Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan khususnya di Bali ataupun Jawa.

Panglima muda yang bertempat tinggal di desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat ibadah di Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya.

Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, memandang Kebo Iwa dan Pasung Grigis, panglima Bali yang lebih senior dan ahli strategi militer, sebagai batu sandungan politik ekspansionisnya. Untuk itu ia melakukan tipu muslihat dengan menghadap raja Bali dan menawarkan perdamaian. Ia mengundang Kebo Iwa untuk datang ke Majapahit dan dinikahkan dengan seorang putri dari Lemah Tulis sebagai tanda persahabatan antar kedua negara. Namun sesampai di Majapahit, Kebo Iwa kemudian dibunuh.

Gugurnya Kebo Iwa mempermudah ekspedisi penaklukan Bali yang dipimpin Adityawarman, panglima berdarah Majapahit Minang, pada tahun 1343.