Khofifah Indar Parawansa
Dra. Khofifah Indar Parawansa (lahir 19 Mei 1965) adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional. Ia meraih gelar sarjana pada tahun 1990 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya.
Khofifah Indar Parawansa | |
---|---|
Berkas:Khofifah Indar Parawansa.jpg | |
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia 5 | |
Masa jabatan 26 Oktober 1999 – 9 Agustus 2001 | |
Presiden | Abdurahman Wahid |
Informasi pribadi | |
Lahir | Indonesia | 19 Mei 1965
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Ir. H. Indar Parawansa |
Anak | Fatimahsang Mannagalli Parawansa Jalaluddin Mannagalli Parawansa Yusuf Mannagalli Parawansa Ali Mannagalli Parawansa |
Almamater | Universitas Airlangga |
Sunting kotak info • L • B |
Identitas Pribadi
- Nama : Hj. Khofifah Indar Parawansa
- Tempat, tgl lahir : Surabaya, 19 Mei 1965
- Agama : Islam
- Jabatan : Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU 2006 – 2011
- Alamat rumah : Jln. Pengadegan Timur raya Gg C nomer 11 Pancoran Jakarta Selatan. Telp : (021) 79186600.
Pendidikan
- SD Taquma (1972-1978)
- SMP Khodijah – Surabaya (1978-1981)
- SMA Khodijah – Surabaya (1981-1984)
- Strata I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya (1984-1991)
- Strata I Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya (1984-1989)
- Strata II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta (1993-1997)
Karier
- Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997)
- Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997)
- Anggota Komisi II DPR RI (1997-1998)
- Wakil Ketua DPR RI (1999)
- Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999)
- Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001)
- Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001)
- Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006)
- Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006)
- Anggota Komisi VII DPR RI (2006)
Pengalaman organisasi
- Ketua Divisi Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Surabaya (1987-1992)
- Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Surabaya (1987-1988)
- Ketua Cabang Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama Surabaya (1987-1989)
- Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (1990)
- Ketua Biro Lingkungan Hidup Komite Nasional Pemuda Indonesia Jawa Timur (1992-)
- Wakil Sekretaris Gerakan Muda Persatuan (1990-1995)
- Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (1995-1997)
- Kepala Bidang Ekonomi Koperasi Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama (1995-2000)
- Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2000)
- Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2001)
- Ketua Gerakan Masyarakat Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia
- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (2000-2006)
- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (2006-sekarang)
- Wakil Ketua Dewan Koperasi Indonesia (2010)
- Wakil Ketua Nasional Demokrat (2010-sekarang)
Forum Internasional
- Studi banding pada penyiapan rati fi kasi “Conventi on Against Illicit Trafi c Psychotropic and Narcoti c Drug” di Austria dan Belanda, yang diselenggarakan Internati onal Narcoti c Control Board, Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Wina, Austria, 1996.
- Studi banding Antar-Parlemen di Mongolia, 1994
- Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Conventi on on The Elliminati on of All Forms of Discriminati on Against Women” di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 28 Febuari 2000.
- Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Twenty First Country”: Beijing +5) Sidang Khusus ke-23 Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa, di New York, Amerika Serikat, 5-9 Juni 2000.
- Ketua Delegasi Republik Indonesia pada pertemuan The Exchanges and Cooperati on in the Field of Family Planing Between China and Indonesia, 9-11 April 2001.
- Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri Asia-Pasifi k di Beijing, China, pada 14-16 Mei 2001.
- Menjadi narasumber pada Conference G ender Equity and Development in Indonesia yang diselenggarakan The Australian Nasional University, di Canberra, Australia, pada 21-22 September 2001.
- Menjadi narasumber pada Conference On Women In Islam As Role Model di Berlin, Jerman, pada 24-26 Mei 2004.
- Menjadi peserta World Council of Churches di Brazil, 15-21 Februari 2006.
- Menjadi narasumber utama pada Commission on the Advancement of Women, Commission on the Status of Women, di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa,
- New York, Amerika Serikat, 1-2 Maret 2006.
- Menjadi narasumber pada Internati onal Conference on Parliaments, Crisis Preventi on and Recovery, hosted by UNDP and the Covernment of Representati ves of
- Belgium, 19-21 April 2006.
- Menjadi narasumber pada Internati onal Conference of Islamic Scholars di Jakarta, Indonesia, Mei 2006.
- Menjadi narasumber di Muktamar ke-5 Pertumbuhan- Pertumbuhan Perempuan Islam Dunia Islam Kontemporari di Shah Alam, Selanggor, Darul Ehsan, Malaysia,
- pada 13-15 Agustus 2006.
Profil
Meretas Jalur Pendakian Hingga Terjun Ke Politik
JEMURWONOSARI, Jemurngawinan, dan Wonokromo. Di tiga kampung di Surabaya itulah Khofifah Indar Parawansa menghabiskan masa kecil hingga remajanya. Meskipun kini telah menjadi tokoh, nasional ia masih sangat ingat pada masa lalunya yang penuh suka dan duka. “Saya dulu sekolah di SD di Jemur Ngawinan, kemudian SMP dan SMA di Khodijah Wonokromo, kemduian kuliah di Unair,” cerita Khofifah. Masa kecilnya sebenrnya tak ada yang istimewa. Sama dengan anak-anak lain. Hanya saja, Khofifah cilik itu ternyata perempuan pemberani. Bahkan, keberaniannya mengalahkan laki-laki seusainya saat itu. Kofifah kecil punya kebiasaan yang sebenarnya hanya bisa dilakukan laki-laki. Setiap pulang sekolah dia bersama teman-teman laki-laki terjun ke sungai di Jemur untuk mencari kerang air tawar. “Waktu itu sungai yang ada di Surabaya masih bagus, sehingga banyak kerang. Sekarang kerang seperti itu harganya sangat mahal,” kenang Khofifah. Menariknya, kedua orang tuanya, Almarhum H Achmad Ra’i dan Hj Rochmah tak melarang Khofifah pergi bermain-main di sungai. Namun, kedua orang tuanya tetap memberikan batasan. Saat sore menjelang magrib, ia harus sudah berada di rumah untuk mengaji. Khofifah sejak kecil memang dididik dengan disipilin oleh kedua orang tuanya, terutama dalam bidang ilmu agama. Iklim tempat tinggalnya yang memegang teguh ajaran Islam ala NU memang sangat mendukung untuk menjalankan ibadah. Bahkan, ketika berada di bangku kelas empat sekolah dasar, Khofifah sudah aktif berkumpul dengan para ibu-ibu Muslimat untuk membaca salawat dan tahlil. Lebih dari itu, meskipun masih saga muda, ia telah dipercaya sebagai bendahara kelompok pengajian. Diakuinya, saat berkumpul dengan ibu-ibu itula, ia mulai tahu cara mengatur keuangan. “Saya diajarin oleh ibu saya untuk mengelola keuangan, bagaimana agar uang itu bisa dibelikan alat-alat pendukung pengajian seperti piring dan tikar,” kenang Khofifah terhadap masa lalunya itu. Diceritakannya, pada 1970-an ia telah gemar mengikuti berita melalui layar televise. Padahal di lingkungan tempatnya tinggal saat itu masih sangat jarang warga yang punya televisi. Dan, satu-satunya warga yang punya televisi hanyalah dosen IAIN Sunan Ampel. Setiap malam ia ada bosannya menonton Dunia dalam Berita di TVRI pada pukul 21.00 WIB. adalah Tuti Aditama pembaca berita yang menjadi favoritnya saat itu. Karena terlalu sering melihat berita, Khofifah pun sempat ingin menjadi pembawa acara seperti Tuti Aditama.
“Waktu itu yang ada di pikiran saya, Tuti itu hebat, bisa tahu begitu banyak peristiwa-peristiwa di dunia,” kata Khofifah.
Lalu tahukah Anda, bahwa pada masa kuliah, Khofifah gemar ugal-ugalan? Kegemaran itu diakui Khofifah. Bahkan ia dikenal oleh tetangannya suka mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Loh kenapa? “Soalnya, saya ingin menjadi pembalap,” kata Khofifah lalu tertawa kecil. Niat Khofifah ingin menjadi pembalap bukan main-main, sehingga suatu ketika ia mendatangi seorang pembalap mobil. Lalu, dia melihat-lihat aktivitas pembalap serta kendaraannya. Namun setelah tahu kehidupan para pembalap, Khofifah justru mengurungkan niatnya. Ia tahu bahwa kalau mobil balapan itu dibuang begitu saja sehabis dipakai. “Kalau saya jadi pembalap, pakai uangnya siapa?” katanya. Keberanian yang tinggi itu terbawa pada kehudupannya hingga saat ini. Ia dikenal sebagai perempuan tangguh. Sering bicara ceplas ceplos apa adanya. Khofifah tak takut terhadap resiko yang akan dihadapinya atas pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya. Namun Khofifah tak asal bicara. Ia sangat menguasai masalah. Maklum, sejak masih duduk di bangku sekolah, ia telah dikenal gemar berdiskusi dan berorganisasi. Kegemaran itulah yang akhirnya membawanya menjadi tokoh seperti sekarang ini. Saat masih duduk di kelas 1 SMA, Khofifah sudah terbiasa mengikuti diskusi dan seminar. Dari forum-forum ilmiyah itulah, Khofifah tumbuh menjadi pribadi yang matang. Bahkan, dari kegemaran berdiskusi itulah keinginan terjun ke dunia politik mulai tertanam sejak muda. Usai tamat SMA, ia melanjutkan studinya dengan mengambil Jurusan Ilmu Politik di Universitas Air-langga (Unair), perguruan tinggi yang cukup terkenal yang terletak di Surabaya. Duduk di bangku kuliah, jiwa aktivis Khofifah terus tumbuh berkembang. Ia kemudian bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Program Studi (Himaprodi) dan ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pecinta Alam di kampusnya, serta aktif di dunia dakwah kampus. Tak cukup di situ, ia juga banyak berkecimpung di organisasi ekstra kampus. Satu hal yang luar biasa diperoleh Khofifah, yaitu saat terpilih sebagai ketua PMII perempuan pertama di cabang Surabaya. Padahal, saat itu sangat jarang sekali ada ketua cabang organisasi ekstra yang perempuan Khofifah terbukti mampu memimpin organisasi yang mayoritas dihuni laki-laki itu. Saat aktif di PMII itulah, Khofifah rajin menghadiri diskusi kebangsaan yang diisi oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Waktu itu saya gak tahu Gus Dur itu siapa. Yang jelas, saya nilai dia pintar,” katanya. Karir berorganisasi Khofifah muda semakin terang, setelah ia juga terpilih sebagai Ketua PW IPPNU Jatim. Bahkan, benar-benar bisa menjadi aktifis sejati. Selain berkecimpung di PMII dan IPPNU, ia juga terlibat aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Saat masih duduk di bangku kuliah, ia belajar sekaligus di tiga tempat. Pada pagi hari, ia belajar di FISIP Unair. Siang sampai sore hari ia kursus di Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA). Dan, malam harinya, ia kuliah di jurusan dakwah di STID Surabaya. Dasar Ilmu dakwah yang ia miliki itulah yang kemundian mengantarkannya menjadi juru dakwah dan orator hebat. Didukung poisisnya sebagai Ketua Umum Muslimat NU, ia tampil dari panggung ke panggung di kota besar hingga daerah-daerah terpencil. Bahkan, kini ia diminta oleh salah satu stasiun TV swasta sebagai juri Pemilihan Dai Cilik (Pildacil). Pada tahun 1991, ia ditawari formulir pencalonan anggota legislatif untuk tingkat II, I, dan pusat. Meski awalnya sempat menolak formulir itu, di luar dugaan, dirinya malah masuk nomer jadi. Hingga akhirnya terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 1992-1998. Ketua PPP Jatim Sulaiman Fadli, kala itu dinilai sangat berjasa mengangkat karir politiknya ke tingkat nasional, dan istri Sulaiman menjadi guru kepribadian Khofifah. Khofifah mengakui, bahwa walau sudah menjadi anggota DPR Pusat, dirinya kurang pandai ‘berdandan’. “Saya diberi tahu, kalau sudah jadi anggota dewan pakai sandal yang haknya minimal lima senti. Warna baju minimal dua macam,” kata Khofifah. Kenapa harus haknya tinggi? “Agar jalannya bisa pelan dan diatur. Toh, saya tetap saja jalan cepat karena kebiasaan mendaki gunung itu,” katanya sambil tertawa.
Pidato Monumental Anti Orba
Nama Khofifah mulai populer di panggung nasional setelah membacakan pidato sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dalam SU MPR 1998. Pidato Khofifah itu sangat monumental karena merupakan pidato kritis pertama terhadap Orde Baru di ajang resmi selevel Sidang Umum MPR. Khofifah berbicara kritis. Dia mengkritik Pemilu 1997 yang penuh kecurangan. Perempuan cerdas itu melontarkan ide-ide demokratisasi. Dia juga berbicara lantang seperti para mahasiswa yang marak demonstrasi di jalan. Mungkin Khofifah masih terbawa oleh suasana sebagai mahasiswa. Maklum, saat itu umurnya masih muda, 33 tahun. Pidato Khofifah memang sangat monumental. Para anggota MPR yang didominasi Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), Fraksi ABRI, dan Fraksi Utusan Golongan terperanjat dengan pidato yang menohok jantung Orde Baru itu. Yang paling terkejut adalah Fraksi ABRI. Maklum, yang dibacakan Khofifah sangat berbeda dengan naskah yang diterima oleh Cilangkap (Mabes ABRI) dari FPP. Di era Orba semua pidato di depan institusi resmi atau di depan publik terlebih dahulu diserahkan ke Cilangkap. Mengapa naskah pidato yang dibacakan Khofifah berbeda dengan yang diserahkan ke Cilangkap? Ternyata ada ceritanya. Setelah ditunjuk menjadi juru bicara FPP, perempuan kelahiran Surabaya itu menerima naskah pidato resmi. Salinan pidato itu juga diserahkan ke Cilangkap. Khofifah mempunyai kebiasaan selalu membaca berulang-ulang sebelum tampil di muka umum. Bahkan, di rumahnya pun dia membuat simulasi. Isi pidatonya memang memuji-muji pemerintah Soeharto. "Bahkan, pembantu saya berkomentar, kok hanya memuji," cerita Khofifah. Sebelum dibacakan di depan MPR, naskah itu juga dibaca secara resmi dalam forum internal anggota FPP. Di depan koleganya itu, suara Khofifah tak keluar. Sejumlah anggota FPP langsung mengusulkan agar Khofifah diganti. Namun, beberapa tokoh senior FPP saat itu, seperti Yusuf Syakir dan Hamzah Haz, tetap mempertahankan Khofifah. Lantas, Khofifah diajak bertemu dengan Ismael Hasan Metareum (ketua umum PPP) waktu itu. Khofifah ditanya apa yang menyebabkan suaranya tak keluar. "Isi naskah tak sesuai dengan hati nurani saya," jawab Khofifah. Dia tidak sreg dengan pidato yang memuji Orba itu. Lantas, para pemimpin PPP memutuskan merombak naskah pidato tersebut biar suara Khofifah keluar. Urusan merombaknya pun diserahkan kepada yang membaca. "Saya langsung merombaknya. Saya tulis sesuai dengan hati nurani. Sekitar 90 persen isi naskah yang saya ganti," cerita Khofifah. Saat naik ke podium SU MPR, Khofifah begitu percaya diri. Dia berbicara dengan lantang. Mengkritisi gaya pemerintah yang mengekang demokratisasi. Mengungkit pemilu yang berada dalam kekangan pemerintah. Para penonton TV di rumah yang saat itu sudah dijangkiti sikap apatis terhadap Orba pun bertepuk tangan. TV diperbolehkan siaran langsung karena salinan pidato Khofifah sudah diserahkan ke Cilangkap. Tapi, kenyataannya, pidato yang dibacakan perempuan lulusan Unair itu berbeda dengan yang berada di tangan para jenderal. Turun dari panggung pidato, Khofifah disambut senyum kecut oleh para petinggi F-KP dan F-ABRI yang duduk di depan. Bahkan, sejumlah jenderal langsung menegurnya karena mengungkit-ungkit pemilu yang telah berlalu. Khofifah pulang ke Hotel Sahid, tempat markas FPP. Namun, suami tercintanya, Indar Parawansa, meminta Khofifah beristirahat di rumah. Dia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Pidato Khofifah itu menjadi catatan sejarah. Itu pidato formal di forum formal yang secara terbuka mengkritik rezim Soeharto yang tengah berkuasa. Pidato yang mengangkat Khofifah menjadi politikus yang disegani di tanah air.
Bergabung dengan PKB
Perubahan peta politik pasca lengsernya orde baru membuat Khofifah keluar dari PPP. Merasa kiprahnya di dunia politik dihantarkan oleh NU, Khofifah hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU pada awal era reformasi. Selanjutnya, Pada 1998-2000 ia kembali duduk di DPR sebagai wakil PKB. Sinar karirnya terlihat semakin terang saat ditunjuk sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan di era presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Bagi Khofifah partai adalah kendaraan. Sementara NU adalah rumah bagi dirinya. Karena itu, meski aktif di partai, Khofifah tetap mendedikasikan hidupnya untuk NU, organisasi yang selama ini berperan besar membesarkan namanya. Meski kini ia tak lagi menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan, Khofifah tetap getol bicara isu perempuan. Kegiatan yang digelutinya pun tetap seabrek. Kegiatan kunjungan ke daerah-daerah sangat padat. Kondisi itu membuatnya kerap tinggal jauh dari suami serta empat orang anaknya. Untunglah suami, Indar Parawansa memberikan ruang bagi Khofifah untuk berekspresi. Bila sedang tidak bertugas, sang suami yang berprofesi sebagai PNS biasanya ikut mendampingi Khofifah bila ia berkunjung ke luar kota. Saking sibuknya, ia pernah diprotes oleh anak pertamanya yang waktu itu masih TK. Saat itu, kegiatan PKB yang baru berdiri sangat banyak, sampai-sampai ia tak bisa pulang hingga 20 hari lamanya. Protes yang dilayangkan anaknya pun tergolong unik, yaitu dengan menulis di tembok dengan tulisan besar-besar. ”Ibu, bubarkan saja partainya. Ibu nggak pernah pulang!” ungkap Khofifah soal protes anaknya itu. Khofifah paham perasaan anaknya. Dengan lembut, ia mencoba memberikan pengertian pada si sulung. Akhirnya anaknya mengerti. Untuk memberi pengertian pada anak-anaknya, Khofifah punya cara tersendiri. Kadang ia mengajak anaknya melihat aktivitasnya di luar rumah, hingga mereka pun akhirnya paham betul dengan kesibukan ibunya di luar rumah. Hingga kini, Khofifah masih dipercaya menjadi Ketua Umum Muslimat NU. sudah dua periode ia memimpin organisasi perempuan terbesar di Indonesia tersebut. Meski tiap hari disibukkan dengan aktivitas politik, Khofifah tetap pandai mengatur waktu. Sehingga organisasi yang dipimpinya mengalami banyak kemajuan. Kongres Muslimat NU tahun 2006 di Batam menjadi ujian berat baginya. Ia harus bersaing ketat dengan Lily Wahid, adik kandung Gus Dur untuk menduduki jabatan Ketua Umum Muslimat. Namun karena prestasinya, ia terpilih sebagai Ketua Umum untuk yang kedua kalinya. Saat itu, ia memperoleh lebih dari 70 persen suara Pimpinan Wilayah (PW) dan Pimpinan Cabang (PC). Sejak masih kuliah, ia mengaku telah tertarik dengan isu-isu perempuan. Karena itu, kesempatan menjadi Ketua Umum Muslimat dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk memperjuangkan nasib perempuan. Soal kiprahnya di politik, ia memilih berjuang dengan masuk ke dalam sistem, karena banyak sekali kebijakan umum yang diputuskan di DPR. Tidak hanya sekadar legislasi tetapi juga berkaitan dengan budget. Khofifah memberikan peratian lebih terhadap kasus kematian ibu melahirkan yang masih sangat tinggi di Indonesia. Kematian ibu melahirkan di Indonesia mencapai 307/100 ribu per kelahiran hidup. Jumlah tersebut bisa berkurang, jika ada peningkatan anggaran untuk kesehatan. “Kalau misalnya ada teman di DPR/DPRD yang memahami persoalan ini dan ingin ada kebijakan secara spesifik untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, dia punya peluang dan ruang relatif luas daripada mereka yang ada di luar,” ujarnya.
Sang Pecinta Alam
“...Aku itu orang kampung dan kehidupanku sangat dekat sekali dengan alam, karena itu aku banyak belajar dari alam ... alam itu begitu banyak memberikan nilai hidup pada diriku, sekaligus memberikan kehidupan itu sendiri...”.
Semasa kuliah di Unair, Khofifah aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (Impala). Patut diketahui, selama aktif sebagai aktivis pecinta alam, ia sudah menaklukkan hampir semua gunung di Jatim, termasuk Gunung Klotok, Kelud, dan Semeru. Khofifah mengaku mempunyai pengalaman yang tidak dapat terlupakan ketika mendaki, terutama gunung semeru. Ia mengatakan, jika bergabung dengan rombongan mendaki gunung, ia selalu berjalan terdepan, dan seringkali meninggalkan teman-temannya karena derapnya yang cepat. Saat berusaha ‘potong kompas’ di Gunung Semeru, ia bepergokan dengan ‘makhluk asing’ bersosok tinggi, putih, berambut panjang, tidak mengenakan baju kecuali kemaluannya yang ditutupi sehelai plastik. Tangan kiri makhluk itu menggenggam celurit. “Saya gemetaran, ketakutan — - untunglah teman-teman cepat menyusul!” kenangnya kembali. Selanjutnya, pada pendakian yang sama di Semeru, Khofifah makhluk lain yang membuatnya terhenyak, yaitu seekor harimau bersama anak-anaknya. Khofifah langsung diam di tempat, pelan-dia melangkah mundur menjauhi binatang buas itu. Kemudian ia bermalam di sebuah gubuk kecil yang letaknya di tempat bernama Ranu Gembolo. Saat itu, ia dinasehati oleh teman-teman agar menjelang subuh, jangan buka pintu gubuk, sekalipun terdengar desisan atau auman. “Itu harimau atau ular,” cerita Khofifah. “Benar saja, menjelang subuh saya mendengar suara itu. Mereka mengendus bau manusia! Tapi nggak terjadi apa-apa, mereka menyingkir saat matahari terbit.” katanya. Pengalaman sering bertemu ular atau harimau ketika mendaki gunung justru membuat mentalnya semakin kuat, katanya. Di ranah politik, Khofifah pun tak gentar bertemu banyak ‘ular’ dan ‘harimau’. “Jadi, saya sudah biasa dengan manuver- manuver politik. Wong saya sering ketemu macan,” ujarnya bercanda dengan dialek Jawa Timur yang kental. Karena pengalamannya itu, ia di kampusnya, ia dikenal sebagai sosok pecinta alam suka tantangan. Baginya, seorang pecinta alam akan selalu tertantang untuk dapat menaklukkan gunung-gunung yang menjadi tujuannya. Dalam pendakian tersebut kesulitan medan adalah tantangan tersendiri yang sangat menarik dan mendatangkan kepuasan ketika dilalui. Seorang pendaki tidak akan menghentikan petualangannya selama masih ada puncak-puncak yang belum pernah ditaklukkan. Mencapai puncak gunung dengan segala tantangan membuat pribadi Khofifah tahan banting. Dalam menjalankan tugas apapun, ia selalu tertantang mencapai sukses di puncak. Dalam banyak hal, ia selalu optimis meraih keberhasilan, meskipun banyak orang yang menilai puncak yang dipilihnya tidak realistis, tidak mungkin tercapai. Selain dikenal sebagai pendaki gunung, perempuan cerdas dan berani ini yang ternyata mantan pemain hoki. Ia juga sampai sekarang gemar sepakbola. “Dulu, saya suka nonton Persebaya main. Jadi, saya tahu nama pemain-pemain Perbesaya saat itu,” jelasnya.(dari buku khofifah melawan pembajakan demokrasi)
Keluarga
- Suami : Indar Parawansa
- Tempat, tanggal lahir : Palu, 26 Juli 1960
- Pendidikan : Strata II Universitas Gajah
- Pekerjaan : pegawai negeri sipil
- Alamat di Jakarta : Jalan Pengadegan Timur Raya, Gang C, Nomor 11, Jakarta Selatan
- Anak : Fatima Sang, Jalaluddin Mannagali, Yusuf Mannagali dan Ali Mannagali