Bunraku

Revisi sejak 13 Januari 2007 01.28 oleh Midori (bicara | kontrib) (~ejaan yang umum)

Bunraku (文楽) adalah pertunjukan sandiwara boneka tradisional Jepang yang berkembang di abad ke-17 dan tergolong salah satu jenis Ningyo Johruri (人形浄瑠璃, Ningyō Jōruri, boneka jōruri). Jōruri adalah sebutan untuk naskah dalam bentuk nyanyian yang dilantunkan penyanyi yang disebut Tayū sambil diiringi pemusik yang memainkan shamisen.

Gedung Teater Nasional Bunraku di Osaka

Istilah bunraku khususnya dipakai untuk seni ningyo johruri (sandiwara boneka yang diiringi musik yang disebut jōruri) asal Osaka. Bunraku sudah identik dengan ningyo johruri, walaupun masih ada sandiwara boneka jōruri lain di beberapa tempat di Jepang.

Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan bunraku sebagai warisan agung budaya nonbendawi. Di tahun 2003, UNESCO menetapkan bunraku sebagai Karya Agung Warisan Budaya Oral serta Nonbendawi Manusia.

Sebuah boneka dimainkan oleh tiga orang dalang yang tidak menyembunyikan diri dari pandangan penonton. Gerak-gerik boneka bagaikan hidup dengan kedua tangan dan kaki yang bisa digerak-gerakkan, serta wajah boneka yang bisa berubah ekspresi sesuai karakter yang dimainkan. Boneka memiliki berbagai mekanisme penggerak pada wajah dan sendi kedua belah lengan, kaki, dan jari-jari tangan, sehingga bisa digerak-gerakkan sang dalang. Dalang hanya bertugas menggerakkan boneka, semua dialog yang dilakukan karakter menjadi tugas penyanyi yang disebut Tayū dengan iringan pemusik yang memainkan shamisen.

Tingkatan dalang diatur hirarki yang ketat, berdasarkan tingkat keterampilan dan pengetahuan dalam seni bunraku. Dalang paling berpengalaman (paling sedikit 20 tahun) menangani bagian kepala dan lengan kanan. Dalang dengan pengalaman di bawahnya bertugas menggerakkan lengan kiri, sedangkan bagian kaki digerakkan dalang yang paling yunior. Dua orang dalang mengenakan sandal berhak tinggi dari kayu untuk mengimbangi posisi dalang ketiga yang menggerakkan bagian kaki boneka.

Istilah dalam bunraku

Bunraku adalah pertunjukan yang dibawakan oleh laki-laki. Sangyō merupakan istilah untuk tiga unsur pertunjukan teater bunraku yang terdiri dari: Tayū (penyanyi), pemain shamisen, dan Ningyō-tsukai (dalang).

Panggung di sisi kiri penonton disebut Yuka, dan di atasnya terdapat bagian panggung yang bisa berputar tempat duduk Tayū dan pemain shamisen.

Bagian tubuh dalang dari pinggang ke bawah dihalangi dari pandangan penonton memakai penghalang dari papan kayu yang disebut Tesuri.

Penyanyi

Tayū adalah sebutan untuk penyanyi yang melantunkan Jōruri. Pertunjukan lazimnya hanya menggunakan seorang tayū yang membawakan dialog untuk semua tokoh dalam cerita, termasuk adegan yang menyentuh perasaan penonton. Pada pementasan cerita yang panjang dan melelahkan bisa terjadi pergantian tayū di tengah-tengah cerita. Pada cerita yang perlu dialog bersahut-sahutan, dua tayū atau lebih bisa tampil duduk berjejer di panggung.

Jōruri terdiri dari berbagai jenis dan Gitayūbushi adalah sebutan untuk jōruri yang digunakan dalam bunraku.

Pemusik

Pemain shamisen memainkan shamisen berukuran besar dengan gema yang terdengar berat (futo) sehingga disebut Futozao Shamisen. Pemusik duduk dalam posisi seiza, tapi kedua belah kaki dilipat ke belakang dengan lutut dibuka lebar, dan seluruh berat badan bertumpu di bagian pantat.

Dalang

Di zaman dulu, sebuah boneka hanya digerakkan seorang dalang. Pertunjukan memakai tiga orang dalang untuk sebuah boneka diperkenalkan pertunjukan berjudul "Ashiya Dōman Ōchi Kagami". Di zaman sekarang, bunraku memakai tiga orang dalang untuk sebuah boneka. Dalang senior yang disebut Omozukai menggerakkan bagian leher (kepala) dan lengan kanan. Dalang penggerak lengan kiri disebut Hidarizukai, sedangkan dalang penggerak kaki disebut Ashizukai. Ketiga orang dalang yang berpakaian serba hitam menyatukan ritme bernafas berdasarkan isyarat yang diberikan dalang kepala. Pada adegan yang penting, dalang kepala sering sengaja tidak menyembunyikan wajahnya dari pandangan penonton (teknik dezukai).

Boneka

Berkas:Bunraku construccion.jpg
Bagian-bagian kepala boneka bunraku

Kepala boneka

Boneka yang digunakan dalam bunraku memiliki berbagai macam kepala (kashira). Kepala boneka laki-laki dan perempuan dalam berbagai bentuk dan ekspresi wajah digunakan untuk menampilkan beraneka ragam karakter, pekerjaan, status sosial, dan umur.

Kepala boneka tertentu hanya bisa digunakan untuk peran tertentu, tapi ada juga kepala boneka yang bisa digunakan untuk berbagai peran dengan memakaikan rambut palsu (wig) atau merias wajah boneka dengan cat. Sebelum bisa dipakai dalam pementasan, wajah boneka dirias dulu dengan cat.

Rambut palsu untuk kepala boneka dibuat secara khusus dan merupakan seni kerajinan tersendiri. Sebagian besar karakter mengandalkan rambut palsu untuk memperlihatkan sifat karakter dan status sosial. Rambut palsu dibuat dari rambut manusia dicampur bulu ekor Yak agar terlihat mengembang. Bagian akar rambut palsu disatukan pada lembaran tembaga yang tidak dilekatkan secara permanen pada kepala boneka. Campuran air dan lilin lebah digunakan sebagai perekat agar rambut palsu tidak merusak permukaan kepala boneka.

Jenis kepala boneka

Kepala boneka laki-laki
  • Bunshichi: kepala boneka dengan ekspresi maskulin laki-laki tampan tapi sudah lama menderita, digunakan untuk tokoh utama cerita tragedi
  • Ōdanshichi: kepala boneka dengan ekspresi lelaki pemberani
  • Kenbishi: kepala boneka dengan garis mulut yang tegas menandakan kemauan keras, digunakan untuk samurai, orang kota, dan sebagainya
  • Darasuke: kepala boneka dengan ekspresi mengejek untuk peran orang jahat
  • Yokanpei: kepala boneka dengan wajah buruk untuk peran orang jahat yang komikal
  • Matahei: kepala boneka dengan ekspresi rakyat biasa, orang kecil, atau penduduk kota yang jujur
  • Kiichi: kepala boneka untuk peran samurai tua dengan hati yang penuh cinta
  • Genda: kepala boneka untuk peran laki-laki tampan berumur 20 tahunan
  • Wakaotoko: kepala boneka laki-laki remaja untuk kisah cinta
  • Kōmei: kepala boneka untuk samurai berusia empat puluhan hingga lima puluhan, secara jelas terlihat berkepribadian halus dan bijaksana
  • Kintoki: kepala boneka untuk samurai yang kuat dan berperasaan dalam cerita jidaimono.
Kepala boneka perempuan
  • Musume: kepala boneka perempuan belum kawin berusia 14 atau 15 tahun dengan ekpresi murni tanpa dosa
  • Fukeoyama: kepala boneka yang digunakan untuk berbagai peran wanita berusia dua puluh tahunan hingga empat puluh tahunan.
  • Keisei: kepala boneka paling cantik yang menggambarkan wanita penghibur kelas tinggi yang sensual
  • Ofuku: kepala boneka untuk peran wanita berwajah lucu atau komikal.

Mekanisme penggerak

Bahan untuk kepala boneka adalah kayu dari sejenis pohon Hinoki (Chamaecyparis obtusa). Kepala boneka berongga di bagian dalam, hasil dari penggabungan bagian muka dan bagian belakang kepala. Kepala boneka dibuat dengan cara membelah kepala boneka menjadi dua bagian dan mengerok sisa kayu yang terdapat di bagian dalam.

Pada bagian wajah boneka, terdapat mekanisme untuk menggerakan alis, bulu mata, dan bibir ke atas dan ke bawah. Sedangkan di bagian mata terdapat mekanisme untuk menggerakkan bola mata ke kiri dan ke kanan. Tali untuk menggerakan alis dan mata melewati rongga di kepala boneka. Mekanisme penggerak juga terdapat pada masing-masing kaki dan lengan.

Kostum

Boneka memakai kostum berupa kimono yang terdiri dari pakaian dalam (juban), mantel (haori), mantel manita (uchikake), kerah (eri), dan sabuk pinggang yang disebut obi. Pada bagian dalam kostum diberi lapisan kapas agar bagian tubuh boneka terlihat alami.

Kostum bisa dilepas dan disimpan terpisah dari kepala. Ningyō-koshiraeru adalah pekerjaan memasang baju untuk kepala boneka yang dilakukan dalang sebelum boneka bisa digunakan.

Sejarah

Kesenian ningyo johruri tercipta dari perpaduan sandiwara boneka dan musik shamisen di awal zaman Edo. Pertunjukan merupakan hasil kreasi Tayū bernama Takemoto Gidayū dari kelompok boneka Takemoto-za, serta penulis naskah bernama Chikamatsu Monzaemon dan Ki no Kaion. Kepopuleran ningyo johruri bahkan sempat melampaui kepopuleran kabuki. Pementasan kabuki banyak yang memakai naskah ningyo johruri. Pementasan kabuki yang mengadaptasi naskah ningyo johruri tanpa diringkas atau diubah disebut Maruhon mono (kisah yang diambil dari buku secara bulat-bulat).

Ningyo johruri versi Edo tercipta berkat jasa Hiraga Gennai. Di akhir abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19 (zaman Kansei), kepopuleran kabuki melampaui kepopuleran ningyo johruri. Uemura Bunrakuken I yang melihat perkembangan ini berusaha menghidupkan ningyo johruri dengan membangun gedung pertunjukan khusus ningyo johruri bernama Bunraku-za di Kōzubashi (sekarang distrik Chuo-ku, Osaka). Di tahun 1872, gedung Bunraku-za pindah ke Matsushima (sekarang distrik Nishi-ku, Osaka). Di akhir zaman Meiji, Bunraku-za menjadi satu-satunya gedung teater ningyo johruri yang tersisa.

Di tahun 1909, pengelolaan gedung Bunraku-za berada di bawah perusahaan hiburan Shōchiku. Setelah itu, lokasi gedung Bunraku-za sempat pindah berkali-kali di dalam kota Osaka. Lokasi pertama di dalam kuil Shinto Goryōjinja di distrik Chuo-ku. Setelah mengalami musibah kebakaran di tahun 1929, gedung pindah ke Yotsubashi di distrik Nishi-ku. Sewaktu Perang Dunia II, gedung terbakar akibat serangan udara, tapi dibangun kembali di lokasi yang sama pada tahun 1946. Di tahun 1965, gedung pertunjukan pindah ke bekas situs teater Benten-za di Dotombori (distrik Chuo-ku).

Di tahun 1948, perusahaan hiburan Shochiku bertikai dengan serikat pekerja bunraku. Dunia showbiz bunraku terbelah menjadi kelompok Bunraku-inkai di bawah lindungan Shochiku, dan kelompok Bunraku Sanwakai di bawah lindungan serikat pekerja. Akibatnya pertunjukan bunraku mengalami kemunduran. Di tahun 1963, Shochiku menarik diri dari dunia bunraku dan gedung pertunjukan Bunraku-za berganti nama menjadi Asahi-za. Organisasi nirlaba Bunraku Kyokai yang disponsori Prefektur Osaka, kota Osaka, Kementerian Pendidikan Jepang, dan NHK kemudian menggantikan posisi Shochiku sebagai pelindung kesenian bunraku.

Dunia showbiz bunraku pernah kekurangan sumber daya manusia akibat kurangnya minat generasi muda pada kesenian bunraku. Kekurangan tenaga dalam showbiz bunraku berhasil diatasi di tahun 1973 dengan dibukanya program pelatihan untuk orang di luar kalangan bunraku. Di tahun 1984, Gedung Teater Nasional Bunraku selesai dibangun di Nipponbashi dan gedung pertunjukan yang lama ditutup.

Cerita

Jidaimono adalah sebutan untuk kisah sejarah yang berlangsung sebelum zaman Edo. Di dalam golongan cerita Jidaimono, kisah yang mengambil latar belakang zaman Nara atau zaman Heian disebut Ōchōmono (kisah kekaisaran), termasuk di antaranya Taiheikimono yang merupakan sebutan untuk kisah Taiheiki. Peristiwa aktual di zaman Edo yang melibatkan kalangan samurai mengandung risiko disensor Keshogunan Edo, sehingga sering disamarkan ke dalam kisah Taiheikimono.

Pranala luar