Mukim (Aceh)

Revisi sejak 1 Desember 2011 05.41 oleh Minopueblo (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '==Pengertian Mukim== Mukim di jaman Kesultanan Aceh adalah adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang. Mukim berasal dari...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Pengertian Mukim

Mukim di jaman Kesultanan Aceh adalah adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang.

Mukim berasal dari bahasa Arab, dan diartikan sebagai suatu distrik yang terdapat satu mesjid yang dipakai bersama-sama untuk sembahyang Jumat[1].

Mukim terbentuk dari minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Uleebalang atau seorang Imuem. Beberapa mukim membentuk suatu "Nanggroe" yang dipimpin oleh Uleebalang.

Dalam bekas Kesultanan Aceh, di Aceh Besar sekitarnya, dibentuklah federasi mukim yang disebut Mukim Sagoe atau Mukim Sagi. Federasi ini disebut juga dengan Aceh Lhèè Sagoë.
Mukim Sagoe dipimpin oleh seorang Panglima Sagoe atau Panglima Sagi.
Ketiga Sagoe Mukim itu adalah :

  1. Sagi XXV Mukim, dibentuk dari 25 Mukim.
  2. Sagi XXVI Mukim, dibentuk dari 26 Mukim.
  3. Sagi XXII Mukim, dibentuk dari 22 Mukim.

Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Sagi XXV Mukim di kiri dan berpusat di Lambaro.
Sagi XXVI Mukim dikanan dan berpusat di Ladong.
Sagi XXII Mukim menguasai daerah di bagian selatan dan berpusat di Indrapuri[2].


Sejarah Aceh Lhèè Sagoë

Di masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin memimpin[3], Syeikh Abdur Rauf mengajukan sebuah konsepsi reformasi tata negara Kerajaan Aceh untuk merombak sistim pewarisan jabatan Sultan. Dikarenakan ada kejadian dimana Aceh pernah dipimpin oleh Sultan/Sultanah yang tidak cakap, sehingga menimbulkan konflik-konflik.
Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.

Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh[4].




  1. ^ http://makalahchayya.blogspot.com/2011/06/perpaduan-syariat-dan-adat-aceh.html
  2. ^ "Verandah of violence: the background to the Aceh problem by Anthony Reidh, page 30-31". 
  3. ^ http://acehpedia.org/Sultanah_Nurul_Alam_Naqiyatuddin_Syah_%281675-1678%29
  4. ^ http://daniel-riders.blogspot.com/2011/10/reformis-aceh-lhei-sagoe.html