Portal:Peristiwa terkini/Peristiwa terkini

Catatan akhir 2006 Berkaitan dengan pencabutan semua pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, keluarga korban kekerasan politik dan penghilangan paksa serta korban kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi menuntut pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Bagi mereka, pembatalan undang-undang (UU) itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tak berarti mekanisme penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu tertutup. Justru sebaliknya, pembatalan itu merupakan peluang bagi munculnya mekanisme luar biasa, misalnya melalui pengadilan ad hoc. Apalagi, pengungkapan kebenaran, pemulihan hak korban, dan keadilan adalah bentuk yang mutlak diberikan kepada korban dan keluarganya. "Selain itu, pemenuhan hak korban itu tak bisa ditawar-tawar, apalagi dipertukarkan," tutur Sumarsih, ibu Wawan, korban Tragedi Semanggi, Selasa (12/12) di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta. Ruminah, yang kehilangan Gunawan anak ketiganya pada kerusuhan di kawasan Klender, Jakarta Timur pada 14 Mei 1998, mengungkapkan, hadirnya pengadilan ad hoc menjadi penting bagi mereka. Apalagi, hingga saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang sudah disidik dan diperiksa justru macet di Kejaksaan Agung. Tidak berpihak Prosedur penanganan pelanggaran HAM di negara ini dinilai belum berpihak kepada korban dan keluarganya. Ho Kim Ngo, ayah Yun Hap yang tewas pada kerusuhan di Semanggi, menuturkan, DPR dan Jaksa Agung selalu saling melempar tanggung jawab kasus pelanggaran HAM itu. "Jaksa Agung tampak tak berpihak pada perjuangan pembelaan HAM. Saat peringatan hari HAM, ia tak ikut turun ke jalan, tetapi saat kampanye antikorupsi ia turun ke jalan. Jaksa Agung tidak pernah fokus pada perkara pelanggaran HAM," ungkap Ho Kim Ngo. Keinginan korban atau keluarga korban pelanggaran HAM agar pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran HAM, menurut anggota Komnas HAM, Enny Soeprapto, adalah wajar. Bahkan, langkah itu menurut UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM adalah yang paling sesuai. "Apalagi, setelah mekanisme ekstrajudisial tak bisa dilakukan dan pengadilan umum biasa tidak bisa melakukannya," Ia mendukung pembentukan pengadilan HAM ad hoc itu. Keadilan bagi korban harus diwujudkan dan bukan masanya lagi rakyat Indonesia terus hidup dalam transisi yang tidak berkesudahan.