Pengguna:Nurul Fadhilah SM/bak pasir
KEMULIAAN SEORANG IBU
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ “Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (Luqman: 14)
Dia Yang Maha Suci berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Seperti dalam ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuatbaiklah kepada kedua orang tua.“ (An-Nisa`:36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ “Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan untuk berbuat baik kepada kerabat[1]. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sesbab didahulukannya ibu adalah karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua dengan menunjukkan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi.
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati … Tahukah engkau saat usiamu di dalam kandungannya telah mencapai 120 hari, yaitu pada saat Allah mengutus malaikat-Nya untuk meniupkan ruh ke dalam jasadmu dan sekaligus menetapkan kebahagiaan serta kesedihanmu ketika berada di dunia dan di akhirat sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alahi wa salam :
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ.
Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ “Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460)
Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?” “Tidak,” jawab lelaki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.” ‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Karena berbakti kepada orangtua–khususnya ibu yang sedang menjadi pembicaraan kita–telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak membutuhkan perayaah Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka.
- Contoh manusia terbaik yang berbakti kepada Ibunya
Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu ‘Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,
إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ
Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari. Orang itu lalu bertanya kepada Ibn Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.” (Adabul Mufrad no. 11; Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam sebuah riwayat diterangkan:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya seseorang mendatanginya lalu berkata: bahwasanya aku meminang wanita, tapi ia enggan menikah denganku. Dan ia dipinang orang lain lalu ia menerimanya. Maka aku cemburu kepadanya lantas aku membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas berkata: apakah ibumu masih hidup? Ia menjawab: tidak. Ibnu Abbas berkata: bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan dekatkanlah dirimu kepadaNya sebisamu. Atho’ bin Yasar berkata: maka aku pergi menanyakan kepada Ibnu Abbas kenapa engkau tanyakan tentang kehidupan ibunya? Maka beliau berkata: ‘Aku tidak mengetahui amalan yang paling mendekatkan diri kepada Allah ta’ala selain berbakti kepada ibu’. (Hadits ini dikeluarkan juga oleh Al Baihaqy di Syu’abul Iman (7313), dan Syaikh Al Albany menshahihkannya, lihat As Shohihah (2799))
Pada hadits di atas dijelaskan bahwasanya berbuat baik kepada ibu adalah ibadah yang sangat agung, bahkan dengan berbakti kepada ibu diharapkan bisa membantu taubat seseorang diterima Allah ta’ala. Seperti dalam riwayat di atas, seseorang yang melakukan dosa sangat besar yaitu membunuh, ketika ia bertanya kepada Ibnu Abbas, apakah ia masih bisa bertaubat, Ibnu Abbas malah balik bertanya apakah ia mempunyai seorang ibu, karena menurut beliau berbakti atau berbuat baik kepada ibu adalah amalan paling dicintai Allah sebagaimana sebagaimana membunuh adalah termasuk dosa yang dibenci Allah.Berbuat baik kepada ibu adalah amal sholeh yang sangat bermanfa’at untuk menghapuskan dosa-dosa. Ini artinya, berbakti kepada ibu merupakan jalan untuk masuk surga.
- Jangan Mendurhakai Ibu
Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عن المغيرة بن شعبة قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم : إن الله حرم عليكم عقوق الأمهات ووأد البنات ومنع وهات . وكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak kewajiban dan menuntut sesuatu yang bukan menjadi haknya. Allah juga membenci jika kalian menyerbarkan kabar burung (desas-desus), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (Hadits shahih, riwayat Bukhari, no. 1407; Muslim, no. 593, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Ibnu Hajar memberi penjelasan sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan ’sikap durhaka’ terhadap ibu, karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan terhadap seorang ibu. Sebab,ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu, hadits ini juga memberi penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu melalui tutur kata yang lembut, atau limpahan cinta kasih yang mendalam.” (Lihat Fathul Baari V : 68)
Sementara, Imam Nawawi menjelaskan, “Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap ibu, karena kemuliaan ibu yang melebihi kemuliaan seorang ayah.” (Lihat Syarah Muslim XII : 11)
- Buatlah Ibu Tertawa
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جئْتُ أبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ، وَتَرَكْتُ أَبَوَيَّ يَبْكِيَانِ، فَقَالَ : ((اِرْخِعْ عَلَيْهِمَا؛ فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا))
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah, dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis.” Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” (Shahih : HR. Abu Dawud (no. 2528), An-Nasa-i (VII/143), Al-Baihaqi (IX/26), dan Al-Hakim (IV/152))
- Jangan Membuat Ibu Marah
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَاالْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَلَدِ.
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Ridha Allah tergantung ridha orang tua dan murka Allah tergantung murka orang tua.“ (Adabul Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan jika sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) Kandungan hadits diatas ialah kewajiban mencari keridhaan kedua orang tua sekaligus terkandung larangan melakukan segala sesuatu yang dapat memancing kemurkaan mereka.
Seandainya ada seorang anak yang durhaka kepada ibunya, kemudian ibunya tersebut mendo’akan kejelekan, maka do’a ibu tersebut akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam hadits yang shahih Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ، لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ.
“Ada tiga do’a yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak diragukan tentang do’a ini: (1) do’a kedua orang tua terhadap anaknya, (2) do’a musafir-orang yang sedang dalam perjalanan-, (3) do’a orang yang dizhalimin.” (Hasan : HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 32, 481/Shahiih Al-Adabil Mufrad (no. 24, 372))
Jika seorang ibu meridhai anaknya, dan do’anya mengiringi setiap langkah anaknya, niscaya rahmat, taufik dan pertolongan Allah akan senantiasa menyertainya. Sebaliknya, jika hati seorang ibu terluka, lalu ia mengadu kepada Allah, mengutuk anaknya. Cepat atau lambat, si anak pasti akan terkena do’a ibunya. Wal iyyadzubillaah..
nah, terkait dengan berbuat baik kepada orang tua, khususnya Ibu, maka Ali bin Abi Thalib r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku berlepas tangan dari seseorang yang tidak memenuhi hak kedua orangtuanya." Saat itu, Ali bertanya, "Rasulullah, bagaimana jika dia tidak memiliki sesuatu?" Rasulullah menjawab, "Ia tetap berkewajiban untuk mendengarkan dan menaati apa yang dikatakan keduanya; berkata lemah lembut kepada keduanya; dan tidak membentak atau mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kejengkelan dan ketidaksabaran."
Ada yang bertanya pada Nabi, "Bagaimana jika kedua orangtuanya telah meninggal dunia?"
Rasulullah SAW menjawab, "Dia bersedekah untuk kedua orangtuanya dengan memberi makan fakir miskin, membaca Al-Qur'an, dan berdoa. Jika dia tidak melakukan itu, maka dia telah mendurhakai kedua orangtuanya. Ingat, orang yang mendurhakai kedua orangtuanya adalah orang yang berbuat maksiat. Seseorang yang salat fardu lalu berdoa untuk kedua orangtuanya pasti doanya juga diterima oleh Allah. Dia pun diampuni berkat doanya itu walaupun kedua orangtuanya itu fasik."