Teuku Nyak Arif
Teuku Nyak Arif adalah Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau juga merupakan Residen/gubernur Aceh yang pertama periode 1945–1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh.
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Teuku Nyak Arif | |
---|---|
Residen Aceh | |
Masa jabatan 1945–1946 | |
Pengganti Teuku Daud Syah | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Ulèë Lheue, Banda Aceh, Hindia Belanda | 17 Juli 1899
Meninggal | 4 Mei 1946 Takengon, Aceh Tengah, Indonesia | (umur 46)
Almamater | OSVIA, Serang, Banten |
Julukan | Max |
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan Awal
Teuku Nyak Arief dilahirkan di Ulèë Lheue, Kuta Raja (sekarang [[Banda Aceh]]) tepatnya pada tanggal 17 Juli 1899. Ayahnya bernama Teuku Nyak Banta, sedangkan ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk. Kedudukan Ayah Teuku Nyak Arief adalah sebagai Panglima Sagi 26 Mukim (wilayah Aceh Besar). Teuku Nyak Arief merupakan anak yang ke 3 dari 5 bersaudara dua diantaranya laki-laki dan tiga perempuan, adapun saudara kandung Teuku Nyak Arief adalah sebagai berikut
- 1. Cut Nyak Asmah.
- 2. Cut Nyak Mariah.
- 3. Teuku Nyak Arief.
- 4. Cut Nyak Samsiah.
- 5. Teuku Mohd. Yusuf.
Teuku Nyak Arief menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat (Volksschool)
Kuta Raja (Banda Aceh), beliau melanjutkan pendidikannya di sekolah Raja
Kweekschool di Bukit Tinggi dan kemudian pada pamongpraja OSVIA di Serang
Banten. Sekolah ini khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak Raja dan
Bangsawan dari seluruh Indonesia.
Teuku Nyak Arief dikenal sebagai orator walaupun selalu berbicara seperlunya saja. Sangat gemar membaca terutama menyangkut politik dan pemerintahan serta mendalami pengetahuan Agama. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau dalam usia muda Beliau telah giat dalam pergerakan. Beliau diangkat menjadi ketua National Indische Partijcabang Kutaraja pada tahun 1919. Setahun kemudian (1920) Beliau menggantikan Ayahnya sebagai panglima sagi 26 Mukim. Kemudian di tahun 1927 Beliau diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat Volkraat sampai dengan tahun 1931.
Teuku Nyak Arief merupakan salah seorang pendiri dan anggota dari fraksi Nasional di Dewan Rakyat yang diketuai oleh Mohammad Husni Thamrin. Dalam berbagai kesempatan yang diperolehnya ini Beliau banyak memberikan sumbangan dalam bentuk perjuangan politik baik untuk kesejahteraan rakyat maupun kemerdekaan.
Dalam menentang penjajahan Belanda di Aceh salah satu aksi yang pernah dilakukannya adalah memimpin gerakan dibawah tanah (tahun 1932).
Untuk meningkatkan pendidikan di Aceh, beliau bersama Mr. Teuku Muhammad Hasan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini, T. Nyak Arif menjadi sekretaris dengan ketuanya Mr. Teuku Muhammad Hasanf.
Bersama Mr. T.M Hasan, beliau juga ikut mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.
Pada tahun 1939 berdiri Persatuan Ulama Aceh, disingkat PUSA yang diketuai oleh Tengku Daud Beureuh. Pemudapemuda PUSA mengadakan hubungan dengan Jepang di Malaya sejak 1940 sampai 1942. Kemudian Jepang mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di Aceh dengan segala jalan. Teuku Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA dan menganggapnya sebagai suatu kemunduran bagi pergerakan nasional.
Masa Pendudukan Jepang
Diakhir kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Aceh (awal tahun 1942) Beliau menuntut untuk diserahkan kekuasaan/pemerintahan kepada Beliau, tetapi karena tidak dikabulkan oleh Residen Aceh J. Pauw maka Beliau memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Kolonel Gosenson memerintahkan KNIL/Marsose untuk menyerang T. Yak Arif, namun dapat dipukul mundur, walau dua kali berturut-turut kediaman Beliau di Lamnyong (Darussalam) diserang dengan kekerasan. Peristiwa tersebut sekaligus menandai dimulainya penarik diri Belanda dari Aceh Besar.
Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942 di Ujong Batee, Teluk Balohan (Pulau Weh) dan Kuala Bugak Peureulak Aceh Timur, disambut oleh rakyat dengan semangat persaudaraan sesuai dengan semboyan yang tiap malam yang didengungkan melalui pemancar radio Jepang bahwa mereka datang ke Indonesia untuk membebaskan saudaranya-saudaranya dari cengkraman penjajahan Belanda. Memang pada mulanya kehadiran Jepang di Aceh, rakyat beranggapan bahwa juru selamat telah tiba. Namun tidak lama kemudian tindakan-tindakan mulai dilakukannya berupa tekanan terhadap organisasi dan partai-partai politik. Akibatnya organisasi seperti Muhammadiyah, PUSA, Parindra mengalami kemunduran bahkan Taman Siswa dibubarkan oleh Gunseibu, hal ini mengurangi simpati rakyat terhadap Jepang. Kebencian rakyat semakin bertambah setelah Jepang memeras tenaga rakyat untuk kepentingan proyek mereka, seperti membuat jalan raya, Takengon- Blangkeujeren, kubu pertahanan Gunung Setan. Lapangan Udara dan lain-lain. Akibatnya rakyat tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepentingan pribadi, sehingga keadaan ekonomi sosial mereka sangat menyedihkan.
Kemerosotan yang dialami oleh tentara Jepang dalam perang Asia Timur Raya, mendorong pemerintahan pendudukan memperluas Aceh Shu sangai Kai (Dewan penasehat Daerah Aceh) pada tanggal 17 November 1943. Badan ini semacam legislatif dibawah pimpinan Teuku Nyak Arief yang beranggotakan 30 orang, anggotanya terdiri dari berbagai kelompok elit di Aceh. Setahun kemudian keanggotaan Shu Sangi Kai diperluas oleh Shu Tjokan (Residen Aceh) S. Iinoo. Perluasan ini disamping dimaksudkan untuk mempergunakan susunan anggota juga untuk menarik kembali simpatik para elit dan berbagai macam kelompok di Aceh kedalam lembaga tersebut.
Sejalan dengan politik ingin mendekati rakyat dari berbagai golongan, maka pada bulan Juli 1945 para pembesar Jepang menghubungi tokoh-tokoh pemuda yang ada di Kutaraja. Dalam pertemuan itu pihak Jepang kembali menegaskan bahwa Dai Nippon pasti akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu mereka meminta untuk mengkoordinir pemuda-pemuda sehingga lahir suatu angkatan pemuda yang kuat di Aceh.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 yang bertempat di Aceh Bioskop Kutaradja diadakan rapat pemuda yang dihadiri juga oleh unsur masyarakat. Suatu hal yang mengejutkan para pemuda, tidak diketahuinya Jepang telah menyerah kalah ditandai dengan tidak hadirnya Syu Tjokan pada rapat tersebut. Satu-satunya yang hadir dari pihak Jepang adalah Matsyubushi yang mengucapkan pidato singkat tanpa bersemangat. Sedangkan di pihak pemuda telah menyampaikan pidatonya dengan membakar semangat rakyat, tidak saja dari unsur pemuda seperti Ali Hasjmy, Tuanku Hasyim, tetapi telah turut berbicara dengan bersemangat sekali dua orang pimpinan Aceh yaitu Teuku Nyak Arief dan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Rapat pemuda yang diadakan tepat pada hari menyerahnya Jepang kepada sekutu telah memberikan arti yang penting bagi para pemuda terutama yang berada di Kutaradja dan Aceh Besar. Mereka telah mendengar langsung pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh para pemimpin mereka waktu itu. Karenanya tidak mengherankan setelah Indonesia merdeka para pemuda-pemuda tersebut mengorganisir dirinya dalam satu barisan yang diberi nama Ikatan Pemuda Indonesia.
Masa Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah pada sekutu tanpa syarat bersamaan dengan kekalahan Jepang, Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin Indonesia segera mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, mereka mengadakan persiapan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan dipersiapkan dengan matang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tepatnya jam 10.00 pagi diproklamasikan kemerdekaan Indonesia keseluruh pelosok tanah air. Namun berita proklamasi ini terlambat beberapa hari diterima di Aceh.
Berita proklamasi kemudian diterima oleh pemuda Gazali dan Rajalis yang kemudian disampaikan pada Teuku Nyak Arief. Berita selanjutnya diterima melalui telegram dari Bukit Tinggi yang dikirim oleh Adionegoro. Kemudian Teuku Nyak Arief memanggil tokoh-tokoh penting sesudah menerima berita tersebut. Dihadapan pemimpin-pemimpin itu Teuku Nyak Arief menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia. Seiring dengan diterimanya berita proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka dilakukanlah pengibaran Sang Merah Putih pada tanggal 24 Agustus 1945 didepan Kantor Polisi Kepang (Kantor Baperis sekarang) oleh para pegawai bangsa Indonesia.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Teuku Nyak Arief diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (K.N.I) daerah Aceh, untuk memikul biaya perang (perjuangan) yang semakin berat maka Teuku Nyak Arief menjual harta benda pribadinya termasuk segala perhiasan emas milik istrinya, demi kelancaran perjuangan untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Pemerintah Indonesia pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan surat ketetapan No. 1/X dari Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan mengangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh.
Perang Cumbok
Pada bulan Oktober 1945 utusan sekutu tiba di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) yang bernama Mayor Knotienbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu di Aceh dalam rangka melucuti senjata-senjata Jepang dan mengurus para tawanan perang. Residen Teuku Nyak Arief menolak rencana sekutu ini.
Memasuki bulan Desember 1945 Residen Teuku Nyak Arief sering digantikan oleh Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polem Moh. Ali sebagai Wakil Residen. Hal ini diakibatkan karena residen sering mengadakan perjalanan dan peninjauan ke daerahdaerah, terutama di daerah yang kurang aman.
Desember 1945 terjadilah peristiwa perang Cumbok mengakibatkan perpecahan antara golongan bangsawan dan Ulama. Ulama ingin merebut tampuk pemerintahan dari golongan Ulee Balang (bangsawan). Pada saat itu Teuku Nyak Arief merasa sedih ketika mendengar peritiwa tersebut, karena Beliau telah berusaha mempersatukannya sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang, dan berhasil. Namun perpecahan tidak mungkin dielakkan.
Ulama dibawah PUSA dan Pesindo berhasil menguasai Aceh, dan membunuh banyak Ulee Balang, dan mengambil alih harta dan tanah mereka.
Laskar Ulama (Mujahiddin) yang di dipimpin Husin Al Mujahid mempunyai ambisi untuk menggantikan residen Nyak Arif. Maksud itu mendapat dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan Rakyat).
Teuku Nyak Arief di tangkap pada Januari 1946 oleh TPR. Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arief dilakukan pada saat beliau dalam keadaan sakit, yang dilakukan dengan cara baik-baik dan dengan penghormatan, karena mereka itu menyadari bahwa pengaruh Teuku Nyak Arief masih besar. Kepada keluarganya dikatakan bahwa Teuku Nyak Arief akan dibawa untuk istirahat, kebetulan pada waktu itu Beliau masih dalam keadaan sakit. Kemudian beliau dibawa ke Takengon dengan sebuah Seda yang dikawal oleh dua orang Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang berpakaian Hitam dan bertopeng. Setelah satu bulan Teuku Nyak Arief berada di Takengon barulah keluarganya diperbolehkan menyusul untuk mengunjungi Teuku Nyak Arief, yang diizinkan untuk mengunjungi beliau selama di Takengon adalah istri Beliau Cut Nyak Jauhari, anak beliau Teuku Syamsul Bahri dan adik Beliau Teuku Abdul Hamid.
Dalam keadaan sakit Teuku Nyak Arief masih dapat memikirkan tawanan lainnya dan keadaan rakyat Aceh pada umumnya. Sehubungan dengan keadaan sakitnya semakin bertambah, keadaan kesehatannya semakin kritis, dan ajalpun tidak dapat ditolak. Beliau berpulang ke Rahmatullah disamping istri Beliau Cut Nyak Jauhari dan anak Beliau Teuku Syamsul Bahri serta adik beliau Teuku Abdul Hamid, tepatnya pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon. Jenazah Beliau dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) dan dikebumikan di tanah pemakaman keluarga Beliau, yaitu di Lamreung, lebih kurang dua kilometer dari Lamnyong. dan Beliau meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon (Aceh Tengah) dalam status tahanan/tawanan dan dimakamkan pada pekuburan keluarga Beliau di lamreung ± 2 km dari Lamnyong Banda Aceh.
Ia diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1974'[1].