Allang, Leihitu Barat, Maluku Tengah

desa di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku

Allang adalah desa di kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.

Allang
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenMaluku Tengah
KecamatanLeihitu Barat
Kode Kemendagri81.01.22.2003
Luas-
Jumlah penduduk-
Kepadatan-


SEJARAH BERDIRINYA NEGRI ALLANG

Sejarah Perjalanan Sembilan Keluarga Sehingga Terbentuknya Negeri Allang…!!

Sembilan keluarga yang pada akhirnya dikenal dengan nama Pattasiwa Allane berasal dari berbagai tempat di kepulauan Maluku Utara, antara lain: Tidore, Ternate, Bacan, Obi dan Halmahera.

Secara bergelombang keluarga-keluarga datang dan bergabung di pulau Bacan dengan maksud yang sama yaitu ingin berpindah dari tempat asalnya mencari tempat yang lain demi anak cucu dikemudian hari.

Pada mulanya hanya delapan keluarga yang sudah bersepakat masing-masing : Sabandar, Soumahu, Nussy, dan Patty yang datang dari Tidore dan Ternate bertemu dengan keluarga Huwae, Pelasula, Lopumeten dan Pelahule yang juga datang dari Bacan dan Obi, tetapi pada saat-saat persiapan keluarga ini, datang lagi keluarga Siwalette dan minta bergabung. Diantara sembilan keluarga tersebut terdapat 4 (empat) orang Kapitan masing-masing: 1. Kapitan Maheri dari Sabandar 2. Kapitan Hatu Rosu dari Siwalette 3. Kapitan Adam Tapilatu dari Huwae 4. Kapitan Samala dari Nussy

Karena pada saat itu sering terjadi kekacauan di sekitar tempat tinggal keluarga-keluarga para datuk, maka rencana perpindahan sembilan keluarga diatur dengan sangat hati-hati agar tidak diketahui oleh para perampok dan pembajak dalam upaya mempersiapkan alat angkutan dan sarana perlengkapannya yang disebut dengan nama “Masohi” serta tempat pembuatannyapun sangat rahasia.

setelah selesainya pembuatan alat angkutan seperti sopa-sopa dan perbekalan yang diperlukan, sembilan keluarga mulai mengadakan kembali suatu musyawarah yang sangat menentukan perjalanan dan keselamatan keluarga. Dan dalam musyawarah tersebut, para datuk leluhur memutuskan demi keutuhan dan keselamatan perlu ditunjuk seorang pemimpin yang mampu membawa dan bertanggungjawab atas keselamatan perjalanan sembilan keluarga. Dan semua keluarga harus taat dan setia serta tunduk kepada semua ketentuan yang diberikan.

Akhirnya melalui pertemuan dan musyawarah tersebut diputuskan menunjuk Kapitan Maheri dari Marga Sabandar sebagai pemimpin rombongan dibantu dengan Kapitan Hatu Rosu dari Marga Siwalette, yang diberi nama Kapitan Laut dan Kapitan Darat. Dengan terpilihnya Kapitan Maheri sebagai pemimpin rombongan maka tibalah saatnya keluarga para datuk akan melakukan suatu perjalanan panjang dengan berbagai tantangannya.

Kapitan Maheri dalam memikul tanggungjawab memimpin sembilan keluarga dengan berbagai latar belakang kehidupan mereka menyadari semua keluarga sebelum berangkat tinggalkan Maluku Utara terlebih dahulu harus dipersatukan dengan ikatan sumpah yang keluar dari ketulusan hati agar tetap bersatu bilamana terjadi ancaman dan hambatan dari pihak lain maupun dari dalam keluarga sendiri selama dalam perjalanan.

Sumpah itu disebut “K a h o r i” yang mempunyai arti bahwa tidk ada perbedaan dalam derajat hidup sembilan keluarga, semua adalah satu keluarga se-ibu se-bapak, hidup saling mengasihi bersatu sampai titik darah penghabisan, berjuang melawan setiap ancaman dengan semangat pantang mundur, walau terpisah dalam perjalanan tetapi tetap berusaha untuk bersatu kembali. Dengan air sumpahan yangtelah diminum dan ikrar bersama semanagt Kahori, maka rombongan mulai tinggalkan tempat asalnya Maluku Utara menuju ke Selatan.

Tepat di Tahun 1452 rombongan sembilan keluarga dibawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu mulai berangkat dengan tujuan melalui Selat Misol karena menurut dugaan jalan yang ditempuh tersebut akan luput dari serangan bajak laut yang sedang mengganas di sepanjang perairan Maluku Utara. Dengan anugerah dan Kasih Sayang Tuhan Yang Maha Esa perjalanan sembilan keluarga melalui selat Misol disertai angin dan arus yang tenang maka satu demi satu rombongan ini mulai mendarat di pesisir pantai Seram Utara dan singgah disuatu tempat yang kemudian diberi nama oleh rombongan keluarga sembilan “Wapai” (sekarang Wahai).

Ditempat ini, atas perintah pimpinan rombongan untuk tinggal sementara waktu guna mencari makanan bagi keluarga. Justru karena ditempat ini tidak terdapat seorang penduduk didalamnya, hingga kesunyian tempat tersebut membuat keluarga sembilan bertanya-tanya “Wapai” artinya sekarang kita berada dimana. dengan pertanyaan ini, nama dari tempat itu sudah disebut dengan nama “Wahai”. Pertanyaan keluarga tersebut disebabkan sekitar tempat yang mereka diami tidak kelihatan suatu apapun apalagi manusianya, sehingga tanda-tanda hidup seolah-olah tidak ada sama sekali. Itulah sebabnya disebut dengan Wapai. karena tempat ini sunyi dan tidak ada seorang manusiapun maka keluarga sembilan hanya tinggal untuk sementara waktu dan siap melanjutkan perjalanan kembali.

Disaat-saat para datuk leluhur sedang mencari makanan untuk keluarga, turunlah rombongan penduduk asli Seram Timur, dengan tujuan akan menyerang para datuk leluhur kita, namun dengan keberanian dan rasa persaudaraan, para datuk leluhur berhasil mengajak penduduk asli tersebut untuk berdialog menjalin rasa persaudaraan.

Dengan berhasilnya ajakan tersebut, penduduk asli Seram Timur menjelaskan bahwa pulau seram terbagi atas dua bagian yaitu: Seram Timur danSeram Barat. Seram Timur dikuasai oleh Pattalima dan Seram Barat dikuasai oleh Pattasiwa. Setelah keluarga sembilan tinggal untuk beberapa waktu guna mencari makanan bagi keluarganya, terjadi sebuah persoalan antara penduduk asli dengan keluarga sembilan yang menjurus kepada kekerasan, maka oleh pertimbangan datuk leluhur adalah lebih baik meninggalkan tempat tersebut daripada harus terjadi permusuhan yang dapat mengakibatkan korban jiwa. Akhirnya keluarga sembilan dan para datuk leluhur kita menlanjutkan perjalanan dengan menyusur pantai dan tinggal sementara pada beberapa tempat seperti : Tehang buli-buli, Hulung Kasi, dan tiba di suatu tempat yang kemudian diberi nama Taniwa (sekarang disebut Taniwel). Kini perjalan datuk leluhur kita telah memakan waktu 2 (dua) Tahun (1452-1454).

Di Taniwa (Taniwel) para datuk leluhur memang merasa senang dan puas karena tempatnya cukup baik. Namun mengingat tempat inipun masih berada dalam petuanan kekuasaan warga Pattalima yang sering berkeliaran di sekitar tempat tinggal keluarga sembilan, yang sewaktu-waktu dapat mengundang kesalahpahaman, maka diputuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan menyusur pesisir pantai menuju ke arah selatan dan tiba di sebuah tanjung yang disebut Tanjung Kawa. Pimpinan rombongan melihat dihadapan mereka terbentang sebuah pulau kecil, sehingga ia memerintahkan agar haluan menuju pulau tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama pulau “Buano”. Rombongan keluarga sembilan berhenti dan menetap di pulau ini untuk bekerja dan mencari makanan selama beberapa tahun. Perjalanan keluarga sembilan telah memakan waktu 7 (tujuh) tahun (1459).

Atas upaya pimpinan rombongan sembilan keluarga datuk leluhur telah mencapai kepuasan, karena ditempat itu banyak diperoleh makanan dan berkat yang berkemlimpahan. Akan tetapi sering pula timbul keresahan bila musim panas tiba karena sulit mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Maka setelah diadakan musyawarah, pimpinan rombongan memerintahkan sembilan keluarga untuk mencari tempat lain yang dapat memberikan kebahagiaan dan kesenangan bagi kemuarga sembilan. Sebelum keluarga sembilan tinggalkan tempat itu atas persetujuan bersama melalui suatu musyawarah maka tempat itu diberi nama “Hato Allang Buano”, dan nama tersebut masih tetap disebut hingga sekarang.

Selanjutnya rombongan keluarga sembilan melanjutkan perjalanan menyusur pesisir pantai pulau Seram. Keberangkatan keluarga sembilan dibawah pimpinan Kapitan Maheri Sabandar dan Kapitan Hatu Rosu di bantu Kapitan Samala Nussy dan Kapitan Adam Tapilatu Huwae, mereka singgah di suatu tempat di jazirah/petuanan Huamual dan tempat itu diberi nama Hanunu yang adalah bagian dari Pattasiwa Huamual. Ditempat ini atas perintah pimpinan rombongan maka keluarga sembilan berusaha mencaru makanan bagi keluarga untuk perjalanan selanjutnya. Namun disaat-saat keluarga sembilan sedang berusaha mencari makanan dan air minum sebagai persiapan perjalanan selanjutnya, tiba-tiba mereka dihadang oleh sekelompok penduduk asli Seram Barat dari Pattasiwa Huamual atau Alifuru Seram Barat dan mengancam akan diserang, karena mereka tidak ingin orang lain yang bukan penduduk asli masuk dalam daerah petuanan mereka.

Para datuk keluarga sembilan memang menyadari hal ini maka Kapitan Maheri selaku pimpinan rombongan berusaha menengahi persoalan dengan memberi penjelasan dan membeujuk penduduk asli bahwa keluarga sembilan tidak bermaksud tinggal dan berdiam di tempat milik mereka, karena keluarga sembilan sedang dalam perjalanan dan singgah sebentar utnuk mencari makanan dan sesudah itu akan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri pesisir pantai Seram Barat.

Namun semua usaha yang diberikan kepada penduduk asli Seram Barat (Alifuru) tidak digubris bahkan mereka tidak mengenal kompromi dengan setiap orang yang masuk dalam daerah milik Pattasiwa Huamual tanpa ijin harus berhadapan dengan kekuatan pasukan perang Pattasiwa Huamual untuk berperang sampai hidup atau mati.

Berdasarkan jawaban pimpinan Pattasiwa Huamual bahwa tidak ada maaf dan perundingan damai dengan Datuk Leluhur, maka sungguhpun berat bagi para datuk akan tetapi demi keselamatan keluarga sembilan maka Kapitan Maheri selaku pimpinan rombongan menyatakan menerima ancaman Pattasiwa Huamual dan siap berperang hingga tetesan darah terakhir dimanapun. Akhirnya waktu dan tempat ditentukan, dimana Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu dibantu Kapitan Adam Tapilatu Huwae dan Kapitan Samala Nussy dan dengan semangat Sumpah Kahori yang membakar jiwa keberanian para datuk leluhur maka mereka berangkat menuju medan perang yang terletak di suatu tempat bernama Kota Hato, kini benteng pertempuran itu disebut Kota Halu. Pasukan Keluarga Sembilan dibawah pimpinan Kapitan Maheri memberi perintah “Serang”!!! dan terjadilah suatu perang tanding dengan pasukan Pattasiwa Huamual Alifuru yang sangat dahsyat dimana korban demi korban berjatuhan di pihak Pattasiwa Huamual sehingga hanya tersisa beberapa orang dari pasukan Pattasiwa Huamual yang harus berhadapan dengan keganasan pasukan keluarga Siwalima, tiba-tiba teriakan pimpinan pasukan Pattsiwa Huamual yang menyatakan : “Semua pasukan perang meletakkan senjata, Pasukan Pattasiwa Huamual menyerah kalah dan pasukan pendatan dinyatakan menang, dan pimpinan pasukan Pattasiwa Huamual siap menjadikan keluarga sembilan sebagai adik kandung dan menerima Keluarga Sembilan untuk memilih tempat disepanjang pantai Huamual sebagai milik dan tempat tinggal selanjutnya”.

Dengan pernyataan ini Pattasiwa Huamual memberikan suatu tanda jasa mengikat hubungan persaudaraan antara kedua marga besar yang diberikan kepada pimpinan tertinggi keluarga sembilan Kapitan Maheri dengan Julukan “PATTASIWA ALLANE”. Itulah nama yang pertama diberikan kepada Kapitan Maheri selaku tanda terima kasih dan ikatan persaudaraan antara dua keturunan yang berbeda harkat dan martabatnya sebagai wujud cinta kasih antara sesama ALLANE dan HUAMUAL.

Dengan ikatan persaudaraan dua keluarga besar Pattasiwa Allane dan Pattasiwa Huamual, maka rombongan Pattasiwa Allane dilepaskan dalam suatu upacara adat, dimana keluarga sembilan ini akan melanjutkan perjalanan mereka. Akhirnya tibalah keluarga sembilan dan datuk leluhur kita di suatu tempat yang kemudian diberi nama “Assauri”. Sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama “Allang Asaude” yang mempunyai arti “Satu Himpunan atau Satu Kumpulan” kata Assauri terdiri dar dua suku kata yakni : Assa dan Uri. Assa berarti Satu dan Uri berarti Kumpulan atau kesatuan.

Nama Assauri yang diberikan oleh datuk leluhur kita terhadap tempat tersebut selain kemenangan gemilang yang diperoleh dalam peperangan di benteng kotahato, juga sebagai wujud sumpah setia keluarga sembilan dibawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu dengan sumpah “Kahori”. Artinya biar apapun yang terjadi kita adalah satu keluarga yang tidak dapat dipisahkan untuk selama-lamanya. Keluarga-keluarga diperintahkan untuk membuat rumah tempat tinggal dan berusaha mencari dan bekerja demi jaminan hidup keluarga masing-masing.

Dibawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu datuk-datuk mulai bekerja untuk mencari makan bagi keluarga. Mereka hidup dengan tenang dibawah pimpinan yang bijaksana, namun dari waktu ke waktu terjadi lagi keresahan dalam keluarga. Mereka merasa tidak senang sebab tempat yang kini datuk leluhur kita tinggal terlalu dekat dengan benteng pertempuran Kotahato yang mungkin sewaktu-waktu bisa terjadi lagi kerusuhan dengan sisa-sisa pasukan Pattasiwa Huamual yang tidak ikut berperang dalam pertempuran di Benteng Kotahato. Maka diadakan kembali musyawarah lalu diambil pertimbangan dan memutuskan kalau memang demikian baiklah kita lanjutkan kembali perjalanan menuju pesisir Pantai Huamual untuk mencari tempat yang lebih baik demi anak cucu keluarga sembilan.

Akhirnya keluarga sembilan berangkat melalui beberapa tempat seperti Ulatet, Waisala, Tanah Merah sampai ujung Pintu Haya (pintu Tanjung Huamual). Perlu diingat bahwa tatkala rombongan para datuk tiba di Ulatete yang waktu itu belum diberi nama oleh para datuk kita terhadap tempat itu, telah terjadi suatu peristiwa berdarah dengan datuk kita, karena rombongan keluarga sembilan diserang dengan tiba-tiba oleh sisa-sisa keluarga Pattasiwa Huamual yang tidak turut dalam pertempuran di benteng Kotahato dan tidak turut dalam perjanjian melalui suatu sumpah setia yang pernah diikrarkan oleh Pattasiwa Huamual dan Pattasiwa Allane. Akhirnya terjadilah pertempuran kecil yang memakan korban hampir seluruh pasukan Pattasiwa Huamual, dimana mereka dipotong dan dicincang halus-halus, akibatnya tempat itu diberi nama Ulatete yang artinya dincang halus-halus. Nama itu hingga sekarang masih tetap disebut.

Rombongan keluarga sembilan akhirnya melanjutkan perjalanannya mempertahankan sopa-sopa melawan arus dan gelombang yang deras lalu akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang diberi nama “Hato Allana”/Hato Allang. Atas perintah pimpinan tertinggi maka dibangunlah rumah-rumah tempat tinggal dan bekerja untuk mencari makanan. Disini mereka tinggal selama 7 (tujuh) tahun.

Di Hato Allang sebenarnya para datuk leluhur merasa puas dan senang akan tetapi sering terjadi peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga seperti anak-anak dimakan buaya, tenggelam di laut, serta bergabungnya beberapa keluarga baru, seperti Keluarga SOHILAIT dari Luhutubang (Manipa), Keluarga KAYA dari Maulana dan Keluarga MAUWA dari Banda. Atas pertimbangan-pertimbangan itulah maka diputuskan untuk segera melanjutkan perjalanan mencari tempat yang lebih baik lagi.

Perjalanan para datuk leluhur kita telah mencapai 33 tahun lamanya (1452-1485). Bergabungnya tiga keluarga tersebut dengan tujuan yang sama yaitu mencari tempat baru yang lebih layak bagi anak cucu mereka dikemudian hari. Seperti Keluarga Kaya yang datang dari pulau Maulanan dibawah pimpinan Kapitan Iyal Huana Riler Kaya”, sedangkan Keluarga Mauwa datang dari Banda yang mana dalam pelayarannya mereka terdampar di Hato Allang. Keluarga Sohilait semula melarikan diri dan berpindah dari kota Tuban Jwa Timur setelah pecah perang Majapahit, yang mana dalam pelayarannya mereka terdampar di Pulau Manipa dan tinggal disana dan kemudian memberi nama tempat itu Luhutubang hingga sekarang.

Akan tetapi sebelum para datuk leluhur kita meninggalkan tempat yang penuh susu dan air madu itu, mereka menyadari sungguh bahwa apa yang mereka peroleh selama ini sejak perjalanan mereka hingga pertempuran melawan pasukan Pattasiwa Huamual serta tantangan lainnya semata-mata adalah karena kasih Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu sebagai tanda ucapan syukur keluarga datuk leluhur dibuatlah suatu mezbah pengucapan syukur dengan menyusun batu menyerupai sebuah tugu peringatan dari batu-batu tuni atau batu hitam dan diberi nama “Hato Al Lana” yang mengandung arti : Hato…..= Batu, Al……= Allah dan Lana……= lindung/tadah/bungkus. Sehingga arti dan tujuan dari nama tempat tersebut adalah “Batu peringatan akan besarnya Kasih Allah kepada seluruh keluarga sembilanselama dalam perjalanan mereka meninggalkan kampung halamannya dalam menghadapai berbagai tantangan dan rintangan satu demi satu, hanya Allah saja yang mereka percaya bahwa hanya ada satu Allah yang hidup yang dalam tanganNya datuk leluhur terpelihara.” (ini terjadi pada tahun 1485)

Tibalah saatnya saatnya datuk leluhur kita meninggalkan kampung Hato Allang dan bukan lagi sembilan keluarga melainkan dua belas keluarga dan lima Kapitan yakni : Kapitan Maheri Sabandar, Kapitan Hatu Rosu dari Siwalette, Kapitan Samala Nussy, Kapitan Adam Tapilatu dari Huwae, dan Kapitan Iyal Huana Riler Kaya.

Mereka berangkat menyisir pantai Huamual dan setiap tempat yang disingahi selalu diberi nama seperti: Tapinalu, Erang, Telaga, Hatoaluta, dan Sial. Setelah rombongan datuk leluhur tiba di sebuah Tanjung yang diberi nama Tanjung Sial, karena banyak batu-batu bertebing tinggi dan terjal, serta ombak-ombak besar yang memukul tersebut, sehingga terlihatlah oleh pimpinan rombongan sebuah pulau terbentang didepan mereka dalam keadaan yang samar-samar, karena terbungkus oleh awan di pagi hari. Lalu melalui perundingan diputuskan untuk berlayar menuju pulau tersebut, mereka dibawa oleh arus dan angin dan terdampar disebuah pelabuhandan singgahlah rombongan datuk leluhur dengan keluarga satu per satu.

Ditempat tersebut, datuk mengetahui bahwa sudah ada penduduk yang mendiami tempat tersebut dibawah pimpinan seorang Kapitan yang terkenal dan yang berhati mulia. Oleh pimpinan Kapitan Maheri, dan Kapitan Hatu Rosu melaporkan diri dan rombongan kepada Kapitan Hitu yang saat itu dikenal bernama Kapitan Tulukabessy tentang maksud dan tujuan datuk leluhur kita dalam perjalanan mereka. Sesudah melapor dan menjawab semua pertanyaan Kapitan Hitu, maka Kapitan Hitu dengan hati serta tgan terbuka menerima pimpinan rombongan den seluruh keluarganya dan menjalin rasa persaudaraan sebagai adik dan kakak kandung hidup saling berdampingan dan saling mengasihi satu dengan yang lain antara Hitu dan Allang sebagai adik dan kakak. Lalu merekapun berjabatan tangan dengan janji untuk hidup berdampingan satu dengan yang lainnya, dengan memberi kuasa kepada Kapitan Maheri untuk memilih dengan sesuka hati tempat di sepanjang pesisir Hitu hingga tanjung asamjawa Asilulu. Kapitan Hitu memberi kuasa kepada Kapitan Maheri untuk menguasai Hitu bagian Selatan, sedangkan Hitu bagian Utara dikuasai oleh Kapitan Hitu. Kemudian Kapitan Hitu Tulukabessy memberi gelar kepada pimpinan Kapitan Maheri dengan julukan “Raja Timur Pahlawan Allang”

Sesudah prjanjian dan pemberian kuasa dilakukan, maka rombongan datuk leluhur meninggalkan tempat itu berangkat menuju pesisir pantai jasirah Leihitu bagian selatan, dan mereka tiba di suatu tempat bernama “Lai”. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanan menyusur tepi pantai kemudian tiba disebuah pelahuan yang kemudian diberi nama “Tapi”. Ditempat ini rombongan tinggal untuk beberapa waktu guna mencari makanan. Akan tetapi suatu ketika anak perempuan dari Kapitan Darat “Siwalette” kehilangan satu helai kain sarungnya yang diambil oleh orang tak dikenal maka terjadilah keresahan dan kegelisahan bagi keluarga Siwalette, sehingga oleh pimpinan rombongan diputuskan melalui musyawarah untuk meninggalkan tempat tersebut menuju ke arah timur pesisir pantai. Dalam perjalanan rombongan datuk leluhur yang dibawa arus dan angin, tibalah mereka disebuah pelabuhan yang sungguh menarik hati bagi pimpinan rombongan dan keluarganya. Maka diputuskan untuk berhenti dan tinggal untuk seterusnya. Sehingga tempat itu diberi nama “N a m a n a” yang mengandung arti “Berhenti”.

Nama untuk negeri yang diberikan datuk leluhur kita kini disebut dengan nama “Allang Lama” sedangkan Namana hanya disebut dalam acara bahasa tanah/bahasa asli untuk leluhur kita. Perjalanan panjang datuk leluhur kita dan keluarganya, tampaknya akan berakhir sudah, sebab tekad para datuk dengan keluarga untuk tidak pindah lagi sebagai wujud dari nama yang diberikan bagi tempat tersebut, apalagi pekerjaan-pekerjaan seperti cocok tanam dan keadaan sekitar tempat tinggal cukup bagus untuk masa depan. Namun dipihak lain ganjalan yang menimpa keluarga para datuk justru datangnya dari penduduk asli yang dikenal dengan Alifuru berkeliaran dipedalaman sekitar tempat tinggal datuk leluhur. Mereka mendiami tujuh buah kampung sekitar pegunungan terdiri dari marga : MANUHUA,RALAHALU,SIPAHELUT,LOUPULUA,dan LALIHATU dengan Kapitannya Urbanus Lalihatu yang datang dari Negeri Lima bergabung dengan keluarga-keluarga diatas.

Keluarga datuk leluhur merasa terganggu, sehingga mereka ingin pindah tinggal tempat tersebut. Namnun atas kebijakan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu, keluarga datuk dapat diyakinkan dan berjanji akan turunkan keluarga asli untuk bergabung dengan keluarga datuk leluhur. Usaha ini mulanya ditantang oleh penduduk asli hingga hampir-hampir terjadi bentrokan, akan tetapi melihat keberanian dan ketangguhan datuk dibawah semangat sumpah setia, maka penduduk asli kahirnya menyerah dan mau bergabung dan keluarga datuk leluhur dan bersedia dibawa pulang untuk disatukan dengan keluarga datuk leluhur kita. Semua kampung yang ditinggalkan adalah : Hina Muang, Hina Siung, Hina Mutua, Hina Haang, Hina Laeng, dan Hina Latal. Dengan bergabungnya lima keluarga asli penduduk negeri Allang berarti telah bertambah menjadi Tujuh Belas Keluarga di bawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu. Perjalanan keluarga datuk leluhur kita telah mencapai 45 Tahun (1452-1497)

Rasa kesetiakawanan yang sangat mendalam ditunjukan oleh kelaurga-keluarga ini, sehingga membesarkan hati kedua tokoh pimpinan rombongan. Namun disuatu waktu terjadi keresahan karena anak-anak sebagai generasi penerus mengalami musibah seperti tenggelam di sungai, hanyut dan mati karena terbawa banjir, mati karena dimakan buaya serta peristiwa-peristiwa lainnya. Hal ini menyebabkan keluarga meminta kepada pimpinan rombongan agar pindah dari tempat tersebut walau telah disepakati agar tidak lagi pindah. Permintaan tersebut ditantang dan ditolak oleh keluarga penduduk asli dengan alasan bahwa mereka telah bergabung dengan keluarga pendatang dan telah diturunkan dari kampung di pedalaman dan tetap tidak mau untuk pindah. Apabila penduduk pendatang ingin berpindah dari tempat itu, maka terlebih dahulu kami harus dikembalikan ke tempat asal di pedalaman. Persoalan ini semakin meruncing hingga hampir terjadi bentrokan.

Disaat pertengkaran makin memuncak yang menjurus kepada kekerasan, hadirlah keluarga KAYA yang dikenal sebagai Kapita Iyal Huana Riler Kaya sambil menegur katanya: “Bukankah kita semua telah dipersatukan sebagai saudara kandung se ibu se bapak dan hidup dibawah sumpah setia, baiklah persoalan ini kita serahkan kepada pemimpin kita untuk memutuskan karena setiap keputusan pemimpin selalu adil dan bijaksana dan dapat diterima oleh semua pihak”.

Akhirnya musyawarah besar antara keluarga dua belas dengan keluarga penduduk asli dilaksanakan dibawah pimpinan Kapitan Maheri Sabandar dan Kapitan Hatu Rosu dan didampingi oleh Kapitan Adam Tapilatu, Kapitan Samala Nussy, Kapitan Iyal Huana Riler Kaya, dan Kapitan Urbanus Lalihatu. Musyawarah tersebut melahirkan keputusan : “Demi generasi penerus/ demi kepentingan kelanjutan hidup anak cucu keluarga dikemudian hari setelah mempertimbangkan semua pendapat dan saran maka keluarga harus pindah dari tempat tersebut”. Dan perpindahan keluarga dilakukan dengan mengundi atau dengan kata lain tempat itu ditentukan dengan cara melempar sebuah tombak bernyala dengan syarat dimana ujung tombak tertancap ke bumi, diditulah akan dibangun tempat tinggal baru bagi keluarga untuk selamanya. Apapun yang terjadi baik atau buruk susah atau senang akan kita hadapi bersama-sama secara Masohi dibawah sumpah setia “K a h o r i “

Pemimpin rombongan memerintahkan mengambil tiga buah kuming kelapa kering dan diikat menyerupai tombak, kemudian malan hari ujungnya dibakar lalu Kapitan Maheri sendiri yang melemparnya. Saat pelemparan tombak, diperintahkan semua laki-laki mencari tombak tersebut, dan pada pagi harinya salah seorang laki-laki dari keluarga Kapitan Adam Tapilatu Huwae menemukan tombak tersebut dengan ujungnya masih bernyala tertancap di tanah (ditengah-tengah rumah adat Baileo sekarang) dan ujungnya (berada di gereja sekarang). Disinilah tempat itu dijadikan sebagai pusat Negeri Allang, jerih payah datuk leluhur kita yang diwarikan kepada anak cucu sekarang dan yang akan datang.

Penemuan Negeri Allang tercinta yang kemudian disusul dengan peletakan batu pertama serta nama negeri yang diberikan datuk leluhur sebagai wujud rasa syukur atas kebesaran Kasih Allah Yang Maha Kuasa kepada datuk leluhur kita yang sejak memulai perjalanan meninggalkan kampung halamannya di Kepulauan Maluku Utara dengan segala suka dukanya selama 45 tahun (1452 – 1497) kini telah dapat berteduh hati karena perjalanan panjang mengarungi lautan dan daratan telah berakhir dengan selamat.

itulah sebabnya walaupun saat itu datuk leluhur belum mengenal suatu agama tetapi kepercayaan datuk hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, satu-satunya penolong hidup mereka sehingga nama dari negeri waktu itu disebut : “A L L A N A” yang mengandung arti: Allah telah menolong, Allah telah melindungi, Allah telah membungkus. Nama dari negeri ini terdiri dari dua suku kata yaitu Al dan Lana. Al artinya Allah dan Lana artinya Lindungi, Tolong dan bungkus.

kini datuk leluhur memasuki perjuangan baru dengan membangun negeri tercintadengan semangat Masohi sebagai warisan untuk anak cucu yang akan kita ikuti bersama dengan segala suka dukanya.

Negeri Allang hingga saat ini terbuka untuk semua golongan dan kalangan yang ingin datang dan mencari hidup baru yang lebih baik asal tidak mempunyai maksud-maksud jahat, maka usaha dan pekerjaan kita pasti akan diberkati oleh Tuhan. Saat ini ada banyak keluarga yang telah menetap bahkan mungkin hanya tinggal sementara karena menikah /kawin dengan orang Allang di Negeri Allang diantaranya: PATTY, HUWAE, SOHILAIT, SIWALETTE, RALAHALU, HALAWANE, KAIYA, SIPAHELUT, LALIHATU, SABANDAR, MAUWA, LOUPULUA, PELASULA, PELAHULE, LOPUMETEN, SAPAKOLY, PATTYSAPAKOLY, KAIPATTY, MANUHUA, NUSSY, SOUMAHU, HEHANUSSA, de FRETES, LAMBIOMBIR, BATMOMOLIN, RIEUWPASSA, PELAPORY, MARANTIKA, WALANGSENDOU, PATTIPEILOHY, MALAWAU, HAUMAHU, HATTU, WARAHUWENA, HUKOM, LESTALUHU, NOYA, FERDINANDUS, RIRY, TUHUMURY, AKOLLO, SIHASALE, ALKIHARY, SEPTORY, TALAHATU, DELANGHALA, serta beberapa keluarga lainnya.

Sejarah ini dikutip dari dalam naskah asli yang tersimpan dalam arsip Pemerintah Negeri Allang oleh Almarhum Bpk. ZADRACK KAIPATTY, sewaktu almarhum menjabat sebagai Sekretaris Pemerintah Allang Tahun 1915.

Nama-nama Marga dan Artinya Yang ada di Negeri Allang

Berikut ini adalah marga-marga yang mendiami Negeri Allang beserta dengan asal dan Artinya, ada juga nama / gelar yang biasa di panggil bagi marga tersebut …

NO NAMA MARGA ARTI ASAL MARAH PANGKAT/LAKI-LAKI MARAH PANGKAT/PEREMPUAN

1 RALAHALU TABANG POHON BARU ALLANG HALUA ILA OLY

2 MANUHUA AYAM TARBANG ALLANG MANUA SUMBITE

3 SIPAHELUT TIKANG LANGSUNG ERO ALLANG NALA LISA OLY

4 SABANDAR KAPITAN DARAT ALLANG UPU TITA/ITANE ATU

5 SIWALETTE KAPITAN LAUT ALLANG UPU TITA/ITANE BULI/SULI

6 LALIHATU NANTI DI ATAS BATU ALLANG UPANE SIRA

7 HUWAE BUAYA ALLANG UPA (LILITUPA), AMANE (KAINAMA) ACE

8 PATTY ALLANG ATINE OLY

9 KAIPATTY BAWA DARI PATTY ALLANG ATINE OLY

10 SAPAKOLY KOLI-KOLI/KOLE-KOLE MANIPA

11 PATTYSAPAKOLY SAPAKOLY YANG DAPAT MANIPA

                         DATI DARI PATTY 	       

12 PELASULA SERAM LOLESI MAHU/MAU

13 PELAHULE SERAM OLY

14 MAUWA UPU TITA MAHATO/

                     ANA CUCU DARI MAHATO 	ALLANG 	           UPU TITA/ITANE                       TUNI

15 SOHILAIT SOITA LAI SEMARANG,TUBAN OTANE MAHU/MAU

16 SOUMAHU SERAM ILA OLY


17 KAYA BAWA AKANG HARIA AYANE MAHU/MAU


18 HEHANUSA TITAWAI/NUSALAUT UCALE EPU


19 TAKARIA HARIA MAHU/MAU OLY


20 de FRETES KILANG KOUNA TUNI


21 LOPULUA WAKAL LOPALE ASE/ASELE

22 LOPUMETEN SERAM MARA NYAME/SAMETA


23 HALAWANE LEPITE EPU

24 NUSSY SAPARUA TULAHELI WAELE


KAMUS BAHASA NEGRI ALLANG :

Kamus Bahasa Allang A – a Acuh – lelekisma ada – he, mise, ria, raiaya, se adat – adate adik – wale air – weilu air laut – meita air naik – seko air surut – mite air tawar – weilu akal- akale akang punya – ina akibat – ulana alas – naeu alat memarut – lapa, tala ale – wale ale punya – amu Allang – Alane ambil – tana Ambon – Aponu Amerika – Amerika ampun – ampun anak – ana, koho, kohonananu anak panah – orea angin – aninu angin ribut – lihuta angkat – loit angkat bubu – talia anjing – aso antara – antar, antara anyam – kasi, raku apa – unsa apa-apa – saesasiu , lihat : sae api – awo aren – maka aro-aro – a’olita asam – malinu asap – peita asma – kasnawata ascend – hua atap – kaha atas – hahanu, lete atau – pi atur – atur Asturalia – Australia ayam – manua

B – b babi – haho bagaimana – unapa bagi – rama bagian laut – lo bagian – hama, pale bagian bawah – lihu bagian bawah perut – tahunu bagian darat – la bagus – ntola, intola, ntola bahasa – sou baik – iyana baju – lapunu bakal – era bakar – tunu bak – bak baku – masing , lamunu bakul – lahanu, taha balik – hali balum – tau bambu – wanata bambu betung – telhuo bambu duri – tewa-tewa bambu pagar – pagare bambu racun – tui bambu tomar – tomolu baner – lareli bangun – hanu banjir – henelu bantal – karnulu banyak – he’enu bapak – ama, papa barang – lohari, saelohari, sae barat – halata, hale baru – hilo basah – lopo batang – etena, hatana batu – hato baju jangkar – bubu, ilita batuk – puhu bauh – hounu bawa – kae, tepu bawa dalam baju – laha bawa dekat dada – liku bawang – bawang bayar – seli bayem – paenu bagini – unanei bagitu – unama belah – ha’a belajar – ajar belakang – mulinu Belanda – Wolanda Belanda – Belanda belanja – pasnahilu balas – husai beli – sahilu, sali benam – sina bensin – bensin benteng – benteng batuk serang ayam – tipilu berak – lumei berapa – ilai, lapila beras – ala berat – muhila berbuah – puhunua berdiri – kelenu berenang – tuhu bereskan – paseleu berhenti – berhenti, brenti beri – lope berjalan – sanapau berkata – hetenu berlayar – sopalu bersama – palaloi bersih – marhina bersin – hute’e bertelu – patilo bertiup – kihu besar – elake, ilata besok – nalisa beta – ai, au beta punya – aku betul – iyana, manisa biasa – biasa bibir – hihilu-ulunu, lihat bibir, hihilu bican – pate bicara – lepa biking api – palehi bingun – hili batul – sasiri biru – biru bisa – bisa bisu – naonao bisul – ulumutulu boba – inari bodoh – konanahao boleh – bole buah – huanu buah pelir – lasilu bual bual – horale buang – hiru, kisi, lekekesia, nahu buat – puna buat basah – topo buaya – huwae bubu – huho bubu kecil – lapepeta, lihat bubu – lepe bubur – bubure bujangan – kareu buka – hera buka bubu – tila buka pintu – mitalulunu buku – tapunu, utahuri buku – buku bulan – hulanu bulu – wanata bulu betung – telhuo bulu duri – tewa-tewa bulu pagar – pagare bulu racun – tui bulu tomar – tomolu bumi – umi umenu bundar – rololu bunga – pauri, sowori, uturi bungsu – pakamule bunuh – hunu buru-buru – matahae busuk – pota buta – matapute, pute C – c Cabe – eili cabut – hihu cacar – saelati cacing – ulu cacing laut – lakulu cacing tanah – puka cairan – weina cambuk – hoha campak – sarampa, kisi capai – kolau cari – sewa cari tahu – sue caritera – caritra cabur – sahu cece – upo celana – kata celup – lema cemara – lawelu cempeda – ana’a cengkeh – pakalawantu cepat – kakei ceregen – ceregen ceret – silinu cerita – paltenu cermin – cermine cium – boka cium bau – pahuniunu coba – coba cokelat – coklat cubit – tuke cuci – musu cuci muka – pandalu cuci pakaian – patanoi cucu – upo cuka – upio cuup – malumae

D – d Dada – iluta dagu – alalihunu dahi – isinhahanu daki – laeit dalam – halalenu dan – laha dapat – supu dapur – huto darah – lalai dari – hilu, la dari hutan – puka dari mana – lapae, lahapa dari atas – lalete dari barat – lahale dari bawah – lahale dari timur – lali dasar – wakanu dasar laut – salo datang – lae daun – huta, lounu daun gatal – sala daun sagu – leru daun sirih – kandounu dayung – ahata dekat – masu delapan – walu demam – lirinu dengan – laha, lahu, tia dengar – paneneu depan – minanu dermaga- titalu desa – hina desah, hoso di – he, ne, se dimana – hapa dia – mane dia punya – mana diam – ndene dinding rumah – lesta dingin – paliri disini – hanei, nei disitu – hama, haulise dong – mati dong dua – matua dong punya – matir dua – lua dubur – wakarowo duduk – tolanu duku – duku dukun – maule dukung hitam – suanggi dulu – minanu duri – maralu durian – durenu E – e ekor – eluna ela – ela ember – ember empat – ati enak – ntele enam – neni

G – g gaba-gaba – lounu gadis – undua gali – hei gampang – gampang gantung – lole garam – sila garuk – kakinu gata-gata- atanu gatal – rene, kapapileu gelambir – gelambir gelas – glas gelikan – kili-kili gemetar – hehele gempa bumi – wisolu gemuk – rukunu gendong – haha gereja – misa gesik – kueta geyang – kaenu gigi – niria gigit – kie gili – sikilu gili-gili – kili-kili goreng – gorenu gosok – pulu goti – lipita goyang – kalirota gubernur – gobenor gula – nasu guling – loli guna-guna – maolete guna – guna gunter – kukulu gunung – nunua, ulatuanu guru – tungguru, guru H – h habis – posia half – setengah hamil – hamil hampir – masu hangat – pikuta hanya – to harga – hilana hari – pito hari ini – nawenae harus – harus, musti, hati – hutua harus – ause helai – ulu hias – hias hijau- biru hinggap – hua hitam- meteta hiu – wiwo hotel – hotel hujan – ulanu hulu – ulanu hutan – waslalinu hutang – panghitinu

I – i ibadah – misa ibu – ina, mama ikan – ianu ikan bubara – inu walo, ianu ikan jurung – walo ikan lalosi – ianu aenu ikan tola -tola ikat – heke ikat konde – wito ikut – esui indah – moso, ntola ingatan – palalae ini – hinei ipar – roua iris – kukuru isap – rosou isi – isinu, kato islam – moru istetri – kawenu isteri saudara laki-laki dari ibu – yaya istirahat – istirahate itu – hama, hima itu punya – ina iya – iyo, ya

J – j jadi – una, jadi jagung – jagung jahat – jahate jahe – siwa jala – uweta jalan – lalanu jalan-jalan – luwai jambu – jambu jam – oras jamur – pu’unu jangan – ya’a, naka jangkar – tanamata janji – jaji jantung – osona jaring – jarenu jarum – eta jatuh – mulu, kate jauh – luo jawab – suhu jelek – haenu, itanotal, ntola jemur – pakualia jendela – jendela jengger – jengger jerat – houlu jeruk – mause jilat – lamun jinjing – wara jual – paulili jualan – jualari juga – lahue jumat – Ari junjung – ririnu

K- k kacamata – cermine kacang – kacang kadal – upue kakek – a’a kaki – ei kaku – mamule kalau – kalau kalian – imi kalian beruda – irua kalian punya – imir kemaluan laki-laki – ute kamar tidur – lumisinu kambing – pipe kami – ami kami punya – amir karena – tagal karun – lahanu karung – aluta kasbi – kasbi kasih sayang – sayang katong – ami katong punya – ite, iter katong berdua – arua kaya – kaya kayu – likata kayu waru – waru ke – he kemana – hapa keatas – ndete kebarat – nale kebawah – nehe kebenaran – kebenaran kebun – lawa kecil – koki, ananu, koile kedalam – lemata kedarat – hila, nda kejangkitan – bajangke kejut – hitilia keladi – inanu kelapa – nuelu kelaut – hilo, ndo kelelawar – ralunu kelengkapan – kelengkapan kelereng – mutel keliling – kaholi keluar – husa keluarga – famili, keluarga kemaluan perempuan – uwe kemarin – nanila kembali – hali, leli kena – ria kenal – atina kening – wauri kentut – ituta kepala – ulo kepala desa – latu, raja kepangkatan – mara, upu kepentingan – kepentingan keras – makana, rua kering – kalotolu keringat – pasae kerja – peseu kertas – kertase kerusuhan – kerusuhan ke sana – hama, nise ketiak – kekelihunu ke timur – ndi ketupat – katupa kilap – kalala, kaleu, strelia kilat – mitia kira – kira kiri – hakeke kirim – katua kita – ite kita berdua – arua kita punya – iter kolera – kolera konde – ulohuto kopi – kopi koporasi – koporasi kosong – hukena kota – kota kotor – panosote kristen – kristen kuah – meita ulonu, meita kuat – kuate kuburan – huelu kucing – mawo kuku – talikilu kukuruku – kukuruku kulit – ulina, usana kumpul – lehunu, lulu, tili kumur – almumunu kuning – porolu kunyit – uninu kupas – luke, ripi kurang bergaul – nohoke kurap – kikili kursi – kadera kurus – koki kuskus – marilu kusta – potolu L – l lagi – haluke, sala lahirkan – liana lahir – jadi lain – eleta laki-laki – undana lalu – lalu lama – lou, tuale, usa lambat – awela lampu minyak – padamaranu langit – lanita langsat – puanu lantai – umena, umenu laos- lakuase lapar – luareneu lari – lawa larikae – rikelu laut – laute layar – leulu lebih – lebi leher – selenu lelah – mahe lembut – pasii lempar – lisa lengkap kona lepas – tia lewat – lewate, sui lewat – langgar licin – muala lidah – male lihat – kari’i Liliboi – lilipoi lima – lima lincah – kueta listrik – listrik loteng – lalohahanu lobang – nupelu lupa – matalinu lutut – titaulunu

M – m mabuk – kasili mahal – mahale main – palimenu maka – maka makan – kanu makanan – anuta makola – katola maksud – maksud malaikat – malekat malam – melenu, lupito malas – pamalase malu – pasasumiu maluku – maluku mana – hapa mandi – hoi mangkas – pameliu manis – susunu marah – mara marga – fam, lumatau marga – marga mari – knei masak – hutawo, hutuo, masa, suku masak kembali – maleu masalah – masala masa – masa masih – sala masing, baku- lumanu masuk – nusu masukkan – katou mata – matanu matahari – liamatanu mata kail – awilu matang – wapenu mati – mata mau – na, nau meja – lahuanu, lesa, meja – meja melenyeh – tone melinjo – suwa memandang – palawe menanamkan – patananinu, lihat – tananinus mendidih – horale mengantuk – katatilo mengapa – kula mengelem – kapulu menguap – nawaisi menjangan – menjangan menonton – palawe mentah – mumata menyapu – salaya menyeberang – tita menyelam – nuli merah – routa mereka – mati mereka berdua – muatua mereka punya – matir mesin – mesin mimpi – muni Minggu – misa minta – sali minum – ninu minyak – wakilu miskin – malarate mobil – oto moyang – moyang muatan – malianu muda – walenu, hilo mufakat – mupakat muka – walalinu, minanu mulai – mulai mulut – hihilu mundur – helau muntah – luwau muntah-muntah – naluau

N – n Nafas – nawao naik – hara, sa’a nama – nalanu nanah – nanai nanas – arnasinu nangis – rani nanti – lali nasi – ala nyala – kalela negeri – hina nenek – nene nikah – kawenu nipis – nipis numpang – sau nyamuk – umuta nyiru – sisata, takalase

O – o obat – likatowanu omong kosong – horale orang – maka, mansia orang asliuku – malia orang dulu – orangtatuae orang tua – orangtatua osok kelapa – liuta

P – p Pacar – lewa pada – ka, ria padi – ala, padi pagi – huluketenu, rina pagi-pagi – hulu-huluketenu, kete-ketenu paha – kalaka pahit – mila pai-pai – tahule pak – pa pakai – pake pakaian – pakeu paku-paku – latalu pala – pala palapon – lalohahanu paling – huralu palu – martelu pameli – pameliu panah – husulu panas – pikuta panas matahari – pusua panci – panci pancing – huwanunu, panahu, nahu pancuran – sasaluta, salu pandangan – pandangan panggal – uruna panggil – hiha, kalou pantai – laute pantat – wakalu papeda – lupia parang – tulia parut – luku pasang – tunu pasar – asalu, pasar pesawat – pesawat pasir – mulaenu percik – suhu perempuan – urpaenu, urpaenu perempuan tua – atahina pergi – kene, suwau perigi – perigi perkebunan – dusun permana – pute permukaan – ulinu persiapan – persiapan pertama – pertama pertanyaan – pertanyaan perut – tia pesan – manolu, panou petik – amili, tili pikir – pikir pikul – hala pilih – amilih pimpinan – kapitan pinang – huwa pincang – sikele pindah – helau, suwau pinggan – kole pinggir – ulonu pinggul – kaleke pintar – pintar pintu – alea piring – pakului, pikalu Piru – pilu pisah – pisa pisang – ure pisau – tuletenu potong – rolo, soka prahu – haka, sope-sope perahu motor – speed prihal – sae pucat – misi pukul – hoha, hunu, nahu, rau, sau pulan g- hotu, welau pulau – hualu, nusa puluh – hutu puncak – uanu, ulunu pundak – lahuanu punggung – unua punya – na pusar – uselu pusing – hatolo putih – putita

Q – q q – to R – r rabo – sampitu raja – latu ramas – rami rambut – walanu rantai – rante rasa – rasa ratus – utu rencana – rencana renggang – hihi ribu – usata ribut – tole ringan – tamuhila rintangan – rola robek – hisi rok – rok rokok – sarutu, rokok rondah – luwai rotan – ua roti – brotu rumah – luma rumah adat – ta’ilanu rumah kebun – so’o rumah tangga – rumah tangga rumpun – kulunu rumput – unuhu runut – lunuta rupa – rupah rupiah – rupia rusak – pota, rika

S – s Sabtu – sabtu sagu lempeng – pao sagu – lupia saja – mana sakit – hitinu, pali salah – sala salin – lihi sama – palaha sambal – sambal sampai – nala sandang – sakeke santan – santanu sapu – rekilu, salaya sarung – tapi satu – ienu, iana, na, tisa satu-satu – sasa saudara – leko saudara laki-laki dari ibu – memo saudara – saudara saudara perempuan dari ibu – uwa sauh – tanamata saya – ai, au saya punya – aku sayap – ahena, ihena sayur – utanu sebab – sebab sebelah – kalinu sebentar – lohasa, sate sedang – sedang sedap – ntele sedia – ria sedikit – lohana sageru – tua sejarah – sejara sekali – paskali sekarnag – sekarang sekolah – skola selatan – selatan selat – selat selesai – pea selesaikan – paslata seluruh – tounu semadi – lisa sembab – ha’anu sembilan – siwa sempurna – kona semua – lalaina semut – selimenu senang – senang senapan – hola sendiri – kakisa sendok – sondo seng – tahi seng ada – tahi senin – mandag seok-seok- kakoli sepak – rutala sepoi – hute sepuluh – husaa sepupuh – palehahati, renelu seram – hualu, serane serdawa – kotala seseorang – sasasei sesuatu – sesuatu setelah – setelah setengah kering – maher setiap – ria siang – luata siap a- sei siku – sio siram – sohan, sahira sisa – lisi sisa-sisa – lisina, lisi sm bambu – oulu, telenu sm bulu – wanata sm ikan – hulipaser, lalosi sm ikan – bubara, sm kari – sumuru sm kuah – colo-colo sm makan ringan – tatoneta, tone sm pakis – lei sm penyakit telinga – toe sm pohon – hulahulunu, salatenu sm tumbuhan – pandusta sm tumbuhan merabat – hua-hua soa – uru sopi – kalawater sore – tarawau suami – kawenu suami saduara perempuan dari bapak – wate sudah – mae, se suka – suka sukun – su’unu sulung – pakamina suntik – loro supaya – supaya surat – surate suruh – siha susah – susa

T – t tabang – tala tadi – niko tahan – tahanu tahu – tuenu tahun – nalia tajam – mouta takut – paltau, ntau tali – walita tali bubu – wana tali jangkar – hatateinu tambah – liti tanah – umenu tanam – taha tanaman – tananinu tangan – lima tangga – lianu tangkap – pese tanjung – titunu tanya – pakunia tarik – salu, lihi, tili taroh – peu tas – tase tebal – hutilo tebar – hiru tebuh – utiho reduh – rolanu, undina tegel – tegel teh – te telan – rele televisi – televisi telingan – talina telur – tilonu teman – lalahane tembak – tunu tembaku – tabako tembus – roro tempat – wala tempat pijak – sanisa tempat sirih – ulite tempat tidur – tapalanu tengah – hatalae tengah malam – ramalua tenggorokan – gergantang tentang – hilu tenun – kasi tepat – panuhu terasi – blacang teras – teras terbakar – pikuta terbang – rihu terbenam – moro tergelincir – hasala terong – tolonu tersalah – hasala tersayat – apa tertawa – hoka terus – nanala tetapi – po, tapi, tetapi tetes – titi tiang – lile tidak – tahi tidak ada – tahi tidur – makeu, ntilo tiga – tilu tikam – roro, taha, tupu tikar – haelu tikus – undaha tilur- mantilonu timah – tamulu timbah – repanu timbah air – lalimata timbang – nika timur – hili, li, timulu tindih – lepe tindis – lepe tinggal – tue tinggi – atata tipis – muni tokoh – toko toko – toko tolong – tolon, tolong tombak – tupa tombak ikan besar – tatelata tombak ikan kecil – kalawae tongkat – toanu tonton – lia, nonton topan, lihuta topi – capeo tua – ntua, mutonu tuak – sageru, sopi tuang – silo Tuhan – Tuhan tujuan – tujuan tujuh – itu tulang – lulina tuli – haruke tulis – tuliu tumang – tuman tumbuhan merambat – walita

tumbuhan merambat besar – waweta tumit – tolenu tunas – ukuna tunduk – moro tunggu – lali tunjuk – tope turun – hotu, solou, toti turunan – turunan tusuk – rahikilu tutup – riku, sahu’u U – u uang – pise, kepeng udang laut – sasuati udang tawar – untiho udik – ulunu uji – uji ujung – matahuluna, titunu, uanu, ulunu, huhunu ujur – sou ulang – pakaheluke, paheluke ular – nia umpan – anae umur – umuru undang – kolou untuk – ria untung – untunu usaha – usaha usus – apona utara – marmato W – w wajan – ulalite wajid – waji Wakasihu – waesiho waktu – pito, nala, waktu walang – paparisa wilayah – uli