Barisan Bambu Runcing

Barisan Bambu Runcing merupakan salah satu Lasykar pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Lasykar ini bermula dari gerakan lokal Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Peran Kyai (Ulama) sangat dominan dalam memberikan kekuatan spiritual kepada para pejuang.

Barisan Bambu Runcing
Aktif27 Nopember 1945 - (Pasca Kemerdekaan)
NegaraIndonesia Indonesia
Tipe unitInfanteri
Jumlah personel50.000 - 200.000
MarkasParakan, Temanggung, Jawa
PelindungSutikwo (Bupati Temanggung)
MaskotBambu Runcing
Tokoh
Komandan saat iniK.H. Subchi
Wakil komandanKR Sumomihardho
KolonelK.H. Nawawi, K.H. Muhammad Ali
Tokoh berjasaKH Abdurrahman
Insignia
Tanda pengenalBambu Runcing

Pengurus

  • Pelindung  : Sutikwo, Sastrodiprodjo dan Mangunredjo
  • Penasehat  : KH. Subchi, KH Abu Amar, KR Sumomihardho, KH Abdurrahman, KH Nahrowi dan K. Zaenal Abidin CH
  • Ketua  : KH Nawawi, K.H. Muhammad Ali dan K. UH Sya'ban
  • Sekretaris  : Sukarman Abdurrahman dan Badrudin
  • Bendahara : H. Ridwan, Mad Suwardi dan H. Afandi
  • Pembantu  : Syahid Baidhowi, K. Kasful Anwar, K Sjuti Thohir dan Adham
  • Seksi Perlengkapan : Sumarno, Wirjoari, Dullah Gembel dan Muh Dajat
  • Seksi Keamanan  : Nur Afandi, H. Mukri dan Djumali
  • Seksi Penerangan  : Syahid Baidhowi dan Sajuti Thohir
  • Seksi Organisasi  : Badrudin

Sejarah

Bapak Kyai R. Sumomihardho, yang nama kecilnya Abu Hasan R. Gunardho, mula-mula menyuruh H. Abdurrahman bin Subchi, yang terkenal pula dengan nama H. Baghowi, memanggil pemuda-pemuda desa Parakan Kauman agar mencari bambu "Wulung" untuk dibuat bambu runcing. Setelah didapatkan para hari Selasa Kliwon jam 12.00 WIB bulan Oktober 1945, saat bedug Dhuhur mulai berbunyi. Kemudian dibawa langsung ke rumah KR. Sumo mihardho untuk diberi do’a atau disepuh, agar ada tuahnya yang kemudian dapat dijadikan senjata untuk melawan musuh.

Pada hari Selasa Wage sekitar 40 pemuda-pemuda Parakan Kauman sowan (datang) minta ijazah do'a dan gemblengan. Maka didawuhi seperti tersebut di atas, yakni agar supaya pada hari Selasa Kliwon datang dengan membawa bambu runcing. Maka pada hari Selasa Kliwon yang telah ditentukan pemuda-pemuda tersebut menghadap dengan membawa bambu runcing kerumah kediaman Ki Sumoamihardho, di Kauman Parakan untuk minta disepuhi diberi do' a.

Pada hari Jum'at Kliwon berikutnya berdatangan pula orang-orang untuk meminta berkah dan penyepuhan bambu runcing, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan orang. Bahkan pada hari Selasa Kliwon berikutnya sudah tidak dapat dihitung lagi mereka yang datang, balk siang maupun malam. Selain membawa Bambu Runcing, ada pula yang membawa tombak, lentes, keris, dan senjata-senjata lain untuk mendapatkan, berkah atau disepuh.

Karena banyaknya pejuang yang minta disepuh senjatanya dan ampuh memberikan kekuatan spiritual dan sugesti kepada para pejuang, maka terdapat pembagian kerja di antara para kyai yaitu:

  1. KR. Abdurrahman mengasma'i nasi manis di rumah ke­diamannya. Setelah selesai nasi manis dibawa di gedung BMT untuk diberikan kepada para pendatang.
  2. K. Ali begitu juga mengasma'i Banyu Wani (Air Berani) di rumah kediamannya kemudian air wani tersebut setelah diberi asma' dibawa ke gedung BMT untuk dibagikan.
  3. KH. Subchi datang ke gedung BMT memberikan do'a dan wejangan, terus kemudian memimpin mereka berdo'a bersama hingga sampai masuk ke ruang penyepuhan.
  4. KR. Sumomihardho di gedung BMT memberikan sepuhan bambu runcing dan lain-lain.
  5. K.Ali dan KH. Nawawi menghadap ke KH. Siradj, Payaman Magelang dan ke KH. Dalhar, Watucongol Muntilan guna minta berkah pengestu. KH. Siradj, Magelang memberikan tambahan do' a setelah seperti tersebut, dengan bacaan: (Ilahana ya sayyidana Anta maulana wanshurna alal qaumil Kafirin 3 x). KH. Dalhar Watucongol memberikan do'a: (Allah hafidhun qadimun azaliyyun hayyun Qoyyumun wala yamut 3 x) pagi dan sore.

Beberapa hari setelah terbetuknya BMT, datanglah para pejuang dari Banyumas menyepuh bambu runcing dan memohon do'a para kyai untuk melakukan penyerbuan ke Ambahrawa, melihat semangat para pejuang Banyumas itu maka tergerak para pejuang Parakan yang tergabung dalam Lasykar Hisbullah untuk bergabung dalam penyerbuan ke Ambahrawa.

HadrotuSyeh K.H Hasyim Asyari pada waktu itu juga berkenan akan mengunjungi Parakan. Pengurus BMT dan para Ulama segera mengadakan musyawarah, hasil musyawarah: jangan sampai HadrotuSyeh K.H Hasyim Asyari rawuh (datang) dulu keTemanggung, tetapi kita dulu yang sowan (menghadap) kepada beliau di Tebuireng Jombang. Maka yang menghadap sowan kesana adalah : K.H Subchi, K.H Nawawi, K M. Ali, K. Shahit baydhowi, mereka yang sowan kesana, ternyata didawuhi (disuruh) juga menyepuh “Bambu Runcing”oleh bapak K.H Hasyim Asyari penyepuhan dilakukan dengan tatacara seperti di parakan. Sejak saat itu K.H Subchi dan “Bambu Runcing” Temanggung Mulai Tersohor di Jawa Timur.

Adapun menurut catatan sekitar 10.000 tiap harinya selama sekitar 1 tahun karena yang datang­ ke Parakan para waktu itu Pemuda-Pemuda dalam Pulau Jawa - Madura, dan banyak juga dari Luar Jawa. Pada waktu itu kota Parakan : Pagi, Siang, Malam seperti Pasar Malam, bahkan seperti di Mekah, karena antrinya panjang seperti para Jama'ah Haji di waktu Thowaf. Begitu luar biasanya cerita Bambu Runcing tersebut, sampai di Parakan diberi perlakuan khusus oleh PJKA memberikan kereta luar biasa (KLB) untuk memfasilitasi orang-orang yang datang ke Parakan.

K.H. Saifuddin Zuhri mengisahkan: Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan,………. Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masykur. Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng dibawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……. [1]

Monumen

Masjid Al Barokah di Parakan, Temanggung dijadikan sebagai Masjid Monumen Bambu Runcing.

Lihat pula

Sumber

  1. ^ Syaifuddin Zuhri KH, “Guruku Orang-orang dari Pesantren” Pn Al-Ma’arif Bandung, 1974, Hlm 213