Mukim (Aceh) di zaman Kesultanan Aceh adalah adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang.

Peta Aceh Besar dan Pidie di tahun 1898, dibuat oleh Belanda, tampak daerah Sagi 22,25, dan 26 Mukim

Pengertian Mukim

Mukim berasal dari bahasa Arab, dan diartikan sebagai suatu distrik yang terdapat satu mesjid yang dipakai bersama-sama untuk sembahyang Jumat[1].

Mukim terbentuk dari minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Uleebalang atau seorang Imuem. Beberapa mukim membentuk suatu "Nanggroe" yang dipimpin oleh Uleebalang.

Dalam bekas Kesultanan Aceh, di Aceh Besar sekitarnya, dibentuklah federasi mukim yang disebut Sagoe Mukim atau Sagi Mukim. Federasi ini disebut juga dengan Aceh Lhèè Sagoë.
Mukim Sagoe dipimpin oleh seorang Panglima Sagoe atau Panglima Sagi.

Ketiga Sagoe Mukim itu adalah :

  1. Sagi XXV Mukim, dibentuk dari 25 Mukim.
  2. Sagi XXVI Mukim, dibentuk dari 26 Mukim.
  3. Sagi XXII Mukim, dibentuk dari 22 Mukim.

Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Sagi XXV Mukim di kiri dan berpusat di mesjid Indrapurwa Pancu[2].
Sagi XXVI Mukim dikanan dan berpusat di mesjid Ladong. Sagi XXII Mukim menguasai daerah di bagian selatan dan berpusat di mesjid Indrapuri[3].

Sejarah Aceh Lhèè Sagoë

Di masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin memimpin[4], Syeikh Abdur Rauf mengajukan sebuah konsepsi reformasi tata negara Kerajaan Aceh untuk merombak sistim pewarisan jabatan Sultan. Dikarenakan ada kejadian dimana Aceh pernah dipimpin oleh Sultan/Sultanah yang tidak cakap, sehingga menimbulkan konflik-konflik.
Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.

Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh[5].



Notes