Leo Wattimena

perwira dan penerbang AURI

Leonardus Willem Johanes Wattimena (3 Juli 1927 – 18 April 1976) adalah seorang perwira dan penerbang AURI yang terkenal di era 1950-1960-an. Ia adalah anak ke empat dari enam bersaudara pasangan dari HL Wattimena dan UR Wattimena.

Pendidikan


Perjalanan Kehidupan

‘Tiada hari tanpa terbang, bentakan serta pengabdian’, demikian gambaran pribadi seorang Leo Wattimena, mantan Panglima Tinggi TNI Angkatan Udara di era Presiden Sukarno. Pak Leo memang terkenal orang yang keras agak temperamental terhadap siapapun. Namun ciri itu merupakan cerminan keteguhan hatinya dalam menegakkan disiplin. Konon bentakan dari Pak Leo berarti bahwa beliau ada perhatian lebih terhadap yang dibentak. Agak aneh memang kedengarannya, tetapi dalam kehidupan kemiliteran hal itu sudah biasa terjadi. Mirip ungkapan ’monyet’ dari Jendral Gatot Subroto kepada anak buahnya. Konon lagi menurut mantan prajurit Pak Gatot, dipanggil ’monyet’ berarti sudah jadi anak buah kesayangannya. Pun pula ini terjadi pada diri Pak Leo, siapapun yang sudah kena bentak beliau, tidak pernah tersendat dalam kenaikan pangkat dalam karirnya. Pak Leo bergabung ke TNI AU di awal 1950-an, untuk kemudian menjalani pendidikan penerbang militer di AS dan Inggris hingga sekitar tahun 1955. Saat belajar di Inggris, Pak Leo pernah membuat marah para pelatihnya dari Royal Air Force (RAF) karena kenekatannya dalam membawa pesawat latih melintasi jembatan di Sungai Thames, London. Usai dari pendidikan luar negeri karir Pak Leo melesat cepat hingga terpilih sebagai Wakil Panglima Mandala saat Indonesia memasuki masa Trikora untuk pembebasan Irian (Papua) Barat. Masa Trikora boleh jadi menjadi jaman keemasan TNI Angkatan Udara Indonesia, termasuk juga bagi Pak Leo. Sebagai penerbang tempur, Pak Leo Wattimena memiliki favorit terbang dengan P-51 Mustang atau Mig-17. Dengan pesawat inilah dia melatih secara langsung pilot – pilot muda AURI dalam bentuk simulasi tempur (dogfight simulation). Pak Leo punya kebiasaan nyentrik untuk terbang terbalik dengan pesawat tempur dalam jarak yang sangat dekat dengan permukaan landasan pacu. Beliau juga memiliki pikiran yang brilian sehingga sering menjadi acuan bagi Panglima Utama Mandala, Jenderal Suharto dari TNI AD dalam menjalankan misi infiltrasi di masa Trikora. Tetapi hasil yang cemerlang di misi Trikora kadang membuatnya sedih saat mengingat gugurnya KRI Macan Tutul dan Pak Yos Sudarso. Keterlambatan pesawat – pesawat AURI dalam melindungi KRI Macan Tutul dari sergapan patroli Belanda di Aru sering disesalinya. Karir gemilang Pak Leo Wattimena memasuki masa sulit saat meletus pemberontakan G30S-PKI. Simpang siur dan saling fitnah sempat membuat Pak Wattimena berang. Tudingan dari beberapa oknum di tubuh TNI terhadap keterlibatan TNI AU dalam kegiatan G30S-PKI membuat Pak Leo Wattimena menyiapkan pilot – pilot terbaiknya untuk terbang dari Lanud Iswahyudi Madiun menuju Jakarta. Konflik yang memanas antar angkatan untungnya berhasil diredam oleh kebijakan Presiden Sukarno yang menggunakan haknya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI. Pak Wattimena bersikeras bahwa TNI AU hanya menjadi korban atas kondisi yang terjadi. Temuan RPKAD terhadap senjata – senjata gelap di sekitar Lanud Halim Jakarta setelah Gestok menurut Pak Leo tidak ada sangkut pautnya dengan TNI AU yang selalu melakukan inventarisasi penomoran register terhadap senjata – senjata di kesatuannya. Presiden Sukarno maupun Pak Harto akhirnya dapat memahami permasalahan tersebut. Nasib Pak Leo Wattimena agak beruntung selama huru-hara 1965-1966 karena Pak Leo Wattimena jarang berkomentar soal politik. Meskipun beliau terkenal dekat dengan Presiden Sukarno, Pak Leo tidak mengalami pencopotan jabatan serta pemecatan dari tubuh TNI AU sebagaimana rekan seperjuangan beliau semacam Laksamana Omar Dhani dan Pak Sri Mulyono Herlambang, dua petinggi AURI loyalis Sukarno yang harus rela menjadi caci maki sebagian masyarakat yang termakan hasutan dengan fitnahan keterlibatan mereka dalam G30S-PKI, walaupun sebenarnya tidak pernah diketemukan bukti kuat terhadap tuduhan tersebut. Selepas masa pemerintahan Presiden Sukarno, Pak Leo Wattimena mundur dari dunia militer dan menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Italia. Pada tahun 1976 saat beliau berusia 47 tahun, Pak Leo Wattimena wafat, membawa kenangan sebagai seorang pilot tempur jempolan yang pernah dimilki rakyat Indonesia. Kamampuannya terbang dengan Jet Mig-17 melintasi kolong Jembatan Ampera di Palembang masih menjadi legenda dikalangan penerbang tempur domestik maupun internasional hingga sekarang. Pak Leo Wattimena seperti menjadi penyempurna akan hadirnya prajurit – prajurit hebat di Indonesia masa itu, seakan mereka datang dari dimensi lain untuk menjadi penolong bangsa Indonesia melewati masa – masa sulit selama revolusi berlangsung.

Karier

  • Penerbang Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma (1952)
  • Pimpinan Armada Vampire Skadron Udara 11 Lanud Kemayoran (1957)
  • Instruktur Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) Kalijati (1958)
  • Wakil II Panglima Komando Mandala/Panglima AU Mandala (1958)
  • Panglima Komando Operasi AURI (1963)
  • Panglima Komando Pertahanan Udara (1966)
  • Anggota MPRS (1966)
  • Deputi Operasi Menteri/Panglima AU
  • Duta besar RI di Italia (1969)
  • Staf Ahli KSAU

Pesawat yang pernah diterbangkan

Operasi Tempur

Pranala luar