Nasroel Chas
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus. |
Nasroel Chas gelar Datuk Siri Mangkuto Nan Kayo (16 Agustus 1943 – 25 Maret 2008) adalah seorang pengusaha asal Indonesia.
Kehidupan
Nasroel merupakan putra Minangkabau yang memiliki sejumlah usaha di bidang perhotelan dan properti di bawah bendera PT Pusako Tarinka.[1] Disamping itu Nasroel juga pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT. Danayasa Arthatama, sebuah perusahaan pengelola distrik bisnis Sudirman (SCBD), Jakarta.[2] Bersama Abdul Latief dan Fahmi Idris, Nasroel mendirikan perusahaan joint venture Nagari Development Corporation. Selain berbisnis, Nasroel juga aktif di berbagai kegiatan sosial. Di kampung halamannya, ia membangun sebuah Pusat Studi Kebudayaan serta rumah gadang yang menjadi obyek wisata.
Setelah malang melintang di dunia di pentas bisnis nasional, khususnya bidang properti dan pariwisata, H. Nasroel Chas – anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Haji Dt. Bagaduk dan Hajjah Syamsidar- akhirnya terjerat pepatah lama : Sejauh-jauhnya terbang bangau kembalinya ke kubangan jua. Pengusaha kelahiran 50 Kota ini kembali melirik kampung halamannya setelah lebih 20 tahun mengarungi bisnis di rantau orang.
Awalnya adalah pertemuannya dengan Joop Ave (sewaktu masih menjadi Dirjen Pariwisata), Pebruari 1989, saat itu Nasroel Chas tengah mengurus surat ijin untuk hotelnya, Bali Resort Palace Hotel. “Kepada saya Pak Joop Ave bilang, sebagai Orang Minang saya akan menjadi Malin Kundang – anak yang durhaka pada ibunya – karena tidak membangun hotel di Sumatera Barat, tetapi malah memilih Bali. Pak Joop Ave mengatakan bahwa potensi pariwisata di Sumbar itu sangat besar, bahkan tidak kalah dengan Bali” , cerita Nasroel Chas.
Kata-kata Joop Ave itulah yang mengusik hati nuraninya. Setelah menunaikan ibadah Haji tahun 1989, Nasroel Chas, atau yang biasa di inisialkan dengan Pak NC pulang kampung. Waktu itulah ia tiba-tiba tertarik dengan Bukittinggi. “Saya temui Pak Armedi Agus yang waktu itu baru menjadi walikota. Saya katakan saya ingin membangun hotel, “ lanjutnya. Walikota Armedi segera menunjukkan sejumlah lokasi. “Saya tertarik dengan lokasi di Bukit Manggis ini. Ternyata tak sampai dua minggu, masalah tanahnya sudah selesai oleh Walikota. “Tanggal 11 Maret 1990, Joop Ave (Menparpostel pada saat itu) yang meletakkan batu pertama pembangunan Hotel Pusako. Satu setengah tahun kemudian, Bapak Soesilo Soedarman (Menparpostel periode berikutnya) meresmikan Hotel Pusako, hotel bintang empat pertama di Sumatera Barat.
“Tetapi, bukan hanya karena soal takut menjadi Malin Kundang itu yang sebenarnya memotivasi saya untuk membangun usaha pariwisata di Sumbar. Pertama-tama saya harus akui, saya ini orang dagang. Saya berbisnis untuk mencari untung, bukan mencari rugi. “ Katanya. Sebagai orang Minang, Nasroel Chas mengenal benar Kampung halamannya, karena ia dilahirkan dan di besarkan disana. “Alamnya sesuai dengan saya, masakannya cocok dengan lidah saya. Saya berniat pada hari tua saya nanti saya akan tinggal di Kampung halaman saya. “
Pada saat itu, baru Gubernur saja yang getol ingin mengembangkan kepariwisataan Sumbar. Pejabat yang semestinya mendukung, belum terlihat mempunyai program dan strategi yang jelas. Contohnya mengenai atraksi wisata, Sumbar memiliki kekayaan alam dan budaya, tetapi sayangnya belum dikelola menjadi atraksi wisata yang dikemas dengan baik dan siap untuk dijual.
Diakui oleh Nasroel, semua usahanya – Hotel Pusako, Pusako Sikuai Island Resort, Pusako Rumah Godang Cultural Center, dan Pusako Minang Tour & Travel – ia mulai dengan beban yang berat, sebagian masih harus di subsidi kala itu. Tetapi ia optimis, kepariwisataan Sumbar akan terus melangkah maju. Nasroel melihat ada prospek di ujung jalan. Inilah yang membuat Nasroel dan kalangan di dunia usaha wisata yang telah memilih Sumatera Barat merasa optimis.
Lahir di Desa Anding, Kecamatan Suliki Gunung Mas, 50 Kota pada jaman pendudukan Jepang (16 Agustus 1943), Nasroel Chas mengalami masa kecil yang sulit. “Oleh orang tua, saya dibesarkan dari hasil jualan gorengan pisang,” cerita Nasroel Chas mengenang masa kecilnya di bagian utara Kabupaten 50 Kota itu.
Tahun 1950-an, keluarganya pindah ke Kota Payakumbuh, kehidupan pun mulai berubah. Ayah Nasroel Chas membuka toko bangunan. Di Kota Gelamai itulah Nasroel Chas menyelesaikan pendidikan SR, SMP dan SMA.
Seperti Putra Minang seumurnya, setelah tamat dari SMA 1 Payakumbuh, Nasroel merantau ke Jakarta, dan meneruskan pendidikan ke Akademi Teknik Nasional (ATN – sekarang Institut Sains dan Teknologi) di Jakarta. Setelah tamat pada tahun 1968, Nasroel bekerja di perusahaan Jepang - Tasho Sangyo – yang bergerak di bidang real estate dan property. Pada tahun 1969 – 1970, ia di sekolahkan di Waseda Univeristy, Tokyo - Jepang, sehingga memperoleh gelar Gishi – Ahli manajemen properti.
Tak lama setelah balik ke Jakarta, manajer Tasho Sangyo digantikan oleh orang Jepang di bawah Nasroel , dan ia tetap saja jadi asisten manajer atau orang nomor dua. “Karena itu perusahaan Jepang, yang naik tentu saja Orang Jepang, “ ujarnya. Tapi karena manajer baru itu adalah junior Nasroel, menyebabkan manajer baru itu kikuk menghadapinya, sehingga hubungan menjadi tidak harmonis. Akhirnya, teman-temannya yang menganjurkannya untuk keluar saja dari pekerjaan tersebut.
Dari uang yang ia berhasil kumpulkan selama bekerja, pada tahun 1974, Nasroel membuat perusahaan yang bernama PT. Takarin, yang merupakan singkatan dari nama anak-anaknya (Dita – Diani Ariesta, Rika – Rika Kartika, dan Aldrin – Aldrin Chas Nasroel), buah perkawinannya dengan Yusnani Yanis, wanita kelahiran Sungai Beringin – Payakumbuh. Tapi perusahaan pertama ini ambruk akibat Kenop 15 (Kebijaksanaan Devaluasi Nopember 1978) terjadi. Pada saat itu, ia tengah mengerjakan Gedung Ratu Plaza, sebagai salah satu sub-kontraktornya. Akibat devaluasi, harga barang-barang naik, sementara nilai pekerjaan kontrak adalah tetap. Akibatnya, untuk menyelesaikan kontrak, Nasroel Chas terbelit hutang. Misalkan saja Nasroel Chas sudah menjual semua harta bendanya seperti rumah, mobil, semua perhiasan istri sampai cicin kawin, tetap saja tidak senilai dengan hutang Nasroel Chas pada saat itu ke Bank Tamara, sebanyak 32 juta.
Yang paling disyukurinya pada saat itu, adalah ketabahan Sang Istri menghadapi cobaan tersebut. “Kita berangkat dari kampung ‘kan tidak membawa apa-apa. Kalau sekarang semuanya habis, kita serahkan kepada Tuhan. Kita mulai lagi dari bawah.” Ujar Yusnani Yanis – istri Nasroel Chas. Nasroel pun sudah siap untuk kembali lagi naik oplet dan mengontrak rumah seperti pada awalnya dulu. Dengan berbekal surat-surat rumah dan mobil miliknya, ia pergi menemui pimpinan Bank Tamara. Narsroel berterus terang, “Saya sudah tidak bisa membayar hutang, saya serahkan surat rumah dan mobil saya. Silahkan kapan saja boleh diambil, tapi tolong jangan ramai-ramai pakai polisi ataupun jaksa, agar keluarga saya tidak terlalu terpukul, “ ujarnya.
Pimpinan Bank Tamara seperti hampir tidak percaya, disaat orang banyak yang lari meninggalkan hutang dikarenakan kebijaksanaan Kenop 15, justru ada Anak Minang yang datang menyerahkan harta bendanya. Akhirnya, dikarenakan kejujuran hati dan keikhlasan Nasroel, Bank Tamara malah memberikan suntikan dana untuk menyelesaikan proyek Gedung Ratu Plaza, disaat sub-kontraktor lain telah melarikan diri, dan hanya Nasroel yang tetap bertahan. Surat rumah dan mobil pun tidak jadi diserahkan, dan akibat dari suntikan dana dari Bank Tamara, Nasroel mendapatkan keuntungan lebih dari 32 juta. “Semua hutang saya bayarkan ke Bank Tamara, ternyata masih ada sisanya. Uang itupun tadinya saya serahkan semua, tetapi mereka menolak. Itu hak saya kata mereka,” Nasroel bercerita. Lepas dari proyek Ratu Plaza, Tamara Group justru mengajaknya berpatungan. Pada tahun 1979 dibuatlah perusahaan PT. Takarin Tamara, dimana Nasroel sebagai pengelolanya. Di PT. Takarin Tamara inilah bintang Nasroel Chas bersinar terang. Ia bahkan sampai melangkah jauh ke kelompok konglomerat yang memiliki usaha di bisnis bidang perbankan, industri dan real estate. Nasroel mencapai puncak jabatan sebagai President Direktur Tamara Group dan melepaskan jabatannya pada tahun 1988 dikarenakan kesibukkannya akibat usahanya yang kian banyak.
Sebelum mendirikan Hotel Pusako, Nasroel telah mendirikan dua hotel di bali yakni Kartika Plaza Beach Hotel (bintang lima di kawasan wisata Kuta) dan Bali Resort Palace Hotel (bintang empat di Nusa Dua). Di Sumbar, setelah Hotel Pusako, ia pun telah membangun Wisata marina Pusako Sikuai Island resort di lepas pantai Padang , kemudian Pusako Rumah Godang Cultural Center (di atas 4 hektar lahan) di Sungai Beringin, Payakumbuh, dan PT. Pusako Minang Tour & Travel.
Di samping empat pilar usaha wisata dengan total investasi 100 milyar di jaman itu, Nasroel juga membangun industri karbon aktif dengan bendera PT. Pusako Carbonindo. Nasroel pernah menjabat sebagai direktur utama PT. Danayasa Arthatama sebuah perusahaan properti raksasa yang membangun superblock Sudirman Central Business District (SCBD).
SCBD yang gagasan dasarnya datang dari Nasroel, merupakan superblock pertama yang terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, menyerap investasi sebesar 7,5 trilyun, dibangun sejak tahun 1991.
Usaha lainnya, bersama-sama dengan sejumlah pengusaha nasional asal Minang, yaitu Abdul Latief, Fahmi Idris, Aminuzal Amin, Is Anwar, Basrizal Koto, Zairin Kasim, dll, serta Gebu Minang dan PT. Semen Padang, Nasroel mendirikan PT. Nagari Development Corporation (NDC) yang mempunyai misi utama meningkatkan perekonomian dan memajukan dunia usaha Sumbar, dengan menyertakan modal sebesar 40% di BPD Sumbar. Sejak Abdul Latief diangkat menjadi menteri tenaga kerja pada masa itu, Nasroel dipilih menggantikan sebagai Direktur Utama PT. NDC. Nasroel juga aktif mendorong kelahiran perusahaan modal ventura di Sumbar yang diharapkan akan banyak membantu pengusaha kecil dan menengah. Pada tahun 1995 berdirinya PT. Sarana Sumatera Barat Ventura(SSBV) dengan modal 3,5 milyar, Nasroel juga dipercayakan sebagai Komisaris Utamanya. Begitulah, sejau-jauhnya burung bangau terbang, akhirnya ke kubangan jua. Setelah malang melintang di pentas dunia bisnis nasional, sebelah kakinya tertancap di Sumatera Barat. Lalu, apa kiat sukses Nasroel Chas? Mottonya adalah “ Bimba Shimanasi” yang artinya, “kalau ingin sukses harus kerja keras” mengutip ungkapan orang Jepang.
Sumber : Buku Profil Tokoh Minang, edisi 1995 – 1996 , Penerbit Permo Promotion, Head Infomarko, Yayasan Bina Prestasi Minang Indonesia.