Merantau
- Untuk film berjudul sama, lihat Merantau (film).
Merantau adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman.
Indonesia
Karena pembangunan yang tidak merata dan lebih terpusat di kota-kota besar, terutama di pulau Jawa, banyak orang Indonesia merantau untuk mencari pekerjaan atau pendidikan yang lebih baik. Para perantau ini, terutama yang beragama Islam, memiliki tradisi untuk pulang kampung setiap tahun untuk merayakan lebaran. Hal ini dapat diamati dari kenaikan arus penumpang sistem transportasi umum.
Suku Minangkabau
(Lihat pula : Minangkabau Perantauan)
Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya kaum pria Minangkabau saat menginjak kategori usia dewasa muda (20-30 tahun). Pergi merantau hampir merupakan suatu kewajiban, apalagi bila si pria masih belum mampu secara finansial untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, sementara ia telah berada dalam rentang usia siap menikah. Jika kebiasaan ini tidak dijalankan, si pria bisa dijadikan bahan cemooh oleh masyarakat sekelilingnya.
Masyarakat Minangkabau dikenal punya tradisi merantau yang kuat. Mereka telah mengembara ke wilayah Asia Tenggara lainnya sejak berabad abad yang lalu. Keturunan mereka sampai saat ini masih ada bahkan berkembang di banyak tempat seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Lampung dan wilayah Sumatera lainnya, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina Selatan, dan lain lain. Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad yang lalu, begitu pula dengan masyarakat Negeri Sembilan di Malaysia, bahkan pendiri Kepaksian Sekala Brak juga berasal dari Pagaruyung Minangkabau. Di Mindanao Selatan (Filipina) keturunan Minangkabau dari ratusan tahun yang lalu masih ada sampai saat ini. Gelar bangsawan mereka "Ampatuan" yang berasal dari Pagaruyung / Minangkabau (Ampu Tuan) masih mereka pakai sampai sekarang. Di Sulawesi Selatan keturunan Datuk Makotta sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bugis Makassar sejak ratusan tahun yang lalu.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Kaum pria Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu beladiri pencak silat untuk menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya dan sedikit uang, bahkan tak jarang tanpa uang sama sekali. Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa, kegigihan, dan keuletan si pria Minang dalam meningkatkan derajat kehidupannya.
Biasanya dalam periode di negeri orang inilah orang Minang yang merantau mulai mencari bidang kehidupan yang mereka minati. Bagi yang ingin berniaga atau wiraswasta mereka memilih menjadi pedagang. Banyak bidang usaha yang bisa mereka geluti seperti berdagang di pasar, mengelola usaha angkutan kecil kecilan, usaha percetakan, penjahit pakaian, usaha rumah makan atau restoran Padang dan banyak lagi yang lain. Bagi Yang bertujuan menimba ilmu merekapun masuk sekolah sekolah yang baik. Tak jarang mereka menjadi tokoh di komunitas perguruan tersebut. Banyak diantara mereka menjadi orang besar dikemudian hari, baik sebagai tokoh pengusaha, politisi, dokter, ilmuwan, birokrat, seniman, profesional, ulama, militer dan polisi, dan lain lain.
Jika menurutnya ia telah dikategorikan sukses setelah jangka waktu tertentu, maka barulah ia berani pulang ke kampung halamannya yang telah lama ditinggalkan. Tidak jarang pula para perantau ini lalu berkeluarga, dan akhirnya menetap di daerah lain. Dalam suku Minangkabau, fenomena ini disebut "Marantau Cino".
Suatu masalah yang belum banyak dikaji mengenai para perantau Minang ini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan sosialnya sudah mulai kurang mempergunakan organisasi adat tradisional seperti "buah paruik", "kaum" atau "suku", dan lebih banyak berhimpun dalam satuan nagari asal. Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat atau SAS. Sulit Air Sepakat atau SAS punya kantor perwakilan di banyak kota besar di Indonesia dan beberapa di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan lain lain
Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang berbunyi: "Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang" yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan budaya sendiri.
Saat ini diperkirakan lebih dari setengah jumlah warga keturunan Minangkabau hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun mancanegara.
Suku Batak
Banyak juga anggota suku Batak yang merantau ke daerah lain. Mereka yang memeluk agama Kristen biasanya mendirikan gereja HKBP di tempat baru untuk beribadah. Orang Batak banyak yang pergi merantau ke Medan dan Jakarta serta kebeberapa daerah di negara ini. Jumlah perantau suku Batak sendiri menduduki peringkat ketiga setelah perantau Minangkabau dan orang Bawean. Menurut sensus pada tahun 2006, jumlah perantau Batak mencapai 19,8 % dari jumlah populasi dengan puak Batak Toba sebagai yang terbesar diluar wilayah Sumatera Utara dan yang terkecil dari puak Batak Pakpak
Motif Merantau orang Batak Toba sendiri terdapat dalam falsah hidup mereka yakni Hagabeon, Hasangapon, Habontaron dan Harajaon. Yakni merantau untuk meraih kehidupan yang lebih baik, menguasai suatu daerah dan membentuk koloni baru di luar wilayah. Falsafah ini sukses dilakukan oleh orang Batak di perantauan terutama di wilayah Medan, Sumatera Utara serta beberapa kawasanan didaerah selatan Aceh serta utara Sumatera Barat dan Riau dimana tumbuh generalisasi bahwa penduduk wilayah itu ialah orang Batak
Lihat pula
Bacaan lebih lanjut
- Naim, Muchtar. "Merantau : Minangkabau Voluntary Migration", Disertasi Ph.D, Singapore : Faculty of Arts and Social Sciences University of Singapore.1974.
- Naim, Mochtar, "Merantau : Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau". Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1979.
- Suryadinata, Leo, Evi Nurvidya Arifin, dan Aris Ananta, 2003, "Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape", ISEAS, Singapore.
- Garry Dimas AC, "Budaya Merantau pada suku suku di Indonesia". Johor Bahru : University Melaka, 2001.