Tenggelamnya KMP Tampomas II

Kecelakaan transportasi umum laut
Revisi sejak 29 Desember 2006 07.52 oleh Aday (bicara | kontrib) (KMP Tampomas II dipindahkan ke Musibah KMP Tampomas II: menyesuaikan dengan isi artikel)

KMP Tampomas II adalah kapal penumpang milik Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia) yang mengalami kebakaran dan tenggelam di sekitar Kepulauan Masalembo di (114°25′60″BT — 5°30′0″LS) Laut Jawa (termasuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Timur). Kapal yang dinakhodai oleh Kapten Rivai ini sedang menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Sulawesi dan karam pada tanggal 27 Januari 1981. Musibah ini menyebabkan matinya ratusan penumpang kapal tersebut.

Awal mula musibah

Kecelakaan ini dimulai ketika pada malam hari 25 Januari 1981 beberapa bagian mesin mengalami kebocoran bahan bakar, dan terkena percikan api yang diduga berasal puntung rokok sehingga terjadi kebakaran di dek kapal. Awak kapal menyuruh penumpang tetap tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Awak kapal berusaha memadamkan api dengan tabung pemadam kebakaran, namun tidak berhasil karena api terus menjalar ke dek lain yang berisi muatan yang mudah terbakar. Api semakin menjalar ke kompartemen mesin karena pintu dek terbuka. Selama dua jam tenaga utama mati, generator darurat pun gagal dan usaha memadamkan api seterusnya sudah tidak mungkin. Pada 27 Januari kondisi kapal sudah semakin gawat dan mulai tenggelam di siang harinya.

Jumlah korban

Seluruh penumpang yang terdaftar berjumlah 1054 orang, ditambah dengan 82 awak kapal. Namun diperkirakan keseluruhan penumpang berjumlah 1442 orang, termasuk sejumlah penumpang gelap. Tim penyelamat memperkirakan 431 orang tewas (143 mayat ditemukan dan 288 orang hilang bersama kapal), sementara 753 orang berhasil diselamatkan. Sumber lain menyebutkan angka korban yang jauh lebih besar, hingga 666 orang tewas.

Hasil penyelidikan

Penyelidikan yang dipimpin oleh Jaksa Bob Rusli Efendi Nasution sebagai kepala Tim Perkara tidak memberikan hasil yang berarti, sebab semua kesalahan ditudingkan kepada para awak kapal. Ada kesan bahwa kasus ini dengan sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah saat itu, meskipun banyak suara dari parlemen yang menuntut pengusutan yang lebih serius.


Pranala luar