tuan Pranaraja." "Jangan cemas, Tuan Hanggareksa. Gusti Ranggalawe bukanlah seorang pendekar sembarangan. Di istana Singasari beliau tergolong pendekar kelas satu. Barangkali hanya Gusti Lembu Sora yang pantas disejajarkan dengan beliau." Hati Mpu Hanggareksa agak tenang mendengar penjelasan Pranaraja, sekalipun masih belum bisa melihat kenyataan pertarungan keduanya. Baru pertama ia lihat ada seorang bertubuh cebol, yang tampaknya bisa diangkat dan dilemparkan ke sana kemari dengan mudah, tapi nyatanya pendekar seperti Ranggalawe bisa dibuat kerepotan. Mpu Hanggareksa dan Pranaraja hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dengan menahan napas penuh harap cemas. Lebih-lebih si cebol terus menyerang junjungannya dengan gencar. "Haaaaiiiiit! Hiaaatttt! Hiaaaahhhh!" si cebol melenting ke udara undur dari kancah perkelahian. Ia berdiri tepat di sisi Dewi Sambi yang sejak tadi hanya menonton dengan mata melotot. "Bagaimana, Kakang Bajil?" "Panglima perang Singasari ini memang benar-benar tangguh!" "Tapi Kakang masih belum dikalahkan bukan? Kakang masih sanggup melawan?" "Heheheeee...? Napasku masih panjang. Tenagaku masih mampu untuk bertempur dua hari dua malam. Jangan khawatir, Sambi. Kalaupun aku tidak bisa mengalahkan orang ini, dia pun juga tidak bisa mengalahkan aku." Si cebol itu melangkah dua tindak mendekati lawannya. "Bagaimana, Tuan? Apakah masih akan kita teruskan tontonan mengasyikkan ini?" "Huuuh, Bajil! Aku bukan sedang membuat tontonan di halaman rumah penginapan ini. Aku akan menangkapmu dan orang-orangmu itu." "Heheheh! Rupanya Tuan mempunyai pendirian kokoh seperti sebongkah batu karang. Baiklah! Kalau memang demikian, aku terpaksa menggunakan jurus andalanku. Sebab kalau hanya dengan cara seperti ini, aku kira kita bisa bertempur sampai besok lusa, dan tak akan ada yang keluar sebagai pemenangnya." Bajil tersenyum pada perempuan cantik itu dan mengulurkan tongkatnya, "Peganglah tongkatku ini, Sambi!" si cebol mengulurkan tongkat berkepala ular sendok itu dengan tangan kirinya. Dewi Sambi menyambar tongkat Mpu Bajil kemudian melompat mundur. Sementara Mpu Bajil berdiri tegak sambil meletakkan telapak tangannya di atas dada. Itulah pertanda pendekar Gunung Tengger telah bersiap mengeluarkan jurus pamungkas, yang bernama Aji Segara Geni. Si cebol bibirnya mengatup rapat dengan mata sebentar terpejam dan terbuka kembali dengan mendelik. Si cebol itu sambil tetap menyilangkan tangan di depan dada, mulai menyedot napas perlahan-lahan. Mendadak tubuh orang cebol itu bergetar hebat sekali. Rambutnya seperti ikut bergetar. Panglima Singasari itu tahu bahwa musuhnya kali ini benar-benar unjuk gigi, ingin mengadu kekuatan yang paling dalam dengan adu kesaktian. Maka dia pun segera membuat persiapan. Kedua tangannya membuat suatu gerakan melingkar tiga kali, dan akhirnya bersidekap, sementara kedua matanya terus memancar dengan tajam ke arah lawannya. "Heeeeiiiitt...! Hiaaahhhh! Ajjjii Segarrraa Gennnniiii!" Bersamaan dengan kedua tangan si cebol yang dihempaskan ke depan tepat ke arah dada lawannya terdengarlah ledakan dahsyat karena Aji Segara Geni membentur ajian Zirah Waja yang dikeluarkan Ranggalawe untuk membentengi serangan itu. Dua tenaga dalam yang bertabrakan itu menimbulkan asap tebal hingga membuat para penonton cemas sekali menunggu apa yang akan terjadi pada kedua pendekar tangguh itu. "Ooooohhhh...?" desah mereka berbareng dengan mata melotot. Sebagian ingin melihat dengan jelas. Ada yang mengucek-ucek matanya dengan punggung tangan, ada yang mendongakkan kepala. "Gusti! Gusti tidak apa-apa?" Pranaraja menyeruak ke depan dan menghampiri junjungannya. Namun, junjungannya menghela dengan tangan kirinya tanpa berkedip memandang si cebol. "Minggirlah, Pranaraja!" Pranaraja dengan cepat melompat minggir dari sisi Ranggalawe. "Heeeeh, Bajil! Kalau kau benar-benar mau mengadu kesaktian dengan Ranggalawe, Ayoooo..., kerahkan seluruh ilmu yang kau miliki! Tapi kau pasti akan binasa di tanganku." Selesai mengucapkan kata-katanya, Ranggalawe segera-menghunus kerisnya yang sudah terkenal ampuh, yang bernama Megalamat. Terdengar suara berdencing mengerikan. Lebih-lebih pamor senjata pusaka itu lambat laun menjalar pada pemiliknya. Setelah menghunus keris Megalamat, mendadak penampilan Ranggalawe berubah. Wajahnya berapi-api dan seluruh tubuhnya seperti bergetar dengan hebatnya. Sementara keris Megalamat tampak mengeluarkan cahaya kemerah-merahan, yang membuat Mpu Bajil sedikit geragapan. Pada saat itulah orang yang duduk di atas punggung kuda melompat ke tengah gelanggang. Ia berdiri membelakangi panglima perang Singasari, lalu perlahan memutar dan terseyum sangat dingin.Melangkah perlahan menghampiri Ranggalawe!

BIODATA PENULIS Buanergis Muryono Buanergis Muryono (Mas Yono), lahir di Jepara 11 Oktober 1966. Lulus dari Fakultas Sastra Jurusan Sejarah disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat di Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 1991. Ia sangat aktif berteater dari kecil sampai sekarang. Kariernya dimulai sebagai penulis cerita Sanggar Shakuntala, Surakarta (1989-1992), Sanggar Cerita Prathivi Grup, Jakarta (1992-1998), Studio Icons, Bandung (1996-1999). Saat ini ia bekerja sebagai penulis cerita lepas antara lain di Studio Red Rocket, Bandung (1999-sekarang), Studio Duta Animasi Nusantara, Jakarta (1999-sekarang), Studio Wissta Animation & Emperor P.T. UCP, Jakarta (2000-sekarang), dan mengasuh Sanggar Akting Mariska, Jakarta. Karya-karya sandiwara radionya antara lain Misteri Villa Baiduri, Ketiban Pulung (bahasa Jawa), Refangga, Dasa Ratna, Wahyu Astabrata, Kembar Mayang, Kembang Wiswayana, Sauh Kala Bendu, dan masih banyak lagi. Ia juga banyak terlibat dalam penulisan karya animasi dan serial TV, antara lain Timun Mas, Joko Tingkir, 13 Real World Story Dongeng untuk Aku dan Kau, Petualangan Kyko, Ande-Ande Lumut, Nyai Lara Kidul, Lima Pohon Sorga, Ajisaka, Kodok Ngorek, dan Puteri dalam Lukisan. Aktif menulis buku-buku panduan yang telah diterbitkan di beberapa penerbit antara lain: Teater untuk Anak (1997), Menjadi Artis Dubber Professional (1997), Menjadi Artis Ngetop (2000), Menjadi Artis Model, (2000) dan Seni Produksi Animasi (2000). Cerita, Screenplay, dan design produksi animasi Mas Yono dalam Dewi Mayangsari produksi Emperor Home Video, WISSTA FILM, dan DOT menjadi Pemenang Festival Film Animasi 2001 kategori VCD. Dua karyanya menjadi Nominator Festival Film Animasi 2001 kategori TV seri, yaitu Klilip dan Putri Bulan (script) produksi Red Rocket Animation dan Son of Earth (cerita dan screenplay). Bersama penyair Cyber, ia berantologi dalam Graffiti Gratitute, 2001, menerbitkan dua album Puisi Nurani yang Tercerabut dan Suara Sahabatku (1997). Cerita Film dan Video Si Pahit Lidah (1999) dan Surat dari Ibunda (1996) mendapat penghargaan dari Deppen RI. Di samping itu, ia juga sangat aktif membuat lakon/cerita panggung.

S. TIDJAB S. Tidjab lahir di Solo, ia telah aktif bergumul di dunia kesenian sejak remaja. Salah satu pendiri Teater Kecil ini memiliki pengalaman yang cukup matang sebagai penulis. Karya tulisannya untuk sinetron TVRI antara lain: Pasien Terakhir, Sang Guru, Sopir Opelet, Pohon Anggur. Menjadi Karyawan Sanggar Prathivi tahun 1983-1990, sebagai penulis dan sutradara, ia mengasuh program ABC Drama, Kesejahteraan Tani dan Desa versi Jawa dan Indonesia. Menulis dan menyutradarai video dokumenter Penyu Laut dalam Bahaya; dan Becak untuk Sanggar Prathivi. Selain itu, ia juga mengolah naskah serial sandiwara radio dari novel Nagasasra Sabuk Inten, Pelangi di Langit Singasari, Sepasang Ular Naga di Satu Sarang (SH. Mintardja); dan Pangeran Jaya Kusuma (Herman Praktikto). Karya tulisannya dalam sandiwara radio adalah serial Tutur Tinular (720 seri), Mahkota Mayangkara (720 seri), Kaca Benggala (720 seri), Kidung Keramat (720 seri). Menulis skenario Film Tutur Tinular I, Mahkota Mayangkara 52 episode untuk TPI, Mahkota Majapahit, 26 episode untuk RCTI.

Film Layar Lebar

Sukses sandiwara radio Tutur Tinular membuat para sineas mengangkat kisah ini ke dalam film layar lebar. Tercatat ada empat film Tutur Tinular dengan judul sebagai berikut:

Seri pertama ini diproduksi oleh PT. Kanta Indah Film, dengan disutradarai Nurhadi Irawan dan dibintangi Benny G. Raharja sebagai Arya kamandanu, Baron Hermanto sebagai Arya Dwipangga, Yoseph Hungan sebagai Mpu Ranubhaya, Elly Ermawatie sebagai Mei Shin, dan Lamting sebagai Lo Shi Shan.[1]

Kisah diawali dengan kehidupan Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga yang memperebutkan gadis kembang desa bernama Nari Ratih. Berlanjut kemudian dengan kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan dari bangsa Mongolia yang menginginkan Prabu Kertanagara menyatakan tunduk. Dalam perjalanan kembali ke negerinya, utusan tersebut menangkap dan membawa serta Mpu Ranubhaya, guru Kamandanu.

Di negeri Cina, Ranubhaya menciptakan Pedang Nagapuspa yang kemudian diserahkan kepada pasangan suami istri Lo Shi Shan dan Mei Shin. Kedua pendekar ini lantas terdampar di Pulau Jawa di mana mereka menjadi buronan para pendekar berwatak jahat yang mengincar Pedang Nagapuspa. Akhirnya Lo Shi Shan terbunuh, sedangkan Mei Shin ditolong oleh Arya Kamandanu.

Sukses dengan Tutur Tinular 1, PT. Kanta Indah film kembali memproduksi Tutur Tinular 2 dengan Judul Pedang Naga Puspa Kresna. Seri kedua ini disutradarai oleh Abdul Kadir dan Prawoto S. Rahardjo, dengan dibintangi oleh Hans Wanaghi sebagai Arya Kamandanu, sedangkan Mei Shin diperankan oleh Linda Yanoman.

Film dengan durasi 84 menit ini menceritakan kelanjutan dari seri pertama. Setelah kematian suaminya, Mei Shin ditampung oleh Kamandanu. Kecantikan perempuan Cina ini membuat Arya Dwipangga tergoda, meskipun ia sudah mempunyai istri. Terjadilah pemerkosaan dengan memanfaatkan obat bius, di mana Mei Shin sampai mengandung. Meskipun sakit hati karena ulah kakaknya, Kamandanu tetap berjiwa besar mau menikahi Mei Shin. Kemudian Mei Shin memberikan Pedang Nagapuspa kepada Kamandanu.

Dwipangga yang sakit hati melaporkan ke Kediri bahwa pedang Naga puspa berada di tangan Kamandanu. Akibatnya, pihak Kediri pun menyerang rumah ayahnya. Dalam serangan itu Mpu Hanggareksa, ayah Dwipangga dan Kamandanu, terbunuh.[2]

Tutur Tinular 3 di produksi PT. Elang Perkasa Film, dengan sutradara Prawoto S. Rahardjo yang dibintangi Sandy Nayoan sebagai Arya Kamandanu, dan Baron Hermanto sebagai Arya Dwipangga.

Seri ketiga ini mengisahkan kekacauan di wilayah Kerajaan Majapahit akibat ulah Arya Dwipangga yang muncul kembali sebagai Penddekar Syair Berdarah. Di lain pihak juga muncul Mpu Tong Bajil yang menculik beberapa anak kesatria demi menyempurnakan ilmu silatnya. Salah satu yang ia culik adalah Panji Ketawang, anak Dwipangga yang diasuh Kamandanu.

Terjadilah pertarungan segitiga antara Kamandanu, Dwipangga, dan Bajil. Kamandanu yang terluka parah ditolong istrinya, yaitu Sakawuni dan dibawa ke tempat Mpu Lunggah. Berkat pertolongan Mpu Lunggah dan putrinya yang bernama Luh Jinggan, Kamandanu dapat pulih kembali dan mengalahkan Mpu Bajil. [3]

Seri keempat yang disutradarai Jopijaya Burnama ini mengisahkan intrik yang ditimbulkan Ramapati (diperankan Remy Sylado) untuk menyingkirkan Arya Kamandanu (kembali diperankan Benny G. Rahardja) dari Kerajaan Majapahit. Selain itu, Ramapati juga berusaha membunuh Sanggrama Wijaya raja Majapahit, dan menggantinya dengan putra mahkota, Jayanagara, agar bisa menjadi raja boneka bagi dirinya.

Ulah Ramapati tersebut mendapat bantuan seorang wanita bernama Dewanggi (diperankan Fitria Anwar, serta dengan memperalat Dewi Sambi (istri Mpu Bajil) sebagai penebar racun. Rencana jahat meracuni raja tersebut dapat digagalkan Kamandanu yang membawa tabib bernama Nyai Paricara, yang tidak lain adalah Mei Shin.[4]

Serial Televisi

Sukses dalam sandiwara radio dan film layar lebar, Tutur Tinular kemudian diangkat ke layar perak oleh PT. Genta Buana Pitaloka pada tahun 1997. Serial ini disutradarai oleh Muchlis Raya dan skenario ditulis oleh Imam Tantowi. Stasiun televisi yang pertama kali menayangkannya adalah ANTV.

Sukses di ANTV, sinetron serial Tutur Tinular kemudian dilanjutkan ke bagian dua yang ditayangkan di Indosiar. Adapun bagian pertama berkisah tentang kehidupan awal Arya Kamandanu sampai peresmian Sanggrama Wijaya sebagai raja Kerajaan Majapahit. Sementara bagian kedua berkisah tentang pemberontakan Ranggalawe sampai pemberontakan Ra Kuti. Dengan demikian, serial sinetron Tutur Tinular merupakan visualisasi gabungan dua sandiwara radio, yaitu Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara.

Setelah sukses ditayangkan di dua stasiun televisi yaitu ANTV dan INDOSIAR, Gentabuana Pitaloka mengubah format serial tersebut menjadi FTV (film televisi) dengan total keseluruhan berjumlah 27 episode, yaitu:

 
Para pemeran serial Tutur Tinular: Anto Wijaya, Murti Sari Dewi, Li Yun Juan, Lamting, dengan latar belakang Tembok Besar Cina.
  1. Kidung Cinta Arya Kamandanu
  2. Wasiat Mpu Gandring
  3. Pelangi di Langit Singasari
  4. Pedang Naga Puspa
  5. Pertarungan di Candi Sorabhana
  6. Kembang Gunung Bromo
  7. Balada Cinta Mei Shin
  8. Satria Majapahit
  9. Bunga Tunjung Biru
  10. Ayu Wandira
  11. Prahara di Gunung Arjuno
  12. Senjakala di Kediri
  13. Mahkota Majapahit
  14. Tragedi di Majapahit
  15. Jurus NagapPuspa
  16. Misteri Keris Penyebar Maut
  17. Pengorbanan Mei Shin
  18. Pendekar Syair Berdarah
  19. Dendam Arya Dwipangga
  20. Korban Birahi
  21. Prahara Naga Krisna
  22. Karmaphala
  23. Wanita Persembahan
  24. Pangeran Buron
  25. Pemberontakan Nambi
  26. Pemberontakan Ra Semi
  27. Gajahmada


Adapun para artis yang membintangi serial ini antara lain:

Khusus untuk adegan pembuatan Pedang Naga Puspa yang dikisahkan terjadi di istana Kubilai Khan, tidak segan-segan para artis dan kru sinetron ini melakukan pengambilan gambar di Cina seperti di Tembok Besar China dan beberapa tempat lainnya, dengan menggandeng Studio Cho Cho Beijing untuk bekerja sama. Penyutradaraan selama pengambilan gambar di Cina dikerjakan oleh Prof. Mu Tik Yen sutradara kenamaan asal China spesialis sinema kolosal. Adapun para artis Cina yang ikut terlibat dalam pembuatan seri ini adalah:

Tidak hanya itu, Li Yun Juan melanjutkan perannya untuk penggambilan gambar di Indonesia sebagai Mei Shin yang merupakan tokoh utama wanita dalam serial ini.

Dalam sinetron tersebut digunakan teknologi dubbing, yang masih menggunakan suara para artis PT. Prathivi Kartika Film sebagaimana versi sandiwara radio. walaupun ada beberapa tokoh yang tidak di dubbing oleh pengisi suara yang sebenarnya sebagaimana penokohan dalam sandiwara radionya, sinetron ini masih patut untuk di tonton, seperti contohnya tokoh Arya Dwipangga yang dalam sandiwara radio di perankan oleh M. Aboed namun dalam sinetron ini dubbing oleh Petrus Urspon walau akhirnya pada season kedua tokoh Arya Dwipangga akhirnya di dubbing juga oleh tokoh aslinya dalam sandiwara radio yaitu M. Aboed, dalam berbagai judul sandiwara radio M. Aboed adalah spesialis untuk tokoh dengan aksen-aksen suara yang khusus untuk melantunkan syair-syair seperti dalam tokoh Arya Dwipangga ini yang dalam penokohannya adalah seorang sastrawan dan seorang pendekar yang selalu melantunkan syair-syair yang indah dan mengerikan, dengan syairnya Arya Dwipangga mampu menaklukkan banyak wanita namun dengan syairnya juga ia mampu melukai bahkan membunuh para musuh-musuhnya.

Karena sukses besar pada serial televisi sebelumnya, pada tahun 2011, Tutur Tinular kembali diangkat dan dikemas dalam sebuah sinetron dengan warna yang berbeda menjadi sebuah serial laga oleh PT. Genta Buana Paramita, dan ditayangkan oleh Indosiar. Dalam produksinya, Genta Buana Paramita juga banyak melibatkan aktor-aktor pendatang baru. Proses sulih suara yang menjadi ciri khas sinetron laga pun ditiadakan. Berbeda dengan versi lama tahun 1997 yang tayang seminggu sekali, maka versi 2011 ini tayang setiap hari Senin s/d Jumat dengan durasi 90 menit.

Meskipun pada awal penayangannya, serial laga ini sudah masuk rating 10 besar program televisi pilihan di Indonesia. Namun serial ini banyak menuai kritik dan protes dari para pecinta fanatik sandiwara Tutur Tinular. Hal ini dikarenakan alur cerita yang banyak melenceng dari cerita aslinya, dengan selingan lagu dangdut seperti halnya film India, serta bermunculan tokoh-tokoh baru yang tidak ada dalam versi sandiwara radio, seperti, pahlawan bertopeng, juga Pangeran Bentar yang sebenarnya merupakan tokoh dalam cerita Saur Sepuh ciptaan Niki Kosasih, Dan setelah beberapa episode muncul kemudian Little Krhesna yang notabane adalah tokoh dari karya besar Mahabrata. Di samping itu, kostum dan lokasi kerajaan yang digunakan juga tidak mencerminkan setting pada zaman Kerajaan Singhasari - Majapahit, melainkan lebih mirip seperti campuran Melayu, India, dan China.

Lihat Sandiwara Radio Lainnya

Saur Sepuh karya Niki Kosasih

Referensi

  1. ^ Laman Tutur Tinular , diakses pada 16 Februari 2010
  2. ^ Laman Tutur Tinular II, diakses pada 16 Februari 2010
  3. ^ Laman Tutur Tinular III, diakses pada 16 Februari 2010
  4. ^ Laman Tutur Tinular IV, diakses pada 16 Februari 2010

Pranala luar