Michael Verhoeks

Revisi sejak 28 Februari 2012 13.35 oleh Pau42 (bicara | kontrib)

Michael Verhoeks CM (1893-1952) adalah seorang Uskup (Vikaris Apostolik) Surabaya dari tahun 1941-1952.

Mgr. Michael Verhoeks CM (1893-1952): Vikaris Apostolik Surabaya di zaman perang. Sumber foto: perpustakaan CM Panningen, Belanda.
Mgr. Michael Verhoeks CM (1893-1952): Vikaris Apostolik Surabaya di zaman perang. Sumber foto: perpustakaan CM Panningen, Belanda.

Msgr. Michael Verhoeks CM lahir di Massie, Velddriel tanggal 29 Maret 1893. Ia ditahbiskan sebagai romo CM tahun 1919. Karier imamatnya dijalankan hampir semuanya di seminari; ia adalah dosen Hukum Gereja dan teologi moral di Seminari Tinggi St. Jozef, Panningen, Belanda. Pada tahun 1941 Michael Verhoeks CM terpilih untuk menjadi Vikaris Apostolik Surabaya tahun 1941. Michael Verhoeks CM ditahbiskan sebagai Uskup Surabaya tanggal 8 Mei 1942. Tahbisannya dilangsungkan di Semarang. Msgr. Verhoeks CM meninggal dunia karena sakit asma di Surabaya tahun 1952.[1]

Sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik di Vikariat Surabaya, Msgr. Michael Verhoeks CM, yang menggantikan Msgr. Theophile de Backere CM, mengalami masa-masa sangat sulit berkaitan dengan peristiwa Perang Dunia II. Apalagi pada waktu itu di kota Surabaya dan sekitarnya berkobar perang melawan tentara kolonial Belanda yang - dalam buku-buku sejarah - diceritakan "membonceng" kehadiran tentara sekutu (Aliansi) melawan Jepang. Msgr. Verhoeks CM bersama dengan para pastor dan orang-orang Belanda di-internir oleh Jepang di Cimahi tahun 1943. Sebagaimana dialami oleh orang-orang Belanda waktu itu, Msgr. Verhoeks CM juga mengalami berbagai pengalaman penganiayaan oleh tentara Dai Nippon. Pengalaman di Internir-lah yang antara lain menjadi sebab Msgr. Verhoeks CM harus mengidap penyakit yang menderanya hingga wafatnya, asma.

Sesudah kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia (1945) kepemimpinan Msgr. Verhoeks CM di Vikariat Surabaya mendapat tantangan hebat berhubung dengan periode yang disebut zaman agresi militer Belanda. Pada waktu itu, wilayah Mojokerto ke timur sampai Surabaya dikuasai oleh tentara kolonial Belanda; sementara Jombang ke barat (sampai Madiun) berada dalam kekuasaan Tentara Republik Indonesia. Dari sendirinya Vikaris Surabaya, Msgr. Verhoeks CM, mengalami kesulitan untuk melakukan kunjungan ke wilayah "barat". Karena situasi politis yang gawat, "wilayah" kevikariatannya" seakan terbelah antara timur (Mojokerto dan Surabaya) dan barat (Jombang-Madiun). Karena itu, Romo Dwidjosoesastro CM, yang adalah Romo Jawa pertama dari CM dan baru pulang dari Belanda diangkatnya menjadi semacam "wakil" atau "pro-Vikaris Apostolik" yang menangani wilayah "barat".[2] Dalam konteks inilah, Almarhum Romo J. Haryanto CM (Administrator Apostolik Keuskupan Surabaya 2005-2008), salah satu seminaris pertama Keuskupan Surabaya, mengisahkan bahwa ketika dirinya bersama sekitar delapan kawannya dibawa oleh Romo Dwijosoesastro CM tahun 1948 ke Jalan Kepanjen 9, Surabaya untuk masuk "seminari", ia dan kawan-kawannya dari Madiun dan Kediri harus melewati "perbatasan" wilayah (demarkasi) untuk masuk ke Surabaya, momen penyeberangan ini diingatnya sebagai yang menegangkan pada waktu itu.

Dan, "kedatangan mendadak" sekitar delapan siswa pertama itulah yang dipandang sebagai "awal" pendirian seminari menengah di Keuskupan Surabaya. Romo Karl Prent CM menulis demikian: "Awalnya [pendirian seminari] memang cukup berpetualang. Kami menulis 1948: Hari-hari yang kacau selama aksi personel dan perang kemerdekaan; negara [wilayah Jawa Timur] dibagi oleh suatu garis demarkasi, dimana-mana ada kekacauan. Pada suatu hari Pastor Dwidjosoesastro CM, sebagian nunut, sebagian berjalan kaki dengan 8 anak menembus garis demarkasi datang ke Surabaya. Setelah perjalanan yang liku-liku, pada tanggal 29 Juni 1948 pagi hari pukul 12, mereka tiba di Surabaya. Delapan anak Jawa, yang ingin menjadi imam diantaranya dua yang tertua, Reksosoebroto dan Sastropranoto menyelesaikan studi mereka dan menerima pentahbisan.[3] Hari itulah yang dikenang sebagai awal berdirinya Seminari Garum.

Msgr. Verhoeks CM dikenal oleh para romo misionaris lain sebagai seorang pemimpin yang sabar. Ia suka bersepeda. Ia bahkan dikenal sebagai "uskup yang bersepeda".[4] Tahbisannya sebagai Vikaris Apostolik dilaksanakan tidak dalam upacara yang ramai, sebab pada waktu itu perang sedang berlangsung. Dan, tidak lama kemudian Uskup Verhoeks CM dibawa ke Interniran oleh Jepang. Uskup Verhoeks CM selama beberapa saat pernah tinggal di paroki Ketabang (Kristus Raja) di Jalan Residen Sudirman, yang ketika itu pernah hendak dimaksudkan sebagai keuskupan. Karena tahbisannya Karena kedatangannya ke Indonesia langsung menjadi Uskup, ia memiliki keterbatasan dalam berbahasa Jawa. Jika menurut Romo Karl Prent CM, pendirian seminari diasalkan pada kedatangan delapan pemuda yang diantar oleh Romo Dwidjosoesastro CM tersebut, maka yang menandai kepemimpinan Uskup Verhoeks CM adalah berdirinya seminari menengah St. Vincentius a Paulo, meskipun dia tidak bisa disebut sebagai pendirinya. Setelah di Jalan Kepanjen 9, seminari itu pindah ke Jalan Dinoyo, Surabaya, sebelum akhirnya pindah ke Garum, Blitar.[5]

Karena kebijaksanaannya dalam pendirian politik di zaman perang, Msgr. Verhoeks dianugerahi bintang jasa Kerajaan Belanda, "Ridder Order Ned. Leeuw" tahun 1950. Kepemimpinan Msgr. Verhoeks CM diteruskan oleh Msgr. Johannes Klooster CM.

referensi

  1. ^ Armada Riyanto CM., 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia, CM Provinsi Indonesia, Surabaya, 2003, hlm. 220.
  2. ^ Bdk. Piet Boonekamp CM., "Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya", dalam H. Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 3b, Ende-Flores 1974, hlm. 949-999.
  3. ^ "Karl Prent CM, "Het Nieuwe Seminarie te Garum", dalam Missiefront, Februari 1960, hlm. 8-9.
  4. ^ Lih. "Mgr. Michael Verhoeks CM: Vikaris Apostolik Surabaya" (tanpa penulis, terj.), dalam Missiefront Mei 1947. Agak janggal untuk membaca laporan tentang pengangkatan Mgr. Verhoeks yang terjadi tahun 1942, tetapi baru ditulis dalam publikasi majalah misi tahun 1947. Halnya menjadi jelas ketika mengingat bahwa mulai tahun 1942-1946 dunia dilanda perang, sehingga jurnal, majalah, katalog tidak bisa diterbitkan. Lih. Armada Riyanto CM, 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia, CM Provinsi Indonesia, Surabaya, 2003, hlm. 121-123.
  5. ^ Ibid.