Sampit, Kotawaringin Timur

Revisi sejak 18 Januari 2007 17.31 oleh Mr. Azee (bicara | kontrib)

Sampit adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia. Pada tahun 2001, di kota ini terjadi kerusuhan etnis antara suku Madura dengan Dayak. Dalam kerusuhan tersebut, lebih dari 400 orang tewas dan 40.000 orang harus mengungsi.


Awal Perkembangan Kota Sampit


Sampit sebagai Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis.

Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.


Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam Bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.


Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata Sampit itu sendiri. Menurut beberapa sumber, kata Sampit berasal dari bahasa Cina yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Cina yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.


Pada 1795-1802 terjadi peperangan sengit antara Belanda melawan Inggris. Hal ini mengakibatkan terjadi pemindahan pemukiman warga Samit ke pedalaman, tepatnya ke Kota Besi. Pemindahan itu tak terlepas dari adanya gangguan para bajak laut terhadap desa-desa di muara Sungai Mentaya. Pada 1836, eskader Belanda akhirnya dapat menghancurkan gerombolan bajak laut pimpinan Koewardt yang berkekuatan 25 perahu di sekitar Teluk Kumai dan Tanjung Puting. Tokoh bajak laut Koewardt akhirnya tewas dan dikuburkan di sekitar Ujung Pandaran. Hingga kini, Kuburannya itu dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Setelah merasa aman, pada 1836, penduduk kumudian pindah ke Seranau yang dulunya bernama Benua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para pedagang-pedagang Cina waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana. Namun, sesuai kepercayaan masyarakat Cina, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam,yang menurut perhitungan hongsui Cina dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru diseberang Seranau (Sampit sekarang) yang menghadap matahari terbit.

Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.

Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Cina, India bahkan Portugis.

Diperkirakan, Kerajaan sungai Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dunasti Ming di Cina (abad ke-13).Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Cina yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan merek banyak yang lari kearah selatan (Kalimantan). Diceritakan pula, bahwa Putti Junjung Buih,istri dari Pangeran Suryanata, pernah pula berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Seperti diketahui, Pangeran Suryanata (berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435 (Masdipura; 2003).

Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14),sehingga di buku Negarakertagama Kerajaan Banjar tidak tertulis. Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran suryanata,40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar. Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC.

Kota Sampit juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama. Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit, yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah mada.Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan, bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi adalah Sampit dan Kuala Pembuang.